Minggu, 20 September 2009

Promosi Wacana Politik dan Eksemplar 135 (Sawirman)

Promosi Wacana Politik dan Eksemplar 135 (Sawirman)[i]

Dr. Sawirman1

I. Kontribusi Linguistik pada APBN
Tanggal 25 April sore, di tengah kesibukan penyambutan tim akreditasi, Bu Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas masih sempat melontarkan sebuah loncatan pikiran. Masukan Bu Yet kira-kira begini, mengapakah telaah linguistik kita secara kuantitas lebih banyak berurusan dengan pusat ke bawah. Mendengar kata dari pusat ke bawah, saya mau ketawa, tetapi ditahan. Karena kata bawah, apalagi dimulai dari pusat dalam bahasa Minang, kadangkala bermakna peyoratif yang dapat membangkitkan spirit pikiran miring seseorang. Kritikan tersebut terasa pantas, karena secara kuantitas, kajian linguistik kita memang lebih banyak berurusan dengan perut atau dengan sesuatu hal yang bersifat empiris daripada berurusan dengan logika, intelegensia, paradigma, teori, konseptualisasi, dan sejenisnya. Saya langsung berpikir, mengapa mazhab Stoic, mampu menyumbangkan kata stoic ke dalam kamus bahasa Inggris. Apakah sumbangan kita linguis Indonesia untuk membangun KBBI atau kamus linguistik dunia?
Keterjebakan telaah kita dengan hal-hal yang bersifat empiris, nomotetis, fondasionalis, dan positivis memang masih terasa. Perkembangan majalah linguistik memang pantas dihargakan tinggi. Akan tetapi, sebuah pertanyaan yang perlu dijawab, mengapakah majalah linguistik kita tidak banyak dijamah, apalagi dibeli oleh para scientis ilmu lain. Mohon maaf kalau ada yang tersinggung. Kalau untuk disiplin ilmu lain saja linguistik tidak terasa manfaatnya, apalagi untuk APBN ha...ha...ha. Habis kita juga kurang memperhatikan kontribusi ilmu lain pada linguistik. Kita tidak pernah pernah sadar bahwa disiplin ilmu lain sangat bermanfaat untuk memperkaya khasanah linguistik demi untuk memaknai linguistik pada tahapan makna terdalam (deep meaning, meminjam istilah Baudrillard). Kita belum menyadari bahwa wacana politik terorisme yang terkait dengan bom bunuh diri (suicide bombing) misalnya, dapat dipertajam dengan teori bunuh diri (suicide) ala Durkheim dalam sosiologi. Kita kadang menyebut diri kita sebagai sosiolinguis, tetapi teori-teori sosiologi tidak pernah kita kuasai. Jangankan teori-teori sosiologi mutakhir, teori-teori para pencetus sosiologi seperti August Comte, Durkheim, dan Max Weber saja lupa kita jamah. Kita menyebut diri sebagai psikolinguis, tetapi kadang kita lupa dengan pencetus teori Psikoanalisis Sigmund Freud. Dalam telaah psikoliguistik dan applied linguistic, ada dikenal istilah overgeneralisasi, tetapi kita tidak menyadari bahwa dalam teori psikoanalisis Freud juga dikenal istilah overdeterminasi. Apakah tidak sebaiknya genealogis seperti kata Foucault juga perlu dipertimbangkan dalam telaah linguistik. Kita sibuk mengejar teori generatif Chomsky (saya menyebut strukturalisme ala lain) sekalipun anda menyebutnya sudah melepaskan diri dari strukturalisme. Kita kadang lupa membaca bahwa Chomsky sendiri sudah lari jauh dari teori yang dibuatnya. Chomsky saat ini adalah salah satu tokoh yang ditakuti Amerika dengan telaah wacana politiknya tentang terorisme Timur Tengah, WTC, dan Anarkisme. Dalam hatinya Chomsky pasti berkata “Tertipu lho”?
Kita menutup diri dengan ilmu lain, tetapi kita belum menyadari ilmu lain banyak memanfaatkan ilmu kita. Kajian Orientalisme Edward Said bukan kajian linguistik, tetapi telaah linguistiknya sangat baik, begitu pula Popper dalam buku Open Society and Its Enemies-nya dan Freud dalam buku Tafsir mimpinya. Kita pantas malu dengan para tokoh Frankfurt seperti Adorno, Habermas, Marcuse serta sejumlah tokoh posmodernis dan postrukturalis seperti Foucault, Derrida, Lyotard, Baudrillard, Barthes yang jitu menelaah linguistik, sekalipun bukan menyebut dirinya pakar linguistik. Kita belum juga sadar bahwa linguistik dalam konteks kekinian, terutama kajian para posmodernis menjadi titik sentral. Kita sebenarnya memiliki cincin emas, tetapi disimpan di lemari. Kita punya cincin brilian, tetapi tidak kita pasang di jari manis. Cincin emas dan berlian yang kita punya tidak kita perlihatkan gemilaunya. Mana tahu, gemilaunya dapat menerangi seisi alam. Mari kita maknai linguistik sedalam lautan Atlantik. Maknailah linguistik setajam silet (sastra ni yee). Ndak salah kok kita kadang berguru sama burung. Burung selalu keluar sarang demi memperbaiki sarang. Kita jangan lagi seperti mikroskop, hanya mampu melihat yang kecil, tetapi lupa dengan yang besar. Indonesia sekarang diributkan dengan kenaikan BBM, terorisme, Undang Porno Aksi dan Pornografi, mengapakah kita tidak ikut menyumbang secara keilmuan, misalnya mencermati undang-undang tersebut secara linguistis. Apa yang diperbuat para linguis Indonesia pada saat demontrasi besar-besaran para buruh atas protes pada Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang selalu dianggap berpihak pada kaum borjuis (penguasa). Tugas memperbaiki nasib buruh tidak hanya tugas ahli hukum misalnya, tetapi tugas semua keilmuan, tugas kita semua.
Apakah yang dilakukan para linguis untuk memperjuangkan pengangguran bersertifikat, PSK, krisis mental, anak-anak cacat, orang gila, pengemis, pengamen, anak jalanan, kasus Ambalat, tindakan separatis di Papua, Maluku, GAM, Tsunami, dan lain-lain. Mana aksiologismu linguistik selama ini secara keilmuan untuk memberi sumbangsih kepada masyarakat kita dan masyarakat dunia. Anda hanya sibuk dengan pengotak-ngotakan ilmu anda, ini kajian linguistik, ini bukan; ini kajian semantik, bukan semiotik; ini kajian wacana, bukan sintaksis, ini kajian sastra, bukan linguistik, sementara anda lupa orang-orang di sekitar anda membutuhkan sumbangan normatif etis anda untuk menyelesaikan kasus-kasus kemanusiaan. Apakah kita tidak pernah berpikir untuk menelaah linguistik secara terpadu (integrated). Kajian semantis dapat lahir dari konstruksi sintaksis, morfologis, fonologis, dan ketidaksadaran (uncounciousness). Apakah anda tidak sadar bahwa pengkotakan-kotakan ilmu itu akibat virus sakti yang diluncurkan Rene Descartes. Zaman baholak, ilmu alam dengan ilmu sosial berpadu dalam sebuah kajian. Mengapakah anda mau dijebak nomotetis dan fondasionalis. Bukankah tautan ilmu seperti kata Popper seperti permukaan laut dengan dasarnya. Apakah salah kajian makro berpadu dengan kajian mikro. Kapan perlu telaah linguistik perlu dipertajam dengan ilmu eksakta misalnya. Saat anda menelaah bahasa terorisme, anda pasti akan berhubungan misalnya dengan jenis bom yang digunakan (ilmu kimia) atau DNA-finger (medis). Saat itu anda juga pasti sadar bahwa terjemahan DNA-finger menjadi sidik jari DNA dalam bahasa Indonesia sebenarnya tidak tepat. Sekalipun linguistik tidak berkontribusi pada APBN (eh salah lagi), sumbangan linguistik sekurang-kurangnya dapat menjadi ubek jariah palarai damam bagi masyarakat kita.
....

2.1 “Eksemplar 135”, Wacana Politik, dan Paradigma Cultural Studies

“Eksemplar 135” yang akan diterapkan pada telaah wacana ini mencoba keluar dari jebakan nomotetik. Nomotetik dan fondasionalisme menjadikan analis teks tersubordinasi (didominasi oleh sistem/konvensi). “Eksemplar 135” berdimensi interteks dan cultural studies yang diaplikasikan pada wacana terorisme dapat dilihat pada skema berikut....

1 Dosen Sastra Inggris Fakultas Sastra Unand. Disampaikan pada Seminar Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang tanggal 4 Mei 2006.
[i] Cuplikan makalah yang disampaikan pada Seminar Duo Angku Dotor di Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang pada tanggal 4 Mei 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar