Jumat, 31 Juli 2009

YANTI RISWARA

KOMENTAR
I. Pengantar
Responden yang kami hormati. Seminggu yang lalu peneliti sudah meminta bantuan Saudara untuk membaca, memahami, dan mengkritisi tulisan yang diberi judul “E-135: sebagai Draf Model Pengembangan Pembelajaran Linguistik di Universitas Andalas” yang ditulis oleh Sawirman tahun 1999 (32 halaman, ketikan 1 spasi, font geramond 11, ukuran kertas A4). Berkenaan dengan tulisan tersebut, kami berharap bantuan Saudara untuk menjawab sejumlah pertanyaan berikut dengan sekritis-kritisnya. Jawaban Saudara tidak akan berpengaruh sama sekali dengan profesi, pendidikan, dan pekerjaan yang sedang Saudara tekuni saat ini. Terima kasih atas bantuan Saudara.

II. Identitas Diri
Nama : Yanti Riswara
Pekerjaan : Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau dan Mahasiswa Pascasarjana (S2) Unand, Program Linguistik

III. Pertanyaan
A. Terma E-135
(1)
Apakah Saudara pernah membaca/ mendengar terma E-135 dalam referensi lain selain rancangan model yang ditulis dan dirancang oleh Sawirman yang ada di tangan Saudara? Bila iya dimana?

Tidak.




(2)
Terma E-135 adalah singkatan dari E=Eksemplar, 1=Hermeneutika, 3=formalis, kritis, dan cultural studies/ posmodernis, serta 5= tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi), bagaimanakah menurut Saudara dengan nama itu?

E-135 adalah sebuah terminologi yang cukup menarik. Berdasarkan uraian dari unsur-unsur huruf dan angka yang digunakan, istilah ini sangat tepat dan sesuai. Akan tetapi, bila E (exemplar) dipahami sebagai cikal bakal lahirnya sebuah paradigma atau teori, artinya E-135 masih merupakan rancangan dari paradigma atau teori yang ingin diformulasikan. Selama terminologi ini masih menggunakan E, artinya selama itu juga ia masih merupakan sebuah rancangan. Hal ini tentu akan membuat formulasi ini tidak kuat digunakan sebagai dasar sebuah analisis. Tidak berlebihan sebenarnya bila langsung digunakan P (paradigma) atau T (teori) dalam hal ini. Persoalan apakah paradigma atau teori ini (sudah) dapat digunakan sebagai pisau analisis atau belum, adalah persoalan pengakuan terhadap paradigma atau teori ini setelah dipublikasikan secara akademis dan tingkat ‘keampuhan’ formulasi ini dalam membalah/mengkritisi sebuah wacana.

(3)
Apakah Saudara memiliki usulan nama lain untuk “pengganti” terma E-135?

Ya. Bila unsur huruf E akan dipatenkan menjadi nama secara utuh bersama dengan unsur angka 135, unsur ini harus digunakan seterusnya pada saat telah diterima menjadi sebuah paradigma atau teori. Oleh sebab itu, sebaiknya langsung digunakan terma P-135 (Paradigma-135) atau T-135 (Teori-135) agar terma itu baku dari awal.

B. Hermeneutika dalam Linguistik
(4)
Apakah Saudara setuju dengan Hermeneutika dijadikan sebagai basis ontologis pengembangan linguistik khususnya mata-mata kuliah “makro” seperti wacana, semiotika, bahasa media, serta bahasa dan ideologi, dan lain-lain?

Setuju sekali. Menurut saya, Hermeneutika dapat memayungi basis ontologis lain semisal Semiotika karena pada kenyataannya setiap tanda (linguistik maupun nonlinguistik) merupakan refleksi dari tinanda yang dapat ditafsirkan dengan hermeneutika. Artinya, Hermeneutika bisa menjadi basis analisis semiotika di samping dapat langsung menjadi basis analisis penggunaan bahasa (linguistik) secara makro.
a
(5)
Sejauhmanakah Saudara mengenal aliran filsafat Hermeneutika beserta tokoh-tokohnya?

Cukup baik. Beberapa tokoh yang mengemukakan teori pendekatan hermeneutik misalnya, F.D.E Schleiermarcher, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Wilhelm Dilthey, dan Paul Ricoeur. Di antara tokoh-tokoh tersebut, saya cenderung menyukai konsep-konsepnya Ricoeur karena ia lebih menitikberatkan pendekatan hermeneutik dalam menganalisis bahasa sebagai simbol makna dengan tidak hanya menekankan bahasa sebagai simbol tapi juga apa di balik simbol tersebut misalnya latar belakang pribadi penulis sebuah wacana yang mungkin tersirat dalam wacana.

C. Teori-teori “Formalis” dalam Linguistik
(6)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep “Formalisme” dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Ya, setuju. Konsep “formalisme” yang mengutamakan aspek material, keakuratan aneka bentuk (correct forms), dan pemberian aneka label kategori, dan fungsi yang tidak diangkat oleh CDA menjadikan E-135 lebih kuat serta dapat memperlihatkan dengan jelas hubungan kesemestaan konsep yang ada di balik sebuah wacana dengan simbol-simbol linguistik yang sedang dianalisis.

(7)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Formalisme”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori Formalis beserta tokoh-tokohnya?

Cukup banyak. Tokoh paling berpengaruh tentunya de Saussure sebagai pendobrak aliran strukturalisme di Eropah dan Bloomfield di Amerika. Di samping itu ada N. Trubetzkoj, dan R. Jakobson yang mengembangkan aliran Praha dan Louis Hjemslev yang mengembangkan aliran Kopenhagen. Di Inggris ada aliran Firthian yang dikembangkan oleh John. N. Firth. Di samping itu, juga ada tokoh formalis besar seperti Noam Chomsky, M.A.K. Halliday, Kenneth L. Pike, dll.


(8)
Bagaimanakah harusnya analisis linguistik yang eksplanatoris yang diharapkan Chomsky (bukan hanya deskriptif) menurut Saudara?

Analisis linguistik yang eksplanatoris menurut saya adalah analisis yang tidak meninggalkan pertanyaan atau malah menimbulkan pertanyaan baru. Jadi sebuah analisis linguistik yang dilakukan harus menjawab semua persoalan yang diangkat dan bahkan dapat mengantisipasi pertanyaan yang mungkin timbul. Artinya. Analisis harus tajam, jelas, memiliki daya argumentasi yang kuat, dan menyeluruh, serta tidak memiliki celah-celah yang mungkin dapat digunakan untuk menyerang balik hasil analisis atau membuat antitesis terhadap hasil analisis.

C. Teori-teori Kritis dalam Linguistik
(9)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep Teori Kritis dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Setuju. Konsep-konsep Teori Kritis yang menentang paham positivis yang memisahkan subjek dan objek atau pembuat teks dengan teks-nya agaknya memang harus diberi tempat dalam sebuah analisis wacana karena sebuah wacana lahir dari suatu proses pengalaman dan pemahaman penulisnya tehadap segala sesuatu. Itulah yang menyebabkan sebuah wacana tentang sesuatu hal yang sama akan terlihat berbeda dengan wacana yang ditulis oleh oleh orang lain.

(10)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Teori Kritis”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori Kritis dalam Linguistik beserta tokoh-tokohnya?

Teori Kritis memandang segala sesuatu sebagai sebuah proses atau sesuatu yang fenomenal, yang tidak memisahkan teks dengan subjeknya karena seberapa objektifnya sebuah teks, kesan subjektivitas pasti ada meski tidak terlihat secara eksplisit tetapi menjadi ‘roh’ yang menentukan bentuk dari dari wacana sebuah wacana. Tokoh-tokoh seperti Adorno, Marcuse, Habermas dari mazhab Frankfurt yang memotori lahirnya Teori Kritis tentu merupakan tokoh yang cukup dikenal dalam hal ini. Di samping itu Fairclough dan van Dijk yang merupakan sosok-sosok yang gigih mengibarkan bendera teori kritis telah melahir CDA sebagai sebuah konsep yang hingga saat ini banyak digunakan oleh analis wacana kritis.

(11)
Bagaimanakah Kontribusi teori-teori kritis seperti model Norman Fairclough, van Dick, atau tokoh-tokoh lain di mata Anda?

Kontribusi Teori Kritis seperti model Norman Fairclough dan van Dick misalnya, sangat besar dalam membuka atau mengungkap makna-makna tersembunyi dalam proses pemaknaan sebuah wacana. Teori Kritis telah menggugah para linguis untuk tidak memaknai sebuah teks linguistik dari simbol-simbol yang tertulis atau terlihat dengan gamblang, tetapi sudah mencoba membolak-balik sesuatu yang tidak terlihat secara langsung. Ini jelas merupakan gambaran perkembangan cara berfikir yang semakin kritis dan baik.

D. Teori-teori “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis” dalam Linguistik
(12)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis” dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Tadinya pengetahuan saya tidak terlalu banyak tentang konsep-konsep Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis. Namun, dari uraian penulis E-135 saya menangkap bahwa ketiga konsep ini sebenarnya saling membangun dalam menentang cara berfikir formalis dan strukturalis, terutama sekali dalam menolak grand narratives. Dalam hal ini, saya sangat setuju dengan penulis yang menghargai grand narratives karena bagaimanapun grand narratives telah memberikan cikal-bakal pengembangan ilmu-ilmu linguistik hingga saat ini, meskipun seperti kata penulis, mungkin dilabeli berbeda, tetapi memiliki esensi yang bertahan sebagai acuan berfikir, meskipun memiliki sisi-sisi lemah.

(13)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori tersebut dalam Linguistik beserta tokoh-tokohnya?




Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, saya tidak terlalu menguasai teori-teori ini, kecuali sedikit tentang pengganyangan makna-nya Derrida, penundaan makna-nya Lyotard dan hiperealitas-nya Baudrillard yang didapat pada mata kuliah Semiotiks sebelumnya, seperti yang diuraikan oleh penulis dalam draf E-135 ini.

(14)
Bagaimanakah Kontribusi “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis, seperti Derrida, Foucault, Lyotard, dan lain-lain di mata Anda?

Ketiga bidang kajian ini bersama dengan konsep CDA nampaknya menjadi titik tolak pengembangan draf E-135. E-135 mencoba merevisi dan merangkum ide-ide dasar konsep-konsep di atas dan melengkapi kerumpangan karena konsep-konsep sebelumnya itu nampak memarjinalkan keberadaan hukum, kaidah, dan kategori lingual dalam kajian linguistik dan wacana.

E. Tahapan Analisis E-135
Bagaimanakah menurut Saudara tahapan E-135 untuk menganalisis Mata Kuliah Wacana? Silakan komentari kelebihan, kelemahan, dan peluangnya di masa mendatang!

(15)
Tahapan Elaborasi (Tahap Linguistik)

Tahapan elaborasi dengan pendekatan teori-teori linguistik (mikro) sebagai tahapan pertama dalam analisis wacana sudah sangat tepat karena secara gamblang sebuah wacana dibangun oleh simbol-simbol linguistis. Hal ini yang secara khusus membedakan analisis wacana dari analisis teks semiotika yang juga melibatkan simbol-simbol selain bahasa dan juga dari analisis bidang ilmu di luar linguistik. Saya tidak melihat titik lemah penggunaan tahapan ini. Tahapan ini agaknya akan menjadi sebuah pencerahan kerangka berfikir dalam analisis wacana di masa datang.

(16)
Tahapan Representasi
(Interteks Vertikal/Horizontal)

Tahapan representasi yang menghubungkan tanda atau simbol-simbol linguistis dengan realitas fakta, manusia, keadaan, peristiwa, benda nyata, atau objek untuk menemukan berbagai kemungkinan makna baik implisit maupun eksplisit adalah sangat penting supaya pemaknaan tidak menjadi salah kaprah atau terlepas jauh dari apa yang dimaksudkan oleh pengarang. Secara pribadi, saya tidak setuju dengan klaim Barthes tentang “the Dead of the Author” karena sebuah wacana tercipta dari sebuah keputusan mental pengarang yang tidak lepas dari subjektivitasnya sebagai sebuah pribadi yang harus diapresiasi dari wacana yang dihasilkan. Persoalan interpretasi yang meluas atau malah menyempit bisa saja terjadi dan itu menggambarkan tingkat pemahaman seorang analis atau interpreter terhadap wacana dan keluasan cakrawala berfikirnya. Bukan tidak mungkin seorang analis justru dapat mengungkap makna yang secara tidak sadar disampaikan oleh si pengarang dalam wacana. Tahapan ini juga sudah diformulasi dengan baik untuk dapat menjadi kerangka analisis wacana yang akan berkembang di masa depan.

(17)
Tahapan Signifikasi (Semiotika)

Saya kurang setuju untuk memberikan otoritas penuh (yang terkesan seperti peluang untuk memaknai secara mana-suka) pada pembaca dalam memaknai sebuah wacana. Keaktifan pembaca menggali semua kemungkinan makna harus dipandu oleh kerangka berfikir logis yang dilandasi dasar ilmu yang sesuai dalam menghubungkan simbol bahasa yang digunakan pengarang dengan interpretasi yang tepat atau bahkan melengkapi, dan bukannya bergerak menjauh dari esensi yang disampaikan oleh pengarang tersebut atau malah menjadi sangat berlawanan. Seorang analis wacana harus dapat menjelaskan secara akademis dan masuk akal tentang interpretasi yang dibuatnya atas sebuah wacana. Tahapan ini merupakan tahapan yang mutlak dan menjadi tahapan penting dalam analisis wacana.

(18)
Tahapan Eksplorasi (Dimensi Ilmu Lain)


Pemberdayaan pendekatan hipersemiotika (hypersign) dan hiperteks (hypertext) sebagai bentuk eksplorasi untuk melakukan penjelajahan makna tanda/simbol lingual sampai tahapan makna terdalam (depth meaning) yang menjadi harapan tertinggi dalam sebuah analisis wacana merupakan konsepsi yang sangat tepat. Artinya, sebuah analisis memang seharusnya dapat mendeskripsikan semua pemaknaan secara maksimal dan tuntas, namun tentu saja hal ini tidak mudah terwujud karena sangat bergantung pada kemampuan, kecermatan, dan netralitas seorang analis wacana yang didasari oleh kesadaran bahwa ‘language is descriptive’. Seorang analis wacana tentu tidak boleh membuat interpretasi yang berbeda hanya karena secara pribadi ia tidak menyukai konsepsi makna yang disampaikan pengarang dalam wacana sehingga ia melibatkan faktor emosi yang tidak dapat dijelaskan secara akademis dalam memberikan interpretasi. Mungkin ini yang menjadi sisi lemah tahapan ini sehingga cita-cita mulia E-135 tidak mudah diwujudkan. Namun, tahapan ini akan memotivasi seorang analis wacana untuk mengembangkan diri dan pengetahuannya.

(19)
Tahapan Transfigurasi
(Pemetaan/Makna Hiperealis)

Terdapat sedikit kontradiktif tahapan transfigurasi dengan tahapan sebelumnya, bila tahapan ini diimplikasikan sebagai bentuk mempersilakan masing-masing analis memaknai wacana berbeda berdasarkan pemahaman subjektifnya saja yang dapat ditafsirkan sebagai kebebasan mutlak. Mungkin penjelasannya sedikit diluruskan bahwa trasfigurasi yang memberi kebebasan berinterpretasi antaranalis diikat oleh satu landasan abstrak bahwa tujuan analis adalah menyingkap makna yang tidak disampaikan secara eksplisit dengan tepat. Menurut pendapat saya, mengungkap makna itu adalah membeberkan makna yang sebenarnya dimiliki oleh wacana tapi tidak terdeskripsi dengan gamblang, bukan membuat atau memberi makna baru yang secara sadar atau tidak, tidak disampaikan oleh si pengarang. Bila seorang analis sudah membuat atau memberi makna baru, artinya ia bukan lagi seorang analis atau interpreter, tapi sudah menjadi seorang kreator/pencipta wacana baru. Dalam hal ini, sebaiknya ia tidak membuat wacana di atas sebuah wacana tetapi menciptakan wacana yang memuat konsepsi-konsepsinya sendiri berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan imajinasi yang berasal dari mind repertoire-nya sendiri. Ini lebih fair untuk menghargai peran seorang pengarang.

Tahap “Penundaan Makna”

(20)
Kebenaran makna dalam e-135 menganut “Prinsip Penundaan”? Bagaimanakah menurut Anda?


Boleh saja. Hal ini mengimplikasikan bahwa seorang analis tidak boleh gegabah atau terlalu cepat menyimpulkan makna sebuah wacana. Artinya, seorang analis dituntut untuk sanggup melihat keseluruhan makna dari berbagai perspektif yang mungkin. Hal ini bertujuan untuk memperoleh makna yang sebenarnya secara utuh, bukan sebagai cara untuk memberi makna baru. Tingkat kecermatan dan kesabaran seorang analislah yang membuat pemaknaan terlihat berbeda, tetapi perbedaan itu harusnya diterjemahkan sebagai perbedaan makna antara ”utuh dan kurang utuh”, bukan perbedaan makna antara “A lawan B”.

(21)
Bisakah Saudara membedakan Prinsip Penundaan Makna Menurut Derrida dan/atau Lyotard dengan e-135?


Ya. E-135 tidak spenuhnya mengadopsi konsep yang dianut oleh Derrida dan/atau Lyotard terutama sekali perihal penihilan grand narratives. Di samping itu, prinsip penundaan makna dalam E-135 merangkul konsep Derrida dan Lyotard sekaligus sehingga menjadi saling melengkapi atau saling menyempurnakan.


(22)
Bagaimanakah Prinsip Penundaan Makna dengan terma “Rekonstruksi Makna” dalam e-135?


Sepertinya terma rekonstruksi kurang tepat digunakan dalam menerapkan prinsip penundaan makna, karena prinsip menundaan makna mengimplikasikan metode deduktif dalam menganalisis sedangkan rekonstruksi mengimplikasikan metode induktif. Keduanya berada pada posisi yang sejajar sehingga mungkin dapat digunakan sekaligus keduanya dalam sebuah analisis.



Tahap Penganyangan Makna (Melting Pot)
(23)
Untuk mengungkap interpretasi pemaknaan terdalam dalam e-135 dapat dilakukan dengan penganyangan makna (melting pot) dengan model/diagram tersendiri, bagaimanakah menurut Saudara?

Pengganyangan makna (melting pot) dengan diagram yang diajukan dalam E-135 sepertinya memberi acuan yang kuat pada analis wacana untuk mengantisipasi segala kemungkinan makna yang dapat digali dari sebuah wacana hingga mencapai makna terdalam. Dari lima (5) tahapan dengan lima (5) tesis yang dapat saling-silang bersinergi untuk membangun sejumlah sintesis, saya tidak melihat kemungkinan munculnya antitesis. Ibarat mendirikan sebuah bangunan, sintesis bermakna menambah tiang-tiang penyangga yang memperkokoh bangunan tersebut, sebaliknya antitesis berpotensi meruntuhkan bangunan dengan mempreteli bagian penyangga yang dianggap kurang tepat atau salah pasang.

(24)
Bisakah model penganyangan makna yang diagram yang diusulkan mampu mengungkap “makna terdalam” (depth meaning) Baudrillard dalam Analisis Wacana menurut Saudara?





Ya, sangat nampak jelas sebagaimana diuraikan dalam jawaban (23).




F. Pertanyaan Umum secara Holistik
(25)
Apakah e-135 telah ditulis dengan baik sesuai dengan Ejaan yang benar? Silakan kemukakan alasan Anda?

Belum. Dalam hal ini, E (exemplar) agaknya dimaksudkan menjadi unsur yang dipatenkan dengan 135 sebagai nama karena ditulis inisial yang dihubungkan dengan tanda hubung dengan 135. Jika demikian, E ditulis dengan huruf kapital. Akan tetapi bila kata eksemplar bukan menjadi bagian dari nama yang menyatu dengan 135, maka tidak perlu ditulis inisial dan dihubungkan dengan 135 dengan tanda hubung (-), karena kata eksemplar setiap saat dapat digantikan oleh kata paradigma atau teori, seperti eksemplar 135, paradigma 135, atau teori 135.

(26)
Apakah e-135 telah ditulis sesuai dengan kaidah dan etika akademis? Silakan kemukakan alasan Anda?

Tidak ada persoalan karena pemberian nama adalah hal bagi pencipta. Persoalannya, bila E-135 menjadi sebuah nama secara utuh, maka ketika dikutip dalam tulisan, harus diperlakukan sebagai sebuah nama utuh. Artinya, unsur eksemplar bukan menjadi kata yang beralternatif dengan paradigma atau teori. Bila formula ini sudah diakui secara akademis, misalnya menjadi sebuah teori, kita akan menyebutnya teori E-135. Itulah mengapa penggunaan huruf E dipertimbangkan. Jawaban ini terkait dengan jawaban nomor 2, 3, dan 25.

(27)
Apakah e-135 telah dipikirkan dengan baik dan ditulis dengan baik? Silakan kemukakan alasan Anda?

Ya. Konsep pemikiran ini sudah memiliki landasan analisis yang lebih baik dari pada teori wacana kritis yang sudah ada seperti CDA.

(28)
Apakah kelebihan dari e-135 menurut Anda?

Konsep ini diformulasikan secara lebih detail dan lebih sempurna untuk sebuah analisis wacana kritis. Konsep ini disiapkan untuk dapat menjawab pertanyaan what, how, dan why sekaligus dalam sebuah analisis.

(29)
Apakah e-135 tidak terlalu ambisius?

Tidak. Setiap pemikiran baru adalah sebuah ambisi tetapi konsep E-135 merupakan ambisi yang memang seharusnya ada dalam perkembangan ilmu humaniora yang selalu dinamis. E-135 merupakan ide cemerlang yang lahir ditengah kerumpangan teori analisis wacana kritis, yang perlu disosialisasikan lebih luas supaya konsep-konsep yang diajukan dapat diterima/diakui sebagai sebuah teori dasar dalam kajian-kajian linguistik makro secepatnya.

(30)
Apakah target yang diharapkan dari e-135 masuk akal dan realistis?

Ya, sangat masuk akal.Target yang diharapkan dari E-135 sudah dilandasi dengan konsep-konsep yang dapat dijelaskan secara akademis, dan mengakomodasi konsep-konsep dalam teori yang lain.

(31)
Apakah e-135 sesuai dengan tujuan penelitian wacana?

Ya, sesuai sekali. E-135 diharapkan dapat menbongkar habis seluruh persoalan dalam analisis wacana kritis terhadap linguistik makro tanpa menyisakan pertanyaan lanjutan.

(32)
Apakah sudah ditunjukkan bahwa e-135 ini tidak merupakan pengulangan dari
yang sudah pernah dilakukan?

E-135 dapat dikatakan merupakan rangkuman konsep sejumlah teori yang diejawantah lebih dalam dan saling melengkapi. Dalam hal ini, E-135 tentu saja tidak dikatakan sebagai bentuk pengulangan atau tukar nama dari sebuah teori lain. Setiap konsep pemikiran dapat memunculkan pemikiran lain, yang mendukung atau sebaliknya menolak pemikiran itu. Pemikiran baru dapat menjadi alternatif pengganti konsep lama atau menjadi sebuah perluasan dari konsep lama.

(33)
Apakah e-135 sesuai dengan kepakaran peneliti?

Ya. Sangat sesuai.

(34)
Apakah sudah ditunjukkan keterkaitan dengan pustaka-pustaka/hasil penelitian yang sudah terbit/sudah dilakukan?

Ya.

(35)
Apakah e-135 yang diajukan dapat dianggap inovatif dalam analisis wacana? Mengapa?


Ya, karena lebih lengkap dan sempurna (dari teori CDA yang saat ini sedang popular dan banyak digunakan dalam analisis wacana).

(36)
Apakah metode yang diajukan dapat menjawab tujuan yang diharapkan?


Ya. Pemaparan metode sangat jelas sehingga mudah dipahami dan diaplikasikan.

(37)
Apakah e-135 sudah dipertimbangkan dengan baik? Mengapa

Konsep pemikiran sudah cukup, kecuali nama yang perlu disempurnakan agar tidak perlu diubah lagi ketika konsep sudah mapan dan diterima menjadi sebuah teori dalam analisis wacana yang lebih baik dari teori-teori yang sudah ada.

(38)
Apakah e-135 yang diajukan masuk akal dan realistis?

Ya.

(39)
Apakah dengan sumberdaya, buku, dan peralatan yang ada e-135 dapat dilaksanakan dalam mata kuliah wacana di S2?

E-135 sangat penting untuk segera dilaksanakan karena seorang mahasiswa S2 harus membuat analisis yang jauh lebih dalam dan cermat. Oleh sebab itu, tidak ada tawar-menawar dapat atau tidak hanya karena alasan sumberdaya, buku penunjang, dan peralatan yang belum memadai tetapi yang harus dilakukan adalah mengantisipasi semua itu agar konsep ini tersosialisasi dan dapat digunakan sesegera mungkin. Semua pihak, baik para dosen yang akan mengajarkan serta mahasiswa yang akan menggunakannya, harus proaktif dalam mengantisipasi semua itu.

(40)
Apakah dengan sumberdaya, buku, dan peralatan yang ada e-135 dapat dilaksanakan dalam mata kuliah wacana di S1?

Idealnya, penggunaan konsep E-135 tidak membatasi atau membedakan subjek penganalisis, tetapi pertimbangan sumber daya yang relatif lebih rendah dan pengalaman yang juga relatif lebih sedikit mahasiswa S1 dibanding mahasiswa S2 mungkin menjadi alasan penundaan untuk sementara penggunaan konsep ini di tingkat S1. Namun pada kondisi tingkat kemampuan kritisi mahasiswa S1 yang mungkin memadai untuk melakukan analisis dengan E-135, hal itu dapat saja dilakukan asal tidak menjadi standar minimal untuk keseluruhan.

G. Penutup
(41)
Bagaimanakah harusnya analisis linguistik yang ideal menurut Saudara?

Harus dapat menjelaskan setiap kemungkinan makna yang terkandung atau dibawa oleh simbol-simbol linguistik yang membangun struktur wacana tersebut dengan sebaik-baiknya dan wacana dapat dipahami tuntas hingga pada makna terdalam (depth meaning).

(42)
Terkait dengan pertanyaan dimaksud, Bagaimanakah kontribusi E-135 untuk menjadikan ilmu linguistik menjadi semakin humanis serta semakin berguna bagi kemanusiaan, kemasyarakatan, dan perjuangan etis/moral?

Kontribusi E-135 akan sangat besar bila diakui sebagai sebuah paradigma atau teori dasar dalam analisis wacana (lebih) kritis setelah CDA yang ada sekarang. E-135 merupakan konsep yang diformulasikan dengan tujuan menjadikan ilmu linguistik lebih humanis dan bermanfaat. Konsepsi yang diformulasikan dalam E-135 mengimplikasikan ayat pertama yang diturunkan dalam Al-quran, yaitu Iqra’, yang bermakna baca (dan baca lagi). Saya memahami ayat ini sebagai perintah bagi orang yang mau berfikir untuk tidak puas dengan sodoran makna secara eksplisit tapi harus dapat menemukan yang tersirat secara implisit. Hal itu hanya dapat diperoleh dengan ‘menggali lebih dalam’ dengan ‘linggis’ yang lebih runcing(tajam). Dalam hal ini, RE-135 dapat merepresentasikan ‘linggis’ yang lebih tajam itu hingga ditemukan lagi yang mungkin lebih tajam dari pada E-135.

(43)
Item-item/ pertanyaan-pertanyaan nomor berapakah yang sulit Saudara pahami/ambigu? Mengapa?

Pertanyaan nomor 30 dan 38 mungkin cukup salah satu saja dengan menggabungkan unsur yang diinginkan.

(44)
Mohon diberikan saran-saran lain terkait dengan e-135 di luar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan?

Penulisan naskah atau draf E-135 masih sedikit kurang cermat dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik EYD, penulisan istilah, maupun konstruksi kalimat.

(45)
Contoh Aplikasi pada Mata Kuliah Wacana sesuai dengan Tugas Kelompok

Pada lembaran berikut.

Padang, Juni 2009



Yanti Riswara


















(45) Contoh Aplikasi E-135 pada Mata Kuliah Wacana pada Slogan Iklan Aqua


Kebaikan Alam di Setiap Tetesnya

1. Analisis Slogan Iklan Aqua pada Tahapan Elaborasi
Slogan yang digunakan oleh perusahaan air mineral merk Aqua Kebaikan Alam di Setiap Tetesnya merupakan sebuah wacana yang dirancang dengan berbagai pertimbangan psikologi massa dan ekonomis yang sangat baik. Dengan pendekatan linguistik struktural, slogan ini dapat dideskripsikan sebagai berikut.
a. Slogan memiliki struktur non-predikatif (bukan kalimat) yang terdiri atas lima kata.
b. Slogan terdiri atas dua kelompok frasa, yaitu frasa nominal (FN) kebaikan alam dan frasa adverbial (FAdv) di setiap tetesnya.
c. Frasa nominal kebaikan alam terdiri atas dua kata dengan struktur frasa NN di mana nomina pertama merupakan nomina turunan yang terbentuk dari konfiks ke-an dan adjektiva baik.
d. Frasa adverbial di setiap tetesnya terdiri atas tiga unsur: preposisi di, adjektiva setiap, dan frasa nominal tetesnya dengan struktur NN yang dibangun oleh nomina tetes dan pronomina posesif persona ketiga tunggal –nya.

Untuk sementara analisis pada tahapan pertama ini ditempatkan pada kotak makna tertunda satu seperti berikut ini.

Kotak Makna Elaborasi (Kotak Makna Tertunda I)

/ Kebaikan Alam di Setiap Tetesnya / = /non-predikatif/


I. Lima kata FN + FAdv MB + MT (Afiks)
Catatan : MB = morfem bebas MT morfem terikat FN= frasa nominal FAdv= frasa adverbial

2. 2. Analisis Slogan Iklan Aqua pada Tahapan Representasi
Pada tahapan representasi ini slogan akan dianalisis dengan menhubungkan antara simbol-simbol bahasa yang digunakan sebagai tanda dan konsep mental yang dipresentasikannya dengan realitas yang ada tentang sejumlah fakta yang mungkin mendukung penciptaan slogan ini. Isu “kembali ke alam” nampaknya dipercaya dapat mempengaruhi psikologi massa dalam kesuksesan iklan produk makanan atau minum yang sehat dan higienis yang berpengaruh kepada umur yang panjang.
Representasi slogan Kebaikan Alam di Setiap Tetesnya nampak jelas dengan sengaja dimaksudkan untuk memberi pemaknaan kepada masyarakat pengguna air mineral merk Aqua bahwa produk air minum kemasan ini sangat menekankan pentingnya kesehatan dengan mengosumsi air yang bersih dan murni dan mengimplikasikan ada harapan hidup sehat dan lebih lama (umur panjang). Penggunaan slogan Kebaikan Alam di Setiap Tetesnya memberi rangsangan positif bagi konsumen bahwa tingkat kebaikan atau kesehatan sebuah produk makanan adalah produk yang jauh dari unsur kimia sebagaimana yang ditawarkan oleh produk Aqua. Proses representasi ini untuk sementara ditempatkan pada kotak makna tertunda dua seperti berikut ini.
Kotak Makna Representasi (Kotak Makna Tertunda II)

/ Kebaikan Alam di Setiap Tetesnya /= /umur panjang/


I. Lima kata FN + FAdv MB + MT (Afiks)
II. alamiah bersih/higienis sehat

3. 3. Analisis Slogan Iklan Aqua pada Tahapan Signifikansi
Tahapan signifikansi yang mengedepankan peran pembaca dalam hal memaknai slogan iklan Aqua nampak diberi ruang yang sangat baik oleh pemroduksi slogan ini.Dengan representasi yang telah digunakan pembuat slogan iklan ini, pembaca atau konsumen produk ini nampaknya akan memberikan respon positif dengan pemaknaan yang lurus atau literal terhadap kata yang digunakan sebagai simbol linguistis yang mencermin realitas X = X. Konsumen yand lebih kritis mungkin memaknai sedikit berbeda sebagai X = X- tatapi mungkin tidak ada alasan untuk memberi pemaknaan X=Y. Pemaknaan literal ini sekaligus disertai oleh pemaknaan pragmatis bahwa minuman yang mengandung kebaikan (alam) merupakan harapan bagi setiap konsumen. Pemaknaan dengan tahapan ini dapat dimasukkan pada kotak makna tertunda III berikut.
Kotak Makna Signifikansi (Kotak Makna Tertunda III)

/ Kebaikan Alam di Setiap Tetesnya /= /umur panjang/= /respon positif/


I. Lima kata FN + FAdv MB + MT (Afiks)
II. alamiah bersih/higienis sehat
III. literal pragmatis harapan

4. 4. Analisis Slogan Iklan Aqua pada Tahapan Eksplorasi
Tahapan eksplorasi yang mencoba mancari keterlibatan bindang kajian lain nampaknya juga diperlukan dalam analisis slogan iklan Aqua ini. Slogan ini diprediksi terinspirasi dari konsep-konsep ekolinguistik yang telah menjadi topik pembicaraan dalam banyak jurnal dan laporan penelitian kebahasaan selama tiga puluh tahun terakhir ini. sehat yang mengaitkan bahasa dengan lingkungan. Hal ini didukung oleh penyataan yang ditulis oleh Edwar Sapir dalam buku “Language Environment” pada tahun 1912, di mana istilah ‘lingkungan’ tidak lagi membawa makna ekologis tetapi lebih kepada keadaan fisik dan sosial di sekeliling manusia. Tulisan Sapir ini merupakan usaha awal seorang linguis untuk beranjak pada pendeskripsian bahasa melalui struktur, sistem bunyi, makna kata dan sejenisnya yang menjabarkan hubungan antara alam dan bahasa. Pemaknaan dengan tahapan ekslorasi dapat dimasukkan dalam kotak penundaan makna IV.

Kotak Makna Signifikansi (Kotak Makna Tertunda IV)

/Kebaikan Alam di Setiap Tetesnya/=/umur panjang/=/respon positif/=/ekolinguistik /


I. Lima kata FN + FAdv MB + MT (Afiks)
II. alamiah bersih/higienis sehat
III. literal pragmatis harapan
IV. lingkungan tesis-sintesis ekologi dan bahasa

5. Analisis Slogan Iklan Aqua pada Tahapan Transfigurasi
Sebagaimana yang saya sampaikan dalam jawaban pertanyaan bahwa saya kurang setuju dengan pemaknaan pada tahapan transfigurasi dari sejumlah penundaan makna dipersepsikan sebagai rekonstruksi terhadap sebuah makna baru. Oleh sebab itu, dalam hal ini, saya menganggap tahapan ini sebagai akumulasi perolehan makna yang berhasil dieksplorasi dari sebuah wacana yang mungkin saja menghasilkan transfigurasi yang terlihat berbeda tetapi itu hendaknnya diterjemahkan sebagai kesempurnaan pemaknaan.
Pada tahapan transfigurasi ini, slogan iklan Aqua dapat disimpulkan memiliki pemaknaan yang cukup kempleks. Sebagai sebuah produk iklan, slogan ini nampaknya memang sudah diberi makna yang kompleks itu oleh si pembuat slogan dengan mempertimbangkan psikologi massa dan psikologi pasar yang baik. Secara keseluruhan, slogan iklan ini memuat simbol linguistik yang tepat untuk sebuah iklan, yaitu singkat, padat, dan jelas. Penggunaan pilihan kata yang tepat dapat menimbulkan respon positif bagi konsumen produk ini bahwa air minum merk Aqua adalah minuman yang baik, sehat, dan bersih, yang menjadi harapan semua orang. Pemaknaan yang dapat dilakukan secara literal dan pragmatis juga mengindikasi konsepsi bahasa yang digunakan sebagai tanda merupakan tanda yang benar (X=X), atau hanya sedikit saja berlebihan/semu (X=X-). Pemaknaan yang melibatkan tahapan eksplorasi menunjukkan ada pengaruh perkembangan bidang ekolinguistik yang menghubungkan bahasa dengan lingkungan dan menggambarkan sebuah sintesis ilmu baru antara linguistik dan ekologi. Pemaknaan slogan Kebaikan Alam di Setiap Tetesnya hingga tahapan transfigurasi ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa secara keseluruhan slogan membawa makna realis atau sedikit hiperealis (realis +), menunjukkan sebuah sintesis konsep ilmu yang memperluas makna sebelumnya. Pemaknaan sampai tahapan transfigurasi ini juga dapat dimasukkan dalam kotak makna sempurna sbb.
Kotak Makna Signifikansi (Kotak Makna Tertunda IV)

/Kebaikan Alam di Setiap Tetesnya/=/umur panjang/=/respon positif/=/ekolinguistik /
= / realis + /


I. Lima kata FN + FAdv MB + MT (Afiks)
II. alamiah bersih/higienis sehat
III. literal pragmatis harapan
IV. lingkungan tesis-sintesis ekologi dan bahasa
V. realis + tesis baru perluasan makna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar