Minggu, 20 September 2009

E-135 (Sawirman) Membedah Bahasa Kampanye

E-135 Membedah
Simbolisme Bahasa Kampanye (Abstrak)[1]

Dr. Sawirman, M.Hum[2].
(Dosen Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang)

ABSTRAK
Campaign is one thing, governing is the other things adalah ungkapan yang tepat untuk menyebut bahasa kampanye saat ini. Demokrasi Indonesia beberapa tahun ke depan akan banyak tergantung dengan “bahasa kampanye” (Saiwrman, 2009).
Tulisan ini merupakan pedalaman tulisan penulis yang dimuat dalam Padang Ekspres berjudul “Presiden Iklan RI”. Pada tulisan dimaksud antara lain diuntai bahwa nama-nama partai (termasuk partai baru) dibungkus dengan mosaic-mosaic nan indah. Suara-suara rakyat seakan-akan diakomodasi. Tema-tema kemiskinan, pengangguran, dan kasus-kasus nasional dijadikan basis pijakan sekalipun tanpa disertai ide-ide atau action plans cara–cara untuk mengantisipasinya. Kenyataan-kenyataan masa kini dan masa lalu seakan-akan dipresentasikan dengan seperangkat leksikon argumentatif tanpa didukung oleh riset yang handal. Political lexicon seputar pemerintahanan peduli dan pemerintahan bersih ditawarkan tanpa disertai program-program nyata cara-cara mewujudkannya. “Pemulihan bangsa” menjadi mistifikasi semua partai sehingga kata itu ditempelkan dimana-mana, di lorong-lorong jalan, di kolong-kolong jembatan hingga di tempat-tempat ibadah. Label ”amanat rakyat” dijadikan sebagai merk dagang (brand market). Gerindra menggunakan simbol-simbol hiperealitas. Seekor burung garuda yang seakan-akan menyimbol seorang sosok Indonesia masa depan ditayangkan di semua stasiun tv lokal dan nasional. Triliunan dana dihabiskan untuk “serangan udara” (iklan) tersebut. Golkar mengusung tema pendidikan. Perjuangan pemerintah untuk menaikan anggaran pendidikan menjadi 20% seakan-akan hanya perjuangan sebuah partai (sebuah kebenaran parsial/semu).
Pada tulisan dimaksud juga diutarakan bahwa Partai Demokrat sempat ditertawakan para pengamat karena menjadikan BBM (penurunan harga sebanyak tiga kali) sebagai simbol simpati keberpihakan pada rakyat. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memunculkan sejumlah akronim baru, dari partai kasih sayang hingga peduli kesejahteraan sesama. Partai ini tidak menggunakan istilah “Ketua Partai”, tetapi “Presiden Partai”. Kontestasi program, kontestasi ide, kontestasi komitmen, visi dan misi, serta kontestasi track record seakan-akan terlupakan dalam bahasa kampanye. Iklan-iklan bernuansa narsis (penonjolan suatu figur) ditampilkan setiap hari. PDIP mengidolakan Mega, Gerindra menampilkan Prabowo, Wiranto bersama Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrat mengusung SBY, Golkar mengunggulkan Jusuf Kalla, dan Soeharto sebagai Bapak Bangsa dideklarasikan PKS, dan lain-lain.
Sejumlah pertanyaan yang juga pernah pula diutarakan antara lain, apakah penonjolan figur-figur “narsis” tanpa disertai alasan dan track record sang figur dapat diterima secara akademis? Apakah yang dilakukan sang figur saat pernah menjabat di negara ini? Kemanakah sang figur selama ini saat para petani digusur, rumah pedagang kecil dibakar demi kebersihan kota, puluhan ribu anak-anak jalanan berkeliaran, dan jutaan pengemis bergelimpangan di malam hari? Mengapa tiba-tiba menjadi “pahlawan petani”. Apakah yang dilakukan sang figur pada negara ini di masa silam untuk pengentasan tragedi-tragedi kemanusiaan? Apakah penanaman narsisme di kalangan rakyat dapat dibenarkan? Bisakah kasus-kasus nasional bisa terselesaikan hanya dengan penonjolan seorang figur? Apakah demokrasi kita nanti akan ditentukan oleh “bahasa kampanye”? Apakah nasib bangsa dipertaruhkan lima tahun ke depan karena “bahasa iklan”? Apakah Indonesia akan mencetak sejarah “Pencetus Presiden Iklan Pertama”?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diungkap melalui konstruksi berpikir E-135. Huruf e pada e-135 menyimbolkan eksemplar (bukan simbol elektronik seperti e-mail, e-journal, e-learning, e-book, e-library, e-commerce, dan lain-lain), sekalipun e-135 memang menjadikan data elektronik sebagai data “hiperteks” pada salah satu tahapan (tahapan eksplorasi). Angka 1 pada e-135 menyimbolkan landasan ontologis/filosofis (hermeneutika), angka 3 menyimbolkan revisi pendekatan wacana terkini (kritis, dekonstruksionis, cultural studies), serta angka 5 menyimbolkan tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi) sekaligus landasan objek material dan formal yang masing-masingnya diberi penjelasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.E-135 semula penulis ciptakan untuk membedah simbol lingual wacana politik Tan Malaka (salah seorang tokoh perenial asal Minangkabau) untuk keperluan disertasi doktoral di Universitas Udayana tahun 2005. Diseminasi dan sosialisasi e-135 ini sudah dilakukan dalam berbagai forum dan jurnal ilmiah. Baik masukan, kritikan, dan input berharga maupun respon positif dan apresiasi lisan dari sejumlah pihak membuat penulis secara berkelanjutan merevisi e-135 agar semakin teruji secara akademis. Tulisan ini memuat “revisi e-135” dan model analisis terkini setelah disosialisasikan dalam penelitian Hibah Bersaing tahun 2007 tentang wacana terorisme, draf buku Analisis Wacana Berdimensi Cultural Studies, beberapa jurnal (Kajian Budaya Program Doktor Unud dan Linguistika Kultura Unand), dan sejumlah forum (Dosen Berprestasi Unand, Applied Approach Unand), dan terakhir kali disampaikan pada National Seminar on Language Literature and Language Teaching di FBSS UNP Padang, tanggal 10-11 Oktober 2008 dengan judul Selamatkan Linguistik dengan E-135.
[1] Disampaikan pada SEMINAR BAHASA IBU II pada tanggal 27-28 Februari 2009.
[2] Dr. Sawirman adalah Dosen Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar