Minggu, 20 September 2009

Iklan Rokok A-Mild: Dianalisis dengan e135-Sawirman Universitas Andalas

Iklan Rokok A-Mild: Dianalisis dengan e135-Sawirman Universitas Andalas

Oleh: Yulianita
(Dosen Baiturrahmah Padang)


I. PENDAHULUAN
Sering kita jumpai perempatan jalan di kota-kota besar di Indonesia dibanjiri oleh beragam bentuk iklan, salah satunya rokok A-Mild. Sarana-sarana komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan dan menyebarluaskan pesan-pesan iklan A-Mild ini, antara lain melalui surat-kabar, majalah, papan-iklan,baliho, umbul-umbul, sticker-sticker sampai penutup ban mobil. Banyak orang bertanya-tanya tentang arti gambar dan teks-teks iklan-iklan A-Mild. Setiap orang mempunyai jawab yang beragam dan tidak jarang mengakui jawabannya sebagai yang paling benar. Orang tergelitik dengan tampilan gambar dan tulisan iklan A-Mild yang berkesan bombastis. Iklan A-Mild membuat orang mereka-reka, bertanya-tanya dan menjawab sendiri sebatas yang dia tahu dan mengerti dari pembacaan iklan itu. Orangpun menjadi penasaran karena iklan tersebut menunjukkan tidak adanya hubungan langsung antara gambar dengan tulisan atau keterangan gambar, apalagi dengan materi iklannya (rokok). Contoh, tampilan gambar Simpanse yang mengelus-elus kepala dengan wajah yang kedungu-dunguan serta tulisan "Susah Jadi Manusia", yang kesemuanya dirangkai dengan tulisan "Bukan Basa-Basi" justru melebarkan perekaan arti pada pembacaan gambar-gambar (teks) iklan tersebut.
`Yang lebih menarik pula dari tampilan iklan ini adalah justru produk yang ditawarkan (yakni rokok A-Mild) disajikan dalam skala yang sangat kecil dan nyaris tidak menonjol sebagai suatu komposisi sajian grafis. Produk yang dipasarkan biasanya tampil secara mencolok dan cenderung menjadi fokus dari sajian iklan. Suatu hal yang tidak dilakukan oleh iklan A-Mild tersebut.

PERMASALAHAN
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pembongkaran makna tanda linguistic dalam iklan rokok A-Mild “Susah Jadi Manusia, Bukan Basa-Basi” dengan menggunakan E-135 dengan memberikan terlebih dahulu analisa semiotika dari salah satu episode iklan rokok A-Mild tersebut.
TINJAUAN UMUM IKLAN
Kata iklan didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai berita pesanan untuk mendorong, membujuk kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan; iklan dapat pula berarti pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang didalam media massa seperti surat kabar dan majalah (KBBI:322). Iklan memiliki fungsi untuk menyebarkan informasi tentang penawaran suatu produk, gagasan atau jasa. Keberadaan suatu barang atau jasa diketahui konsumen lewat iklan. Iklan berusaha memberikan informasi tentang keunggulan, kelebihan, manfaat dan sifat yang diberikan barang, jasa atau gagasan yang dimaksudkan atau dianjurkan. Di sisi yang lain iklan merupakan alat persuasi agar konsumen membeli atau menggunakan barang, jasa atau gagasan tersebut. Berbeda
dengan sebuah berita dalam suratkabar, iklan tidak sekedar menyampaikan informasi tentang suatu benda atau jasa, tetapi mempunyai sifat "mendorong" dan "membujuk" agar orang menyukai, memilih dan kemudian membelinya.
Dalam kaitan ini Astrid S. Susanto menulis periklanan adalah penyebaran informasi dalam bentuk lisan, tertulis, berbentuk gambar ataupun secara audio-visual berusaha untuk memperoleh dan mengikat calon pembeli untuk jangka panjang. Dengan demikian iklan bertujuan memberi informasi, membujuk serta mengingatkan konsumen tentang suatu produk, jasa atau gagasan tertentu. Dalam proses periklanan terjadi proses yang berkaitan dengan disiplin psikologi; mulai dari tahap penyebaran informasi sebagai proses awal, hingga ke tahap menggerakkan konsumen untuk membeli atau menggunakan jasa adalah suatu proses psikologi. Iklan dapat dikatakan berhasil apabila mampu menggerakan konsumen untuk pertama kali saat melihat penampilan iklan tersebut; rangsangan visual dari penampilan iklan langsung mendapat perhatian dari pemerhati. Proses berikut adalah hadirnya penilaian akhir terhadap isi atau pesan dari iklan, dengan mempertimbangkan perasaan calon konsumen, yang memunculkan tindakan atau sikap sesuai dengan penilaian akhirnya.
Periklanan selalu melibatkan proses-proses komunikasi dalam tindak-tanduknya. Komunikasi merupakan salah satu unsur dalam iklan yang tidak dapat dipisahkan. Periklanan dalam proses kerjanya melibatkan komunikator sebagai pihak pengirim pesan, media sebagai saluran komunikasi untuk menyampaikan pesan serta komunikan sebagai penerima pesan. Dalam perkembangan yang sangat pesat periklanan saat ini, iklan-iklan bersifat non-personal hal ini terlihat dengan penyampaiannya yang tidak dapat dipisahkan dengan media-massa, periklanan termasuk bentuk komunikasi massa. Dalam kaitan dengan konteks komunikasi, Sudiana (1986:1) memberikan batasan iklan sebagai "salah satu bentuk komunikasi yang terdiri atas informasi dan gagasan tentang suatu produk yang ditujukan kepada khalayak secara serempak agar memperoleh sambutan yang baik. Salah satu bagian dari teori komunikasi adalah teori persuasi. Secara teoritis, persuasi didefinisikan sebagai upaya seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi atau mengubah pandangan atau pendapat seseorang atau sekelompok orang lain. Persuasi adalah upaya mempengaruhi atau mengubah pendapat yang terjadi dalam proses komunikasi itu sendiri dan berakibat pada reorganisasi kognitif pada diri seseorang. Dengan demikian, persuasi tidak hanya terjadi sesaat, tetapi merupakan suatu proses yang berlanjut (Hoed 1992:3). Proses komunikasi merupakan proses pemindahan pesan dari komunikator ke komunikan. Pesan dapat berupa lambang-lambang, yang dapat berbentuk gambar, tulisan, bunyi-bunyian, gerakan dan sebagainya. Pesan-pesan yang berupa 'tanda' atau lambang tersebut merupakan hasil implementasi dari pesan yang akan disampaikan.

MODEL BAHASA DALAM PEMBACAAN IKLAN
Bagaimanapun desain komunikasi visual yang perwujudannya berupa iklan adalah sajian
yang kasatmata, dimana secara umum bahasa rupa digunakan untuk merangkul segala yang kasatmata dan merupakan media antara perancang iklan atau komunikator visual dengan calon konsumen. Komunikator visual biasanya membatasi bahasa rupa pada tataran segitiga estetissimbolis-bercerita.6 Pada aspek simbolis inilah sajian iklan harus dibaca sebagai suatu sistim permaknaan. Rosalind Coward dan John Ellis didalam bukunya yang berjudul Language and Materialism mengatakan bahwa semua praktek sosial dapat dianggap sebagai makna, sebagai pertandaan (signification) dan sebagai pertukaran (exchange) diantara subyek-subyek dan karenanya dapat bersandar pada linguistik sebagai model untuk pengembangan realitasnya secara sistematis. Fenomena-fenomena sosial-budaya seperti fashion, makanan, furniture, arsitektur, pariwisata, mobil, barang-barang konsumer, seni, desain dan iklan dapat dipahami berdasarkan model bahasa (Piliang:1995). Menurut ancangan semiotik apabila keseluruhan praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya juga dapat dianggap sebagai "tanda-tanda" (signs). Dalam semiotika Saussurean 'tanda' merupakan dua bidang yang tak dapat dipisahkan, yaitu bidang penanda (signifier) atau bentuk dan bidang petanda (signified) atau makna. Menurut semiotika Saussurean tanda harus mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil dan pasti.
"Sains tentang tanda" akhirnya juga dilanda perubahan-perubahan akibat perkembangan
masyarakat post-industri. Saat ini dihampir seluruh belahan dunia telah terjadi perubahan kondisi
kehidupan, dari apa yang disebut sebagai modernitas menuju apa yang tengah diperdebatkan dan
yang kini dikenal sebagai post-modernitas. Perubahan ini menurut Yasraf Amir Piliang (1995:25), memantulkan gema sosial dan kebudayaan yang melintasi seni, sastra, arsitektur dan banyak bentuk kebudayaan lainnya. Modernitas yang bergelimangan rasionalitas, individualitas,
keseriusan dan keangkuhan telah jauh ditinggalkan oleh budaya post-modernitas. Post-modernitas dalam permainan bahasanya lebih bersifat ironis, yang dituju budaya post-modernitas bukan lagi keefektifan pesan; post-modernitas bukan lagi mencari kedalaman makna komunikasi, tetapi hanya mencari kesenangan "bermain-main dengan bahasa" serta kenikmatan lain yang oleh Baudrillard disebut sebagai kemabukan komunikasi atau ekstase komunikasi. Apabila semiotika strukturalis menerapkan konsep tanda yang bersifat stabil dan pasti, maka didalam kebudayaan post-modern terjadi ketidakstabilan makna (bandingkan dengan semiotika strukturalis yang permaknaannya bersifat ideologis). Piliang menyitir pernyataan Richard Hartland dalam bukunya yang bertajuk Superstructuralism : The Philosophy of Structuralism and Post-Structuralism, bahwa kecenderungan teks-teks post-modern menggunakan model semiotis yang tidak konvensional, bahwa tanda-tanda digunakan secara ironis, bahkan cenderung anarkis dan tak bertanggungjawab.
Makna ideologis yang stabil bukan lagi yang utama, namun justru permainan penanda dan makna yang ironislah yang dicari. Menurut Baudrillard makna sudah mati, petanda sudah tidak berfungsi lagi. Hal ini tak lebih dari sekedar alibi agar bentuk (penanda) bisa bermain secara bebas. Lebih lanjut Piliang menuliskan bila semiotika Saussure -penanda/petanda- menganggap petanda sebagai makna absolut, pada bahasa estetik post-modernisme adalah "permainan penanda" (bentuk) yang dipentingkan, sementara makna tak lebih dari efek dari permainan penanda in. Kita dibiarkan dengan permainan murni dan acak penanda-penanda
yang kita sebut post-modernisme.
Menurut Roland Barthes (Piliang 1995:31) sebuah teks (karya) bukanlah sebuah produk yang dihasilkan melalui suatu aturan atau kode-kode yang kaku sehingga menjadi menjadi model tunggal, melainkan sebuah perspektif dari fragmenfragmen,dari suara-suara, dari teks-teks lain, kode-kode lain. Sebuah teks post-modern menurut Barthes, bukanlah sebuah produk yang menghasilkan makna tunggal atau pesan pengarang, melainkan sebuah ruang multidimensional, yang didalamnya bercampuraduk dan berinteraksi berbagai macam tulisan, yang tak satupun diantaranya yang orisinil. Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari berbagai pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya.

ANALISA SEMIOTIKA DAN WACANA IKLAN ROKOK A-MILD
Penampilan besar-besaran iklan A-Mild di kota-kota besar di Indonesia sungguh menarik perhatian untuk disimak. Penampilan iklan ini berhasil menarik perhatian orang banyak, bahkan membuat banyak orang penasaran. Materi iklan yang tidak berhubungan langsung dengan produk yang dipasarkan membuat komunikan bertanya-tanya, apa maksud iklan ini dan apa arti iklan-iklan tersebut. Penampilan yang "tidak biasa" untuk model-model iklan di Indonesia dewasa ini; materi iklan A-Mild sungguh sangat variatif dan menggelitik.


Teks iklan A-Mild : "Susah Jadi Manusia" dapat dibaca sebagai suatu kritik yang
sangat berani kepada para perusuh dan penjarah selama kerusuhan sewaktu iklan ini dibuat sekitar pertengahan Mei lalu. Gambar seekor monyet besar (gorila) yang sedang memegang kepala dapat diinterpretasikan sebagai para perusuh dan penjarah. Perbuatan mereka (perusuh dan penjarah) tidak bisa lagi disamakan dengan perbuatan monyet-monyet biasa, tetapi sudah merefleksikan perbuatan monyet besar yang tidak segan-segan memangsa manusia. Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa pengiklan tidak menyalahkan pihak-pihak tertentu dalam kondisi tersebut, tetapi pengiklan hanya ingin menjelaskan bahwa cita-cita ingin menjadi manusia itu amat sulit direalisasikan. Dibutuhkan otak yang jernih dan cemerlang untuk memilih suatu tindakan.
Apabila warna dalam tanda lalu-lintas sudah dikonstruksikan menjadi simbol-simbol tertentu maka tidak mudah dengan apa yang dihadirkan oleh iklan A-Mild. Apabila warna lampu lalu-lintas dibaca sebagai tanda yang mempunyai makna tertentu yang dimengerti hampir oleh semua orang, maka permaknaan pada iklan A-Mild merupakan wacana baru dalam pembacaan suatu teks (tanda atau sekumpulan tanda-tanda). Pembacaan tanda atau pesan yang disampaikan oleh A-Mild menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Teks tersebut, iklan A-Mild, menekankan pada ketidakstabilan makna-makna. Berbeda dengan tanda lampu lalu-lintas yang memiliki makna ideologis yang mapan. Maka tanda-tanda post-modern digunakan secara ironis, bahkan cenderung anarkis dan "tak bertanggung-jawab".
Masyarakat konsumer saat ini justru senang bermain-main dengan tanda dan "makna" yang ironis atau makna yang skizofreniklah yang cenderung dibeli ketimbang nilai utilitas (nilai guna). Sebuah iklan A-Mild ternyata tidak semata-mata mempunyai fungsi untuk mendorong,membujuk kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan (rokok A-Mild), yang mempunyai "nilai-guna sebuah iklan" saja, melainkan iklan ini menghadirkan sebuah perspektif dari fragmen-fragmen, dari suara-suara, dari teks-teks lain, kode-kode lain. Karena memang sebuah teks post-modern (tampilan iklan A-Mild) bukanlah sebuah produk yang dihasilkan melalui suatu aturan atau kode yang kaku, yang bukan menjadi model yang tunggal atau kanon. Sebuah teks post-modern (iklan A-Mild) menurut Barthes bukanlah sebuah produk yang menghasilkan makna tunggal atau pesan pengarang melainkan sebuah ruang multidimensional, yang didalamnya bercampur aduk dan berinteraksi berbagai macam tulisan, yang tak satupun diantaranya orisinil. Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari berbagai pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya. Maka ketika membaca teks-teks (iklan A-Mild) dalam suatu dimensi Kebangsaan, iklan tersebut mempertunjukan bagaimana suatu teks post-modern bersikap. Iklan-iklan tersebut tidak berbicara pada nilai utilitas sebagai suatu iklan yang mengundang masyarakat untuk membeli produk rokoknya (yang melewati batas-batas bisnisnya) namun telah melebar dan menembus pada dimensi-dimensi politik, kebangsaan, persatuan dan kesatuan bangsa.
Iklan A-Mild ternyata menembus pula dimensi yang bersifat sangat filosofis, serta menjadi iklan politik yang kreatif dan edukatif. Dalam pendekatan kaitan penanda (signifier) - petanda (signified), iklan A-Mild memperlihatkan suatu fenomena bahwa makna itu sudah mati (seperti yang ditengarai oleh Baudrillard), karena iklan A-Mild menawarkan interpretasi yang sangat terbuka bagi siapa saja yang akan menikmatinya. Makna pada sajian gambar dan teks iklan A-Mild tidak memiliki ikatan-ikatan yang ideologis, stabil dan mapan, bahkan ironis.


Pada iklannya yang bergambar seperti di atas dengan gambar seorang laki-laki yang menembus dinding tembok disertai dengan teks “Maju Terus, Bukan Basa-Basi” juga memperlihatkan fenomena bahwa makna sudah mati. Iklan ini menawarkan siapa saja untuk menginterpretasikan maknanya. Bisa jadi iklan ini bermakna kritikan bahwa dengan semboyan teks di atas kita disuruh terus maju meskipun harus menabrak dan menjebol dinding dalam artian siap mengorbankan diri tanpa pertimbangan yang matang. Hal ini juga dapat diartikan sebagai kecaman terhadap tindakan anarkis pemerintah yang direpresentasikan oleh semboyan “Maju Terus”. Akibat tindakan tersebut dapat interpretasikan dari gambar dinding jebol tersebut. Sebenarnya, iklan semacam ini dapat dikategorikan sebagai iklan post-modern sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Jadi dapat dinyatakan lagi bahwa kalau teks-teks klasik berbicara tentang makna yang ideologis (misalnya,bangunan yang beratap seperti bawang bisa langsung dibaca sebagai mesjid), teks-teks postmodern memang berprinsip form follow fun, sehingga makna-makna menjadi 'suka-suka' yang menginterpretasikan. Kalau seseorang kesulitan membaca makna salah-satu iklan A-Mild, maka teks post-modern itu mencapai puncak kesuksesannya.

MODEL ANALISIS MAKNA DENGAN E-135 SAWIRMAN
E-135 merupakan suatu rancangan teori yang dilahirkan untuk menjadi suatu wadah yang mempertalikan ranah wacana dengan ranah semiotika (Sawirman, 2008; 2009). Iklan sebagai salah satu wacana yang sarat dengan penggunaan simbol, kode menghendaki pengetahuan tersendiri dalam memahami makna yang dibawanya sekaligus pesan-pesan yang diselipkan dalam ekplorasi tanda-tanda tersebut. Untuk itu, E-135 dipandang ampuh untuk membongkar makna dan pesan yang terimpikasi dari iklan, terutama iklan A-Mild.



Dari iklan ini terlihat bahwa tanda linguistik yang dimilikinya adalah “Susah Jadi Manusia, Bukan Basa-Basi”. Dalam iklan tersebut yang menjadi kata intinya adalah kata manusia. Kata manusia dipersandingkan dengan gambar simpanse. Untuk itu, simpanse merupakan Penanda sedangkan manusia adalah Tinanda.

A. Analisis simbol simpanse sebagai tidanda manusia pada tahapan elaborasi
Simpanse dan Manusia sebagai kata, terlebih dahulu dibedah dengan pisau linguistik (mikro) sebagai refleksi pendekatan formalis. Simpanse adalah sejenis apes yang memiliki dua kaki dan dua tangan, dikategorikan sebagai hewan cerdas, memiliki kontur tubuh yang sangat mirip dengan manusia bahkan pola hidup dan sikapnya pun kurang lebih sama, namun terkadang sering disimbolkan sebagai makhluk yang tidak memiliki tata krama, rakus dan liar. Sementara defenisi manusia sudah sama-sama kita ketahui. Kata simpanse terdiri dari tujuh fonem, vocal dasar /i,a/, kontur naik (rising contour), dan sebuah kata dasar. Sedangkan kata manusia yang terdiri dari enam fonem dengan vocal dasar /i,a/ dan kontur naik serta kata dasar juga. Tahapan ini memaknai kedua simbol lingual itu dalam kaitannya dalam hubungan, keterkaitan, keterikatan, gradasi, dan perlawanan makna secara linguistis. Penanda simpanse sebagai symbol manusia pada tahapan elaborasi dapat diungkap secara fonologis yakni (1) adanya keterkaitan fonem karena beberapa fonem /manusia/ juga terdapat pada fonem /simpanse/ ; (2) adanya keterkaitan prosodi ( sama-sama rising contour ) ; (3) adanya pemanjangan setengah vocal dan (4) pemberdayaan vocal dasar /a/, /i/. Kesamaan contour naik antara fonem //a//, baik pada penanda /simpanse/ maupun maknanya atau tinandanya /manusia/ seperti pada diagram berikut ;

(1a) (1b)
Penanda / simpanse Tinanda / manusia





[ s i m p a n s e ] [ m a n u s i a ]

Diagram (1) dapat dibaca bahwa penanda /simpanse/ dengan maknanya /manusia/ memiliki kesamaan vocal kontur naik yang berawal dari tekanan rendah [i] ke tekanan vocal tinggi [a] pada (1a) dan (1b).Disamping itu, dalam kata-kata tersebut proses pemanjangan bunyi setengah panjang juga terjadi, baik pada penanda /simpanse/ maupun tinandanya /manusia/ seperti terlihat pada diagram berikut ;

(1c) (1d)
Penanda /simpanse/ Tinanda /manusia/

K V K K V V K K V K V K V K K V V



[ s i m p a n s e ] [ m a n u s i a ]


Vokal yang dihubungkan dengan slot-V ditandai dengan garis putus-putus seperti pada vocal [a] /simpanse/ dan vocal [a] /manusia/ menandakan vocal lebih panjang. Secara linguistis dapat diinterpretasikan bahwa fakta lingual tersebut memperkuat pernyataan bahwa selain terdapat keterkaitan morfologis, juga terdapat keterkaitan fonologis antara penanda (kata yang dijadikan symbol) dengan tinanda (realitas yang diacu) dalam iklan A-Mild tersebut.
Kaitan antara penanda simpanse dengan tinandanya manusia jika difiturkan dengan sistem bunyi dapat dilihat pada table berikut

Tabel Ciri-ciri Pembeda Segmen Konsonan Penanda Simpanse dan Tinanda Manusia
Ciri Pembeda
Konsonan metafora simpanse
(symbol/ penanda)


Konsonan metafora manusia
(sebagai tinanda)
Lamino Alveolar
Apiko
Alveolar
Bilabial
Labial

Lamino Alveolar
Apiko
Alveolar
Bilabial

s
n
m
p

s
N
m
Silabis
-
-
-
-

-
-
-
Konsonantal
+
+
+
+

+
+
+
Sonoran
-
-
-
-

-
-
-
Kontinuan
-
-
-
-

-
-
-
Peng.Ttd
-
-
-
-

-
-
-
Striden
-
-
-
-

-
-
-
Nasal
-
+
+
-

-
+
+
Lateral
-
-
-
-

-
-
-
Anterior
-
-
-
+

-
-
-
Koronal
-
-
-
-

-
-
-

Tabel Ciri-ciri Pembeda Segmen Vokal Penanda Simpanse dan Tinanda Manusia

Ciri Pembeda
Segmen Vokal simpanse
(symbol/ penanda)

Segmen Vokal manusia
(sebagai tinanda)
I
a
e

i
a
U
Tinggi
+
-
-

+
-
-
Rendah
-
+
-

-
+
-
Belakang
-
+
-

-
+
+
Depan
+
-
-

+
-
-
Bundar
-
-
-

-
-
-

Bila dibaca dengan prinsip pengkaidahan “bebas redundan”, antara konsonan /simpanse/ dengan /manusia/ memiliki keterkaitan fonologis. Penanda /simpanse/ memuat konsonan lamino-alveolar /s/, apiko-alveolar /n/, bilabial /m/ dan labial /p/. Pada tinanda /manusia/ juga terdapat konsonan lamino-alveolar /s/, apiko-alveolar /n/ dan bilabial /m/ meskipun urutannya agak berbeda dari penandanya. Selain keketrkaitan konsonan, juga terdapat keterkaitan vocal. Penanda /simpanse/ terdiri atas kesamaan vocal /i/ dengan ciri pembeda [+tinggi], [+depan] dan vocal /a/ dengan cirri pembeda [+rendah], [+belakang]. Jadi analisis ini membuktikan bahwa pada segmen-segmen fonem /simpanse/ terdapat juga pada segmen fonem /manusia/.
Analisis linguistik berakhir pada tahapan ini. Hasil proses elaborasi ini sementara ditempatkan pada “kotak makna tertunda satu”.

Kotak Makna Elaborasi ( Kotak Makna Tertunda I )

/simpanse/ = /manusia/




I. Fonem prosodi panjang


B. Analisis Simbol Simpanse sebagai Tinanda Manusia pada Tahap Representasi

Secara intrateks (teks berupa keterkaitan species dan bentuk tubuh merupakan celah pemaknaan pada tahap representasi. Simpanse dan manusia tergolong dalam satu species, yakni species apes. Hubungan rantai evolusi simpanse dianggap sangat dekat dengan manusia. Hal ini dapat dilihat dari bentuk fisiologis simpanse dengan dua kaki, dua tangan, tekstur rangka muka dan tubuh, melahirkan dan menyusui, serta ciri lainnya yang hampir sangat mirip dengan manusia. Dasar persamaan inilah yang memberikan peluang bagi pembuat iklan untuk menyatukan interpretasi antara keduanya dalam satu ungkapan “Susah Jadi Manusia”. Jika dilihat secara social budaya, manusia terikat dengan berbagai aturan dan norma dengan segala konsekuensi pribadi dan sosialnya. Setiap tindakan yang dilakukan harus berdasarkan pada pertimbangan atas unsure-unsur tersebut, termasuk hidup dan berinteraksi dengan satu komunitas dengan komunitas lainnya. Ungkapan “Susah Jadi Manusia” terdiri dari tiga kata yang merupakan ungkapan metafora dan mengandung nilai filosofis tertentu untuk mengungkapkan rasa ketidaknyamanan etnis cina atas situasi polah masyarakat yang masih memandang mereka sebagai etnis pendatang dan suka melakukan tindakan penjarahan anarkis pada usaha-usaha mereka. Untuk mendapatkan proses pemaknaan objektif, tahap ini ditempatkan sementara pada “kotak makna tertunda dua”.

Kotak Makna Representasi (Kotak Makna Tertunda II)

/simpanse/ = /manusia/= Tiga Kata




I. Fonem prosodi panjang

II. Tiga kata rasisme, anarkisme,diskriminasi sosial etnis cina

C. Analisis Simbol Simpanse sebagai Tinanda Manusia pada Tahapan Signifikasi
Tahapan signifikasi dimaknai dalam kerangka ideologi teks yang dianalisis. Pada saat iklan ini diciptakan kondisi dan situasi social masyarakat Indonesia sedang dalam kekisruhan. Etnis Cina masih dipandang sebagai etnis pendatang yang memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat asli. Adanya kecemburuan tersebut memicu lahirnya suatu pemiriran bahwa etnis Cina telah mencuri kekayaan SDA Negara Indonesia sehingga mereka lebih kaya dan mapan kehidupannya. Pemikiran semacam ini terus mengendap hingga melahirkan keyakinan bahwa harta benda etnis Cina layak untuk dibagi dengan masyarakat asli. Keyakinan ini terus tumbuh dan berkembang menjadi suatu ideologi “Punyamu adalah punyaku, punyaku bukan punyamu”. Proses pemaknaan pada tahapan ini juga ditunda dulu dan ditempatkan pada “kotak makna tertunda tiga”.


Kotak Makna Signifikasi (Kotak Makna Tertunda III)

/simpanse/ = /manusia/ = Tiga Kata = Rasisme




I. Fonem prosodi panjang

II. Tiga kata rasisme, anarkisme,diskriminasi sosial etnis Cina

III. Rasisme pencuri egosentris materi
D. Analisis Simbol Simpanse sebagai Tinanda Manusia pada Tahapan Eksplorasi
Untuk meenukan jawaban kenapa simpanse digunakan sebagai symbol manusia sepertinya mulai terjawab. Simpanse meskipun tergolong hewan cerdas, tapi juga terkadang memiliki sifat buruk seperti suka mencuri, liar, dan egois. Jika ditelaah lebih dalam lagi, gambar simpanse sepertinya tidak hanya membandingkan persamaan, merupakan suatu anggapan akan tetapi juga dapat diinterpretasikan sebagai pilihan yang lebih baik daripada menjadi manusia. Untuk itu, tahap ini ditunda lagi dan ditempatkan pada “kotak makna tertunda empat”.
Kotak Makna Eksplorasi (Kotak Makna Tertunda IV)

/simpanse/ =sifat=tidak beretika /manusia/= Tiga Kata= Rasisme




I. Fonem prosodi panjang

II. Tiga kata rasisme, anarkisme,diskriminasi sosial etnis Cina

III. Rasisme pencuri egosentris materi

IV. Sifat simpanse tidak beretika manusia tidak beretika
E. Analisis Simbol Simpanse sebagai Tinanda Manusia pada Tahapan Transfigurasi
(1). Strategi Rekonstruksi Makna
/simpanse/ =sifat=tidak beretika /manusia/= Tiga Kata= Rasisme = Etnis Cina




I. Fonem prosodi panjang

II. Tiga kata rasisme, anarkisme,diskriminasi sosial etnis Cina

III. Rasisme pencuri egosentris materi

IV. Sifat simpanse tidak beretika manusia tidak beretika
V. Makna hiperrealis tesis baru tanda baru
(penjarah) (wacana post-modern) (A- Mild)

Tanda Rantai Abadi (Rangkaian Iklan A-Mild)




(2). Strategi Penganyangan Makna (Dekonstruksi Makna)
Proses pemaknaan pada strategi ini dapat menghasilkan fitur-fitur makna secara lebih acak sehingga mampu menghasilkan sintesis dan tesis baru. Oleh karena itu, pemaknaan tidak akan pernah berakhir sepanjang simbol atau tanda masih dapat diinterpretasikan.

Dialektika Rekonstruksi Sintesis X ( Tesis X + diantitesis)

Dialektis Konstruksi Rekonstruksi Transfigurasi X
Dialektis Dekonstruksi (melting pot) Sintesis Y ( Tesis Y + diantitesis)
(Paradigma Postmodernis)

Symbol yang sudah dikonstruksi, direkonstruksi, didekonstruksi teori sistem, teori kritis, postmodernis


Kotak tranfigurasi
(Tesis X + Tesis Y Sintesis Z (Tesis Z + Transfigurasi Z )


KESIMPULAN
Tanda atau simbol linguistic yang ada dalam suatu wacana baik berupa teks, maupun iklan dapat dilakukan pembongkaran maknanya dengan berbagai analisis, diantaranya analisis semiotika, analisis wacana, dan analisis E-135. Pada prinsipnya analisis-analisis tersebut merupakan suatu rangkaian yang sebaiknya dilakukan dalam pengungkapan makna symbol, apalagi symbol yang digunakan oleh iklan sebagai salah satu media komunikasi yang melibatkan pengeksploitasian tanda demi kepentingan seseorang atau sekelompok, ataupun hanya sekedar ungkapan suatu situasi atau kondisi yang pada umumnya hangat dibicarakan.



KEPUSTAKAAN
Baal, J.Van. Symbols for Communication : An introduction to the Anthropological Study of Religion, Van Gorcum & Comp.NV., Assen. 1971
Best, Steven. Baudrillard, Debord dan Teori Postmodern : Komodifikasi Realita sdan Realitas Komodifikasi”.1997
Eco,Umberto. A Theory of Semiotics, Indiana University Press , Bloomington and Indianapolis.1973
Hoed, Benny Hoedoro. Dampak Komunikasi Periklanan, Sebuah Ancangan Dari Segi Semiotika,Seminar Semiotika, Jakarta.1992.
Noth,Winfried. Handbook of Semiotica, Indiana University Press, Bloomington and Indianapolis,
1992.
Piliang, Yasraf Amir. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Modernisme", Penerbit Mizan, Bandung, 1998.
Sawirman. 2008. Selamatkan Linguistik dengan e-135. Makalah disampaikan pada National Seminar on Language Literature and Language Teaching di FBSS UNP Padang, tanggal 10-11 Oktober 2008.
Sawirman. E-135: sebagai Draf Model Pengembangan Pembelajaran Linguistik di Universitas Andalas. Bahan Kuliah S2 Linguistik Pascasarjana Unand.
Scannell, Paddy. Media and Communication. SAGE Publication. London. 2007
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest Serba-serbi Semiotika”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.1992.
Susanto, Astrid S. Komunikasi Dalam Teori dan Praktek , Bandung, Bina Cipta.1977
Tolson, Andrew. Media talk; spoken discourse on TV and radio,Edinburgh, 2006

1 komentar:

  1. assalammu'alaikum sir, congratulation that your blog is finally published. Actually some of your writings are good but there are some writing which are hard for me to understand because i am new in linguistics world. But this writing about A Mild advertisement. By reading this writing, i proud of our faculty. The ordinary watcher or listener exactly will hear the statement of the advertisement as a funny sentence or a joke. But here, Me as the student of linguistics feel challenged to find the real meaning of the sentence of the advertisement. Finally, by reading your writing i am inspired to pay more attention to everything around me which has intrinsic meaning. AWLIYA RAHMI.

    BalasHapus