Minggu, 20 September 2009

E-135 Sawirman dalam Analisis Bahasa Media Massa Cetak

E-135 Sawirman dalam Analisis Bahasa Media Massa Cetak


Oleh

Yanti Riswara
(Peneliti Balai Bahasa Padang)


1. Pendahuluan
Bahasa adalah kunci utama dalam segala aspek kehidupan manusia. Secara umum dikatakan bahwa bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan interaksi bagi manusia. Fungsi dan kegunaan bahasa terus berkembang dari waktu ke waktu, dari yang paling sederhana sebagai alat untuk mengomunikasikan pikiran, konsep, dan perasaan sampai pada fungsi yang lebih luas sebagai alat untuk mengembangkan serta mengkaji ilmu pengetahuan dan teknologi (Riswara dkk. 2004:1).
Wardhough (1973:3-8), mengatakan bahwa bahasa bukan hanya digunakan sebagai alat komunikasi secara lisan, tetapi juga secara tertulis. Artinya, komunikasi antarmanusia tidak hanya dilakukan secara lisan atau dengan bersemuka antara pihak-pihak yang berkomunikasi, tetapi juga dapat dilakukan secara tertulis. Penggunaan bahasa tulis sangat berbeda dengan penggunaan bahasa lisan. Komunikasi secara lisan biasanya menghadirkan kedua belah pihak yang sedang berkomunikasi. Di samping itu, penggunaan bahasa lisan biasanya disertai oleh aspek-aspek suprasegmental bahkan juga gerakan tubuh (gesture) yang membantu penyampaian pesan lebih akurat, satu hal yang tidak dapat dilakukan dengan bahasa tulis.
Proses komunikasi secara tertulis sangat bergantung pada bahasa yang digunakan, mencakup unsur-unsur bentuk, makna, fungsi, dan nilai, di mana antara satu unsur dan unsur yang lainnya saling berhubungan dalam satu jenis wacana tertentu. Artinya, penggunaan bahasa dengan bentuk, makna, fungsi, dan nilai tertentu menjadi karakteristik yang membedakan satu wacana komunikasi dengan wacana lain. Misalnya, wacana sastra tulis akan berbeda dengan wacana berita surat kabar berdasarkan penggunaan bahasanya, mencakup keempat unsur tersebut.
Dalam wacana sastra, dapat dikatakan bahasa memiliki bentuk relatif tidak terikat secara struktur, makna cenderung bersifat konotatif, pragmatis, bahkan fiktif, fungsi lebih bersifat estetis dan imaginatif, serta nilai bersifat abstrak dan perseptif. Sementara itu, bahasa dalam wacana berita tidak dapat menggunakan unsur-unsur dengan karakter seperti dalam wacana sastra karena wacana berita adalah sebuah media informasi tentang fakta yang harus disampaikan dengan bahasa yang jelas, tidak mengandung makna ambigu, representatif, serta bebas persepsi. Oleh sebab itu, unsur-unsur bahasa dalam wacana berita diharapkan memiliki bentuk yang setepat-tepatnya, makna bersifat literal semantis, fungsi bersifat informatif, dan nilai bersifat faktual dan realistis.

1.1 Bahasa Media Massa Cetak
Media massa cetak, khususnya surat kabar, adalah salah satu media pengguna bahasa Indonesia ragam tulis yang berkembang sangat pesat dewasa ini. Wacana berita pada media massa cetak surat kabar adalah satu jenis wacana penggunaan bahasa tulis yang menggunakan tipe bahasa standar. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Oktavianus (2006), sebagai berikut.
Sebagian berita yang disampaikan melalui surat kabar, surat, buku-buku teks dapat dikategorikan sebagai wacana tulis. Memahami wacana tulis agak mudah, namun ada hal-hal khusus yang tidak dapat diamati melalui wacana tulis. Hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan unsur suprasegmental tidak dapat diamati karena tidak ada petunjuk ke arah itu. Berbeda dari wacana lisan, wacana tulis pada umumnya telah diedit terlebih dahulu sehingga tipe bahasa yang digunakan adalah bahasa standar (Oktavianus, 2006:45).

Dalam Bab Pendahuluan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) disebutkan bahwa pers (media massa) adalah salah satu elemen pengguna bahasa yang harus menggunakan ragam bahasa orang berpendidikan yang lazim digolongkan dan diterima sebagai ragam baku (Alwi dkk. 2000:5). Pengertian ragam baku secara rinci dijelaskan oleh Alwi dkk. dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai berikut,
…ragam bahasa yang oleh penuturnya dipandang sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), biasa dipakai di kalangan terdidik, dalam karya ilmiah, dalam suasana resmi, atau dalam surat resmi (misalnya surat-menyurat dinas, perundang-undangan, karangan teknis) (Alwi. 2001:920).

Arwan Tuti Artha, seorang pemakalah pada Kongres Bahasa Indonesia VIII bulan Oktober 2003 di Jakarta, dalam makalahnya yang berjudul Kearifan Bahasa Lokal pada Pers Berbahasa Indonesia, mengemukakan bahwa bahasa—terutama dalam pers cetak— sangat besar pengaruhnya bagi masyarakat. Oleh karena itu, pers cetak harus bisa menjadi referensi penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Artinya, pers cetak tidak bisa membebaskan diri dari aturan kebahasaan dengan kesadaran untuk meningkatkan kualitas penggunaan bahasa Indonesia (Arwan, 2003:1).
Penggunaan bahasa dalam media massa cetak, khususnya dalam wacana berita, diharapkan dapat menjalankan fungsinya untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat pembaca dengan baik sehingga pembaca dapat menangkap setiap esensi pikiran yang disampaikan berita tersebut dengan benar. Artinya, penggunaan bahasa dalam wacana berita surat kabar mengacu pada bentuk standar atau bentuk baku, mencakup semua aspek kebahasaan berupa struktur internal (fonologi, morfologi, sintaksis dan gramatika), aspek semantik, aspek leksikon, serta didukung dengan penggunaan ejaan dan tanda baca yang tepat. Penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang tidak standar dan tanda baca yang tidak tepat dalam wacana berita surat kabar dikhawatirkan dapat mengacaukan pemahaman terhadap pikiran yang dikomunikasikan karena dalam proses hal ini, pihak-pihak yang berkomunikasi tidak sedang bersemuka.
Dalam perkembangan ketatabahasaan bahasa Indonesia, pembakuan kaidah memang masih terbatas pada kaidah bahasa ragam tulis, sedangkan kaidah bahasa ragam lisan masih sebatas wacana “asal tidak menunjukkan kekhasan logat bahasa daerah tertentu”. Pembakuan bahasa ragam lisan belum bisa dilakukan disebabkan latar belakang etnis masyarakat bahasa Indonesia yang sangat beragam dengan logat dan dialek yang juga sangat beragam. Situasi ini menyulitkan pembakuan ragam lisan terkait standardisasi lafal dan penetapan transkripsi fonetis baku. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Halim (dalam Alwi dkk., 2000):
Kajian tentang pembakuan ragam lisan bahasa Indonesia hampir-hampir tak tersentuh. Seratus persen perhatian tertuju pada pembakuan bahasa Indonesia ragam tulis. Masalah yang belum banyak dibicarakan adalah mencakup soal suprasegmental yang mencakup tekanan dan lagu atau intonasi. Boleh dikatakan penelitian mengenai ciri‑ciri prosodi atau ciri suprasegmental ragam lisan bahasa Indonesia masilt merupakan lapangan yang belum tersentuh.

Sementara itu, pembakuan bahasa Indonesia ragam tulis sudah dimulai secara resmi sejak penerbitan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) edisi pertama untuk menyongsong Kongres Bahasa Indonesia V yang diselenggarakan di Jakarta pada 28 Oktober 1988. Pembakuan tata bahasa ini seiring dengan penerbitan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi pertama yang memuat kosa kata baku. Dalam makalah berjudul Perkembangan Bahasa Indonesia dari Aspek Teori Linguistik, yang dibacakan pada Kongres Bahasa VIII di Jakarta pada 14—17 Oktober 2003, ahli bahasa Indonesia berkebangsaan Belanda, Heins Steinhauer, menyimpulkan bahwa dalam menghadapi kenyataan banyaknya varietas bahasa Indonesia yang menjadikannya sebagai kontinum yang tidak jelas batasnya, kita (peserta kongres yang mewakili seluruh elemen masyarakat Indonesia) harus berpegang pada penafsiran bahwa bahasa Indonesia (standar) merupakan bahasa yang didefinisikan tata bahasanya dalam TBBBI dan kosakatanya dalam KBBI (Steinhauer, 2003:2). Pernyataan ini menggiring kita pada konsekuensi harus mengacu kepada TBBBI dan KBBI bila kita ingin menggunakan bahasa Indonesia ragam tulis yang baku.

2. Tujuan dan Ruang Lingkup Analisis
Analisis ini bertujuan untuk mengungkap keempat unsur bahasa sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam penggunaan bahasa tulis pada media massa khususnya media massa cetak surat kabar. Ruang lingkup analisis ditekankan pada ketepatan penggunaan bahasa mencakup keempat aspek berikut.
1) Struktur Internal (Struktur Fonologi, Morfologi, Sintaksis, dan Gramatika),
2) Semantik (Makna),
3) Leksikal (Pilihan Kata/Diksi), dan
4) Ejaan dan Tanda Baca.

3. Kerangka Teori
3.1 Aspek Struktur Internal
a. Struktur Fonologi
Struktur fonologi dalam bahasa tulis terutama sekali adalah struktur fonem yang membangun kata yang harus sesuai aturan fonotaktis bahasa Indonesia yang baku. Misalnya, bahasa Indonesia tidak mengenal deret konsonan rangkap ss, st, sh dalam sebuah suku kata. Oleh sebab itu, kata bahasa Inggris seperti process, test, dan cash, diserap dengan pelesapan konsonan terakhir menjadi proses, tes, dan kas. Demikian juga dengan deret vokal oo, sehingga kata balloon, saloon, dan cartoon diserap menjadi balon, salon, dan kartun.
Struktur fonologi juga menjadi persoalan dalam kasus perubahan morfonemik, di mana pembentukan kata dengan afiks tertentu menyebabkan terjadinya perubahan fonem-fonem tertentu. Kasus ini dapat kita lihat pada proses afiksasi /meŋ/ pada kata dengan fonem awal /p/, misalnya kata pesona. Dalam hal ini, fonem /ŋ/ pada /meŋ/ akan melebur dengan fonem /p/ pada /pesona/ menjadi fonem /m/, sehingga bentuk turunan dari proses afiksasi {meng-} dan {pesona} adalah {memesona}.
b. Struktur Morfologis
Struktur morfologis adalah struktur terkecil yang dapat dianalisis dalam penggunaan bahasa tulis, khususnya dalam bahasa media massa cetak. Struktur morfologis melibatkan bentuk-bentuk kata yang dibedakan secara umum atas dua: bentuk bebas (morfem bebas) dan bentuk terikat (morfem terikat).
Bentuk atau morfem bebas wujud dalam seluruh kategori sintaksis (kelas kata). Kategori sintaktis mengelompokkan kata berdasarkan bentuk serta perilakunya yaitu: nomina, verba, adjektiva, dan adverbia serta kata tugas. Masing-masing kategori sintaksis dapat berdiri sendiri dalam sebuah kalimat (kecuali kata tugas) sesuai fungsi-fungsi sintaksis tertentu. Nomina memiliki fungsi sebagai subjek dan objek, verba memiliki fungsi sebagai predikat, adjektiva dan adverbia memiliki fungsi keterangan, dan kata tugas memiliki fungsi konjungsi dan preposisi.
Bentuk terikat atau morfem terikat wujud dalam semua bentuk afiks (prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks). Morfem terikat tidak dapat berdiri sendiri dalam bentuk apapun. Afiks digunakan dalam proses pembentukan kata turunan pada semua kategori. Misalnya, afiks {ber-} dengan nomina bunga menghasilkan verba turunan berbunga. Contoh lain, konfiks {ke-an} dengan adjektiva sedih menghasilkan nomina turunan kesedihan.
Kategori-kategori sintaksis bentuk turunan yang dibentuk dengan penggunaan afiks tertentu harus tepat agar dapat berfungsi sebagaimana seharusnya. Misalnya, konfiks {peng-an} dengan nomina dasar {rumah} akan membentuk nomina turunan proses {pengrumahan}. Bentuk ini berbeda dengan bentuk yang diturunkan dengan proses afiksasi konfiks {pe-an} dengan nomina dasar {rumah} yang menghasilkan nomina turunan tempat {perumahan}.
b. Struktur Sintaksis
Struktur sintaksis melibatkan semua kategori atau kelas kata yang digunakan dalam membentuk sebuah frasa. Dalam KBBI disebutkan bahwa frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif (Alwi. 2001:321). Sebuah frasa memiliki fungsi sesuai jenis frasa yang ditentukan berdasarkan kategori inti frasanya. Misalnya, frasa nominal rumah baru yang terbentuk dari dua kategori, nomina dan adjektiva, memiliki fungsi sama dengan nomina. Demikian juga frasa verbal salah hitung yang terbentuk dari adjektiva salah dan verba asal hitung memiliki fungsi sama dengan verba.
c. Struktur Gramatika
Struktur gramatikal atau lebih dikenal dengan istilah tata bahasa adalah struktur yang melibatkan sejumlah kategori dengan minimal satu kategori verba yang berfungsi sebagai predikat. Artinya, struktur gramatika bersifat predikatif. Struktur gramatika terkecil adalah klausa. Setiap klausa memiliki minimal satu fungsi subjek dan satu fungsi predikat sehingga memiliki potensi sebagai kalimat (S+P). Dengan kata lain, sebuah kalimat minimal harus terdiri atas satu klausa. Gabungan beberapa klausa membentuk kalimat majemuk yang biasanya dihubungkan oleh kata tugas dan/atau tanda baca.

3.2 Aspek Semantis
Aspek semantis merujuk pada pemaknaan setiap kata yang digunakan dalam sebuah bentuk penggunaan bahasa. Makna kata yang digunakan dalam bahasa media massa sedapat mungkin adalah makna literal atau makna yang lurus sesuai makna yang dipahami secara universal dan tidak bersifat ambigu. Artinya, setiap kata yang digunakan dalam bahasa media massa cetak adalah kata yang dimaknai secara semantis, dan bukan secara pragmatis. Bila penggunaan makna pragmatis tidak dapat dihindari atau diperlukan untuk tujuan tertentu, sebaiknya gunakan tanda petik untuk memberi tahu pembaca tentang hal tersebut.


3.3 Aspek Leksikal

Aspek leksikal mencakup penggunaan diksi (bentuk dan pilihan kata serta istilah) yang sudah dibakukan. Penggunaan diksi yang tidak baku sangat sering menjadi penyebab salah interpretasi terhadap sebuah tulisan dalam media massa cetak. Sebaliknya, penggunaan diksi yang tepat akan mempermudah pembaca memahami isi berita, di samping memperlihatkan kesistematisan dan keteraturan bentuk bahasa tulis dalam media massa cetak, yang secara tidak langsung akan menampilkan sosok bahasa Indonesia yang baik di mata pembaca, bahasa tulis yang representatif dan berwibawa.


3.4 Ejaan dan Tanda Baca

Ejaan dan tanda baca adalah pelengkap kesempurnaan sebuah wacana tulis. Penggunaan ejaan dan tanda baca yang keliru juga akan menjadi penyebab ambiguitas makna kalimat-kalimat dalam media massa cetak. Ejaan merupakan petunjuk yang menandai eksistensi satuan-satuan sintaksis, gramatikal dan semantis yang dapat digunakan oleh pembaca untuk memahami wacana berita secara cepat dan tepat. Ejaan mencakup bagaimana cara pemenggalan kata, penggunaan huruf kapital, penggunaan huruf miring, cara penulisan kata. Tanda baca merupakan aplikasi unsur suprasegmental yang yang tidak dapat dimunculkan dalam bahasa tulis. Tanda baca mencakup penggunaan tanda titik, tanda koma, tanda titik dua, tanda hubung, tanda pisah, tanda ellipsis, tanda tanya, tanda seru, tanda kurung, tanda kurung siku, tanda petik, tanda petik tunggal, tanda garis miring, dan tanda apostrof (lihat buku Ejaan dan Tanda Baca).

3.5 Penerapan E-135
Analisis penggunaan bahasa dalam media massa cetak ini berangkat dari himbauan Chomsky agar para linguis mampu memaknai linguistik sampai level eksplanatoris (explanatory adequacy) dan harapan Baudrillard agar wacana dan tanda perlu dimaknai sampai tahapan makna terdalam (depth meaning). Untuk itu, analisis dilakukan dengan penerapan konsep-konsep yang dirangkum dalam E-135, mencakup kelima tahapan yang diajukan; elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi dan transfigurasi, sehingga segala sesuatu yang ada pada teks data dapat dipreteli semaksimal mungkin.
Tahapan elaborasi pada analisis ini disandarkan pada teori-teori linguistik mikro mencakup keempat struktur internal yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis dan gramatika standar bahasa Indonesia. Tahapan kedua mengungkap representasi mental di balik teks yang dihadirkan secara implisit oleh pemproduksi teks (penulis berita surat kabar) di balik makna literal yang diungkapkan secara eksplisit dengan penggunaan diksi-diksi tertentu yang tidak ambigu. Tahapan ini disebutkan dalam E-135 (Sawirman, 2009:19) sebagai kongretisasi pemakai bahasa yang terbentuk melalui perseptual, pengalaman, dunia ide, kesadaran batin, dan fungsi representasi. Bahasa sebagai representasi “logika kesadaran”, sistem parole, emosi, pikiran, ide, dan tingkah laku, bukan hanya sekadar serangkaian kata penunjuk benda.
Tahapan ketiga, yang disebut sebagai tahapan signifikasi mencoba mengungkap peran pembaca berita sebagai interpreter dalam memaknai teks seluas-luasnya untuk melacak makna terhadap representasi mental pemproduksi teks. Dalam hal ini, bisa saja pembaca memaknai teks tidak relevan dengan realitas yang diungkapkan oleh penulis berita. Pada tahapan keempat, analisis penggunaan bahasa pada media massa cetak surat kabar ini akan mencoba mengeksplorasi makna lapis kedua atau makna yang dalam E-135 disejajarkan dengan (1) surplus meaning, telaah plus, wacana ontologis, atau wacana tambah oleh Paul Ricoeur, (2) wacana baru oleh Roland Barthes, (3) wacana explanatory oleh Chomsky, dan (4) depth meaning oleh Baudrillard (Sawirman:2009:20).
Tahapan kelima penggunaan bahasa dalam media massa cetak surat kabar ini lebih ditekankan pada transfigurasi makna yang dilakukan dengan strategi pemaknaan rekonstruksionis daripada strategi pemaknaan dekonstruksionis.

4. Analisis Penggunaan Bahasa dalam Media Massa Cetak dengan E-135
Data penggunaan bahasa dikutip dari media massa cetak lokal Harian Pagi Padang Ekspres terbit tanggal 28 April 2009. Menurut hasil survei Lembaga Media Research AC Nielsen, Surat Kabar Padang Ekspres adalah media massa cetak lokal yang paling banyak dibaca di Sumatra Barat. Sebagai media massa cetak lokal yang berada dalam grup Jawa Pos yang sudah bertaraf dan memiliki jaringan nasional, wacana berita dalam Surat Kabar Padang Ekspres diasumsikan sudah menggunakan bahasa Indonesia standar, sesuai kaidah bahasa baku bahasa Indonesia.
Teks merupakan berita pada halaman Metropolis yang ditulis pada bagian paling atas. Teks dikutip dengan pemenggalan gramatikal satuan-satuan yang diperlakukan sebagai kalimat oleh penulis berita, atau yang dibatasi dengan tanda titik antarsatuannya.
Lampu Merah Diterobos, Parkir Seenaknya


1/Sejak beberapa tahun belakangan, Kota Padang macet pada jam-jam sibuk/ /Beberapa titik menuju pusat kota, tiap pagi dan sore hari, terlihat antrean kendaraan/ /Tidak itu saja, perilaku pengendara belakangan juga berubah/ / Sehingga tak heran, Padang gagal mendapat piala Wahana Tata Nugraha (WTN) tahun ini/


2/Entah karena memang mengejar sesuatu, atau cuek dengan keselamatan, rambu-rambu lalu lintas sering dilanggar pengendara/ /Tak jarang angkot dan bus kota memakai badan jalan seenaknya/

3
/Pantauan Padang Ekspres di sejum-lah ruas jalan di Kota Padang kemarin, banyak ditemui pengendara menerobos lampu merah dan berhenti seenaknya/

4
/Di Simpang Tinju, Lapai pukul 10.45 WIB kemarin, walau lampu merah sudah nyala, tapi terlihat beberapa kendaraan tidak menaati aturan berkendaraan di jalan raya/


5/Begitu berada di tengah persim-pangan, sebuah angkot terlihat parkir menaikkan penumpang/ / Pengendara mo-tor juga tidak sabaran menunggu nyalanya lampu hijau sebagai pertanda boleh jalan/



6/Ketika lampu masih berwarna me-rah, sebagian pengendara sudah ada yang menerobos/ / Untung waktu itu tidak ada kendaraan lain yang melintas di depan, sehingga bisa selamat sampai di seberang/ /Mungkin tidak ada petugas lalu lintas sehingga mereka seenaknya menerobos lampu merah tanpa memi-kirkan risiko yang akan terjadi/



7 /Jalan Raya Siteba lain lagi/ / Melewati perempatan ini, kita per-lu ekstra hati-hati/ /Sebab, di sini tidak memiliki traf-fic light/ /Ironisnya, di se-panjang jalur ini angkot dan becak motor saling ber-lomba mencari penumpang/ /Di sepanjang jalur kiri kanan jalan dipenuhi kendaraan sedang parkir, seolah-olah terlihat saling berebut ruas jalan dengan kendaraan yang lewat//Apalagi tidak terlihat petugas yang mengaturnya/ (Padang Ekspres, 28 April 2009, cr11)

4.1 Tahapan Elaborasi
Pada tahapan elaborasi, teks dideskripsikan berdasarkan unsur-unsur linguistis yang membangun teks. Teks di atas terdiri atas tujuh satuan paragraf. Paragraf 1 terdiri atas empat satuan yang diperlakukan sebagai kalimat. Paragraf 2 dan 5 terdiri atas dua satuan yang diperlakukan sebagai kalimat. Paragraf 3 dan 4 terdiri atas satu satuan yang diperlakukan sebagai kalimat. Paragraf 6 terdiri atas tiga satuan yang diperlakukan sebagai kalimat. Terakhir, paragraf 7 terdiri atas enam satuan yang diperlakukan sebagai kalimat.
Secara keseluruhan, konstruksi paragraf yang membangun teks tidak tersusun dengan baik. Beberapa paragraf tidak memiliki kalimat topik sendiri tapi merupakan penjelasan dari topik paragraf yang lain. Ide berserakan dalam kalimat-kalimat yang tidak baku. Konstruksi kalimat aktif dan pasif muncul secara mana suka. Beberapa kalimat tidak memiliki fungsi subjek yang jelas dan sebagian lainnya menggunakan kategori dan fungsi kata dengan rancu. Penggunaan bentuk kata masih banyak yang belum standar seperti verba aktif yang tidak berafiks dan bentuk turunan yang tidak baku. Pilihan kata menggambarkan latar situasi yang semrawut dan ungkapan rasa ketidakselesaan penulis dengan kondisi tersebut.
Tidak ada persoalan serius pada tataran fonologis dan pengunaan ejaan, tapi teks sangat berantakan pada tataran sintaksis dan gramatika. Banyak kalimat dimulai dengan penggunaan konjungtor intrakalimat seperti /Sehingga tak heran, Padang gagal mendapat piala Wahana Tata Nugraha (WTN) tahun ini/, /Sebab, di sini tidak memiliki traf-fic light /, dan / Apalagi tidak terlihat petugas yang mengaturnya/. Beberapa kalimat tidak memiliki fungsi subjek seperti /Untung waktu itu tidak ada kendaraan lain yang melintas di depan, sehingga bisa selamat sampai di seberang/, /…seolah-olah terlihat saling berebut ruas jalan dengan kendaraan yang lewat/ atau fungsi objek seperti / Ketika lampu masih berwarna me-rah, sebagian pengendara sudah ada yang menerobos/. Di samping itu, beberapa fungsi keterangan tempat tidak menggunakan preposisi dan sebagian malah difungsikan sebagai subjek, misalnya pada kalimat / Beberapa titik menuju pusat kota, tiap pagi dan sore hari, terlihat antrean kendaraan/, /Sebab, di sini tidak memiliki traf-fic light /, dan / Di sepanjang jalur kiri kanan jalan dipenuhi kendaraan sedang parkir,.../.
Pada tataran semantis, banyak kalimat memiliki makna bias dan tidak logis, misalnya / Beberapa titik menuju pusat kota, tiap pagi dan sore hari, terlihat antrean kendaraan/,/ Tidak itu saja, perilaku pengendara belakangan juga berubah/, / Begitu berada di tengah persim-pangan, sebuah angkot terlihat parkir menaikkan penumpang/, dan / Jalan Raya Siteba lain lagi/.

4.2 Tahapan Presentasi
Tahapan representasi yang mengapresiasi pemroduksi teks, yaitu si penulis berita, mengungkap representasi mental di balik teks dengan menghadirkan objek material intrateks yang dipresentasikan oleh penulis berita yang sama. Intrateks berjudul Tak Ada Rotan, Kayu pun Jadi ditulis oleh penulis yang sama juga pada halaman Metropolis. Intrateks ini menceritakan tentang seorang pencari rotan dan kayu di hutan pinggiran Kota Padang yang belum mampu berbuat banyak untuk mengubah kemiskinannya karena keterbatasan modal, SDM, serta kurangnya perhatian “Bapak Angkat”. Intrateks dan teks memberi gambaran representasi mental yang cukup jelas tentang ide-ide dan pengalaman penulis terhadap objek tulisannya. Dari penggunaan diksi, objek berita, latar berita dan penggunaan bahasa, penulis ingin menggambarkan situasi sosio-kultural masyarakat Kota Padang yang belum cukup mapan; kurang tertib, kurang peduli, kurang sabar, dan belum sejahtera secara ekonomi, yang berujung pada ketidaksuksesan Kota Padang di ajang penilaian tingkat nasional dalam meraih penghargaan Wahana Tata Nugraha (WTN).
Penulis kurang mengedepankan potensi positif masyarakat yang dapat menjadi sebuah kekuatan besar untuk mengubah kesemrawutan tatanan sosio-kultural dan ekonomi masyarakat Kota Padang pada umumnya. Penulis terlihat pesimistis dengan kondisi-kondisi tersebut dan lebih berharap pihak-pihak berkompetenlah yang harus proaktif memberi perhatian dan binaan terhadap masyarakat.

4.3 Tahapan Signifikasi
Analisis teks pada tahapan signifikasi memberi otoritas kepada pembaca dalam menginterpretasi teks dengan pemaknaan dari sudut pandang pembaca. Kutipan teks di atas dimaknai oleh pembaca sebagai representasi penulis yang terlalu pesimistis tentang kondisi sosial-kultural dan ekonomi masyarakat Kota Padang. Pembaca dapat menginterpretasi teks sebagai sebuah representasi realitas semu ( X = X-). Penulis tidak mengangkat satu pun sisi positif dari kondisi yang digambarkan. Penulis hanya mempersoalkan perilaku negatif masyarakat Kota Padang dalam teks berita yang ditulis dan menuding pihak-pihak tertentu sebagai pihak yang bertanggung jawab tanpa memberi solusi yang lain.
Secara lebih khusus, penggunaan diksi dalam teks memberi gambaran tekanan psikologis diri penulis yang berada pada kondisi sosio-kultural kelas menengah ke bawah dan tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Hal itu tercermin dari rendahnya kemampuan penulis menuangkan ide-ide, pengalaman, serta persepsinya terhadap lingkungan dengan bahasa yang baik sehingga pemaknaan teks secara keseluruhan menjadi cukup simpang siur.
Teks lebih mereprentasikan persepsi penulis yang bias dan bukan respresentasi realitas sebenarnya. Penulis lebih banyak bermain imajinasi dari pada melaporkan kondisi sebenarnya. Hal itu terlihat dari kalimat-kalimat yang digunakannya, seperti /Tidak itu saja, perilaku pengendara belakangan juga berubah/, / Sehingga tak heran, Padang gagal mendapat piala Wahana Tata Nugraha (WTN) tahun ini/, /Entah karena memang mengejar sesuatu, atau cuek dengan keselamatan, rambu-rambu lalu lintas sering dilanggar pengendara/, dan /Mungkin tidak ada petugas lalu lintas …/.

4.4 Tahapan Eksplorasi
Sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep-konsep analisis dengan E-135, pada tahapan eksplorasi, analis wacana diharapkan tidak lagi mempersoalkan kedudukan tanda/simbol, baik sebagai replika realitas maupun menipu realitas, tetapi lebih concern pada jawaban bagaimana pihak-pihak berkepentingan saling memperebutkan, saling mempertentangkan, saling menegasikan, dan saling melakukan tesis, antitesis, sintesis terhadap sebuah tanda/simbol. Analisis pada tahap ini ditekankan pada otoritas intersubjektif Habermas atau kesesuaian teks dengan interpretasi yang berbeda-beda berdasarkan norma, nilai universal, latar historis, kultural, politis, ideologis, serta konteks ruang dan waktu masing-masing pemroduksi teks (Sawirman, 2009:20).
Teks berita Lampu Merah Diterobos, Parkir Seenaknya, sebenarnya merupakan sebuah deskripsi (meskipun banyak disampaikan dengan diksi yang menggambarkan persepsi dan preskripsi) nilai-nilai sosio-kultural masyarakat urban pada umumnya, dan masyarakat Kota Padang khususnya. Pada satu sisi, perkembangan zaman ke arah dunia global berdampak pada dekadensi moral dan tingkat kepedulian sosial. Sifat tenggang rasa dan gotong royong sudah banyak berganti dengan egoisme dan personalisasi. Tekanan beban ekonomi dan psikologi sosial membuat orang mulai “kembali memberlakukan hukum rimba”, di mana yang lambat dikalahkan oleh yang cepat dan yang lemah dikalahkan oleh yang kuat. Persaingan kepentingan dan semakin sempitnya ruang dan waktu membuat orang cenderung berpacu merebut kesempatan yang juga semakin sedikit. Kedamaian dan ketenangan sudah mulai hilang berganti dengan kebisingan dan rasa tidak aman.
Pada sisi lain, teks Lampu Merah Diterobos, Parkir Seenaknya secara juga merupakan deskripsi kesejahteraan masyarakat kota yang meningkat, ditandai dengan semakin banyaknya kendaraan bermotor sehingga fasilitas jalan raya semakin tidak memadai. Kondisi ini juga merupakan gambaran antusiaisme mengejar kesejahteraan finansial yang tinggi, di mana waktu dan tenaga menjadi semakin berharga. Orang-orang bahkan mempertaruhkan keselamatan demi efektivitas waktu dan tenaga.
Pada satu sisi lain, teks Lampu Merah Diterobos, Parkir Seenaknya memberi gambaran tingkat loyalitas kerja pihak-pihak berkompeten yang juga rendah, kinerja pemerintah yang juga tidak maksimal, tingkat kontrol legislatif yang minim, dan fasilitas publik yang tidak meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat. Sementara itu, demi kepentingan pribadi, masyarakat juga berusaha menjadi penyedia layanan umum seperti jasa transportasi sehingga terkesan justru penyedia layanan yang bersaing dibanding pengguna layanan tersebut.
Pada satu sisi lainnya lagi, teks Lampu Merah Diterobos, Parkir Seenaknya menggambarkan tingkat pemanasan global yang semakin kritis. Bumi semakin terancam dengan menipisnya lapisan ozon. Kehidupan manusia terancam dengan berbagai bentuk radiasi, polusi, serta kurangnya asupan oksigen yang bersih yang dapat menyebabkan manusia semakin rentan terhadap penyakit. Hal ini dapat menyebabkan evolusi genetis mengarah pada kerusakan permanen yang dapat berakibat semakin pendeknya rentang usia manusia pada umumnya. Yang paling fatal adalah, situasi ini dapat mempercepat datangnya kiamat.

4.5 Tahapan Transfigurasi
Dengan mempertimbangkan hasil analisis pada keempat tahapan sebelumnya, dapat ditransfigurasikan sebuah pemaknaan terhadap teks Lampu Merah Diterobos, Parkir Seenaknya. Dalam hal ini, yang paling utama ditransfigurasikan adalah simbol-simbol linguistiknya sendiri, yaitu bentuk fisik dari teks yang dibangun oleh berbagai aspek struktural atau linguistik mikro. Sebagai bentuk jadi dari transfigurasi itu, di sini diajukan bentuk teks yang baru sebagai manifestasi dari rekonstruksi terhadap keseluruhan pemaknaan.
Lampu Merah Diterobos, Parkir Seenaknya


1/Dalam beberapa tahun belakangan, Kota Padang selalu macet pada jam-jam sibuk/ / Setiap pagi dan sore hari, di beberapa ruas jalan terlihat antrean kendaraan menuju ke arah pusat kota / /Tidak hanya itu, perilaku pengendara belakangan ini sepertinya juga memburuk/ /Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila tahun ini, Kota Padang gagal mendapat piala Wahana Tata Nugraha (WTN) /




2
/Berdasarkan hasil pantauan Padang Ekspres di sejumlah ruas jalan di Kota Padang kemarin, ditemukan banyak pelanggaran lalu lintas seperti pengendara yang nekad menerobos lampu merah atau berhenti di sembarang tempat//Tidak dapat dipastikan apakah pelanggaran itu dilakukan karena ketergesa-gesaan atau tingkat kesadaran atas keselamatan jiwa yang berkurang demi efektivitas waktu dan tenaga seperti yang terlihat di Simpang Tinju, Lapai pukul 10.45 WIB kemarin/ /Beberapa pengendara tidak berhenti meskipun lampu merah sudah menyala/




3

/Bukan suatu pemandangan baru bila angkot dan bus kota memakai badan jalan seenaknya//Supir-supir angkutan umum itu bahkan ada yang nekad menaikkan penumpang di tengah persimpangan/ /Para pengendara motor juga terlihat tidak sabar menunggu lampu hijau sehingga ada yang nekad jalan ketika lampu merah masih menyala/ / Untungnya waktu itu tidak ada kendaraan lain yang melintas, sehingga ia terhindar dari kecelakaan//Hal itu nampaknya terjadi karena rendahnya kesadaran akan keselamatan jiwa dan rendahnya pengawasan petugas lalu lintas/




4 /Lain lagi situasi di Jalan Raya Siteba/ / Kita perlu ekstra hati-hati saat melewati perempatan jalan karena tidak terdapatnya traffic light di sana/ /Ironisnya, angkot dan becak motor berlomba mencari penumpang di sepanjang jalur ini/ /Sementara itu, sepanjang jalur kiri kanan jalan itu penuh dengan kendaraan yang parkir, sehingga ruang bagi kendaraan yang lewat menjadi sempit//Di sana juga tidak terlihat petugas lalu lintas yang sedang berjaga/



Secara struktur, transfigurasi dilakukan dengan prinsip efektivitas penggunaan dan cara penulisan bahasa. Ketujuh paragraf pada teks sebelumnya dimampatkan menjadi empat paragraf yang lebih padu. Penggunaan bentuk dan pilihan kata serta kalimat disempurnakan tanpa menambahkan informasi baru.
Rekonstruksi makna teks tidak dilakukan secara total, tetapi tetap mempertahankan esensi yang disampaikan oleh pembuat berita. Hal ini merupakan bentuk apresiasi terhadap pemroduksi teks yang dipertahankan pada analisis tahapan representasi. Rekonstruksi dilakukan dengan mengubah sedikit persepsi yang bersifat preksriptif menjadi lebih deskriptif dan menghindari persepsi yang bersifat imajinatif.
Hasil transfigurasi ini secara implisit tetap mempertahankan hasil analisis pada keempat tahapan sebelumnya. Secara keseluruhan, hasil transfigurasi malah mempertajam pemaknaan setiap tahapan tetapi sedikit mengurangi kesan representasi realitas semu (X=X-) mendekati realitas sebenarnya (X=X). Artinya, trasnfigurasi teks sedikit mengubah kesan pembaca bahwa pemroduksi teks betul-betul mendeskripsikan realitas sebenarnya, dan bukan sedang mendeskripsikan kesan preskriptif imajinatif yang bersifat subjektif.



5. Kesimpulan
Media massa cetak adalah salah satu media penggunaan bahasa tulis yang mengacu pada bentuk standar atau baku dan didukung dengan sistem penulisan serta ejaan yang baik. Hal itu dimaksudkan agar pembaca, sebagai salah satu partisipan pada komunikasi tidak langsung ini, dapat dengan mudah memahami apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Artinya, pembaca tidak perlu membuat interpretasi bebas atas kalimat-kalimat yang dibacanya, karena hal itu dapat menyebabkan salah persepsi dari maksud yang dinformasikan sebenarnya.
Wacana berita dalam sebuah media massa cetak memiliki unsur utama yang bersifat linguistis, yang dibangun oleh berbagai unsur internal kebahasaan seperti struktur morfologis, sintaksis, gramatika, leksikon, dan semantik, serta dilengkapi dengan unsur penunjang yang sangat berperan untuk menyempurnakannya sebagai sebuah wacana tulis yang representatif yaitu sistem ortografis yang baik.
Setiap unsur internal yang digunakan dalam bahasa media massa cetak mengacu kaidah-kaidah baku karena media massa sudah digolongkan pada pengguna bahasa ragam baku. Sebagai media yang diposisikan menjadi model penggunaan bahasa yang baik dan benar, tidak ada alasan bagi sebuah media massa cetak untuk tidak taat pada kaidah-kaidah bahasa standar, kecuali pada bagian-bagian tertentu yang ditujukan untuk pelestarian unsur lokal yang biasanya memang mendapat tempat pada sebuah media massa cetak daerah atau lokal. Selebihnya, penggunaan bahasa yang baik dan benar merupakan target utama bagi sebuah media massa cetak, khususnya pada kolom-kolom yang berisi wacana formal, seperti wacana berita. Di samping itu, penggunaan bahasa yang baik dan benar justru akan mengangkat kredibilitas media massa cetak tersebut ke tingkat yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, para pelaku bahasa media massa cetak diharapkan meningkatkan pengetahuannya terhadap masalah ini.
Dengan menerapkan konsep-konsep analisis wacana E-135, sebuah teks berita yang baik dapat dimaknai sampai level eksplanatoris (explanatory adequacy) seperti himbauan Chomsky dan sampai tahapan makna terdalam (depth meaning) sebagaimana yang diharapkan oleh Baudrillard. Himbauan Chomsky diwujudkan dengan kesempurnaan teks dalam menyampaikan informasi dengan tuntas, jelas, dan tidak meninggalkan perrtanyaan atau keragu-raguan. Penggunaan makna literal lebih ditekankan. Hal ini dilakukan dengan menyempurnakan penggunaan unsur-unsur bahasa dan cara penyajiannya yang memenuhi kaidah standar. Sementara itu, harapan Baudrillard diwujudkan dengan kemampuan sebuah teks menyampaikan pesan-pesan yang tidak eksplisit melalui konteks yang menyertai sebuah teks. Dalam hal ini, sebuah teks berita yang baik dapat menyampaikan informasi dengan tepat, menjadi sumber pengetahuan di segala bidang, dapat mengembangkan sikap dan perilaku positif, dan mempertajamkan insting terhadap hubungan sebab-akibat sehingga masyarakat pembaca semakin cerdas, kreatif, kritis, intuitif, dan sintas (survive).


Daftar Kepustakaan


Alwi, Hasan dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, edisi ketiga. Jakarta:Balai Pustaka.

________2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga. Jakarta:Balai Pustaka.

Artha, Arwan Tuti. 2003. Kearifan Bahasa Lokal pada Pers Berbahasa Indonesia, makalah pada Kongres Bahasa Indonesia VIII. Jakarta:Pusat Bahasa.

Oktavianus. 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang: Andalas University Press.
Riswara, dkk. 2004. Analisis Ketepatan Peran Semantis dalam Wacana Tajuk Rencana Surat Kabar Riau Pos dan Surat Kabar Riau Mandiri (Laporan Penelitian Balai Bahasa Pekanbaru).

Sawirman.2009. E-135: sebagai Draf Model Pengembangan Pembelajaran Linguistik di Universitas Andalas. Bahan Kuliah S2 Linguistik Pascasarjana Unand.

Steinhauer, Heinz. 2003. Perkembangan Bahasa Indonesia dari Aspek Teori Linguistik, makalah Kongres Bahasa Indonesia VIII. Jakarta:Pusat Bahasa.



Sumber Rujukan:

Kamus besar Bahasa Indonesia (2001)
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (2004)
Pedoman Umum Pembentukan Istilah


Sumber Data:

1. Harian pagi Padang Ekspres, terbit 128 April 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar