Minggu, 20 September 2009

Menciptakan Paradigma Wacana Berdimensi Cultural Studies

Menciptakan Paradigma Wacana Berdimensi Cultural Studies
(disebut dengan ”Eksemplar 135”)

Oleh
Sawirman
(Cuplikan tulisan yang disampaikan pada Forum Dosen Berprestasi di Universitas Andalas sebagai wakil Fakultas Sastra 11 Juni 2008)

1. Latar Belakang
a. Setiap mazhab/zaman memiliki paradigma dan semangat tersendiri. Filsafat Yunani menjadikan kosmos sebagai titik sentral (kosmosentris). Teosentris seperti antara lain diberdayakan Weber merupakan ciri khas filsuf abad pertengahan. Logosentris dan antroposentris seperti antara lain termaktub dalam logos Rene Descartes cogito ergo sum ‘saya berpikir, maka saya ada’ selain mewarnai fokus filsuf abad pencerahan, juga ciri khas strukturalisme dan modernitas. Kehadiran Stephen Hawking (penemu black holes) dan Capra dengan Jaring-jaring Kehidupan-nya menempatkan biosentris sebagai tolok ukur. Mahzab Stoic menempatkan filsafat kesenian sebagai titik sentral. Mazhab Praha yang dirintis Jakobson dan Trubetskoy pada tahun 1926, antara lain dikenal dengan paradigma ketidaksadaran berbahasa. Mazhab Coopenhagen pada tahun 1930 dikenal dengan telaah afasianya (linguistik dengan kedokteran). Kelompok Wina (Swiss) terkenal dengan positivisme logisnya. Mazhab Frankfurt (Walter Benyamin, Adorno, Herbert Marcuse, Habermas) dikenal pencetus mazhab kritis, selain memperkenalkan paradigma reflektif, interpretatif, dan kompetensi komunikatif sebagai spesialisasi. Mazhab Kyoto di Jepang terkenal dengan filsafat agamanya. Posmodernisme menempatkan kultur lokal dan kaum pinggiran, selain mempertanyakan posisi linearitas dan Grand Narrative keilmuan sebagai titik fokus. Masyarakat wacana (umumnya masyarakat linguistik di tanah air) belum memiliki mazhab dan paradigma yang dapat dijual ke tingkat dunia dengan semangat ketimuran. Penciptaan paradigma, mazhab, spesialisasi, ataupun ciri khas tampaknya belum membudaya pada masyarakat keilmuan di Indonesia, termasuk masyarakat linguistik di Indonesia. Mazhab linguistik Rawamangun pernah hadir di Indonesia, tetapi hilang entah ke mana. Ciri khas sebuah keilmuan yang tidak menghiraukan semangat zaman dan hiruk pikuk kehidupan akan ditelan oleh dialektika kehidupan itu sendiri. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa “Eksemplar 135” berdimensi Cultural Studies dijadikan sebagai spesialisasi pengembangan kajian linguistik dan wacana tanah air.

b. Sejak lama, model kajian linguistik memang dikuasai positivisme, fondasionalisme, dan nomotetisme. Cultural studies seperti diungkap Barker dalam buku Cultural Studies Teori dan Praktik tahun 2004 dan Simon During tahun 2007 menentang fondasionalisme dan nomotetisme (ilmu alam yang ditransformasikan ke ranah ilmu sosial). Ranah hegemoni, moral, dan etis dalam kajian bahasa, budaya, sastra, dan ideologi adalah beberapa kata kunci cultural studies menurut Storey dalam buku Cultural Studies and the Studies of Popular Culture: Theories and Methods. Cultural studies juga muncul karena kritik pada modernitas, positivisme, dan ilmu bebas nilai. Cultural studies menyerap sejumlah paradigma dalam menelaah suatu objek/disiplin ilmu. Data merupakan titik sentral dalam memverifikasi makna. Dengan cara demikian, proses emansipasi sebuah paradigma, teori, dan eksemplar dapat berlangsung sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Cultural studies, bukanlah cultural study, atau study of culture (kajian budaya). Cultural studies is not simply a study of culture seperti dikatakan Sardar and Borin Van Loon tahun 2005 halaman 11 dalam buku Cultural Studies. Kata studies pada nama cultural studies melambangkan spirit multi-dimensional (a broad field of inquiry). “Eksemplar 135” menjadikan linguistik menjadi medan terbuka sebagai basis ilmu lain dengan mengusung visi memperjuangkan masyarakat tertindas, budaya massa, dan objek-objek ilmu yang selama terlupakan/terabaikan.

c. Kajian linguistik di tanah air semakin “anti-kemanusiaan”. Para linguis Indonesia seakan-akan seperti mikroskop (mampu melihat yang kecil, tetapi lupa dengan yang besar). Indonesia sekarang diributkan dengan bencana alam, krisis mental, kenaikan BBM, sertifikasi guru, terorisme, dan lain-lain yang luput dalam kaca mata linguis. Belum banyak yang dilakukan para linguis untuk memperjuangkan pengangguran bersertifikat, PSK, krisis mental, anak-anak cacat, orang gila, pengemis, pengamen, anak jalanan, tindakan separatis, tsunami, kasus lapindo, gempa, tanah longsor, kejahatan perbankan, cyber-crime, kerusakan ekologi, dan lain-lain.

3 komentar:

  1. cintya prima utari

    selamat pak...semoga blog ini menjadi sarana bagi kami untuk menggali informasi yang sangat luas........lanjutkan..........!

    BalasHapus
  2. assalammu'alaikum wr.wb
    Pak maaf sebelumnya, karna saya baru kali ini membaca blognya Bapak, saya pengen nanya maksud dari e135 itu apa Pak.Selanjutnya saya juga pengen nanya "mazhab linguistik Universitas Andalas" yang dimaksudkan apa Pak?......terima kasih...RIZKI IKHWAN(06985017)/ qwan01harrokah@gmail.com / FREEDOMFORALQUDS.BLOGSPOT.COM

    BalasHapus
  3. Assalamu`alaikum Wr, Wb pak ....

    terus terang ini sudah kali ke empat saya buka dan baca blog bapak. Hanya saja pilihan kata yg sulit untuk dpahami menjadi penghalang pemahaman saya. Seperti sepintas pada kolom latar belakang, saya cukup menangkap penjelasan bapak, tapi saya tidak cukup berani membahasnya karena penghalang yg saya sebutkan sebelumnya.
    Namun saya yakin jika ada penjelasan rinci secara langsung dr bapak, khususnya e135, maka saya yakin ini akan menjadi teori dan ilmu yg menarik dan patut dkembangkan.

    Wassalamu`alaikum pak ..
    + LEONY TRISNA : 0810733096 +

    BalasHapus