Minggu, 16 Agustus 2009

e-135 Sawirman dan Suprasegmental 2008

RESENSI BUKU


Suprasegmental
sebagai “Lahan Cultural Studies” dan e-135


Sawirman
Universitas Andalas Padang


1. Pendahuluan
Dari sejumlah aspek fonologis, kajian suprasegmental termasuk ranah yang terabaikan, termarjinalkan, dan terlupakan. Dalam konteks bahasa Indonesia, selain disertasi Amran Halim, hampir tidak ada lagi linguis yang secara serius concern terhadap ranah suprasegmental. Padahal ranah ini tidak kalah pentingnya dibanding dengan aspek-aspek linguistik lainnya. Banyak kata dalam bahasa-bahasa di dunia, apalagi tone languages (seperti bahasa Etung, Peking Mandarin, Swedia, Norwegia, Vietnam, Kroasia, Spanyol, Kikuyu, dan bahasa-bahasa di Afrika) memiliki perbedaan makna hanya karena faktor-faktor suprasegmental, seperti durasi, nada, intonasi, panjang, dan lain-lain. Adalah beralasan mengapa suprasegmental dianggap sebagai “lahan cultural studies” dalam tulisan ini.
Selain fokus kajian pada aspek-aspek suprasegmental, dipilihnya buku Carlos Gussenhoven and Haike Jacobs untuk diresensi juga disebabkan oleh teori generatif yang diaplikasikannya. Seperti yang diungkap oleh Multamia (2005), kajian-kajian linguistik di tanah air masih didominasi oleh teori-teori struktural dan tradisional. Penerapan teori generatif dalam konteks tanah air masih berada di bawah 7% (tujuh persen). Dengan demikian, kehadiran buku ini memiliki dua arti penting bila ditinjau dari sisi cultural studies (perjuangan etis pada ranah-ranah yang terpinggirkan), yakni (1) membahas aspek suprasegmental dan (2) menggunakan pendekatan generatif (khususnya fonologi generatif sebagai pisau analisis).

2. Suprasegmental dalam Kaidah Generatif
Seperti yang sudah diuntai sebelumnya, buku Carlos Gussenhoven and Haike Jacobs membahas suprasegmental melalui pendekatan fonologi generatif. Hal itu disebabkan oleh beberapa pertimbangan bahwa teori fonologi generatif: (1) mampu mengakomodasi dan menghubungkan realisasi representasi fonemis dengan representasi fonetis; (2) dirumuskan berdasarkan pertimbangan kecenderungan-kecenderungan proses-proses fonologis dan morfologis sebuah bahasa; dan (3) mengkaidahkan kelas segmen dengan fitur-fitur distingtif dan spesifikasi ciri minimum yang diperlukan untuk sebuah identifikasi segmen.
Suprasegmental yang beberapa tonologis/prosodis menggunakan terminologi prosodi merupakan salah satu ciri pembeda sebuah segmen. Ciri-ciri pembeda sebuah segmen dalam fonologi generatif didasarkan atas (1) fitur kelas utama (silabis, sonoran, konsonantal); (2) daerah artikulasi (anterior, koronal); (3) cara artikulasi (kontinuan, penglepasan tertunda, striden, nasal, lateral); (4) batang lidah (tinggi, rendah, belakang); (5) bentuk bibir (bulat); (6) tambahan (tegang, bersuara, aspirasi, glotalisasi); dan (7) prosodi (tekanan dan panjang) (Kenstowicz, 1994:452; Schane, 1992a:28--35; dan Carr, 1994).
Pengklasifikasian ciri suprasegmental di mata para ahli fonologi generatif hanya terdiri atas [tekanan] dan [panjang]. Dengan demikian, Pengklasifikasian ciri suprasegmental di mata para ahli generatif lebih sederhana daripada pengklasifikasian yang dilakukan para ahli tradisional dan struktural. Para ahli fonologi generatif memiliki tendensi untuk menyederhanakan terminologi yang agak tumpang tindih (rancu). Terma pitch, tone, accent, intonation, loudness, srengthening, weakening, rhythm, dan stress disatukan menjadi fitur [tekanan] dan istilah duration, speed, dan length disatukan menjadi fitur [panjang]. Hal itu sejalan dengan visi teori transformasi generatif yang lebih mengutamakan prinsip keuniversalan, kealamiahan, dan kesederhanaan kaidah struktur bahasa.
Gussenhoven dan Jacobs (1998:136) menotasikan segmen bertekanan dengan fitur [+tekanan], dan segmen panjang dengan tanda [+panjang] seperti pada konstruksi bahasa Etung berikut.

a a
(1) t [+high tone] t [+high tone]

Contoh di atas mengindikasikan bahwa kedua vokal pada data (1) mendapat tekanan tinggi. Tanda + pada fitur tersebut mengindikasikan bahwa segmen /a/ memiliki ciri itu. Piranti-piranti lain seperti jeda atau persendian (juncture) yang ditetapkan dalam fonologi generatif (lihat Gussenhoven and Jacobs, 1998:141--148; Schane, 1992a;65--77; 1992b:43--45; Hyman, 1975:186--238) adalah notasi + (selain menyatakan ciri segmen, juga menyatakan batas morfem), notasi # (menyatakan batas kata), notasi (menyatakan batas frase), notasi [ ] (menyatakan ciri sebuah segmen), notasi ø (menyatakan kaidah penyisipan jika muncul di sebelah kiri tanda panah dan pelesapan jika muncul di sebelah kanan tanda panah), dan notasi K,V (menyatakan fitur konsonan dan vokal).
Ciri suprasegmental tidak digunakan untuk menentukan segmen bahasa-bahasa di dunia secara universal. Hal itu cukup beralasan karena tidak semua bahasa memiliki fitur (ciri) suprasegmental tersebut. Bahasa-bahasa yang memiliki ciri suprasegmental (lihat Brosnahan dan Bertil Malmberg, 1976:148; Hyman, 1975:186--238) yang beberapa ahli memakai istilah tone languages (seperti bahasa Etung, Peking Mandarin, Swedia, Norwegia, Vietnam, Kroasia, Spanyol, Kikuyu, Etsako, dan sejumlah bahasa di Afrika).
Tingkatan tekanan dan panjang pada “bahasa-bahasa tone” juga berbeda satu sama lain. Bahasa Etung (Gussenhoven dan Haike Jacobs, 1998:137--138) hanya memiliki í tekanan tinggi (high, H), ì tekanan rendah (low, L), î tekanan turun (falling, HL), dan ì tekanan naik (rising, LH). Hal itu berbeda dengan bahasa Kikuyu (Hyman, 1975:223) yang selain memiliki tekanan tinggi (high), rendah (low), turun (falling), dan tekanan naik (rising), juga memiliki î tekanan turun-naik (falling-rising, HLH) dan ì tekanan naik-turun (rising-falling, LHL)[i].
Hal yang sama juga terjadi pada fitur durasi [panjang]. Gussenhoven dan Jacobs (1998:138), seperti halnya Schane (1992b:49) mengklaim bahwa vokal panjang dalam bahasa Inggris sebenarnya merupakan paduan dua vokal yang identik. Vokal i: berasal dari perpaduan vokal ii atau (ii ---> i:); vokal a: berasal dari perpaduan vokal aa (aa ---> a:); dan seterusnya. Hal itu mengisyaratkan pula bahwa panjang (long) pengucapan i: dan a: adalah sama dengan panjang pengucapan ii dan aa (long vowel count for two vowels) seperti yang terlihat pada kaidah berikut.

(2) 1
V V ---> [+panjang] ø
1 2

Kaidah tersebut memperlihatkan bahwa vokal panjang dalam bahasa Inggris berasal dari penggabungan dua vokal yang diikuti oleh pelesapan salah satu vokalnya[ii]. Dalam International Phonetic Association (IPA)[iii] tahun 1981, halaman 17 terdapat pula pada bahasa-bahasa lain di dunia vokal-vokal yang memiliki durasi setengah panjang (half long).

3. Konvensi Suprasegmental Sekalipun masih dalam jumlah relatif terbatas, beberapa kaidah, konvensi, tipologi, maupun asosiasi tentang aspek suprasegmental dapat digeneralisasikan pada uraian berikut[iv].....
Catatan
[i] Penggunaan notasi atau grafem tekanan mengacu pada (Gussenhoven dan Haike Jacobs, 1998:137). Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman akibat ketidakseragaman notasi tekanan yang digunakan oleh para linguis, tonologis, dan prosodis.
[ii] Para ahli seperti Gussenhoven dan Haike Jacobs (1998:138), dan Schane (1992b:49) tidak menegaskan segmen yang dilesapkan atau masih bersifat arbitrer (mana suka). Namun, berdasarkan prinsip kealamiahan bahasa dan fonologi wajar (Schane, 1992:116--126), dapat diasumsikan bahwa segmen (vokal) yang lesap adalah segmen kedua.
[iii] Notasi, simbol, fitur, dan grafem yang tercantum dalam IPA (International Phonetic Association, 1981) berdasarkan pada penelitian ilmiah pada 51 bahasa di dunia.
[iv] Istilah konvensi yang dimaksudkan dalam kajian ini mengacu pada pengakuan umum tentang tipologi, asosiasi, prinsip, notasi, maupun kaidah universal aspek-aspek suprasegmental. Konvensi dalam kajian ini disarikan dari berbagai sumber, yakni Gussenhoven dan Haike Jacobs, (1998:136--146), Hyman (1975:186--238), Brosnahan dan Bertil Malmberg (1976:147--159), Schane (1992a:57--61; 90--96; 105--108), Schane (1992b:xiv--xv; 49--50; 79--80), dan Parera (1989:56--57).

E-135 Sawirman Mempertalikan Paradigma (Formalis, Kritis, dan Cultural Studies)

ARTIKEL EDITORIAL

E-135 Mempertalikan Paradigma
(Formalis, Kritis, dan Cultural Studies)


Sawirman
Editor Ahli
1. Alasan Akademis Penerbitan Artikel
....
2. E-135 Mempertalikan Wacana Formalis, Kritis, dan Cultural Studies
A. Pengantar e-135 Berhubung e-135 masih relatif baru, ada baiknya pembaca diingatkan kembali tentang keberadaan draf teori ini. E-135 adalah singkatan dari Eksemplar 135. Huruf e pada e-135 menyimbolkan eksemplar (bukan simbol elektronik seperti e-mail, e-journal, e-learning, e-book, e-library, e-commerce, dan lain-lain), sekalipun e-135 memang menjadikan data elektronik sebagai data “hiperteks” pada salah satu tahapan (tahapan eksplorasi). Angka 1 pada e-135 menyimbolkan landasan ontologis/filosofis (hermeneutika). Alasan pemakaian landasan ontologis hermeneutika ini sudah diuntai dalam artikel editorial volume 2 nomor 1 bulan Juli 2008. Angka 3 pada e-135 menyimbolkan revisi dan paduan pendekatan wacana terkini (kritis, dekonstruksionis, cultural studies). Artikel editorial kali ini akan menjawab mengapa tiga pendekatan terkini dalam ranah wacana dan semiotika tersebut perlu direvisi, dipadukan, dan dirangkul dalam ranah wacana dan semiotika. Angka 5 pada e-135 menyimbolkan lima tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi), lima objek material, dan lima objek formal. Adalah forum National Seminar on Language Literature and Language Teaching di FBSS UNP Padang tanggal 10-11 Oktober 2008 dengan makalah berjudul Selamatkan Linguistik dengan E-135, draf teori ini dipresentasikan sebelum tulisan ini dimunculkan di jurnal edisi ini.
B. Mengapa Paradigma Formalis, Kritis, dan Cultural Studies Perlu Dipertalikan
Himbauan Chomsky agar para linguis mampu memaknai linguistik sampai level ekplanatoris (explanatory adequacy) dan harapan Baudrillard agar wacana dan tanda perlu dimaknai sampai tahapan makna terdalam (depth meaning) tampaknya dapat mencapai sasaran bila paradigma kritis, dekonstruksionis, dan cultural studies (simbol angka 3 pada e-135) dirangkul, direvisi, dan dipadukan ke dalam ranah linguistik. Berikut alasan dan overview sekilas ketiga paradigma dimaksud.

1. E-135 Merangkul Pendekatan Wacana Formalis
Istilah formalisme (formalism) diadopsi dari konsep Wehmeier, et al. dan Summers et al. yakni:

(1) “a style or method in art, music, literature, science, etc. that pays more attention to the rules and the correct arrangement and appearance of things than to inner meaning and feelings” (Wehmeier, et al. 2005:610).

(2) “a style or method in art, religion, or science that pays a lot attention to the rules and correct forms of something rather than to inner meanings” (Summers et al, 2005:633-634).Paduan dua kutipan di atas dengan statemen Carrol (2000:137—152) tentang formalisme dapat memberikan ciri penganut formalis dalam berbagai dimensi keilmuan, yakni (1) lebih mengutamakan kaidah-kaidah (rules) daripada makna-makna (inner meanings) yang disembunyikan; (2) lebih mengutamakan hukum-hukum keteraturan (the correct arrangement) daripada pesan-pesan tersembunyi (latent messages) yang diekspresikan; (3) lebih mengutamakan perwajahan (appearance of things) daripada isi (content) yang diimplisitkan; (4) lebih mengutamakan aspek material daripada aspek mental (feelings) yang disuguhkan; dan (5) lebih mencari jawaban apa (what) daripada jawaban bagaimana (how) dan mengapa (why). Dengan kata lain, para formalis lebih mengutamakan aspek material, keakuratan aneka bentuk (correct forms), dan pemberian aneka label kategori, dan fungsi daripada memperhatikan semesta “konsep” (ideologi, kultur, subjektivitas, politis, preferensi) yang tersembunyi di balik keteraturan, struktur, kaidah, hukum, bentuk, kategori, dan fungsi sesuatu (objek, peristiwa, produk, tanda, dan wacana). Dalam konteks e-135, teori-teori linguistik mikro (sintaksis, morfosintaksis, morfofonologi/ morfofonemik, morfologi, dan fonologi) dalam berbagai pendekatan (struktural, generatif, dan pasca generatif) juga diposisikan dalam ranah formalis.
Demikian pula pendekatan Fungsional/Sistemik Halliday beserta pengikutnya (antara lain Ruqaiya Hasan, Linda Gerot, ....

RESENSI BUKU PAUL RICOEUR OLEH SAWIRMAN (DOSEN UNIVERSITAS ANDALAS)

RESENSI


FILSAFAT WACANA BERBASIS CULTURAL STUDIES
PAUL RICOEUR


Sawirman
Universitas Andalas Padang


1. Pendahuluan
Sejak tahun 1996 (dalam buku Bahasa dan Kekuasaan), Ignas Kleden sudah melakukan protes pada banyaknya pengarang yang hanya berkiblat pada frekuensi, kuantitas, dan produktivitas sebuah karya sehingga mengabaikan nuansa kualitasnya. ‘Rasa” itu seakan-akan masih eksis sampai saat ini. Para pengarang (termasuk para linguis) masih sering meninggalkan “sejarah ide” aneka konsep yang dirilisnya. Banyak pengarang mengutip sebuah ide dari sebuah “buku terbaru”, akan tetapi melupakan founding father dari ide tersebut. Konsekuensinya, banyak pengarang kehilangan riwayat genealogis “sejarah ide” dari sebuah istilah, teori, paradigma, dan logika/konstruksi berpikir yang diaplikasikan. Dalam konteks linguis di tanah air misalnya, masih banyak pengkaji psikolinguistik kita seakan-akan tidak mau tahu dengan buku-buku psikologi (termasuk buku Sigmund Freud yang dikenal sebagai Bapak Psikologi). Masih banyak penjamah sosiolinguistik kita seakan-akan “meninggalkan’ buku-buku sosiologi (termasuk buku Emile Durkheim sebagai Bapak Sosiologi). Para linguis tanah air yang menyebut dirinya sebagai pengkaji aneka bidang lainnya tampaknya belum jauh berbeda. Rasanya tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa masih banyak linguis negeri ini seperti mikroskop (hanya mampu melihat hal-hal kecil, tetapi melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan dan kemiskinan yang ada di sekelilingnya). Mereka seakan-akan menutup diri dari perkembangan ilmu-ilmu lain di sekitarnya sekalipun ilmu-ilmu tersebut terkait erat dengan bidangnya. Bila spirit “anti ilmu lain” ini terus digenerasikan, diperkirakan tidak hanya akan membuat kajian linguistik menjadi terasing, tetapi juga membuat ranah ini akan kehilangan esensinya sebagai pejuang kemanusiaan (humaniora). Setidak-tidaknya pada aspek-aspek letak pentingnya buku-buku Ricoeur. Selain sebagai pembawa spirit “cultural studies” dalam filsafat wacana, Ricoeur adalah salah satu sosok yang mempertalikan ranah wacana (linguistik) dengan sejumlah ilmu lain. Dalam buku Contemporary Hermeneutics, Ricoeur diposisikan Joseph Bleicher tidak hanya sebagai penghubung antar-aliran hermeneutika, tetapi juga sebagai penghubung dua tradisi filsafat besar (Strukturalisme Perancis dan Fenomenologi Jerman).
.......
3. Penutup
Wacana/bahasa di mata Ricoeur (2002), seperti halnya di mata kaum posmodernis dan cultural studies tidak lagi dipahami sebagai instrumen semata, refleksi realitas, konstruksi “one-to-one correspondence” (satu penanda dengan satu tinanda), presentasi logika murni (A=A), presentasi yang disebut Immanuel Kant dengan logika teknis, refleksi yang disebut Sartre dengan logika sensual dan logika visual. Dengan kata lain, Ricoeur menjadikan spirit cultural studies sebagai spesialisasi pengembangan kajian wacana dan linguistik. Ciri khas sebuah keilmuan yang tidak menghiraukan semangat zaman dan hiruk pikuk kehidupan akan ditelan oleh dialektika kehidupan itu sendiri (Sawirman, 2007).

e-135 Sawirman dan Hermeneutika

ARTIKEL EDITORIAL

Hermeneutik
“Payung E-135” Merangkul Cultural Studies



Sawirman
Editor Ahli/Pemimpin Redaksi


1. Pendahuluan
Sejumlah objek material linguistik dan statemen yang diutarakan sebelumnya semakin mengukuhkan klaim mengapa e-135 (nama baru “Eksemplar 135”) menjadikan hermenutis sebagai landasan filosofisnya dengan merangkul paradigma cultural studies sebagai fokus perjuangan. Adalah mustahil seorang linguis mampu mengungkap wacana dakwah (Islam) secara akomodatif tanpa melibatkan ilmu agama (Islam) dan sejumlah ilmu humaniora lainnya sebagai pembanding.
Pada artikel editorial terdahulu berjudul “Eksemplar 135” Embrio Mazhab Linguistik Unand Berdimensi Cultural Studies (Linguistika Kultura, Volume 1 Nomor 3 Maret 2008), penulis sudah mengutarakan kupasan seputar alasan akademis kemunculan e-135 yang saat itu masih disebut “eksemplar 135”. Dalam tulisan ini, sebutan “Eksemplar 135” diubah menjadi E-135.
Dengan demikian, e-135 merupakan singkatan dari “Eksemplar 135” (sebuah draf paradigma linguistik berdimensi cultural studies yang penulis ciptakan sejak tahun 2005). Huruf e pada e-135 menyimbolkan eksemplar (bukan simbol elektronik seperti e-mail, e-journal, e-learning, e-book, e-library, e-commerce, dan lain-lain), sekalipun e-135 memang menjadikan data elektronik sebagai data “hiperteks” pada salah satu tahapan (tahapan eksplorasi). Angka 1 pada e-135 menyimbolkan landasan ontologis/filosofis (hermeneutik), angka 3 menyimbolkan revisi pendekatan wacana terkini (kritis, dekonstruksionis, cultural studies), serta angka 5 menyimbolkan tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi) sekaligus landasan objek material dan formal yang masing-masingnya diberi penjelasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

2. Mengapa Hermeneutik dijadikan Landasan Filosofis E-135
Huruf e pada e-135 yang menyimbolkan eksemplar sudah dikupas pada edisi sebelumnya. Angka 1 pada e-135 menyimbolkan landasan ontologis/filosofis (hermeneutik) yang menjadi titik fokus pada artikel ini. Simbol angka 3 pada e-135 yang menyimbolkan revisi pendekatan wacana terkini (formalis, kritis, dan cultural studies), serta angka 5 pada e-135 yang menyimbolkan tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi) sekaligus landasan objek material dan formal dengan penjelasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis akan dibahas pada edisi-edisi mendatang. Tulisan ini akan membedah peran hermeneutik (simbol angka 1) dalam e-135” setelah disosialisasikan dalam Forum Dosen Berprestasi Unand) sebagai wakil Fakultas Sastra tanggal 11 Juni 2008.
2.1 Hermeneutik sejalan dengan spirit cultural studies
Di mata Sumaryono, bahasa dapat menjadi pusat perhatian hermeneutik sejauh interpretasinya merangkul dan melibatkan sejumlah ilmu dan keseluruhan jaringan (sejarah, kebudayaan, kehidupan, dan nilai-nilai sosial). Kata studies (bentuk plural) dalam frame cultural studies adalah spirit multi-dimensional seperti yang diungkap Sumaryono. Di mata Gibbons (2002:xii), hermeneutik menjadi salah satu kata kunci dalam dunia pemikiran abad XX dan XXI. Filsafat Barat kontemporer menganggap hermeneutik tidak hanya berhasil menyikapi persoalan-persoalan mendasar pola pikir “modern”, tetapi juga berhasil memformulasikan “wacana baru” dalam memahami realitas. Adalah beralasan mengapa istilah ini disandingkan dengan posmodern.
Dengan alasan bahwa sebuah ranah, tanda, teks atau suatu objek dan fenomena menjadi medan terbuka (open-mindedness) untuk dimaknai, maka adalah beralasan mengapa filsafat hermeneutik dianggap dapat mengikuti semangat zaman. Dengan alasan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memaknai, berinterpretasi, dan mencari kebenaran sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, serta nilai-nilai yang dianut, menjadikan hermeneutik terbebas dari “dogma”, konvensi, linearitas, dan oposisi biner para positivis dan strukturalis.
Sebagai sebuah metodis....

Sabtu, 15 Agustus 2009

Acuan Revisi Linguistika Kultura Universitas Andalas (Sawirman Pimpinan Redaksi/Editor Ahli)

JURNAL LINGUISTIKA KULTURA
PANDUAN PENULISAN

Ciri Khas Jurnal
Jurnal ini berdimensi Cultural Studies. Dengan demikian, kajian linguistik-sastra yang dimuat dalam jurnal ini memiliki salah satu ciri “perjuangan Cultural Studies” berikut.
a. Memperjuangkan pihak-pihak terhegemoni, terdominasi, dan termarjinalisasi (budaya pop, “the others”, sastra non-canon, bahasa/kultur masyarakat pinggiran atau indigeneous people, dan sejenisnya).
b. Mengkaji ranah-ranah linguistik-sastra yang tereliminasi / terlupakan (insurrection of the subjugated knowledges) saat ini, seperti kajian bahasa-bahasa yang terancam punah (seriously endangered languages), masalah hak-hak berbahasa ibu (linguistic human rights), perjuangan kemanusiaan, atau kajian linguistik-sastra masyarakat terasing/tertindas lainnya.
c. Memiliki spirit trandisipliner berbasis linguistik-sastra terkini (seperti biolinguistics, ecolinguistics, computational linguistics, atau sejenisnya).
d. Mengkaji linguistik-sastra melalui pendekatan kritis, posmodernis/postrukturalis.

Ciri Khas Naskah
Naskah belum pernah dimuat/diterbitkan oleh jurnal lain dan tidak sedang dikirim ke jurnal lain. Isi naskah sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Naskah yang dimuat dapat berupa tipe-tipe artikel berikut.
Pengantar redaksi
Artikel editorial
Artikel penelitian
Artikel review (teori, konsep, atau metodologi)
Artikel resensi
Korespondensi (tanggapan terhadap tulisan sebelumnya).

Pengantar Redaksi
Pengantar redaksi dapat diisi oleh tim pengelola jurnal (pemimpin redaksi, editor ahli, editor pelaksana, dan para anggota seksi), dewan penasehat jurnal; penanggung jawab jurnal, dan para mitra bestari jurnal ini dengan mencantumkan judul, nama penulis, dan afiliasi/posisi yang memuat sistematika dengan persentase jumlah halaman seperti berikut.
a. Komentar umum terkait penerbitan jurnal setiap edisi (5%).
b. alasan akademis penerbitan semua artikel sesuai ciri cultural studies (20%).
c. ulasan, masukan, komentar, atau kritik yang mendasar pada artikel artikel unggulan dan/ atau artikel ilmiah sesuai dengan ciri khas setiap edisi (65%).
d. usulan preventif dan/atau solutif untuk mengantisipasi suatu gejala keilmuan yang dikontribusikan pada ilmu linguistik-sastra (10%).
e. Pustaka acuan/reference cited.


Artikel Editorial
Artikel editorial adalah salah satu tipe artikel yang berisi “modal ilmiah” dengan kisi-kisi:
a. artikel untuk ilmu, ”science is for science”, “linguistics is for linguistics”, atau “art is for art” bervisi cultural studies (perjuangan etis, kemanusiaan, dan lintas keilmuan);
b. produk kreativitas, originalitas, dan validitas/reliabilitas tinggi sebuah penelitian yang mendukung pengembangan linguistik-sastra;
c. penciptaan paradigma, metode, model, postulat, atau kaidah baru;
d. ide-ide kreatif-inovatif, preskriptif, dan prospektif membaca atau mengantisipasi suatu gejala keilmuan dalam linguistik-sastra; dan
e. “modal ilmiah” yang diwujudkan dalam penciptaan eksemplar atau teori yang akan melandasi penelitian linguistik-sastra terapan di masa mendatang dalam kaitannya dengan pluralitas, ilmu sosial, kemanusiaan, humaniora, tata nilai, budaya, ideologi, dan seni.
f. Pustaka acuan/reference cited.

Artikel Penelitian
Artikel penelitian memuat judul, nama penulis (tanpa gelar), afiliasi, abstrak, kata kunci, dan isi. Isi artikel memiliki sistematika dengan persentase jumlah halaman berikut.
a. Pendahuluan (Introduction) memuat latar belakang (background), masalah (problems), tujuan (purposes), dan signifikansi penelitian (10%)
b. Kajian kepustakaan mencakup konsep kata kunci, teori, dan penelitian terdahulu yang relevan (10%)
c. Metodologi meliputi rancangan, korpus data, responden, lokasi untuk penelitian kualitatif atau model, populasi, sampel, dan statistik inferensial parametrik/non parametrik yang digunakan untuk penelitian kuantitatif (10%)
d. Hasil dan bahasan secara kritis (60%)
e. Simpulan dan rekomendasi (10%)
f. Pustaka acuan/reference cited
g. Lampiran/appendices (jika ada)
h. Biodata ringkas penulis/biographical sketch

Sistematika ini hanya pedoman umum yang dapat dikembangkan penulis secara setara.

Artikel Review
Artikel review memuat judul, penulis, afiliasi, abstrak, kata kunci, isi, dan biodata penulis. Isi artikel memiliki sistematika jumlah halaman seperti berikut.
a. Pendahuluan memuat latar belakang, masalah, tujuan, dan signifikansi penulisan (15%)
b. Kajian literatur yang relevan, pembahasan, dan pengembangan/penciptaan teori/konsep (70%)
c. Simpulan dan rekomendasi (15%)
d. Pustaka acuan
e. Lampiran (jika ada)
f. Biodata ringkas penulis

Sistematika ini hanya pedoman umum yang dapat dikembangkan penulis secara setara.

Artikel Resensi
Artikel resensi memuat judul artikel, peresensi, dan isi. Isi artikel memiliki sistematika dan persentase jumlah halaman seperti berikut.
a. Pendahuluan memuat identitas buku (penulis buku yang diresensi, judul, tahun terbit, nama penerbit, tempat penerbit, jumlah halaman isi dan jumlah halaman pengenalan buku yang diresensi), serta alasan keilmuan (academic explanantion) mengapa buku tersebut diresensi dan signifikansinya pada keilmuan. Judul asli buku dan tahun terbitnya juga ditulis jika yang diresensi buku terjemahan (10%).
b. Menginformasikan bagian-bagian penting sebuah buku yang diresensi (50%).
c. Membahas secara kritis dan mendalam temuan, kelebihan, dan kelemahan buku yang diresensi (10%)
d. Membandingkan teori, temuan, atau konsep yang ada dalam buku yang diresensi dengan teori, temuan, atau konsep dari sumber-sumber lain dengan bahasan sejenis (10%)
e. Transfigurasi dan argumentasi penulis resensi (20%)
f. Pustaka acuan
g. Lampiran (jika ada)
h. Biodata ringkas penulis

Sistematika ini hanya pedoman umum yang dapat dikembangkan penulis secara setara.

Aspek Teknis Pengetikan
a. Naskah diketik 1 spasi dengan font 11 Arial dalam Microsoft Word.
b. Naskah diketik di atas kertas ukuran kuarto (A4).
c. Jumlah halaman naskah adalah 10 sampai 30 halaman.
d. Judul artikel semuanya ditulis dengan huruf kapital
e. Subjudul hanya menggunakan huruf kapital pada awal setiap kata (kecuali kata depan dan konjungsi).
f. Margin terdiri atas (kiri 4 cm, atas 3 cm, kanan 3 cm, dan bawah 3 cm)
g. Gambar, grafik, foto, peta, dan sejenisnya dibuat dalam lembar terpisah atau dalam bentuk/ukuran yang siap untuk dicetak serta diberi nomor urut dan pembahasan.
h. Penulisan referensi dalam teks menggunakan sistem “nama-tahun”. Hanya nama belakang (tanpa gelar yang ditulis) seperti contoh berikut.

Salah satu fokus perjuangan cultural studies adalah membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tereliminasi (During, 2007).

i. Bila hal yang diacu sangat spesifik, sistem nama tahun dilengkapi dengan nomor halaman. Contoh:

Sejumlah nama seperti Richard Hoggart (1918), Raymond Williams (1921 — 1988), E.P Thompson (1924 — 1993) dan Stuart Hall (1932) disebut sebagai pelopor (founders) kemunculan cultural studies atas prakarsa mereka mendirikan Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Birmingham pada tahun 1964 (Sardar and Borin Van-Loon, 2005:24-25).

j. Kutipan langsung harus disertai tanda kutip, sistem nama tahun, dan nomor halaman seperti pada contoh berikut.

Exemplar means “formal a good or typical example” (Summers, et al. 2005:543).


Abstrak/ Abstract
a. Abstrak menguraikan secara ringkas isi dan signifikansi artikel
b. Memiliki rentangan 100 — 200 kata
c. Artikel berbahasa Inggris disertai abstrak berbahasa Indonesia dan artikel berbahasa Indonesia disertai abstrak berbahasa Inggris.

Kata Kunci/ Keywords
a. Cantumkan kata-kata yang menjadi inti permasalahan
b. Maksimal terdiri atas 8 (delapan) kata

Biografi Singkat/ Biographical sketch
a. Berikan afiliasi (jurusan, fakultas, universitas, atau sejenisnya) dan alamat, telepon, email, serta riwayat pendidikan dan pekerjaan.
b. Tonjolkan penelitian atau posisi yang relevan

Footnote/Endnote
a. Footnote/endnote tidak digunakan untuk mengacu pustaka
b. Footnote/endnote hanya digunakan untuk memberikan penjelasan tambahan.

Pustaka Acuan
a. Pustaka acuan disajikan secara alfabetis dan kronologis.
b. Penulisan pustaka pada buku yang diterbitkan dengan artikel atau bab dalam buku suntingan adalah sebagai berikut.

1. Buku: nama keluarga, koma, nama pertama, titik, tahun penerbitan, titik, judul buku (cetak miring), (jilid dan nomor terbit kalau ada), titik, kota penerbit, titik dua, dan nama penerbit, titik, seperti pada contoh berikut

Sardar, Z. and Borin Van-Loon. 2005. Introducing Cultural Studies.
USA: Totem Books and Icon Books Ltd.

2. Artikel dalam jurnal: nama keluarga penulis, koma, nama pertama, titik, tahun penerbitan, titik, judul artikel (tidak cetak miring), singkatan resmi nama jurnal (cetak miring), volume, nomor, dan halaman acuan, seperti contoh berikut.

Sawirman. 2006. Eksemplar 135 dalam Teks Politik Tan Malaka (Sebuah Paradigma Alternatif Cultural Studies). Jurnal Kajian Budaya, 3, 5, hal. 35-66.

3. Artikel dalam buku suntingan diberi tanda dalam atau in sebelum nama editornya, seperti pada contoh berikut.

During, Simon. Introduction. In During, Simon, (ed), 2007. The Cultural
Studies Reader. London and New York: Routledge.

c. Cara penulisan nama asing (family name) yang perlu diperhatikan
1. Nama Arab yang memuat el, ibn, bin seperti Sawirman bin Amiruddin, ditulis bin Amiruddin, Sawirman.
2. Nama Tionghoa seperti Be, Kim Hoa Nio, ditulis Be, Kim Hoa Nio
3. Nama Belanda seperti Teun A. van Dijk, ditulis van Dijk, T.A.
4. Nama Perancis J. du Bois, ditulis du Bois, J., bukan *Bois, J. du
5. Nama Jerman yang menggunakan von, zu, zun, zur, im, seperti Alexander von Munchen, ditulis Munchen, von A., bukan *Munchen A. Von.
6. Nama Portugis dan Brazil yang memuat do, da, dos, das, seperti A.G do Santos ditulis Santos, A.G, do
7. Nama Spanyol J. Perez Y Fernandes, ditulis Perez, YF.J

Pengiriman Naskah
a. Naskah dapat dikirim ke alamat redaksi dalam bentuk hard copy (print out) dan soft copy (cd). Naskah dapat pula dikirim melalui email linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id atau linguistikakultura@yahoo.com.
b. Pengirim naskah harus menyertakan alamat, nomor telepon, fax, dan email.
c. Naskah yang sudah dikirim ke redaksi tidak dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.

Ucapan Terima Kasih
Khusus naskah penelitian yang disponsori oleh pihak tertentu harus disertai pernyataan acknowledgement, isi, dan ucapan terima kasih kepada pihak sponsor.

Lampiran/ Appendices
a. Informasi yang dimuat pada lampiran bukan merupakan pengulangan data atau informasi yang sudah diterakan pada bab-bab lain
b. Informasi yang dimuat pada lampiran memuat konteks yang mendukung pembahasan utama.

Dewan Redaksi/ Tim Editor
a. Dewan redaksi/editor berhak mengoreksi dan mengedit naskah sepanjang tidak mengubah makna dan isinya.
b. Naskah yang dimuat tidak berarti sejalan dengan pendapat dewan redaksi.
c. Penulis akan diberikan 2 (dua) eksemplar jurnal tanda bukti pemuatan.

RESENSI BUKU ANNA WIERZBICKA OLEH SAWIRMAN (DOSEN UNIVERSITAS ANDALAS)

RESENSI BUKU

TEORI KOMUNIKASI BERBASIS CULTURAL STUDIES
ANNA WIERZBICKA


Sawirman
Universitas Andalas Padang


1. Anna Wierzbicka dan Pendekatan Makna Alamiah Metabahasa
Sepanjang pengamatan, beberapa tahun terakhir di tanah air, baru akan beredar nama Anna Wierzbicka (salah satu sosok yang dianggap mampu mengilmiahkan kajian semantik melalui pendekatan Natural Semantic Metalanguage, NSM). Artikel resensi pada edisi ini mengungkap pendekatan NSM dimaksud. Selain NSM, teori Morfologi Alamiah (MA) cetusan Willi Mayerthaler juga dapat dianggap sebagai objek formal baru dalam konteks Indonesia. Adalah beralasan mengapa nama Anna Wierzbicka dengan pendekatan Makna Alamiah Metabahasanya menjadi layak untuk diresensi.
Anna Wierzbicka adalah salah satu sosok yang dianggap mampu mengilmiahkan kajian semantik melalui pendekatan lintas budaya. Natural Semantic Metalanguage (NSM) yang sering dipadankan para linguis Indonesia menjadi “Makna Alamiah Metabahasa” adalah nama pendekatan yang lazim digunakannya. Tulisan ini lebih merekomendasikan nama “Makna Asali Metabahasa” (selanjutnya disingkat MAM) untuk mendapatkan padanan pendekatan NSM dimaksud. Beberapa buku yang ditulis Anna Wierzbicka untuk memperkenalkan pendekatan dimaksud, antara lain English Speech Act Verbs terbitan Academic Press Canberra tahun 1987, Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Human Interaction terbitan Mouton de Gruyter Berlin tahun 1991, Semantics, Culture and Cognition: Universal Human Concepts in Culture Specific Configurations terbitan terbitan Oxford University Press tahun 1992, Semantic Primitives across Languages: A Critical Review yang dimuat dalam buku Goddard terbitan Australian National University tahun 1994, dan Cross Cultural Communication terbitan Australian National University Australia 1996. Di tahun 1996, Anna Wierzbicka menerbitkan pula buku Semantics: Primes and Universals terbitan Oxford University Press New York yang diresensi pada tulisan ini.

2. Prinsip-prinsip “Makna Asali Metabahasa” Perspektif-perspektif yang digunakan Wierzbicka dalam upaya menemukan makna asali sebuah kata, frase, kalimat, atau tanda bahasa lainnya adalah sebagai berikut....

e-135 Sawirman: Embrio "Mazhab Linguistik" Universitas Andalas (ARTIKEL EDITORIAL)

ARTIKEL EDITORIAL

“Eksemplar 135”
Embrio “Mazhab Linguistik Unand” Berdimensi Cultural Studies


Sawirman
Editor Ahli

Pendahuluan
Nama cultural studies yang dipraktiskan melalui “Eksemplar 135” diusulkan dalam artikel editorial ini sebagai embrio ciri khas mazhab linguistik Unand yang sampai saat ini masih belum dicanangkan. Selain itu, artikel ini juga dimaksudkan untuk menindaklanjuti artikel Pengantar Redaksi jurnal ini (Vol. 1 Nomor 1, Juli 2007) berjudul Wujudkan Mazhab Linguistik-Sastra di Indonesia dan artikel Cultural Studies Dimensi Pengembangan Linguistik Masa Depan (Sawirman, 2007a; b). Berikut kerangka konseptual “Eksemplar-135” secara sekilas yang dideklarasikan dengan segala keterbatasannya.

Gambar 1 Kerangka Konseptual e-135 ....

......

Penutup
Berkaca pada sejumlah statemen di atas, mengapakah belum ada inisiatif dari pihak-pihak terkait untuk mencanangkan sebuah nama yang dapat mengakomodasi aneka istilah yang beragam untuk dijadikan sebagai “gelar” mazhab linguistik Universitas Andalas? Dengan memilih “satu terminologi” pencanangan ciri khas dan mazhab linguistik Unand dapat dijual ke tingkat daerah, nasional, dan regional. Sampai tulisan ini dikeluarkan, pengujian, diseminasi, dan sosialisasi (aspek-aspek terkait) e-135 dengan dimensi cultural studies-nya sudah dilakukan dalam berbagai forum, makalah, jurnal ilmiah, dan draf buku. Informasi seputar “eksemplar 135” secara mendalam akan diutarakan pada edisi-edisi mendatang.

Untuk mendapatkan artikel lengkap, silakan kontak ke email (1) linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id, (2) linguistikakultura@yahoo.com atau (3) sawirman@fsastra.unand.ac.id (cc sawirman03@yahoo.com)

Cultural Studies: Ciri Khas Jurnal Linguistika Kultura Universitas Andalas

PENGANTAR REDAKSI

Wujudkan “Mazhab Linguistik/Sastra” di Indonesia
Oleh
Sawirman (Pimpinan Redaksi)


Setiap mazhab/zaman memiliki paradigma dan semangat tersendiri. Filsafat Yunani menjadikan kosmos sebagai titik sentral (kosmosentris). Teosentris seperti antara lain diberdayakan Weber merupakan ciri khas filsuf abad pertengahan. Logosentris dan antroposentris seperti antara lain termaktub dalam logos Rene Descartes cogito ergo sum ‘saya berpikir, maka saya ada’ selain mewarnai fokus filsuf abad pencerahan, juga ciri khas strukturalisme dan modernitas. Kehadiran Stephen Hawking (penemu black holes) dan Capra dengan Jaring-jaring Kehidupan-nya menempatkan biosentris sebagai tolok ukur. Mahzab Stoic menempatkan filsafat kesenian sebagai titik sentral. Mazhab Praha yang dirintis Jakobson dan Trubetskoy pada tahun 1926, antara lain dikenal dengan paradigma ketidaksadaran berbahasa. Mazhab Coopenhagen pada tahun 1930 dikenal dengan telaah afasianya (linguistik dengan kedokteran). Kelompok Wina (Swiss) terkenal dengan positivisme logisnya. Mazhab Frankfurt (Walter Benyamin, Adorno, Herbert Marcuse, Habermas) dikenal pencetus mazhab kritis, selain memperkenalkan paradigma reflektif, interpretatif, dan kompetensi komunikatif sebagai spesialisasi. Mazhab Kyoto di Jepang terkenal dengan filsafat agamanya. Posmodernisme menempatkan kultur lokal dan kaum pinggiran, selain mempertanyakan posisi linearitas dan Grand Narrative keilmuan sebagai titik fokus.Demikian pula halnya setiap tokoh, ahli, dan politisi memiliki spesialisasi “mazhab” yang terefleksi dari fokus perjuangan dan kata-kata kuncinya yang terkenal. Hegel dikenal dengan filsafat sejarah/ Roh absolut dan Heidegger dengan.........
Cultural studies yang ditawarkan dalam jurnal ini diperkirakan mampu menjawab tantangan pesatnya perkembangan ilmu linguistik, kajian linguistik, dan pemanfaatan kompetensi linguistik oleh ilmu lain. Cultural studies diperkirakan pula akan memunculkan sintesis-sintesis baru (neologisme) dalam proses pemaknaan linguistik yang konsekuensinya mampu membawa telaah linguistik “menyatu” dengan ilmu lain. Seperti harapan Popper, batas suatu ilmu dengan ilmu lain, seperti lautan dengan dasarnya. Dimensi cultural studies yang ditawarkan diharapkan dapat mengembangkan kajian linguistik menjadi medan terbuka (memakai ilmu lain untuk menjelaskan dirinya atau meminjam “tenaga lawan” dalam filosofi silat Minang). Linguistik dapat berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Linguistik dapat membaca dunia seperti harapan para posmodernis dan postrukturalis. Cultural studies yang akan ditawarkan juga bersesuaian dengan pandangan Bakhtin, Barthes, Kristeva, dan Fairclough (beberapa tokoh semiotika ekspansionis, postrukturalis, dan teori kritis) yang menginginkan telaah objek secara dimensional. Barthes juga memproklamirkan degree writing zero yang menghendaki kajian interteks yang pada prinsipnya adalah cultural studies. Barthes ingin keluar dari spesialisasi yang mereduksi persoalan seperti halnya harapan Wallerstein dalam buku Ilmu Sosial Lintas Batas. Cultural studies dapat menjadikan sebuah kajian linguistik menjadi mosaik bermakna. Dengan cara demikian, linguistik dapat ditelaah secara heuristik, holistik, anti-reduksi, dan anti-distorsi. Paradigma ini bila dihubungkan dengan konsep rantai tanda abadi Peirce juga bersesuaian. Penerapan cultural studies antara lain diharapkan pula dapat mengkritisi keterbatasan epistemologi positivisme di ranah linguistik. Linguistik harus menjadi sebuah medan terbuka. Sinyalemen tersebut senada dengan Rorty tentang pentingnya bahasa mengungkap persoalan pengetahuan dan kemanusiaan masa depan (preskriptif dan prospektif). Cultural studies yang ditawarkan dapat mengeluarkan jebakan nomotetik yang membuat linguistik tersubordinasi dan didominasi oleh sistem dan konvensi fondasionalis.
Cultural studies memang salah satu isu mendunia saat ini, akan tetapi masih langka dijadikan sebagai orientasi keilmuan. Permasalahannya sekarang bagaimanakah gagasan-gagasan revolusioner ini dapat diwujudkan dalam pengembangan kajian linguistik/sastra di tanah air? ....

Untuk mendapatkan artikel lengkap, silakan kontak ke email (1) linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id, (2) linguistikakultura@yahoo.com atau (3) sawirman@fsastra.unand.ac.id (cc sawirman03@yahoo.com)

LINGUISTIKA KULTURA VOL 1 NO 1 , VOL 1 NO 2 Universitas Andalas (Sawirman Pimpinan Redaksi)-Acuan Penulisan

SUDAH TERBIT
JURNAL LINGUISTIKA KULTURA
VOL 1 NO 1 Juli 2007, VOL 1 NO 2 Nov 2007
(Jurnal bisa didapatkan di Jurusan Sastra Inggris atau Pustaka Khaidir Anwar)

AKAN TERBIT!
Vol 1 No 3 Maret 2008 (Deadline Artikel, 29 Februari 2008)

PANDUAN PENULISAN
Ciri Khas Jurnal
Jurnal ini berdimensi Cultural Studies. Dengan demikian, kajian linguistik-sastra yang dimuat dalam jurnal ini memiliki salah satu ciri “perjuangan Cultural Studies” berikut.
a. Memperjuangkan pihak-pihak terhegemoni, terdominasi, dan termarjinalisasi (seperti budaya pop, the others, sastra non-canon, kultur indigeneous people, dan sejenisnya).
b. Mengkaji ranah-ranah linguistik-sastra yang tereliminasi / terlupakan (insurrection of the subjugated knowledges) saat ini, seperti kajian bahasa-bahasa yang terancam punah (seriously endangered languages), masalah hak-hak berbahasa ibu (linguistic human rights), perjuangan kemanusiaan, atau kajian linguistik-sastra masyarakat terasing/tertindas lainnya.
c. Memiliki spirit trandisipliner berbasis perkembangan linguistik-sastra terkini (seperti biolinguistics, ecolinguistics, computational linguistics, atau sejenisnya).
d. Mengkaji linguistik-sastra melalui perspektif posmodernis, postrukturalis, atau hiperrealis.

Ciri Khas Naskah
Naskah belum pernah dimuat/diterbitkan oleh jurnal lain dan tidak sedang dikirim ke jurnal lain. Isi naskah sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Naskah yang dimuat dapat berupa tipe-tipe artikel berikut.
Artikel hasil penelitian
Artikel review (teori, konsep, atau metodologi)
Artikel resensi
Korespondensi (tanggapan terhadap tulisan sebelumnya).

Artikel Hasil Penelitian
Artikel hasil penelitian memuat judul, nama penulis (tanpa gelar), afiliasi, abstrak, kata kunci, dan isi. Isi memiliki sistematika/ persentase jumlah halaman seperti berikut.
a. Pendahuluan (Introduction) memuat latar belakang (background), masalah (problems), tujuan (purpose), dan signifikansi penelitian (10%)
b. Kajian kepustakaan mencakup konsep kata kunci, teori, dan penelitian terdahulu yang relevan (10%)
c. Metodologi meliputi rancangan, korpus data, responden, lokasi untuk penelitian kualitatif atau model, populasi, sampel, dan statistik inferensial parametrik atau non parametrik yang digunakan untuk penelitian kuantitatif (10%)
d. Hasil dan bahasan secara kritis (60%)
e. Simpulan dan rekomendasi (10%)
f. Pustaka acuan/reference cited
g. Lampiran/appendices (jika ada)
h. Biodata ringkas penulis/biographical sketch

Sistematika hanya pedoman umum yang dapat dikembangkan penulis secara setara

Artikel Review
Artikel review memuat judul, penulis, afiliasi, abstrak, kata kunci, isi, dan biodata ringkas penulis. Isi memiliki sistematika/persentase jumlah halaman seperti berikut.
a. Pendahuluan memuat latar belakang, masalah, tujuan, dan signifikansi penulisan (15%)
b. Kajian literatur yang relevan, pembahasan, dan pengembangan/penciptaan teori/konsep (70%)
c. Simpulan dan rekomendasi (15%)
d. Pustaka acuan
e. Lampiran (jika ada)
f. Biodata ringkas penulis
Sistematika hanya pedoman umum yang dapat dikembangkan penulis secara setara.

Artikel Resensi
Artikel resensi memuat judul artikel, peresensi, dan isi. Isi artikel memiliki sistematika dan persentase jumlah halaman seperti berikut.
a. Pendahuluan memuat identitas buku (penulis buku yang diresensi, judul, tahun terbit, nama penerbit, tempat penerbit, jumlah halaman isi dan jumlah halaman pengenalan buku yang diresensi), serta alasan keilmuan (academic explanantion) mengapa buku tersebut diresensi dan signifikansinya pada keilmuan. Judul asli buku dan tahun terbitnya juga ditulis jika yang diresensi buku terjemahan (10%).
b. Menginformasikan bagian-bagian penting dari sebuah buku yang diresensi (50%)
c. Membahas secara kritis dan mendalam temuan, kelebihan, dan kelemahan buku yang diresensi (10%)
d. Membandingkan teori, temuan, atau konsep yang ada dalam buku yang diresensi dengan teori, temuan, atau konsep dari sumber-sumber lain dengan bahasan sejenis (10%)
e. Transfigurasi dan argumentasi penulis resensi (20%)
f. Pustaka acuan
g. Lampiran (jika ada)
h. Biodata ringkas penulis

Sistematika hanya pedoman umum yang dapat dikembangkan penulis secara setara.

Aspek Teknis Pengetikan
a. Naskah diketik 1 spasi dengan font 11 Arial dalam Microsoft Word.
b. Naskah diketik di atas kertas ukuran kuarto (A4).
c. Jumlah halaman naskah adalah 10 sampai 30 halaman.
d. Judul artikel semuanya ditulis dengan huruf kapital
e. Subjudul hanya menggunakan huruf kapital pada awal setiap kata (kecuali kata depan dan konjungsi).
f. Margin terdiri atas (kiri 4 cm, atas 3 cm, kanan 3 cm, dan bawah 3 cm)
g. Gambar, grafik, foto, peta, dan sejenisnya dibuat dalam lembar terpisah atau dalam bentuk/ukuran yang siap untuk dicetak serta diberi nomor urut dan pembahasan.
h. Penulisan referensi dalam teks menggunakan sistem “nama-tahun”. Hanya nama belakang (tanpa gelar yang ditulis). Khusus kutipan langsung (hal yang diacu sangat spesifik), sistem nama tahun dilengkapi dengan nomor halaman. Contoh: Salah satu fokus perjuangan cultural studies adalah membangkitkan pengetahuan-pengetahuan yang tereliminasi (During, 2007; Storey, 2003).

i. Sejumlah nama Inggris seperti Richard Hoggart (1918), Raymond Williams (1921 — 1988), E.P Thompson (1924 — 1993) dan Stuart Hall (1932) disebut sebagai pelopor (founders) kemunculan cultural studies atas prakarsa mereka mendirikan Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Birmingham pada tahun 1964 (Sardar and Borin Van-Loon, 2005:24-25).

Abstrak/ Abstract
a. Abstrak menguraikan secara ringkas isi dan signifikansi artikel
b. Memiliki rentangan 100 — 200 kata
c. Artikel berbahasa Inggris disertai abstrak berbahasa Indonesia dan artikel berbahasa Indonesia disertai abstrak berbahasa Inggris.

Kata Kunci/ Keywords
a. Cantumkan kata-kata yang menjadi inti permasalahan
b. Maksimal terdiri atas 8 (delapan) kata

Biografi Singkat/ Biographical sketch
a. Berikan afiliasi (jurusan, fakultas, universitas, atau sejenisnya) dan alamat, telepon, email, serta riwayat pendidikan dan pekerjaan.
b. Tonjolkan penelitian atau posisi yang relevan

Endnote
a. Jurnal ini hanya menggunakan endnote (bukan footnote)
b. Endnote tidak digunakan untuk mengacu pustaka
c. Endnote hanya digunakan untuk memberikan penjelasan tambahan.

Pustaka Acuan
a. Pustaka acuan disajikan secara alfabetis dan kronologis.
b. Penulisan pustaka pada buku yang diterbitkan dengan artikel atau bab dalam buku suntingan adalah sebagai berikut.

1. Buku: nama keluarga, koma, nama pertama, titik, tahun penerbitan, titik, judul buku (cetak miring), (jilid dan nomor terbit kalau ada), titik, kota penerbit, titik dua, dan nama penerbit, titik, seperti pada contoh berikut
Sardar, Z. and Borin Van-Loon. 2005. Introducing Cultural Studies. USA : Totem Books and Icon Books Ltd.

2. Artikel dalam jurnal: nama keluarga penulis, koma, nama pertama, titik, tahun penerbitan, titik, judul artikel (tidak cetak miring), singkatan resmi nama jurnal (cetak miring), volume, nomor, dan halaman yang diacu, seperti pada contoh berikut.

Sawirman. 2006. Eksemplar 135 dalam teks politik Tan Malaka (sebuah paradigma alternatif cultural studies). Jurnal Kajian Budaya, Volume 3, Nomor 5, hal.35-66.

3. Artikel dalam buku suntingan diberi tanda dalam atau in sebelum nama editornya, seperti pada contoh berikut.

During, Simon. Introduction. In During, Simon, (ed), 2007. The Cultural Studies Reader. London and New York: Routledge.

c. Cara penulisan nama asing (family name) yang perlu diperhatikan
1. Nama Arab yang memuat el, ibn, bin seperti Sawirman Ibn Amiruddin, ditulis Ibn Amiruddin, S.
2. Nama Tionghoa seperti Be, Kim Hoa Nio, ditulis Be, Kim Hoa Nio
3. Nama Belanda seperti Teun A. Van Dijk, ditulis van Dijk, T.A, bukan *Dick, Teun A. Van.
4. Nama Perancis J. du Bois, ditulis du Bois, J., bukan *Bois, J. du
5. Nama Jerman yang menggunakan von, zu, zun, zur, im, seperti Alexander von Munchen, ditulis Munchen, von A., bukan *Munchen A. Von.
6. Nama Portugis dan Brazil yang memuat do, da, dos, das, seperti A.G do Santos ditulis Santos, A.G, do
7. Nama Spanyol J. Perez Y Fernandes, ditulis Perez YF.J

Pengiriman Naskah
a. Naskah dapat dikirim ke alamat redaksi dalam bentuk hard copy (print out) dan soft copy (cd). Naskah dapat pula dikirim melalui email linguistika_kultura@yahoo.com atau sawirman03@yahoo.com.
b. Pengirim naskah harus menyertakan alamat, nomor telepon, fax, dan email
c. Naskah yang sudah dikirim ke redaksi tidak dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.

Hak Penulis
Penulis akan diberikan 2 eksemplar jurnal sebagai tanda bukti pemuatan.

Ucapan Terima Kasih / Acknowledgement
Khusus naskah penelitian yang disponsori oleh pihak tertentu harus disertai pernyataan acknowledgement) isi dan ucapan terima kasih kepada pihak sponsor.
Lampiran/ Appendices
a. Informasi yang dimuat pada lampiran bukan merupakan pengulangan data atau informasi yang sudah diterakan pada bab-bab lain
b. Informasi yang dimuat pada lampiran memuat konteks yang mendukung pembahasan utama.

Redaksi
a. Dewan redaksi berhak mengoreksi dan mengedit naskah sepanjang tidak mengubah makna dan isinya.
b. Naskah yang dimuat tidak berarti sejalan dengan pendapat dewan redaksi.
c. Penulis akan diberikan 2 eksemplar jurnal tanda bukti pemuatan.

Untuk mendapatkan artikel lengkap, silakan kontak ke email (1) linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id, (2) linguistikakultura@yahoo.com atau (3) sawirman@fsastra.unand.ac.id (cc sawirman03@yahoo.com)

Tertanda
Pimpinan Redaksi

Dr. Sawirman

RESENSI BUKU ROCHELLE LIEBER OLEH SAWIRMAN DOSEN UNIVERSITAS ANDALAS

RESENSI BUKU


TEORI X-BAR PADA TATARAN KATA
(SEBUAH RESENSI BUKU LIEBER)


Sawirman
Universitas Andalas Padang


1. Teori X-bar dan Sejarahnya

Teori X-bar selain tercakup dalam teori Penguasaan dan Pengikatan (Government and Binding Theory, GB), juga terdapat atau dikenal dalam teori Lexical Functional Grammar. Makanya perlu dijelaskan dalam bagian Konsep Dasar teori X-bar mana yang dimaksudkan. Teori X-bar yang terdapat pada Lieber misalnya, adalah teori X-bar yang tercakup dalam teori Penguasaan dan Pengikatan (Government and Binding Theory, GB) yang pertama kali dicetuskan oleh Chomsky.
Chomsky (1981) menjelaskan bahwa struktur internal tata bahasa itu merupakan interaksi antarsubsistem dalam GB. Teori X-bar yang merupakan teori sentral dari teori-teori GB lainnya seperti teori Theta, teori Kasus, teori Kontrol, teori Pengikatan, teori Penguasaan, dan teori Bounding (Chomsky, 1981:5) merupakan bagian dari teori Tata Bahasa Transformasi Generatif. Masing-masing teori GB tersebut saling berkaitan satu sama lain. Hal itu disebabkan oleh prinsip dasar GB itu sendiri yaitu adanya unsur yang mendominasi (governor) dan yang didominasi (governee) serta adanya unsur yang mengikat dan yang diikat. Teori X-bar pada mulanya digunakan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi oleh kaidah struktur sintaksis (Phrase Structure Syntax, PSS) dan kaidah struktur frase (Phrase Structure Rule, PSR) dalam dua hal. Pertama, PSS dan PSR hanya dapat diterapkan pada jenis proyeksi tertentu. Kedua, PSS dan PSR terkesan terlalu luas sehingga perlu adanya pembatasan. Hanya dua proyeksi yang dikenal dalam PSS. Pertama, proyeksi leksikal yang terdiri atas N, V, P, A, Adv, Q, Aux, Det, S, dan sebagainya. Kedua, proyeksi frase yang terdiri atas FN, FV, FP, ADVP, QP, S dan sebagainya. Pada proyeksi tersebut, tidak terdapat proyeksi antara (intermediate category) yang membahas proyeksi lebih besar dari kata tetapi lebih kecil dari frase. Dalam sistem itu setiap konsistituen nomina haruslah N atau FN. Padahal kenyataannya pada konstruksi sintaksis dan frase terdapat proyeksi antara (Radford, 1981:92--93; 1988:169--187; Lieber, 1992; Sells, 1985; lihat juga Crystal, 1992:383 dan Haegeman 1992: 88--89). Kasus proyeksi antara dalam struktur frase dapat digambarkan sebagai berikut : ....
Untuk mendapatkan artikel lengkap, silakan kontak ke email linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id atau sawirman@fsastra.unand.ac.id (cc sawirman03@yahoo.com)

Cultural Studies: Ciri Khas Jurnal Linguistika Kultura Universitas Andalas

CULTURAL STUDIES:
DIMENSI PENGEMBANGAN LINGUISTIK MASA DEPAN


Sawirman
Universitas Andalas Padang



ABSTRACT

This writing aims to apply cultural studies as one of the dimension in developing linguistic studies in the future. Cultural studies has several genealogies. Cultural studies is committed to reconcile the division of knowledge and a moral evaluation. It attempts to overcome the split between intuitive knowledge based on local cultures and universal forms of knowledge. Its contant goal is not only to expose marginalized object, society, and popular culture, but also to expose both psychological and intellectual enterprise.
On those reasons, cultural studies spirit can be promoted as ones of dimensions to struggle and survive marginalized society and understandand change the structure of modern society, as well as dominance of power and capitalist societies. Other critical social sciences involvement is needed to criticize and analyze types of linguistic systems and phenonema. It assumes a common interest between the observer and what is being observed or between the knower and the known. In short, cultural studies is not simply study of culture as though culture is one of the dominant aspects within cultural studies.

Key words: Cultural Studies, Linguistics, Hegemony, Marginalized Object, Multi-Dimentional Approach, Revolution of Science, Ethical Struggle, Popular Culture



1. Pendahuluan

Artikel perdana jurnal ini berjudul selain untuk memberi penjelasan akademis (academic explanation) tentang cultural studies, juga memberikan jawaban mengapa cultural studies perlu dimunculkan khususnya dalam peta kebahasaan di tanah air (sekaligus menjadi spesialisasi jurnal ini). Paradigma cultural studies mulai mencuat di tahun 1950-an atas serbuan budaya pop dari seberang Atlantik ke Benua Eropa (During, 1995; Storey, 1997). “Panik budaya” tersebut (Budiman, 2001:1) memunculkan keprihatinan berbagai pihak. Selain, pemikir seperti Matthew Arnold, F.R Leavis, dan T.S Eliot yang menginginkan agar ada elit-elit intelektual yang melestarikan nilai-nilai budaya adiluhung menandai melambangkan keemasan suatu masa, juga ada sejumlah tokoh seperti Louis Althusser, Theodor Adorno, dan Walter Benjamin yang juga mengkhawatirkan pengaruh budaya massa (budaya pop) pada daya intelektual dan kreatif masyarakat. Pikiran Althusser dengan sejumlah teman-teman Frankfurt-nya menurut Manneke Budiman menjadi lebih dikenal atas adanya statement bahwa kebudayaan dapat dijadikan sebagai instrumen ideologi kekuasaan dominan untuk meninabobokan rakyat. Kekuasan dominan menurut Althusser diwakili oleh negara yang menggunakan berbagai institusi, adat kebiasaan, dan media massa sebagai aparatus ideologisnya. Nama-nama seperti Bruno Latour dan Steve Woolgar dalam tulisan Laboratory Life dengan subjudul Social Construction of Scientific Facts (ditulis tahun 1979) dianggap berjasa mengembangkan cultural studies ke tataran science untuk memperjuangkan masyarakat terhegemoni (Sardar and Borin Van-Loon, 2005:96).
Tidak terkecuali nama-nama luar negeri seperti E.P. Thompson, Stuart Hall, Paddy Whannel, ...
Untuk mendapatkan artikel lengkap, silakan kontak ke email linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id atau sawirman@fsastra.unand.ac.id (cc sawirman03@yahoo.com)

e-135 Sawirman dan Wacana Dakwah (PENGANTAR REDAKSI Vol 2. No. 1 Juli, Linguistika Kultura) Universitas Andalas

PENGANTAR REDAKSI


Wacana Dakwah “Posteror”
dalam Ranah Cultural Studies dan e-135[1]

Oleh
Sawirman
(Editor Ahli/Pimpinan Redaksi)

1. Pendahuluan
Ranah-ranah yang terpinggirkan memang menjadi ciri khas artikel-artikel yang dimuat dalam jurnal ini. Perjuangan kaum cultural studies ini sudah diwujudkan pada edisi-edisi sebelumnya seputar wacana perbudakan, aksara Minang, tipologi bahasa, dan makna alamiah.
Edisi ini menjadikan wacana dakwah (Islam) “posteror” sebagai ciri khas. Peran wacana dakwah pasca aksi-aksi teror semakin menempati posisi penting. Hal itu dapat dimaklumi kerena sejak munculnya para “teroris milenium” (istilah John Kendal, pengamat teroris AS) untuk menyebut para teroris yang mau mengorbankan nyawanya demi memperjuangkan ideologi yang diyakininya benar (seperti WTC dan Bom Bali), “rudal teroris” diarahkan ke Islam.
Terlepas dari adanya unsur rekayasa atau bukan, ...
Untuk mendapatkan artikel lengkap, silakan kontak ke email linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id atau sawirman@fsastra.unand.ac.id (cc sawirman03@yahoo.com)

[1] Artikel ini adalah pengembangan dari laporan Hibah Bersaing berjudul Simbol Lingual, Simbol Material, dan Wacana Fotografis ... yang dibiayai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2007.

e-135 Sawirman dan Halliday (PENGANTAR REDAKSI Vol. 2 No. 2 Linguistika Kultura) Universitas Andalas

Memposisikan Halliday dalam Frame Cultural Studies dan E-135
PENGANTAR REDAKSI
Oleh
Sawirman
(Pimpinan Redaksi)



1. Pendahuluan
Edisi ini diawali dengan artikel Edi Setia berjudul Fungsi dan Dimensi Bahasa. Berangkat dari teori Leksikal Fungsional Sistemik (LFS) yang beberapa ahli juga menyingkat/ menyebut teori Halliday ini dengan teori Sistemik atau teori Tata Bahasa Fungsional (Lexical Functional Grammar), Edi Setia secara implisit berupaya mempertalikan dan memetakan fungsi bahasa pada posisi idealnya melalui lima dimensi, yakni (1) struktur sebagai simbol urutan sintagmatik atau urutan klausa-grup atau frasa-kata-morfem yang berkenaan dengan aspek komposisi bahasa; (2) sistem sebagai simbol urutan paradigmatik yang berkaitan dengan konstituensi atau jaringan sistem (tata bahasa sebuah bahasa) yang dibutuhkan dalam memproduksi teks; (3) stratifikasi yang dikaitkan dengan penggabungan dua strata yang berbeda antara strata semantik (makna) dan strata tata bahasa (bentuk); (4) ”penyontohan” sebagai simbol yang digunakan untuk merujuk pada konsep pemberian contoh penjabaran dalam strata sama atau bahasa yang dijabarkan dalam bentuk teks; dan (5) metafungsi (ideasional, interpersonal, dan tekstual) sebagai simbol fungsi dasar bahasa alami (natural language) atau tataran makna dalam suatu bahasa.
Terimplisit, Edi Setia berupaya mengangkat citra teori Halliday agar lebih membumi dalam ranah teks, wacana, dan bahasa. Mengacu pada lima dimensi bahasa analisis Edi Setia mengindikasikan bahwa Halliday tampaknya memang tidak mau dikungkung dalam satu ranah untuk memaknai semesta tanda/teks. Tidak hanya paduan struktur (sintagmatik) dan sistem (paradigmatik) yang diharapkannya dalam analisis bahasa, tetapi juga dimensi strafikasi (strata semantik dan strata tata bahasa) serta metafungsi (ideasional, interpersonal, dan tekstual). Sebuah spirit bernafaskan lintas keilmuan (cultural studies).
Tidak tanggung-tanggung, 22 tulisan (buku/artikel) Halliday, yakni The tones of English (1963, Archivum Linguisticum 15.1:1-28), Intonation in English grammar (1963, Transactions of the Philological Society 143-169), the Concept of Rank: a reply (1966, Journal of Linguistics 2, 1, 110-118), Intonation and Grammar in British English (1967, Mouton The Hague), Exploration in the Functions of Language (1973, Edward Arnold London), Language and Social Man (1974, Schools Council & Longman London), Learning How to Mean: Explorations in the development of language. (1975, Edward Arnold Publishers London), Cohesion in English (1976, bersama Ruqaiya Hasan, Longman London). Language as Social Semiotic: The social interpretation of language and meaning (1979, Edward Arnold Publishers London), An Introduction to Functional Grammar, edisi ke-1 (1985, Edward Arnold London), Spoken and Written Language (1986, Deakin University Press Victoria), The Notion of ‘context’ in language education (1992, in Le, T., McCausland, M. Eds., Interaction and development: proceedings of the international conference, Vietnam. 30 Maret – 1 April 1992, Language Education University of Tasmania), Writing Science: Literacy and Discursive Power (1993, the Falmer Press London), An Introduction to Functional Grammar, edisi ke-2 (1994, Arnold London), Construing Experience through Meaning: a language-based approach to cognition (1999, bersama Matthiessen, C. M.I.M., Cassell London), Linguistic Studies of Text and Discourse (2002, Continuum London), On Language and Linguistics (2003, Continuum London, The Language of Early Childhood (2004, Continuum London), An Introduction to Functional Grammar, edisi ke-3 (2004, bersama Matthiessen, C. M.I.M. Arnold London), On Grammar (2005, Continuum London), The Language of Science. (2006, Continuum London), dan Computational and Quantitative Studies (2006, Continuum London) dijadikan Edi Setia sebagai sumber untuk melahirkan artikelnya.
Banyaknya pengarang yang hanya berkiblat pada frekuensi, kuantitas, dan produktivitas, sehingga mengabaikan nuansa kualitas sebuah karya seperti yang dicemaskan Ignas Kleden tampaknya tidak terlihat pada karya-karya yang dilahirkan Halliday. Tulisan ini lebih difokuskan untuk membaca Halliday sebagai sosok semiotik sosial dan cultural studies. Salah satu buku yang ditulis Halliday ke arah demikian diberi judul Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning terbitan Edward Arnold London tahun 1978. Dalam artikel Edi Setia pada jurnal ini, buku dimaksud belum dijadikan sebagai referensi. Dengan demikian, kehadiran tulisan ini juga dimaksudkan untuk mengisi kekosongan dimaksud.

2. Halliday sebagai sosok semiotik sosial dan cultural studies
Tentu tidak asing lagi bagi pembaca bahwa terma semiotik bermula dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda (sign). Selain semiotik, terma semiologi atau semiologie (semiology) juga mengemuka. Para ahli umumnya tidak lagi mempermasalahkan penggunaan istilah semiotik (berasal dari Peirce) dan semiologi (berasal dari Saussure yang diikuti Barthes). Dalam konteks Indonesia, terma semiotik (semiotics) tampaknya lebih lazim dipakai daripada semiologi (Sunardi, 2002:345). Istilah semiotik juga digunakan Halliday dalam sejumlah bukunya.Teori Halliday disebut Matthews (1997:156) Neo-Firthian. Sekalipun Halliday tidak mengatakan hal itu dalam buku-bukunya, klaim Matthews tersebut masuk akal karena Firth adalah mantan guru Halliday. Konsep konteks situasi yang mewarnai hampir semua karya Halliday antara lain, sebenarnya bermula dari konsep Malinowski yang dikembangkan oleh Firth. Menurut Halliday (1978), setiap bahasa yang muncul sebagai sebuah teks (teks adalah sebutan yang sering digunakan Halliday sebagai pengganti istilah tanda dalam kajian semiotik) harus diinterpretasi dalam konteks ruang dan waktu. Analisis bahasa yang memperhatikan konteks ruang dan waktu itulah yang disintesiskannya dengan terminologi konteks situasi (context of situation) dan konteks budaya (context of culture). Fungsi konteks situasi dan konteks budaya menurut Halliday selain dapat mengungkap representasi pengalaman, hubungan peran (role relationships), juga dapat berperan sebagai alat simbol (symbolic channels) dalam pengungkapan makna teks. Teori konteks situasi dan konteks budaya Halliday diilustrasikan oleh Suzanne Eggins (1994:34) seperti pada diagram halaman berikut. .............
Untuk mendapatkan artikel lengkap, silakan kontak ke email linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id atau sawirman@fsastra.unand.ac.id (cc sawirman03@yahoo.com)

Tipologi Bahasa dan Wacana Perbudakan dalam Eksemplar 135 dan Cultural Studies

Oleh
Sawirman
Editor Ahli/Pimpinan Redaksi
PENGANTAR REDAKSI

1. Pendahuluan
Rasanya perlu diberitahukan kepada pembaca bahwa berdasarkan hasil rapat tim pengelola, dengan alasan agar lebih menonjolkan nuansa akademis, beberapa perubahan nama dilakukan terhitung sejak penerbitan jurnal Volume 1 Nomor 3 Maret 2008 ini. Nama Ketua Dewan Editor diganti menjadi Editor Ahli dan nama Dewan Penasehat diganti menjadi Mitra Bestari. Selain mencantumkan kisi-kisi artikel Pengantar Redaksi, terhitung mulai edisi ini pula, terma artikel editorial sebagai ruang untuk menampung artikel yang berisikan “modal ilmiah” atau “artikel untuk ilmu” dihadirkan pula.

1.1 Kisi-kisi Pengantar Redaksi
Ruang pengantar redaksi lebih dari sekadar memberikan pengantar pada sejumlah artikel yang dimuat. Kehadiran pengantar redaksi memiliki beberapa tujuan berikut.
Pertama, pengantar redaksi dimaksudkan untuk mengupas secara kritis dengan penyertaan alasan akademis yang memadai seputar penerbitan artikel. Pembaca tentu memaklumi bahwa kehadiran sebuah jurnal bukan hanya sekadar kumpulan (kompilasi) sejumlah artikel yang tanpa arah. Academic explanations seputar penerbitan artikel sesuai dengan ciri khas jurnal yang dicantumkan perlu diutarakan. Hal itu dimaksudkan agar pembaca mengetahui mengapa sejumlah artikel perlu dimuat dalam sebuah jurnal sesuai dengan visi dan ciri khasnya.
Kedua, terma ini diperlukan untuk memperjelas, mempertegas, atau memberikan tambahan informasi seputar poin-poin penting, kata-kata kunci, atau proposisi-proposi kunci artikel-artikel yang dimuat setiap edisi dengan harapan agar pesan-pesan penulis dapat lebih dimengerti oleh pembaca. Pembaca tentu menyadari bahwa hak tim editor dalam dunia ilmiah hanya sebatas “mempercantik” face validity (perwajahan) terhadap sebuah artikel/karya ilmiah. Secara etis, tim editor tidak diperkenankan memasuki (menambah atau mengurangi) ranah content validity dan construct validity. Adalah menjadi salah satu alasan mengapa space pengantar redaksi disediakan bagi tim editor, dewan penasehat, mitra bestari, atau tim pengelola jurnal ini untuk mengembangkan topik-topik artikel menyangkut soal validitas isi, metodologi, dan filosofi. Masukan dan pengembangan tersebut diharapkan tidak hanya akan bermanfaat bagi pembaca, tetapi juga bagi sang penulis artikel di masa depan. Selain pengantar redaksi, ruang artikel korespondensi memiliki spirit dialektis sejenis yang disediakan bagi semua pihak untuk melakukan resensi terhadap semua artikel yang sudah diterbitkan dalam jurnal ini sejak volume 1 nomor 1 sampai edisi terakhir (informasi lebih detail dapat dibaca acuan penulisan pada halaman belakang jurnal ini).
Ketiga, ruang ini diperuntukan untuk memuat sebuah artikel ilmiah yang dihadirkan berdasarkan bedahan kritis ciri khas penerbitan[1], bedahan kritis artikel unggulan, atau ramuan kritis dari beberapa artikel (unggulan) setiap edisi/penerbitan. Dengan kata lain, artikel-artikel yang dianggap unggulan tidak hanya akan dibedah secara lebih khusus dalam pengantar redaksi, tetapi juga dikritisi secara lebih memadai sembari memaparkan kelebihan, kelemahan, peluang, atau mengemukakan usulan prospektif dan solutif terkait dengan artikel-artikel (unggulan) dimaksud.
Keempat, space pengantar redaksi juga dimaksudkan untuk “menjaga gawang” agar semua artikel setiap edisi memenuhi standar akademis “kelayakan muat” yang ditetapkan. Makna tersirat diperlukannya pemberian alasan akademis semua artikel yang dimuat dalam setiap edisi adalah dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut. Adalah mustahil bagi siapa pun mampu mengemukakan alasan akademis tanpa memahami artikel dimaksud terlebih dahulu.
Dengan demikian, terma pengantar redaksi berisikan kisi-kisi, yakni:

(1) komentar umum terkait penerbitan jurnal (subbagian Pendahuluan);
(2) alasan akademis penerbitan semua artikel sesuai ciri cultural studies (diutarakan pada subbagian Alasan Ilmiah Penerbitan Artikel);
(3) ulasan, masukan, komentar, atau kritik yang mendasar pada artikel-artikel unggulan atau ciri khas jurnal setiap edisi; dan
(4) usulan preventif dan/atau solutif untuk mengantisipasi suatu gejala keilmuan yang dikontribusikan pada ilmu linguistik-sastra.

1.2 Kisi-kisi artikel editorial
Selain pengantar redaksi, jurnal ini juga menyediakan space untuk artikel editorial. Artikel ini menampung produk-produk penelitian fundamental[2]. Artikel editorial adalah salah satu tipe artikel yang berisi “modal ilmiah” dengan kisi-kisi:

(1) artikel untuk ilmu, ”science is for science”, “linguistics is for linguistics”, atau “art is for art” bervisi cultural studies (perjuangan etis, kemanusiaan, dan lintas keilmuan);
(2) produk kreativitas, originalitas, dan validitas/reliabilitas tinggi sebuah penelitian yang mendukung pengembangan linguistik-sastra;
(3) penciptaan paradigma[3], metode, model, postulat, atau kaidah baru;
(4) ide-ide kreatif-inovatif, preskriptif, dan prospektif membaca atau mengantisipasi suatu gejala keilmuan dalam linguistik-sastra; dan
(5) “modal ilmiah” yang diwujudkan dalam penciptaan eksemplar[4] atau teori[5] yang akan melandasi penelitian linguistik-sastra terapan di masa mendatang dalam kaitannya dengan pluralitas, ilmu sosial, kemanusiaan, humaniora, tata nilai, budaya, ideologi, psikologi, dan seni.

Dengan demikian, jurnal ini memiliki enam ciri artikel: (a) pengantar redaksi, (2) editorial, (c) penelitian, (d) kepustakaan, (e) korespondensi, dan (f) resensi. Kisi-kisi keempat artikel lainnya dapat dilihat pada halaman Acuan Penulisan. Sampai edisi ini, sejumlah artikel yang masuk ke tim redaksi umumnya bercorak artikel penelitian dan kepustakaan. Adalah beralasan mengapa ruang artikel editorial dan resensi masih diisi oleh tim editor.

2. Alasan Akademis Penerbitan Artikel
Dalam kaitan dengan jurnal ini, pembaca perlu diberitahu aneka alasan akademis mengapa artikel-artikel yang dimuat termasuk berdimensi cultural studies yang dimaksudkan dalam jurnal ini. Seperti yang diutarakan pada Pengantar Redaksi Volume 1 Nomor 1 Juli tahun 2007 dan halaman Acuan Penulisan jurnal ini, terma cultural studies yang dimaksudkan adalah kajian linguistik-sastra yang bercirikan:

(1) memiliki spirit multi-dimensional berbasis linguistik-sastra;
(2) mengkaji ranah-ranah terpinggirkan, termarjinalkan, atau terabaikan;
(3) menampung objek-objek material atau objek-objek formal baru; dan
(4) berpihak pada perjuangan etis, kemanusiaan, dan kaum terpinggirkan.

Artikel-artikel yang tidak memenuhi kriteria (minimal salah satu dari kriteria tersebut) tidak dimuat dalam jurnal ini.
Sejumlah artikel yang dimuat dalam edisi ini mengungkap ranah-ranah cultural studies. Edisi ini dibuka dengan artikel editorial berjudul “Eksemplar 135”: Embrio “Mazhab Linguistik Unand” Berdimensi Cultural Studies. Kajian tipologi bahasa yang ditulis oleh Jufrizal dapat dikatakan artikel perdana yang membahas seputar tipologi sintaksis dalam konteks bahasa Minangkabau. Artikel Anatona seputar perbudakan merupakan refleksi kaum termarjinalkan (secara khusus tiga artikel ini dikaji secara inheren pada subbagian 3.1 pengantar redaksi ini).
Sekalipun teori Morfologi Alamiah sudah beredar di Jerman dan Austria sejak akhir 1970-an (khususnya oleh Willi Mayerthaler, Wolfgang Ullrich Dressler, dan Wolfgang Ullrich Wurzel), di mata Mulyadi seolah-olah masih berada dalam sebuah “pandora box”. Menurut Mulyadi, parameter dan bukti tabir misteri tersebut perlu dijustifikasi sebagai sebuah pisau pengungkap seluk beluk bahasa di dunia untuk mencari sebuah kebenaran yang hakiki. Seperti diungkap Mulyadi, arti penting tulisan ini karena seringnya konsep alamiah dijadikan sebagai instrumen untuk mengungkap komponen-komponen deskripsi linguistik (seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik). Apakah “kotak pandora” Morfologi Alamiah berakhir seperti film Lara Croft yang dibintangi Angelina Jolie? Mulyadi mencoba mengungkapnya pada edisi ini.
Teori Morfologi Alamiah dapat dianggap sebagai objek formal baru dalam konteks ke-Indonesia-an. Sepanjang pengamatan, beberapa tahun terakhir di tanah air, baru akan beredar pendekatan Makna Alamiah Metabahasa (MAM) atau Natural Semantic Metalanguage (NSM). Anna Wierzbicka subbagian sosok yang dianggap mampu mengilmiahkan kajian semantik melalui pendekatan NSM/MAM (lintas budaya/cultural studies) tersebut diungkap oleh Sawirman dalam artikel resensi edisi ini.
Kajian-kajian aksara (Minang) Herwandi dan Pramono juga dianggap ranah-ranah terabaikan. Dalam konteks keilmuan, dua artikel tersebut memiliki arti penting untuk melakukan “titik balik peradaban” akan anggapan selama ini bahwa masyarakat Minang tidak memiliki aksara. Dua artikel tersebut meninggalkan spirit cultural studies agar para ahli dalam semua dimensi keilmuan terus mengungkap tabir misteri keberadaan aksara Minangkabau.

3. Usulan prospektif pada artikel unggulan
Dari sejumlah artikel yang dimuat dalam edisi ini, dua artikel di antaranya (1) tentang tipologi bahasa yang ditulis oleh Jufrizal dan (2) tentang perbudakan yang ditulis oleh Anatona akan diuntai lebih jauh terutama dalam kaitannya dengan konteks kekinian, spirit lintas keilmuan berbasis linguistik, serta posisinya dalam “eksemplar 135” dan cultural studies. Berikut beberapa usulan prospektif dan preskriptif untuk kedua artikel dimaksud.

3.1 Tipologi bahasa dan “eksemplar 135”
Baik tipologi sintaksis yang mengklasifikasikan bahasa atas tipe ergatif, akusatif, dan ergatif-akusatif (Comrie,1983:68; 112), maupun tipologi morfologis yang mengklasifikasikan bahasa atas tipe isolasi, aglutinasi, fusi, dan inkorporasi (Katamba, 1993:56--59) merupakan objek-objek material/formal yang perlu dikembangkan dalam konteks ke-indonesian-an. sekalipun acuan dasar yang digunakan para ahli untuk mengklasifikasikan tipologi sebuah bahasa berbeda satu sama lain, Croft (1993:39) menganggap klasifikasi bahasa secara tipologi merupakan manifestasi pemahaman kesatuan organis struktur bahasa manusia secara universal
Baik tipologi sintaksis maupun tipologi morfologis juga belum banyak ditelaah pada sejumlah bahasa lokal di Nusantara. Dalam konteks bahasa Minangkabau, kajian tipologi sintaksis yang ditulis oleh Jufrizal dapat dikatakan sebagai artikel perdana. Selain Jufrizal, kita patut memberikan penghargaan tinggi pada beberapa linguis tanah air, I Wayan Arka, I Ketut Artawa, Shibatani, dan nama-nama lain yang mengharumkan nama bangsa lewat pengakuan inter(nasional) dalam bidang yang ditekuni Bernard Comrie ini.

A. Sebuah Penantian
Kajian tipologi yang dilakukan Jufrizal murni berada dalam ranah linguistik mikro. Genre linguistik mikro umumnya memang bercirikan artikel untuk ilmu, science is for science, linguistics is for linguistics, atau art is for art. Keteraturan, struktur, kaidah, hukum, bentuk, dan kategori fenomena lingual menjadi titik perhatian utama.
Dalam konteks “eksemplar 135”[6], genre penelitian ini diposisikan ke dalam ranah “formalisme”. Formalisme (formalism) yang disarikan dari Wehmeier, et al[7], Summers et al,[8] dan Carrol (2000:137—152) dalam berbagai dimensi keilmuan bercirikan: (1) lebih mengutamakan kaidah-kaidah (rules) daripada makna-makna (inner meanings) yang disembunyikan; (2) lebih mengutamakan hukum-hukum keteraturan (the correct arrangement) daripada pesan-pesan tersembunyi (latent messages) yang diekspresikan; (3) lebih mengutamakan perwajahan (appearance of things) daripada isi (content) yang diimplisitkan; (4) lebih mengutamakan aspek material daripada aspek mental (feelings) yang disuguhkan; dan (5) lebih mencari jawaban apa (what) daripada jawaban bagaimana (how) dan mengapa (why). Dengan kata lain, para formalis lebih mengutamakan aspek material, keakuratan aneka bentuk (correct forms), dan pemberian aneka label kategori daripada memperhatikan semesta “konsep” (ideologi, kultur, subjektivitas, politis, preferensi) yang tersembunyi di balik keteraturan, struktur, kaidah, hukum, bentuk, dan kategori sesuatu (objek, peristiwa, produk, tanda, dan wacana).
Adalah beralasan mengapa teori-teori dan kajian-kajian linguistik mikro (sintaksis, morfosintaksis, morfofonologi/ morfofonemik, morfologi, dan fonologi) dalam berbagai pendekatan (tradisional, struktural, generatif, dan pasca generatif) diposisikan dalam ranah formalisme. Umumnya pengkaji “matematika linguistik” ini seakan-akan ending setelah dianggap mampu memberikan label-label linguistis pada suatu objek/subjek penelitian. Adalah dapat dimaklumi, sulitnya formula dan banyaknya aspek yang dikaji membuat umumnya para micro linguist terpaksa mengakhiri tugas keilmuannya setelah dianggap berhasil mengaplikasikan teori, merevisi teori, atau setelah dianggap mampu memberikan label-label linguistik baru. Seakan-akan tercipta stereotip:

Saya seorang micro linguist
Tugas saya hanya menjelaskan hukum-hukum keteraturan
Tugas saya sebatas menemukan kaidah-kaidah universal
Tugas saya sekadar memberikan label-label linguistis
Selanjutnya, terserah Anda

Sepanjang referensi yang didapatkan, masih langka ditemukan karya-karya yang menyebut dirinya sosok-sosok micro linguist (bahkan dalam konteks internasional) menindaklanjuti label-label yang dengan susah payah mereka temukan ke level penandaan[9] atau menganggap label-label yang mereka temukan sebagai jejak-jejak (traces) yang memuat seonggok budaya, setumpuk ideologi, dan segudang nilai.
Jufrizal dalam artikel jurnal ini mengindikasikan bahwa bahasa Minangkabau secara tipologi sintaktis bercirikan bahasa akusatif. So what next? Kita tentu menunggu ide-ide brilian Jufrizal mengemukakan clues atau signal agar temuan keilmuan tersebut dapat dimanfaatkan, misalnya oleh para linguis terapan, penerjemah, pengajar bahasa Minang secara khusus atau Austronesia secara umum. Tentu kita menunggu pena Beliau menorehkan signifikansi atau relevansi temuan tersebut untuk perjuangan humanis, pengungkapan sosial-budaya, kemanusiaan, pluralitas, humaniora, tata nilai, ideologi, psikologi masyarakat (Minang), dan lain-lain.

B. “Eksemplar 135”: linguistik mikro sebagai entry-point
Dengan segala keterbatasannya, “Eksemplar 135” yang diperkenalkan pada pengantar redaksi ini membawa spirit dimaksud. “Eksemplar 135” menjadikan linguistik mikro sebagai starting point menuju cultural studies, bukan hanya ending pada pemberian label-label linguistik (tentang struktur, kaidah, hukum, dan kategori). “Kebenaran ilmu” atau objek formal formalisme ini dijadikan sebagai basis untuk menapak setakat demi setakat menuju cultural studies. Di saat para neo-formalism dan posmodernis “membantai” penganut formalis, “eksemplar 135” justru menghargainya sebagai pintu masuk (entry point) salah satu tahap pencari kebenaran dari lima tahap yang diusulkan (disimbolkan angka 5 dalam “Eksemplar 135”).
Linguistik perlu bekerjasama dengan ranah-ranah ilmu lain untuk mencapai tahapan makna terdalam. Kehadiran “Eksemplar 135” ini semula dimaksudkan untuk mengisi “ruang kosong” keterbatasan teori-teori wacana-semiotika yang ada. Himbauan Chomsky agar para linguis mampu memaknai linguistik sampai level ekplanatoris (explanatory adequacy) dan harapan Baudrillard agar wacana dan tanda perlu dimaknai sampai tahapan makna terdalam (depth meaning), tampaknya masih jauh dari harapan. Belum ada ditemukan teori wacana yang akomodatif untuk dapat mewujudkan harapan tersebut. Baik Chomsky maupun Baudrillard sendiri baru hanya menaruh harapan, belum ada model aplikatif yang dapat dibawa ke tataran praktis analisis wacana yang ditawarkan kedua tokoh tersebut untuk mewujudkan tahapan pemaknaan yang dicita-citakannya.
Bila menilik pendekatan formalis, baik pendekatan fungsional/sistemik Halliday(an) maupun conversational analysis (CA) demikian pula halnya. Salah satu kelemahan pendekatan wacana formalis adalah karena terkesan masih ending pada pemberian label-label linguistis (tentang struktur, kaidah, hukum, dan kategori) dalam analisis sebuah teks. Teori-teori formalis di ranah wacana masih berorientasi menjawab seputar pertanyaan apa (what) sehingga seputar pertanyaan how dan why masih terabaikan.
Bila kita menengok pendekatan wacana kritis (Critical Discourse Analysis, CDA), baik dari aliran van Dijk maupun Fairclough, tampaknya masih memarjinalkan keberadaan hukum-hukum linguistik sehingga terkesan kehilangan pijakan dasar linguistik. Pendekatan terkini yang juga belum banyak dijadikan sebagai dimensi pengembangan wacana dan linguistik adalah cultural studies. Karena pendekatan masih relatif baru peredarannya di Indonesia, model aplikasinya secara praktis ke ranah wacana menanti uluran tangan para linguis. Eksemplar-135 mencoba melahirkan konstruksi berpikir untuk merevisi dan merangkum ide-ide dasar sejumlah aliran dimaksud dalam eksemplar tersendiri.
Tidak terkecuali ranah semiotika, sejak dari pendekatan Strukturalisme Saussure (Saussurian), Peirce (Peircean), dan ekspansionis Bakhtin-Kristeva (pengikutnya) sampai pendekatan posmodernis Derrida-Lyotard (pengikutnya), postrukturalis Foucault-Roland Barthes (pengikutnya), belum memiliki model praktis dan eksemplar tersendiri bila dibawa ke ranah wacana/tanda lingual. Perlu diakui bahwa masing-masing aliran tersebut memiliki keunggulan-keunggulan tersendiri sehingga dapat melahirkan kebenaran dengan alasannya masing-masing. “Eksemplar-135” mencoba mempertalikan “kebenaran” aliran-aliran dan antar-ranah yang berbeda ini dalam menganalisis wacana dan semiotika.
Eksemplar yang tahan uji secara akademis untuk mempertalikan ranah wacana dengan ranah semiotika sudah saatnya dicanangkan. Layaknya aliran filsafat analitis dan positivis, ranah wacana dan semiotika memiliki banyak persamaan. Baik studi wacana maupun semiotika sama-sama menekankan pada (re)produksi tanda selain sebagai produk praktik bahasa. Kedua ranah tersebut juga sama-sama menitikberatkan peran makna sebagai titik sentral. Sebuah wacana memuat semesta tanda. Sistem pertandaan (ranah semiotika) dalam arti luas juga dianggap wacana. Adalah beralasan mengapa ranah semiotika dan wacana perlu dipertalikan.
Kedua ranah yang sampai saat ini masih dianggap berbeda oleh para ahli tersebut, secara filosofis menuju sasaran yang “sama”. Adalah tidak mengherankan mengapa dalam karya-karya Paul Ricoeur, Roland Barthes, Foucault, Baudrillard, Lyotard, Derrida, dan lain-lain ditemukan istilah diskursus (discourse), teks (text), semiotika (semiotics), dan tanda (sign) yang dipakai secara bergantian. Baik teori-teori wacana (lingual) dengan sejumlah perangkatnya maupun teori-teori tanda (semiotika) dengan seperangkat instrumennya pada dasarnya sama-sama menghendaki sebuah proses pemaknaan. Dengan demikian, adalah beralasan bila dianggap kedua ranah ini sulit dipisahkan, tanpa ada batasan yang tegas layaknya dua sisi mata uang atau ibarat lautan dengan dasarnya (meminjam istilah Popper, 2002).
Kenyataannya, sampai saat ini masih relatif terbatas (bila tidak boleh dikatakan belum ada) inisiatif dan spirit para ahli wacana atau ahli semiotika untuk mempertemukan kedua ranah ini melalui sebuah teori, pendekatan, paradigma, atau sejenisnya yang dapat diandalkan. Tahapan yang pas untuk membedah praktik pertandaan dalam sebuah wacana lingual (apalagi berdimensi cultural studies seperti harapan During, 2007) sepanjang referensi yang didapatkan belum mengemuka, bahkan dalam kancah internasional sekalipun (Sawirman, 2007a; b). Bila pertemuan antara objek biologi dengan objek linguistik dinaungi dalam biolinguistics atau pertautan antara objek forensik dengan linguistik dapat dikaji dalam forensic linguistics, mengapa belum mengemuka (bahkan dalam kancah internasional), misalnya terminologi, teori, atau pendekatan “wacana-semiotika” atau “semiotika-wacana” untuk menaungi pertautan antara wacana dengan semiotika, atau sebaliknya. “Eksemplar-135” yang dideklarasikan sejak tahun 2005 adalah salah satu karya yang memulai langkah tersebut.

3.2 Budak masa lalu, buruh masa kini
Artikel Anatona seputar perbudakan merupakan refleksi kaum termarjinalkan. Ciri khas nama-nama budak masa lalu tampaknya memiliki keunikan tersendiri bila ditilik dari sisi sapaan (address terms). Sekalipun Anatona belum menjadikan linguistik sebagai pintu masuk, akan tetapi nama-nama diri (names) seputar perbudakan dapat dijadikan sebagai titik pijakan bagi para linguis untuk menelusuri ranah ini secara lebih jauh. Sepanjang referensi yang didapatkan, fokus kajian pada nama-nama diri (names) seputar perbudakan dari sisi linguistis juga merupakan ranah keilmuan yang terlupakan.
Bila ditilik dari sisi genealogis, budak dan praktik perbudakan sebenarnya belum terhapus di muka bumi. Praktik perbudakan di Indonesia dalam konteks kekinian sebenarnya masih terjadi di perusahaan, perkebunan, rumah tangga, dan bahkan di pemerintahan. Pengekangan hak-hak sosial politik para buruh oleh perusahaan, pengabaian hak-hak normatif dan ketidakpastian nasib para buruh oleh pemerintah, kurangnya jaminan hukum pada TKI, kerapnya terjadi pelecehan seksual pada pembantu rumah tangga dan kekerasan pada wanita di rumah tangga (KDRT), serta pengeksploitasian anak yang semakin menjadi-jadi di tanah air adalah beberapa praktik perbudakan yang masih tersisa.
Kerjasama linguistik dengan sejarah dan sejumlah ilmu humaniora lainnya diperkirakan dapat menjamah wacana perbudakan secara lebih akomodatif. Kerjasama antar-keilmuan ini diperkirakan dapat menelusuri sejarah ide dan konsepsi seputar terminologi perbudakan sampai perburuhan. Dulu nama-nama budak disebut secara bervariasi. Saat ini, nama-nama buruh dan praktik perburuhan diberi kembang-kembang bahasa agar dapat diperlakukan, maaf seperti budak masa lalu. Selain buruh (“budak masa kini”), nama kuli, pekerja, karyawan, pegawai, pekerja kontrak, dan PWT mengemuka pula dalam konteks kekinian. Posisi mereka tetap dimarjinalkan. ............
Untuk mendapatkan tulisan lengkap silakan kontak ke email linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id, sawirman@fsastra.unand.ac.id atau sawirman03@yahoo.com

[1] Misalnya, bila topik yang diangkat pada Volume X Nomor X bercirikan wacana dakwah, artikel khusus terkait dengan wacana dakwah sembari memberikan academic explanations pada semua artikel pada Volume X Nomor X dapat dimunculkan.
[2] Penelitian fundamental memiliki kedekatan makna dengan (1) “relating to the most basic and important parts of something” (Summers, et.al, ibid.); (2) serious, very important, and affecting the most central and important parts of something; (3) a basic rule or principle or an essential part (Wehmeier, et. al. 2005:630).
[3] Paradigma dapat dimaknai as a technical, formal, and typical model or example that shows how something or pattern of something works or is produced or a set of basic beliefs that deals with ultimates (the best or most modern example of) a world view or something (Summers, et al 2005:1193; Wehmeier, 2005:1099).
[4] Eksemplar berasal dari bahasa Inggris exemplar. Menurut kamus Oxford tahun 2005 dimuat maknanya sebagai a person or thing that is a good or typical example of something. Kamus Longman tahun 2005 juga memaknai kata exemplar dengan parafrase “formal a good or typical example”. Thomas Kuhn (2002) sebagai pencetus revolusi sains menganggap exemplar sebagai cikal bakal lahirnya sebuah paradigma atau teori. Sebuah eksemplar yang tahan uji akan menjadi paradigma dengan sendirinya. Dalam konteks tanah air, sebuah exemplar yang berpijak pada spirit ketimuran, kemanusiaan, objek terlupakan, masyarakat terhegemoni/ termarjinalkan, dan spirit multi-disiplin berbasis ilmu sendiri perlu dilahirkan dan diciptakan agar ranah humaniora menjadi semakin humanis, bukan malah semakin sebaliknya (Sawirman, 2007a; b).
[5] Teori dapat dimaknai seperti batasan Summers, et al (2005:1719) as an idea or set of ideas that is intended to explain something about life or the world, especially an idea that has not been proved to be true or general principles and ideas about a subject and an idea or opinion that someone thinks is true but for which they have no proof. Teori adalah formal set of ideas that is intended to explain something why something happens or exists or the principles on which a particular subject is based (Wehmeier, et al., 2005:1590).
[6] Sebuah eksemplar yang memposisikan perspektif linguistik mikro sebagai basis menuju cultural studies yang diciptakan Sawirman (dibahas pada uraian selanjutnya).
[7] “a style or method in art, music, literature, science, etc. that pays more attention to the rules and the correct arrangement and appearance of things than to inner meaning and feelings” (Wehmeier, et al. 2005:610).
[8] “a style or method in art, religion, or science that pays a lot attention to the rules and correct forms of something rather than to inner meanings” (Summers et al, 2005:633-634).
[9] Dalam kaitan dengan bahasa, Hodge dan Kress (1991) menyebut teks, sistem, bahasa sebagai bunyi, bahasa sebagai tulisan, susunan kata (wording), bahasa sebagai struktur, konfigurasi bagian-bagian struktur, bahasa sebagai sumber, pilihan kata (diksi), dan pilihan di antara pilihan-pilihan (choices among alternatives) sebagai tanda-tanda yang mempresentasikan aneka realitas.