Minggu, 20 September 2009

Media Massa, Perpanjangan Tangan Kolonial Bersama Spirit e135

Media Massa, Perpanjangan Tangan Kolonial Bersama Spirit e135
(Ancangan Proposal Tesis)

Oleh: M. Yunis
(Mahasiswa Magister Linguistik Universitas Andalas Padang)

Pendahuluan
Mengamati puluhan tulisan Sawirman sejak tahun 2003 hingga 2009 terutama seputar e-135, saya dapat merangkul spirit utama, yaitu “Jadikan Linguistik Menjadi Medan Terbuka”. Spirit inilah yang saya hargai untuk menjadikan lima tahapan dalam e-135 sebagai bingkai analisis media massa yang saya lakukan dalam tulisan ini. Sekelipun demikian, tulisan ini bukanlah cerminan bingkai praktis e-135 yang diuntai oleh Sawirman dengan begitu rigid. Lagi pula, tulisan ini tidak membuat lima tahapan yang diuntai oleh Sawirman secara eksplisit. Akan tetapi bagi pihak-pihak yang sudah memahami e-135 dengan seksama, lima tahapan yang diutarakan untuk mencapai makna terdalam sudah termaktub di dalamnya.
Ada sebuah stegmen yang menarik bahwa dunia film lebih kejam dari segala dunia. Ungkapan seperti ini kerap penulis dengar di saat masih bekerja pada salah satu Production House di Jakarta awal 2008 kemaren. Setiap kali pulang shuting penulis dan kawan-kawan bercerita dan bertukar pengalaman, seputar tentang dunia perfileman khususnya dunia media umumnya. Sikut-sikutan sepertinya sudah menjadi barang harian, menjatuhkan kawan baik apalagi lawan itu diperlukan untuk menunjang sebuah karir. Ya dunia media. Namun begitu, dunia media yang digambarkan tidak hanya sebatas daun kelor ataupun daun talas, tetapi sebuah dunia yang luas dan sarat dengan pengkodean, kolonialisasi bahasa, dan menyertai disana kepentingan media. Nah, mungkin kita akan berpikir apa yang patut dibicarakan dalam dunia media ini atau cukup diserahkan kajian orang akademis dengan cultural studies. Meskipun, Keith Tester (2003) mengatakan bahwa cultural studies adalah disiplin ilmu yang sangat bodoh, karena dia adalah anak haram (bastard child) media yang akan diekspos oleh cultural stuidies. Sebab kajian budaya bukan hanya pada media, tetapi seyogyanya mempunyai posisi yang sangat terhormat dan mempunyai nilai intelektual yang sangat tinggi, sementara cultural studies baru lahir di Universitas Birmingham pada tahun 1960-1970. Oleh sebab keberhasilan sebuah penelitian Centre for Contemporary Cultural Studies kemudian bisa mengklem bahwa kajian budaya adalah miliknya.
Baru Tahun 1980 kajian cultural studies semakin menyempit, lebih terfokus pada ekplorasi terhadap kesenangan-kessenangan yang diberitakan media, pakaian, belanja, sehingga terjadinya kegeraman moral yang semakin lama semakin tidak bisa berbuat apa-apa. Cobalah perhatikan ketika iklan TV menampilan perempaun atau laki-laki yang menarik, apa yang timbul di dalam pikiran pembaca? Penulis sendiri mungkin mengatakan aduhai sambil menyuap nasi atau sedang membaca buku, nyata sebuah moral yang digambarkan media sangat terang-terangan dan kumuh, sebab hanya bersifat mengekploitasi ksenangan dan birahi. Bahkan Rorty dalam Tester (2003) mengatakan bahwa televisi dan koran merupakan sarana utama bagi perkembangan dunia kontemporer, kemudian mengulas Baudrillar, bahwa media menciptakan audien yang pasif, sebuah strategi politik atau kepentingan media?
Terlepas dari perdebatan di atas, duto urang awak indak sato, kicuah urang awak indak ikuik, penulis mencoba untuk menelaah kode-kode yang dimunculkan oleh media. Kode-kode inilah yang akan demapatkan dan dilipat demi untuk kepentingan media sehingga bermuara pada Denotatum yang sama yang penulis namakan dengan ‘kolonialisasi bahasa oleh media’.

Tentang Postkolonial
Di awali dengan dengan teks proklamasi, ‘’hal-hal mengenai perpindahan, kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya’’, alhamdulilah sudah tertunaikan dengan baik. Tetapi, yang lebih sulit perpindahan dari jiwa dan mental terjajah kemental dan jiwa merdeka membutuhkan waktu yang relatif lama. Seperti yang dikemukana Leela Gandhi (2001) dampak penjajahan itu akan terasa bebrapa tahun atau mungkin puluhan tahun setelah kemerdekaan, dampak itu kian terasa setelah praktek itu dilaksanakan oleh bangsa dan saudara sendiri. Baik melalui sistem pendidikan, politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Kita bangsa indonesia yang berdaulat baik kedalam maupun keluar belum mampu menciptakan sitem sendiri, banyak hal yang selalu disadur dari dunia barat atau Eropah. Dari cara berpikir, life stile, acuan kemajuan hingga pendidikan sendiri semuanya bermuara pada denotaum yang sama yaitu Barat. Kolonialisme sudah jelas menginginkan segala hal yang berasal dari dirinya (Fanom dalam Gandhi 2001:26). Fanon menegaskan kebebasan total dalam artian merdeka sebenarnya adalah kebebasan yang memperhatikan segala aspek kepribadian.
Jadi menurut Fanom, kebebasan itu adalah bebas berpikir, bertindak, dan melakukan segala hal selama tidak merugikan orang lain secara khusus dan kesatuan bangasa secara umum. Nah, kesatuan bangsa? Perlu dilihat lagi kesatuan bangasa seperti apa? Kita lihat konsep bangsa dan negara, awalnya merupakan kesatuan dari kelompok kecil lambat laun menjadi besar setelah mempunyai persamaan misi, visi dan satu cita-cita yaitu kemakmuran bersama dan saling mencerdaskan dan bukanlah saling membunuh? Jika semua itu tidak bisa direalisasikan lagi, apakah salah GAM memberontak atau PRRI pecah yang kemudian divonis menjadi pemberontak. Jawabnya sederhana saja adalah sebuah kewajaran karena menuntut sebuah keadilan yang memihak rakyat, sebab negara ini bukanlah milik penguasa, negara ini ada karena adanya rakyat jelata sebagai tumbal kemerdekaan meskipun dimasa PRRI dianggap sebagai sampah kemerdekaan.
Alhasil dari itu, membekaslah luka-luka historis dari mereka yang dipaksa menjadi budak. Luka-luka ini lambat-laum menjalar dan mengakar dan melahirkan moral baru, proses itu akan berlangsung sangat rapi melalui sitem yang diakui dan bahkan dipuja atas nama intelektual dan sebuah keinginan menaklukan dunia dan merubahnya menjadi dunia yang dihayalkan, moral baru etika baru kiranya perlu dipergunakan untuk mencapai birahi kesempunaan tersebut. Nah, di saat para budak ini berkuasa, darah-darah baru akan disusupkan melalui sitem yang rapi, kepembuluh-pembuluh vena maupun arteri warga negara, itulah moral yang dinginkan dalam sebuah perubahan menyeluruh, namun masih dalam versi hayalan satu budak saja. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nietzche dalam Ritzer (2003) geneologi moral yang digambarkannya sangat memilukan, moral awalnya jatuh dari langit, setelah sampai dibumi moral dibunuh, kemudian moral dilahirkan kermbali dalam wujud baru sesuai dengan kepentingan duniawi, Nietczhe kemudian divonis mati dalam keadaan gila dan seluruh keluarganya ikut menjadi tumbal kegilaan Nietczhe. Jelaslah terlihat apa yang dikemukan Gandhi dalam Gandhi (2001:29) bahwa para budak mengingnkan sifat penjajah tetapi tidak mau disebut sebagai penjajah, menginginkan sifat hariamau tapi tidak mau disebut harimau, tetapi pahlawan atau penyelamat. Jalan satu-satunya untuk terus maju adalah membuat harimau itu tidak lagi menyenangkan, kapan perlu jangan sampai belangnya tertinggal dan tercecer.
Seiring dengan itu Gandhi dan Fanon dalam Gandhi telah mengingatkan akan bahaya Narasi Moderen Barat, bahwa Kolonial tidak akan berhenti sampai kemedekaan Si tejajah telah diperoleh secara De facto, Gandhi dan Fanon ingin menyatakan bahwa Barat akan kembali memasukan tokoh-tokoh dari para korbannya yang terepresi dan terpinggirkan, dalam artian menjadi objek kajian untuk mengambil hati Si terjajah. Untuk mensukseskan itu mereka menceritkan industrialisasi sebagai ekspoitasi terhadap ekonomi, demokrasi yang terpecah terhadap aksi protes dari pihak yang mempunyai hak pilih, teknologi yang selalu dikombinasikan dengan perang, sejarah pengobatan yang diidentikan dengan teknik penyiksaan. Semuanya itu bertujuan untuk menghasilan ekploitasi ekonomi baru terhadap para budak, menciptakan senjata yang lebih canggih untuk menghadapi perang, dan menciptakan teknik penyiksaan baru terhadap kaum akar rumput. Apakah ini suatu penodaan dan pendosaan terhadap Marx? yang pada kenyataannya Marxisme itu disalahtafsirkan sehingga kaum intelektual menceburkan dirinya ke dalam konsep komunis, sebagai akibat dari pendewaan terhadap salah satu segi aspek saja tanpa memikirkan aspek utama yang dibahas di dalam marxisme, akhirnya Marx didosai atas pemikiran yang dimunculkannya (Berlin 2000). Ataukah memang itulah tujuan Karl Marx yang sebenarnya? (Baca rahasia kecerdasan Yahudi).
Salah satu contoh yang jelas terlihat atas keberhasilan prinsip kolonial ini, seperti yang dikemukan Leela Gandhi adalah protesnya terhadap Rene Descartes. Gandhi juga menarangkan menjalarnya teknik kolonial ini berangkat dari kegagalan cogitonya Descartes, karena subjek yang berpikir tidak tahu batasan yang jelas tentang berpikir sehingga berakhir dengan kekerasan, debat kusir para sarjana karena ingin curhat pada kebenaran mutlak, semangat persaingan, kompetisi sehingga secara pelan akan menempa senjata-senjata akal. Alhasil, rusaklah rasionalitas kaum intelektual yang notabenenya pelanjut Aufklarung, ujung-ujungnya akan membawa kepada kepicikan hingga ke peperangan-peperangan. Lalu hukum akan menggantikan kesejahteraan dengan ‘’rule of low’’ dengan cara memasukan kekerasan ke dalam sistem dan berlanjut kedalam dominasi ke dominasi (pengaruh). Faucoult mengatakan dalam dalam Poole (1993) dengan mengatas namakan geneologi kekuasaan, dimana kekuasaan tersebut berada dimana-mana, kapan saja, momen apa saja, mengitari diri setiap orang.
Jadi, Poskolonial sejalan dengan feminisme dan Hyperrealitas yang dikemukan Eco, Baudrillar dengan simulasinya, seperti yang diakatakan tiada salahnya kita menikmati hidup dalam dunia simulasi, menikmati hidup dalam hiperealitas, pelipatgandaan ada (being), kemudian Piliang dengan Hypersemoitika yang mengatakan bahwa tanda tidak ada lagi acuannya dalam realitas, semuanya berupa penanda. Maka inilah yang dikatakan Piliang (2006) bahwa manusia terjebak dalam bujuk rayu dan ketersesatan tanpa bertujuan, citraan adalah segala-galanya bagi manusia. Tanda menciptakan mitosnya sendiri dalam nostalgia dan mengambil alih makna secara atuh, hayalan-hayalan semu tetapi terlihat sangat nyata. Meskipun padahal awalnya simulasi dianggap Baudrillard sebagai strategi intelektual, namun perkembangannya membawa dampak menuju hiperrealitas sebagai akibat dari pengalaman kebendaan itu adalah hasil dari sebuah proses.
Postkolonial adalah pemberontakan cara pandang objektiftivitas terhadap ekpsloitasi yang berlebihan oleh subjektivitas, sebab di dalam prosesnya sendiri kolonial itu ditanamkan dengan nama baru, atas nama kemanusiaan, pencerahan, keamaanan dan juga atas nama ketentraman masyarakat yang pada intinya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menanamkan pengaruh, dominasi, namun sangat tersusun rapi, tersistim dan hal itu diakui secara tidak sadar maupun tidak. Kajian terhadap Poskolonial lebih sejalan dengan Dekonstruksi yang diancang dan dipraktekan Derrida di dalam melihat seuatu yang bermakan adalah teks.

Pembahasan
1. Ekploitasi Seksual
‘’Tetapi jelaslah bahwa nilai-nilai perempuan sangat sering berbeda
dengan dengan nilai yang telah diciptakan oleh jenis kelamin lain,
sebenarnya begitulah,sebenarnya nilai-nilai maskulinlah yang berkuasa (Viiginia dalam Poole, 1983; 67)’’

Menarik apa yang dikemukan Faucoult dalam Ritzer (2003: 109) bahwa seksualitas adalah pemindahan pemahaman yang padat terhadap seksual. Awal abat 17 victorinisme membatasi seksual hanya sebatas di dalam rumah dan perkawinan dalam lingkungan keluarga, namun setalah itu diserap oleh ilmu pengetahuan ke dalam diskursus, adanya suatu usaha agar seks dipadatakan melalui bahasa, pernyataan bahwa seks adalah topik yang sangat menyenangkan untuk dibahas, bahkan di lain kajian tentang seksual sudah diciptakan teorinya. Penanaman idiologi atas ketabuan seks harus disirnakan karena itu menyasikan. Agar diskursus tentang seks ini tidak merugikan kekuasaan, maka kekuasaan berusha mengidentifikasi, menyediakan literatur dan melakukan pencatatan yang sangat rapi, persoalan seks adalah kebijakan negara, di Indonesia sendiri lahirlah UU pornografi dan porno aksi. Artinya, kekuasaan tidak berusaha tidak menyembunyikan hasil dari peningkatan pandangan tetapi lebih tertarik kepada kenikmatan seks. Focoult juga menyatakan bahwa kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan persetubuhan, dengan mencumbunya dengan mata, mengintensifkan bagian-bagiannya, membangkitkan permukaannya dan mendramatisir kekacauan (Rizer 2003: 112).
Kemudian pasca pelacur melahirkan postfeminisme, yang mana banyak kalangan menuntut untuk melegalkan prostitusi, lesbian, homoseksual dan heteroseksual. Prostitusi, lesbi ataupun homo pernah dibicarakan tuhan pada masa Nabi Lut, yang maan para umatnya dilaknat kerena laki-laki telah menyerupai perempuan, perempuan menyerupai laki-laki, seks sesama jenis. Kemudian Dorse yang menukar kelamin mejadi perempuan, Afi yang minta dikuburkan sebagai laki-laki, Lenny yang sembahyang memakai makena dan pergi Haji sebagai laki-laki. Ini adalah sebuah fenomena yang nyata ditawarkan oleh media yang sudah dimamah oleh masyarakat komsumer kita. Memang betul isunya berangkat dari jender, persamaan jender, pembagian rata hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan. Juga, awalnya mucikari hanya seorang penampung PSK atau pencari PSK untuk diperkerjakan, tetapi lambat laun hal itu berubah menjadi sebuah profesi yang patut pula dihargai dan diakui. Perhatikan saja rimah atau Lokalisai Doly, setiap belun puasa kegiatan jual beli diliburkan karena para pekerja pulang kampung untuk menunaikan ibadah puasa, sementara itu Pak RT di lingkungan Doly bisa istirahat.
Nah apa yang terjadi di dunia media, sesuai dengan apa yang dinyatakan Focoult tersebut di atas, seks dicumbu dengan mata, televisi menyuguhkan kemolekan tubuh wanita, kelangsingan, mulus, cantik itu putih dan segala macamnya. Inilah yang yang dinginkan oleh kekuasaan, memanajemen seks untuk kenikmatan dan kepuasan birahi melalu sarana media, sebab tidak bisa ditolak bahwa semua mata masyarakat konsumen sudah tertuju pada dunia maya, antologi citraan. Sangat menggiurkan ketika iklan sampo mampu membersihkan kotoran rambut hingga keakar-akarnya, dan sangat menjanjikan ketika memakai biore, nivea mampu membuat wajah bersih dan putih. Meminum pil rapet wangi membuat perempuan terasa virgin. Sejalan juga denga apa yang dikemukan Piliang (2004: 322) bahwa kesucian telah digantikan oleh mesin, yang suci adalah yang sesuai dengan apa yang dibicarakan dalam ontologi citraan. Ini adalah suatu usaha bagaimana membuat kaum adam senang, dan matanya tertuju kepada virjinitas kaum perempuan. Moral-moral seperti ini telah mampu menciptakan mitos baru bahwa yang virjin itu adalah perempuan yang suca meminum pil rapet wangi, dan secara tidak langsung sudah menghancurkan mitos lama bahwa yang virgin itu adalah yang suci dan belum tersentuh. Di sini moral yang diajarkan agama samawi terbuang dan hancur seiring timbulnya mitos yang dibuat oleh kekuasaan.
Sejalan dengan itu, ekploitasi terhadap seksual semakin dibicarakan, budaya seksual yang menjadi pembahasan cultural studies mengkategorikannya ke dalam budaya populer yang sudah seharusnya dinimati oleh masyarakat moderen. Setidaknya itulah yang diciptakan dan yang dinginkan Hagemoni Barat dan Eropah, membangun sebuah tatanan baru, feminisme perempuan dunia ketiga ke dalam sebuah kancah yang dulu termarjinalkan, menjadikan perempuan pribumi atau perempuan Timur sebagai objek pembanding. Membuat pernyataan bahwa sudah saepatutnya kesetaraan jender menjadi kajian yang menarik. Padahal sesungguhnya pandangan feminisme baru itu adalah sebuah pendustaan untuk menghancurkan mitos perempuan suci yang dimiliki oleh orang Timur. Di pihak perempuan Timur malah tidak sadar bahwa penjajahan terhadap dirinya sudah dilakukan oleh feminisme Barat (Yahudi), mempunyai anak cukup 2 saja karena bisa lebih fokus untuk membiayainya, makanya pakai kondom dalam transaksi seksual, atau diperbolehkan berhubungan seks dengan menggunakan kondom, bergerigi agar lebih sensual. Sekarang, transaksi seksual sering dibumi hanguskan, kalau memang benar ini dilaksanakan maka kerugian yang utama terletak pada kekuasaan, jika pelcuran ditutup maka berkuranglah devisa. Salahnya kekuasaan sendiri, bagi kaum lelaki dituntut mempunyai istri 1 supaya bisa bersifat adil dan setia, kekuasan memunculkan UU tentang itu, akibatnya Si laki-laki bebas jajan di pinggiran jalan dari pada menyantap hidangan yang terjamin dan bersih di dalam rumah. Namanya jajan di luar belum tentu jajanan itu bersih dan terbebas dari kuman penyakit.
Dalam bebearapa waktu ini kekuasan lengah dalam mengomandoi seksual, sehingga seks mengganas merambah gedung suci DPR, instansi dan lembaga-lembaga terdidik, sehinngga mental para pemangku kekuasan perlu dipertanyakan. Perselingkuhan, pelecehan seksual, dan istri simpanan, telah menghanguskan apa yang dianggap aturan yang ideal bagi bangsa Timur dan memberantas habis feminisme ketimuran. Media yang sarat dengan informasi telah berubah menjadi pemangsa yang ganas, memangsa budaya, moral hingga masyarakat akar rumput, pelecehan terhadap anak di bawah umur, perkosaan yang dilakuakan oleh ayah rutiang adalah fenomena yang tidak asing lagi, beginilah feminisme yang dinginkan dunia Barat. Memang wanita karir adalah sebuah profesi yang sangat menjajikan dalam dunia moderen tetapi secara radikal keluar, suami terabaikan, anak-anak kehilangan idolanya yang pertama, sejak kecil hidup dengan bebi sister, bebi sister jadi ibu tiri. Selera suami lebih ditentukan oleh pembantu, mulai dari pakaian, masakan hingga seks.
Sekurang-kurangnya usaha hagemoni Barat sudah mulai sukses untuk menanamkan ideologinya, sorotan terhadap kaum perempuan terpinggirkan menjadi suambangan hangat bagi perempuan timur, tetapi sesunggunya perempuan Timur telah membantu mentransformasikan usaha mereka untuk kembali menjajah dengan sistem.

2. Kuasa
Hanya berawal dari nafsu, nafsu benda, seks, dan jabatan. Mari kita coba mengkaji sedikit tentang nafsu. Abraham Ilyas (2003) menggolongan nafsu menjadi 2 bagian, pertama dinamakan dengan keinginan atau syahwat, syahwat ini dibagi menjadi 2 yaitu nafsu berbuat baik (mutmainah) kaum sufi menyebutnya dengan sifat ketuhanan dan Nafsu Asmara (supiah) yang membakar kebirahian remaja, mempercantik diri. Kedua dinamakan dengan ghodob (kemurkaan) yaitu amarah dan lawammah. Nafsu amarah sifatnya mempertahankan diri, berlindung, melawan, melarian diri, dan mempengaruhi orang lain. Jika berkembang sesuai dengan sepatutnya maka baiklah sebuah negara, sifatnya suka mencela dan keras kepala. Sedangkan lawammah yaitu nafsu untuk mengembangkan diri sifatnya rakus, tamak, ibarat seekor raksasa yang ingin melahap apa saja, jika nafsu ini terkordinir dengan baik maka akan mengusung kepada pembanguna material yang bagus.
Nah sekarang, kedua nafsu seperti yang dikemukan dokter gigi di atas dihadapakan kepada kapitalisme golbal yang nyatanya telah menyediakan ruang untuk perkembangan hasrat dan birahi. Sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Piliang (2003) semuanya berwujud simulasi, kekaburan batas antara polisi dengan kriminal, spiritual dengan antologi citraan, politik dengan ekonomi. Senyatanya telah terjadi penyatuan imanem dengan transendent. Apa yang dibanggakan oleh masyarakat moderen terhadap kemapanan, apa yang dipuja budaya pop atas nama kemajuan hanyalah berwujud utopia, utopia idiologis, utopia kemaslahatan dan utopia akhlak. Yang mapan adalah sebuah pembodohan, pembodohan-pembodohan inilah yang menggelayut di benak masayarakat komunal global.
Dunia nafsu yang digambarkan Abraham membaur dan saling tumpang tindih dalam merebut masing-masing kesempatan. Nafsu mutmainah menyatu dengan nafsu supiah di dalam kancah politis, di dalam kancah moralitas dan di dalam kancah budaya. Di saat burung garuda terbanng di atas nusantara, sungguh melihatkan kemakmuran, padi menguning, sayuran subur, petani salut acungkan jempol. Ketika petani bercengkrama dengan penjaga warung, kepentingan politis di elu-elukan, BBM turun, Bulog dikendalikan sementara masih ada saja orang yang kelaparan dan putus sekolah di usia yang sangat produktif. Di lapangan sosialisasi besar-besaran, memakai baju berlambangkan partai poliik mendapatkan upah Rp. 25.000. Namun, di sela kebodohannya masyarakat akar rumput mempergunakan momen yang sangat menantang itu, uang diambil tetapi pilihan tetap pada hati nurani rakyat atau hati nurani partai? Masyarakat telah lupa kedasyatan lumpur porong yang sampai sekarang semakin banyak memakan korban harta benda, masih tidur di tenda darurat, sementara lokasi lumpur sendiri sudah menjadi objek wisata, tercipta juga lapangan kerja baru di lingkungan porong, tetapi itukan hanya segelintir orang yang menikmati, lalu korban-koraban moral yang ditimbulkan bencana buatan itu bertindak anarkis, merampok dan menjual harga diri, inilah sebuah moral yang diinginkan kekuasaan, berusaha membuat wacana bencana untuk mengaburkan isu penting di dalam perpolitikan nasional. Kemudian di antara kampanye dengan bencana situ gintung? Tiada pembatas, menari di atas yang menangis, pesta demokrasi di pundak luka moral bangsa.
Pasca tumbangnya orde baru sebagai simbol kestabilan nasional terjadilah eksodus manusia secara besar-besaran, pengusiran, pembantaian etnis, perang suku, ras hingga agama. Ini dikatakan piliang secara semiotik sebagai simbol keruntuhan persatuan dan kesatuan bangsa, dimana saudara sebangsa tidak menghargai lagi perbedaan pendapat, etnis, agama dan kebiasaan. Hilangnya ruang-ruang sosial, kesaling pengertian, dan saling memahami, hanya kerana si termarjinalkan kembali menuntut atas ruang soaialnya yang telah dikapling dan dibagi-bagi penguasa pada masa lalu. Suatu momen yang tepat bagi media untuk menyatakan bahwa telah terjadi tindakan anarkis karena kesalahpahaman di antara masyarakat, media mampu memanagemen wacana itu kedalam sebuah berita yang populer di bicarakan hingga munculnya isu baru yang menghilangkan isu lama, permasalahan isu lama seslesai seiring yang dinginkan alam. Para masyarakat dibodohi, intelektal dipermainakan, intelektual ontologi citraan dipertanyakan.
Luka-luka itu bertambah lama bertambah melebar dan merambah masyarakat tradisional ke pelosok-pelosok terpencil, masyarakat tradisional seakan mengetahui cara membunuh, maling dan memperkosa dengan baik setelah simulasi buser di wacanakan di dalam media, kronologi peristiwa mengajarkan dengan cara tersistem, apa saja yang dipersiapkan pelaku sebelum membunuh, rute yang ditempuh, dan prosesnya hingga korban meregang nyawa. Sebuah kronologis citraaan yang sangat mendidik khalayak untuk bertindak anarkis dalam mencapai sebuah keinginan. Ketika si miskin maling ayam, sepeda motor atau pencopet hukum rame-rame ditegakan, kapan perlu ada bekas tembakan di kaki si terdakwa supaya tertanda dan terbukti terdakwa berusaha kabur saat di grebek polisi. Namun, dibalik itu semua, terdapat komando pencopet yang ditenggarai oleh pihak yang berwajib, di anggap sebagai uang keamanan. Lalu bagaimana jika hukum berhadapan dengan pemegang kekuasaan? Korupsi, pelecehan seksual, hukum dibuat samar, sebuah trik untuk melepaskan diri penguasa dari segala macam tuduhan dan jeratan dosa.
Pada masa orde baru penjajahan atau halusnya perluasan pengaruh kekuasan ditanamkan melalui ekonomi, politik dan budaya. Seolah-olah terdapat slogan, ‘’kami dan engkau’’, kamu adalah pancasialis dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan oleh karena itu engkau perlu di tatar, dan disingkirkan lebih-lebih bagi nenek moyangnya terlibat. Masa itu dipertegas oleh media dengan memutar kebejatan PKI pada tahun 65, sementara kisah pilu PRRI di sumatra barat terlupakan. Di saat tentara pusat mengerayangi harga diri rakyat Minangkabau, itu dianggap sebagai penjaga persatuan dan kesatuan, pembelaan terhadap kesaktian pancasila, seekor burung garuda yang dipaku didinding sekarang sudah bisa terbang menyelusuri seluruh pelosok nusantara, menebarkan kekuasaannya di pelosok kepulauan Indonesia, alangkah lebih berbahaya lagi.
Tidak berhenti hanya sampai di situ, pengaruh-pengaruh itu kembali dilanjutkan, media sebagai perentara kekuasaan itu, puluhan partai politik telah saling merebut pengaruh dan perhatian dari orang yang termarjinalkan secara politis, ekonomi dan budaya. Maka dibuatlah sistem politik yang agak berbeda dari sebelumnya, sistem ekonomi yang lebih kapitalis dari yang kapitalis (postcapitalis) sangat tersistem tangan-tangan panjang itu melangkul masyarakat yang kebetulan sedang kedinginan, kehausan dan kelaparan terhadap loyalitas pemimpin. Layaknya persatuan dan kesatuan itu telah dipecah, dikapling-kapling berdasarkan kepentingan politis demi menabur benih dan menanamkan kekuasaan baru di indonesia baru. Ingat burung Garuda yang dipaku di dinding sudah tidak merasa puas makanya dia terbang melihat secara langsung dimana lahan strategis untuk dijadikan pusat dan titik kekuasaan.
Jelas terasa bahwa nafsu amarah yang dimiliki kaum tertindas akan berhadapan secara langsung dengan nafsu lawwammah yang dimiliki oleh kekuasaan, perang tanding, sebagai akibat dari pengkaplingan hak, teritorial, pemaksaan politis hingga pembunuhan berencana melalu sistem. Sejalan dengan apa yang dinyatakan Frederik Nietczhe bahwa di saat para budak berkuasa revolusi massal akan dilakukan, bertindak atas nama keadilan, anarkis demi membela hak yang telah terampas, teriotorial yang direbut, sehingga kaum tertindas yang mengatasnamakan dirinya budak-budak yang berdaulat akan menuntut balas atas hak-haknya yang telah direbut oleh sejarah masa lalu, Skizofrenia historis dan sebuah utopia kemajuan. Kekerasan-kekerasan gaya baru tersebut sangat mempunyai peluang untuk menempati kekuasaan, sistem hukum, dengan puluhan partai politik dan sekaligus anarkis simpatisan hingga calon penguasa sendiri sudah mulai unjuk kekuatan untuk merebut simpati kaum tertindas.
Setelah berhasil memegang tampuk kekuasaan, cara menjajah akan lebih tersistematik, sebab kekuasaan akan mengambil dan belajar pada sejarahnya sendiri yang begitu anarkis serta memihak penguasa. Jika Focoult mengaitkan pengetahuan dengan kekuasan, Piliang mengaitkan pengetahaun, kekuaasaan dengan kematian, maka di saat yang akan datang penambahan yang dilakukan Piliang bisa berubah dengan kematian tersistem, dramatisir, dikolosalkan agar lebih indah. Melalui kepintaran media massa mengkolonialisasikan bahasa, kode-kode sosial mampu menciptakan strategi baru, mitos baru untuk mencapai kemakmuran yang diinginkan kekuasaan, sentralistik penguasa. Melalui ekploitasi language dan parol kekuasaan akan akan kekal di atas pundak-pundak deritanya kaum marginal, kekuasaan akan bertengger santai setelah tampuk jaringan dipegang oleh hanya satu orang, godfather.
Namun, publik yang pada mulanya dianggap bisa dibodohi terpakasa pintar, kuda memperkuda siapa, Si bodoh yanag akan membodohi siapa, seeprti yang diungkapakan pepatah minang, ‘’iyokan nan di urang lalukan nan di awak’’. Kalau boleh meminjam istilah Giddens tumbal modernitas yang dinamakannya itu akan akan bertindak kanibal melebihi Sumanto Si pemakan mayat, kali ini hingga abu tulang belulang akan menjadi incaran para budak-budak marginal. Contoh nyatanya dapat kita lihat dari tragedi ponari mampu mengungkap semua kejelekan kekuasaan, biaya berobat yang begitu mahal, birokrasi yang berbelit-belit di rumah sakit pemerintah, yang miskin cenderung terlalaikan sehingga Si miskin terpaksa meregang nyawa karena tidak mendapat kesempatan untuk hidup lebih lama. Masyarakat kecil putus asa, mempergunakan tetumbuhan yang tumbuh di daerah kotoran, barang-barang yang diharamkan agama, tetapi untuk obat hal itu dimaafkan, yang penting sugesti untuk tetap hidup. Ponari bukanlah fenomena langka dan baru, kebiasaan seperti ini sudah terjadi sejak puluhan tahun di daerah Minangkabau, jika anggota masyarakat tasapo, tataguaran, obat yang dianggap mujarab adalah cikumpai, cikarau, sidingin, sitawa, sapitan tunggua, pudiang hitam hingga air kencing mampu menyembuhkan. Hal ini diyakini mampu menawarkan maka tumbuhan itu dinamakan si tawa, kemampuan menyelesaikan masalah dengan jin dinamakan dengan ci karau berasal dari perkara, cikarau sengaja membuat buat perkara, si dingin dan si tawa mampu mendinginkan dan menenangkan Si pesakit. Anehnya masyarakat tradisional di jika berhadapan dengan penyakit kuno masyarakat Minangkabau tidak mempercayai obat yang diberikan dokter. Aapakah ini lambang keputus asaan dari masayarakat marjinal? Bagaimana jikalau penyakit itu timbul karena tubuh manusia dirasuki jin? Mampukah dokter menyembuhkannya? lalu apa masalahnya dengan Ponari yang hanya sebagai pelanjut dari keputus asaan tersebut, toh penyakit bisa saja sembuh karena adanya sugesti dari si penderita.

3. Politik Yahudi
Sewaktu Bani Israil di usir dari oleh Roma, ketika Ynuani mengkebiri dan membantai Bani Israil, dan di saat Mesir di bawah Amnehotib ke-IX memperbudak Kaum Yaqub ini terbitlah dendam kesumat bagi kaum Yahudi yang nota benenya adalah Bani Israil. Yahudi marah sehingga menghancurkan harapan Musa yang membawa taurat, dijadikannyalah Taurat sebagai Talmut, yang mana pokok ajarannya adalah mengganggap Bangsa Yahudi lebih unggul dari bangsa lain, agama Yahudilah yang lebih sempurna, Bangsa Yahudi bangsa pilihan Tuhan. Adalah wajar Yahudi bersikap seperti itu, sebab bagaimanapun juga syirah para Nabi menyatakan bawha Ibrahim, Musa, Yusuf, Yaqub, Sulaiman adalah manusia pilihan dai kaum Yahudui.
Nah, perasaan tidak senang muncul ketika kaum yahudi dideskreditkan, di bantai oelah nazi dan pengusa setempat lainnya. Di seluruh penjuru Yahudi menjadi bulan-bulanan dan tidak punya tempat tinggal. Talmut mengajarkan bangsa Yahudi memperbolehkan melakukan segala cara demi tegaknya kembali Kuil Salomon. Di segala penjuru Dunia Yahudi ada sebagai pengendali, mereka minoritas tetap mampu memanfaatkan penguasa setempat, Amerika, Inggris, Parncis, Spanyol, Indonesia dan seluruh Negara di bumi ini mulai merasakan kuatnya pengaruh Yahudi. Indonesi yang terikat uatag luar negri yang diwadahi IMF adalah bikinan Yahudi, uang diperbungakan untuk selalin bangsa Yahudi, di ciptakan Sosialis, Komunis, Demokrasi, Pluralisme, Marxisme dan segala macam ideolog yang mengatasnamakan Humaniora. Fremansory sebuah organisasi Nirbala yang mengatas namakan kemanusia adalah buatan Yahudi, sempat pula bergabung Jalaluddin Al-Afgani sebagai anggota.
Di Amerika Serikat segala lini dipegang oleh Yahudi. Ekonomi, Sosial, Budaya, Politik, Agama, hingga Media dikendalikan oleh Yahudi. Ajaran Marxisme buatan Karl Marx adalah yahudi karena Marx sendiri adalah Yahudi, Enstein yang kabur dari Jerman di saat pembantaian orang Yahudi oleh Hitler kabur ke Eropa dan menciptakan penemuan baru.
Nah, apakah Yahudi sudah sampai di Indonesia? Jawabnya ialah sudah lama, mereka juga menanamkan pengaruhnya di dunia akademis, Politik (multy Partai), Sosial agama (kawin beda agama), homo seksual, perkosaan anak dibawah umuradalah ide dari yahudi. Sebab yahudi sengaja merusak keturunan umat agama lain dengan jalan zinah. Aneka zinah adalah sebuah makna kerusakan generasi agar Yahudi lebih gampang memanfaatkan hasil karyanya tersebut. Sementara di kalangan mereka sendiri tidak melakukan ide ciptaannya tersebut. Sesama orang Yahudi tidak boleh berzinah, orang Yahudi dilarang nikah dengan orang beragama selain Yahudi, orang yahudi tidak boleh memakan riba karena mereka tahu dampaknya sangat buruk bagi saudara-saudaranya.
Ketika orientalisme muncul, Timur dianggap terbelakang, kanibal, Baratlah yang nomor satu. Bangsa timur adalah keturunan Syetan, sama dengan orang Nasrani sama-sama dari Syetan. Setelah Barat memiliki pengaruh besar notabenenya adalah Yahudy. Hagemoni yang digambarkan sebagai strategi sosialis (Laclau,2008) dimapatkan dan diselipkan ke segala lini, media sebagai salah satu sarana terbesar di Indonesia menyalurkan pengaruh dan ide Yahudi, pergaulan bebas, KKN, dan kebejatan moral lainnnya sangat jelas digambarkan media massa. Namun, masyarakat komunal memandang hal tersebut sebagai Multicultural, padahal multicultural dapat melahirkan orang cerdar sekaligus merusak moral bangsa dan masayakar consumer, budaya popular, modernisai hingga postmodernisme itu sniei adalah trik dari Yahudi itu sendiri agar gerak geriknya susah dicium, seadainya tercium nasib Yahudi akan lebih naas lagi, pembersihan etnis Yahudi di seluruh Negara.
Lalu apa yang dinginkan Kolonial? Siapakah kolonial itu? Berkaitan dengan apa yang diwacanakan di atas bahwa kolonial adalah sebuah gerakan penjajahan, kolonial tidak hanya Belanda atupun Inggris. Kolonial adalah sebuah usaha untuk menguasai hingga keakar-akarnya, kapan perlu tiada meninggalakn bekas. Kolonial adalah sebuah sifat dan gerakan sosialis, komunis, idiologis, yang sengaja diciptakan oleh Kaum Bani Israil (Yahudi) yang notabenenya dijelaskan tidak pernah mempunyai tempat tinggal yang tetap tetapi mampu menghasilkan pengaruh besar. Kolonial memegang pucuk pimpinan Amerika Serikat, Inggris, dan semua nagera kuat yang ada di belahan dunia. Dia masuk memalui sistem pendidikan, ekonomi, budaya, agama dan sosial masyarakat. Kehadirannnya terasa tetapi tidak terlihat, dia bergerak lambat tapi pasti, ketika gelagatnya merugikan kekuasaan setempat maka terjadilah pembantaian besar-besaran terhadapnya, seperti yang dilakukan Roma, Yunani, Mesir dismasa kepemimpinan Amnehotib (Ramses) hingga menjadi kelinci percobaan oleh Nazi.
Kemudian Inggris membuka eksodus bebsar-besaran terhadapnya saat menjajah palestina, pintu itu dibuka lebar bagi Inggris untuk kaum Yahudi untuk membentuk Negara Zionis yang selama ini teranaiaya dan terpinggirkan, mereka sangat yakin bahwa mereka adalah bangsa pilihan tuhan tetapi kenapa mereka tidak mempunyai tempat tinggal sehingga pembantaian terhadap etnisnya sering terjadi. Ibrahim, Musa, Yuyuf, Yaqub, Sulaiman adalah dari keturunanya tetapi kenapa Muhammad tidak dari keturunnanya? Kuil Salomon dihancurkan Roma dan islam mendirikan Masjidil Aqsa di atas reruntuhnya, para rabi membawa kekayaan kuil Salomon ke Vatikan Roma. Sekarang mereka menuntut minta kekayaan itu minta dikembalikan dan hancurkan Vatikan demi menyambut Al Meisiah sebagai juru selamat dunia, dia akan bersinga sana di Kuil Salomon yang direncanakan didirikan kembali. Islam sebagai musuh berbuyutan dan sekaligus pelindung bagi bani Israil semasa di usir dan dibantai tidak luput dari rencana jahat kolonial itu.
Kita mungkin masih ingat ambruknya gedung WTC, itu adalah ulah Yahudi dan bukan Osama Bin Laden sendiri, namun yang didosai adalah Oasama dengan kawan-kawannya. Bagi osama Bin Laden tidak masalah karena beliau adalah bangsa Yahudi. Tetapi label dan kode teroris Internasional di hadiahakn kepada Islam, Osama Bin Laden tidak akan bisa mati ataupun tertangkap jika tidak ditangkap atau dibunuh oleh Yahudi sendiri. Lagi pula HAMAS sebagai pembela hak Palestina dikatakan penjahat atau teroris, Amrozi CS dihukum mati, memang itulah yang diinginkan Yahudi supaya jejaknya tidak tercium oleh pengusa setempat, Amrozi CS adalah didikan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam. Nah, pasca terbitnya buku Teroris Internasional, Noam Chomsky menjadi hantu yang ditakuti oleh Barat dan Yahudi.

Simpulan
Media sebagai sarana informasi telah berubah menjadi hantu yang lebih menakutkan dari pada hantu-hantu Marx, sebab dia akan memangsa siapa saja yang bisa dipengaruhinya, runtuhya tembok transenden dan imanem, melahirkan kebiadaban, kekanibalan yang diinginkan Zionis/Kolonial. Terputuslah hubungan spriritual dengan tuhan, itulah yang dinginkan kolonial. Media sebagai sumber berita, telah membawa berita kematian, menanamkan pondasi kehancuran total bagi rakyat bawah. Baik dari segi moral, agam, budaya dan terlebih lagi hubungan sosial.
Media masa telah berusaha menanamkan sifat dan pengaruh kolonial (kapitalisme), meskipun pada awalnya kolonial adalah sifat Yahudi, sebuah bangsa berbahaya bagi setiap orang yang berada di luar etnis itu. Oleh karena itu, perlu dihancurkan dan dibinasakan, sebab belum lama ini Indonesia paceklik karena proses telah terrealisasikan melalui IMF. Besar kemungkinan tujuan selanjutnya menanamkan pengaruh terhadap suku bangsa terbesar di Indonesia yaitu Minangkabau! Sebab bagimanapun juga, Yahudi menghalalkan segala cara demi tegaknya Kuil Salomon dan menjadikan bangsa dan agama lain sebagasi budak, sebuah pembalasan orang Yahudi terhadap deritanya selama di bawah pemerintahan Amnehotib (Fir’aun).
Jadi, siapa saja yang memiliki sifat Kolonial adalah Yahudi, siapa saja yang menganut sitem kapitalis akan tebih cepat berubah menjadi Yahudi. Namun begitu, mereka tidakan pernah diakui sebagai se orang Yahudi, sebab di dalam kitab Talmut telah dijelaskan, ‘’bahwa siapa saja yang ingin menjadi Yahudi boleh-boleh saja, tetapi dia tetap tidak bisa menjadi Yahudi yang sebenarnya’’. Berarti, hanya sifat Yahudilah yang bisa dimiliki oleh bangsa dan agama lain, lagi pula bangsa lain sudah divonis tidak akan mendapatkan tempat di Kuil Salomon, karena mereka berasal dari keturunan Syetan. Hanya Yahudilah yang boleh hidup di dunia ini. Barat adalah anak emas Yahudi, meskipun begitu, Aku, Engkau dan Kita mempunyai peluang besar untuk menjadi seorang Yahudi.


DAFTAR PUSTAKA
Alimi, Moh. Yasir. 2004. Dekontruksi, Seksualitas Poskolonial, dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama. Yogyakarta: LKIS.
Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKIS.
Berlin, Isiah. 2000. Biografi Karl Marx. Surabaya: Pustaka Promethea.
Chomsky, Noam. 1986. Menguak Tabir Terorisme Internasional. Bandung: Mizan.
Dahlan, Muhidin M. 2001. Postkolonialisme: Sikap Kita Terhadap Imperelisme. Yogyakarta: Jendela.
Eco, Umberto. 1987. Tamsya dalam Hyperealitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial. Yogyakarta: Qalam.
Lomba, Anya. 2001. Kolonial dan Pasca Kolonial. Jakarta: Bentang.
Giddens, Anthony. 2001. Tumbal Modernitas. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ilyas, Abraham. 2003. Nan Empat: dialektika, logika, sistimatika alam terkembang. Padang: Lembaga Kekerabatan Datuak Soda.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. Hegemoni dan Strategi Sosialis, Poasmarxis Hingga Gerakan Sosialis Baru. Yogyakarta: Resis Book.
Maheswara, A. 2009. Rahasia kecerdasan Yahudi. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Postrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafikika. Yogyakarta: Jala Sutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamsya Melampoi Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jala Sutra.
Piliang, Yasraf Amir. 200. Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial. Solo: Tiga Serangkai.
Poole, Ross. 1993. Moralitas dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisus.
Mannheim, Prof. Karl . 1993. Ideologi dan Utopia. Yogyakarta: Kanisus.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postsmoderen. Yogyakarta: Juxtapose Research and Publication Study Club dan Kreasi Wacana Yogyakarta.
Ramly, Andi Muawiyah. 2009. Peta Pemikiran Karl Marx. Yogyakarta:
LKIS.
Sardar, Zianuddin. 2008. Membongkar Kuasa Media. Yogyakarta: Resis
Book.
Said, Edwar W. 1978. Oreantalisme. Bandung: Pustaka.
Sawirman. 2005. Simbol Lingual Teks Politik Tan Malaka Eksplorasi, Signifikasi, dan Transfigurasi Interteks. Disertasi Universitas Udayana Denpasar.
________, 2007a. Jurnal Linguistika Kultura, Vol 1 No 1, Juli 2007 hal. v—viii tahun 2007, dalam Pengantar Redaksi berjudul Wujudkan “Mazhab Linguistik/Sastra” di Indonesia.
________, 2007b. Jurnal Linguistika Kultura, Vol 1 No 1, Juli 2007, hal. 3—16 dengan judul artikel Cultural Studies: Dimensi Pengembangan Linguistik Masa Depan.
________, 2008a. Jurnal Linguistika Kultura, Vol. 1 Nomor 3 Maret 2008 dalam Artikel Editorial berjudul “Eksemplar 135” sebagai Embrio “Mazhab Linguistik” Universitas Andalas.
________, 2008b. Jurnal Linguistika Kultura, Vol. 2 Nomor 1 Juli 2008 dalam Artikel Editorial berjudul E135 Membedah “Wacana Dakwah” Usamah bin Laden (Sawirman, 2008).
________, 2008c. Menciptakan Paradigma Wacana Berdimensi Cultural Studies (disebut dengan ”Eksemplar 135”), dipresentasikan dalam Forum Dosen Berprestasi di Rektorat Universitas Andalas tanggal 11 Juni tahun 2008.
________, 2008d. Selamatkan Linguistik dengan e135. Makalah pada National Seminar on Language Literature and Language Teaching di FBSS UNP Padang tanggal 10-11 Oktober 2008
________. 2009. Kajian Linguistik Indonesia Kehilangan Esensi: Promosi Wacana Politik dan Eksemplar 135. In Zubir, et.al. In Memoriam Prof. Dr. Khaidir Anwar. Padang: Unand Press.
Sturrock, John (ed). 2004. Strukturalisme Post-Strukturalisme dari Levi-Strauss sampai Derrida. Surabaya: Jawa Pos Press.
Sunardi, ST. 2006. Nietzsche. Yogyakarta: LKIS.
Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta: Juxtapose Research Publication Study Club dan Kreasi Wacana Yogyakarta.

2 komentar:

  1. Man Pak..semoga selalu berjaya..hidup Timur..!

    BalasHapus
  2. Sudah saatnya dunia Timut dipegang oleh timur....selamat Tinggal Barat meskipun matahari terbit dari Barat...

    BalasHapus