Jumat, 31 Juli 2009

ISMA DARMA YANTI

KOMENTAR
I. Pengantar
Responden yang kami hormati. Seminggu yang lalu peneliti sudah meminta bantuan Saudara untuk membaca, memahami, dan mengkritisi tulisan yang diberi judul “E-135: sebagai Draf Model Pengembangan Pembelajaran Linguistik di Universitas Andalas” yang ditulis oleh Sawirman tahun 2005 (32 halaman, ketikan 1 spasi, font geramond 11, ukuran kertas A4). Berkenaan dengan tulisan tersebut, kami berharap bantuan Saudara untuk menjawab sejumlah pertanyaan berikut dengan sekritis-kritisnya. Jawaban Saudara tidak akan berpengaruh sama sekali dengan profesi, pendidikan, dan pekerjaan yang sedang Saudara tekuni saat ini. Terima kasih atas bantuan Saudara.

II. Identitas Diri
Nama : Isma Darma Yanti/ 0821215009
Pekerjaan : Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Unand

III. Pertanyaan
A. Terma E-135
(1)
Apakah Saudara pernah membaca/ mendengar terma E-135 dalam referensi lain selain rancangan model yang ditulis dan dirancang oleh Sawirman yang ada di tangan Saudara? Bila iya dimana?

Tidak

(2)
Terma E-135 adalah singkatan dari E=Eksemplar, 1=Hermeneutika, 3=formalis, kritis, dan cultural studies/ posmodernis, serta 5= tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi), bagaimanakah menurut Saudara dengan nama itu?

Apapun nama yang diberikan untuk sebuah konstruksi berpikir, model, contoh, kerangka konseptual, paradigma, atau teori yang pantas ditauladani tentang sesuatu, peristiwa arau objek, menurut saya boleh-boleh saja selama penamaan tersebut memiliki landasan akemis yang kuat. E-135 sebuah nama yang diberikan untuk menamai sebuah kerangka konseptual peneganalisiasan sebuah wacana yang berpijaka pada landasan linguistik dan menjulang hingga makna hiperialitas, menurut saya sangat cocok untuk memenuhi semua kekurang yang ada selama ini. Dengan nama E-135 yang jauh berbeda dengan nama-nama teori humaniora yang telah ada. Hal ini akan menjadi angin segar dari kejenuhan nama-nama teori yang telah ada yang merupakan produksi luar .

(3)
Apakah Saudara memiliki usulan nama lain untuk “pengganti” terma E-135?

Tidak



B. Hermeneutika dalam Linguistik
(4)
Apakah Saudara setuju dengan Hermeneutika dijadikan sebagai basis ontologis pengembangan linguistik khususnya mata-mata kuliah “makro” seperti wacana, semiotika, bahasa media, serta bahasa dan ideologi, dan lain-lain?

Setuju. Hermeneutika dijadikan sebagai landasan otologis oleh banyak ilmu, terutama ilmu-ilmu yang menganalisis teks sekritis-kritisnya. Dengan dijadikan hermeneutik sebagai landasan otologis E-135, langkah kerja E-135 lebih kukuh dan kuat dalam menginterpretasi dan menganalisis teks/tanda.

(5)
Sejauhmanakah Saudara mengenal aliran filsafat Hermeneutika beserta tokoh-tokohnya?

Hermeneutika saat ini dijadikan landasan atau acuan filosofis bagai para analisis teks yang menginginkan pemaknaan teks/tanda yang kritis. Tokoh-tokoh hermeneutik menganggap filsafat hermeneutika lebih representatif dalam dunia teks agar para analis tidah hanya berkiblat kepada frekuensi, kuantitas, dan produktivitas yang mengabaikan nuansa kekritisan teks. Lebih lanjut, para hermeneutik dalam berbagai aliran wacana (konstruksionis, kritis, dekonstruksionis, dan cultural studies) menjadikan pengosumsi teks sebagai titik sentral. Di antara tokoh-tokohnya adalah Peter Wich, Georg Henrik von Wright, Hans-Georg Gadamer, F.D.E. Scheleiermacher, Wilhem Dilthey, Paul Ricoer, Foucault, Gibbons, Clifford Geertz, Charles Taylor, Richar Rorty, William Connolly, Hubert Dreyfus, Stevven Lukes, dan Brian Fay.

C. Teori-teori “Formalis” dalam Linguistik
(6)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep “Formalisme” dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Setuju. Teori formalis seperti yang dicetuskan Ferdinand de Sausure, Haliday, Firt, Louis hjelmslev, Bloomfield, Kenneth L. Pike serta aliran-aliran transformasional dan aliran-aliran sesudahnya hanya terfokus kepada pengakajian linguistik mikro, yaitu terbatas pada pengkajian bentuk dan lebel-label linguistik dan mengabaikan aspek pemkanaan (Chaer, 1994, 346-381).

(7)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Formalisme”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori Formalis beserta tokoh-tokohnya?

Di antara teori-teori formalis dan tokoh-tokohnya adalah,
(1) Ferdinand de Sausure (1857-1913). Dianggap juga sebagai bapaka linguistik modren berdasarkan pandangan-pandangannya yang dimuat dalam buku Course de Linguistique Generale yang disusun oleh Charles Bally dan Albert Sechehay tahun 1915 berdasarkan catatan kuliah Ferdinand de Sausure memberi kuliah di Universitas Jenewa tahun 1906-1911. Pandangan-pandangan Sausure adalah, telaah singkronik dan diakronik; perbedaan langue dan parole; perbedaan signifiant dan signifie; hubungan sintagmatik dan paradigmatik.
(2) Vilem Mathesius (1982-1945). Mathesius adalah tokoh yang memprakarsai Aliran Praha. Aliran Praha ini mengkaji linguistik dalam tataran fonologi, struktur bunyi, dan sintaksis. Dalam bidang fonologi, aliran ini membedakan dengan tegas antara fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri, fonologi mempelajari fungsi bunyi dalam sebuah sistem. Dalam bidang fonologi, aliran Praha juga memperkenalkan istilah morfonologi, bidang yang meneliti struktur fonologis morfem. Struktur bunyi dijelaskan dengan memakai kontras atau oposisi, dan menjadikan makna sebagai ukuran menentukan apakah bunyi-bunyi ujaran itu beroposisi atau tidak. Dalam bidang sintaksis, Matrhesius menelaah kalimat melalui pendekatan fungsional.
(3) M.A.K Haliday. Haliday terkenal dengan nama aliran sistemik. Ia merupakan salah seorang murid Firth. Teori yang dikembangkan Haliday dikenal dengan nama Neo-Firthian Linguistik atau Scale and Categori Linguistik sebelum akhirnya muncul nama aliran sistemik. Pokok-pokok pikiran aliran Sistemik adalah, pertama, memberikan perhatian pada segi kemasyarakatan bahasa, terutama fungsi kemasyarakatan bahasa dan bagaimana fungsi kemasyarakatan terlaksana dalam bahasa. Kedua, memandang bahasa sebagai pelaksana. Mengakui langue dan parole. Ketiga, mengutamakan pemberian ciri-ciri bahasa tertentu beserta variasi-variasinya. Keempat, mengenal adanya gradasi dan kontinum. Kelima menggambarkan tiga tataran utama bahasa, yaitu substansi, forma, dan situasi.
(4) Bloomfield, Kenneth L Pike dan tokoh-tojoh lainnya, pada prinsipnya berupaya menjelaskan seluk-beluk bahasa. Mulai dari tataran fonem, morfem, sintaksis, dan fungsi bahasa.

(8)
Bagaimanakah harusnya analisis linguistik yang eksplanatoris yang diharapkan Chomsky (bukan hanya deskriptif) menurut Saudara?

Chomsky terkenal juga dengan Tata Bahasa Trnsformasi. Nama ini lahir dengan terbitnya buku Chomsky yang berjudul Syntactic Sructure tahun 1957. Menurut Chomsky salah satu tujuan penelitian bahasa adalah untuk menyusun tata bahasa dari bahasa tersebut. Bahasa adalah kumpulan kalimat yang memiliki makna. Maka tugas tata bahasa adalah menggambarkan hubungan bunyi dan arti dalam bentuk akidah-kaidah yang tepat. Buku Syntactic Sructure disempurnakan Chomsky dengan judul Aspect of the Theori of Syntax tahun 1965. dalam buku ini Chomsky menyempurnakan teorinya yang akhirnya dikenal dengan Standard theory, da tahun 1972 dikembangkan lagi dan diberi nama “Extended Standard Theory”. Chomsky dengan teorinya ini menginginkan analisis linguistik tidak hanya deskriptif namun analisis linguistik yang aksplanatoris, yakni tata bahasa dari setiap bahasa terdiri dari dari tiga komponen, yaitu komponen sintaksis, komponen semantik, dan komponen fonologis. Hubungan ketiganya adalah input komponen semantik dan output subkomponen sintaksis yang disebut juga subkomponen dasar. Sedangkan input pada komponen fonologis merupakan output dari subkomponen sintaksis yang disebut juga subkomponen transformasi. Komponen sintaksis merupakan sentral dari tata bahasa, karena komponen ini yang menentukan arti kalimat dan yang menggambarkan aspek kreativitas bahasa.
Input awal mengalami kaidah-kaidah subkategorisasi. Kaidah-kaidah ini menghasilkan pola-pola kalimat dasar. Lebih lanjut, dijelskan bahwa bahasa memiliki struktur batin (deep stucture) yang akan diubah menjadi struktur laih oleh kaidah transformasi, oleh karena itu kalimat yang berbeda akan mempunyai struktur batin yang berbeda pula. Pertbedaab arti biasanya tercermin di dalam perbedaan morfem, urutan morfem, dan jumlah morfem yang digunakan. Ada kalimat yang jumlah morfem dan urutannya sama namun memilki arti yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian yang lebih kritis untuk menemukan makna yang sebenarnya. Kita tidak bisa menganalis bahasa sekedar mendeskripsikan namun harus melihat secara mendalam struktur batin yang membangun struktur lahir dan makna.




C. Teori-teori Kritis dalam Linguistik
(9)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep Teori Kritis dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Setuju

(10)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Teori Kritis”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori Kritis dalam Linguistik beserta tokoh-tokohnya?

Teori kritis muncul dimotori para kritikus sosial-budaya mazhab Frankfurt (Adorno, Marcuse, Habermas. Konsep aliran kritis muncul secara “de facto” semenjak masa Immanuel Kant dan Edmund Husserl. Yang mendeklarasikannya teori kritis secara “de jure” adalah Mazhab Frankfurt. Kant dengan trancendental logic-nya dan Husserl mengakui subjek yang di-transendensi-kan (peneliti diharapkan masuk ke dunia pengalaman yang diteliti sekalipun pengalaman itu sendiri bersifat subjektif. Setiap fenomena pengalaman memiliki ego transendental yang sulit dicerna secara lahir.
Aliran kritis dipengaruhi oleh filsafat psikologisme yang menjadikan pengalaman manusia sebagai titik fokus. Mereka memandang, bahwa segala sesuatu adalah sebuah proses (fenomenal). Mereka keberatan memisahkan antara subjek (pembuat teks) dan objek (teks, yang merupakan cara pandang epistemologi positivis. Peran intersubjektif dan hubungan-hubungan sosial yang dalam perspektif fenomenologis dianggap sentral dalam pembuatan teks juga diunggulkan aliran kritis (Ricoeur, 1978:250—251).
Di antara tokoh teori kritis yang terkenal adalah Fairclough dan van Dijk. Mereka membawa teori kritis ke ranah wacana (lingual) atau lebih dikenal dengan nama pendekatan wacana kritis (critical discourse analysis, CDA) dengan gigih. Dua linguis memesukan teori kritis ke ranah wacana dengan cara menempatkan pengonsumsi teks (pembaca) sebagai titik sentral dan menfokuskan kajian kepada pemaknaan. Sekadar contoh, Fairclough pada sejumlah bukunya sering mencontohkan keberadaan agentless passive (klausa pasif tanpa kehadiran agen) pada sebuah wacana. Tanpa disertai pemetaan linguistis yang memadai, Fairclough seakan-akan langsung meloncat ke arah fungsi agentless passive dalam konteks wacana dimaksud. Fairclough tidak pernah (1) memberikan alasan linguistis mengapa (klausa yang dianalisis) disebut agentless passive; (2) melakukan tes-tes linguistis pada klausa dimaksud dengan cara membandingkan antara klausa aktif dengan klausa pasif atau antara klausa pasif kehadiran agen dengan klausa pasif tanpa kehadiran agen; dan (3) memetakan secara linguistis manakah agen yang dilesapkan sehingga bentuk lingual agentless passive teruji secara linguistis.




(11)
Bagaimanakah Kontribusi teori-teori kritis seperti model Norman Fairclough, van Dick, atau tokoh-tokoh lain di mata Anda?

CDA dapat mengisi kekosongan aliran wacana formalis yang selama ini mengenyampingkan keberadaan analisis makna.


D. Teori-teori “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis” dalam Linguistik
(12)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis” dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Setuju.
Cultural Studies, Postmodernis, dan dekonstruksionis dalam faktanya menempatkan pengonsumsi teks sebagai titik sentral. Mereka melakukan pemaknaan tanpa disertai pemetaan linguistik yang memadai. Fairclough seakan-akan langsung meloncat ke arah fungsi agentless passive dalam konteks wacana dimaksud. Seperti halnya Fairclough, ia tidak pernah memberikan alasan linguistis mengapa (klausa yang dianalisis) disebut agentless passive; melakukan tes-tes linguistis pada klausa dimaksud dengan cara membandingkan antara klausa aktif dengan klausa pasif atau antara klausa pasif kehadiran agen dengan klausa pasif tanpa kehadiran agen; dan tidak memetakan secara linguistis manakah agen yang dilesapkan sehingga bentuk lingual agentless passive teruji secara linguistis. Mereka hanya menemukan makna yang sangat kritis, seakan tidak menghargai pemproduksi teks iru sendiri. Mereka menghancurkan makna seenaknya dan membangunnya kembali seenaknya.
hanya menemukan makna

(13)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori tersebut dalam Linguistik beserta tokoh-tokohnya?

Pendekatan Cultural Studies
Cultural Studies diperkenalkan oleh Richard Hoggart pada tahun 1964 ketika memprakarsai berdirinya Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS). Cultural studies dalam perkembangannya memiliki titik fokus yang agak berbeda. Perjuangan cultural studies di Inggris memberikan kritik terhadap budaya populer. Cultural studies di Amerika difokuskan pada budaya massa (populer culture). Fokus kepada isu-isu (dampak) teknologi terhadap masyarakat dan lingkungan menjadi titik sentral cultural studies di Australia. “Keangkuhan” masyarakat Barat yang memposisikan masyarakat atau budaya di luar komunitasnya sebagai “the others”, antara lain menjadikan perjuangan cultural studies di Afrika Utara dan sejumlah negara di dunia ketiga (negara-negara Selatan) lebih berorientasi pada penyetaraan hak asasi manusia. Meskipun dengan berbagai perbedaan titik fokus, ada kesamaan esensi perjuangan cultural studies yang dikembangkan di sejumlah negara, yakni sama-sama memberikan penekanan khusus pada kebijakan budaya massa, masyarakat termarjinalkan, dan ranah-ranah keilmuan yang terabaikan.
Cultural studies adalah kajian mengenai fenomena keilmuan dan kebudayaan yang memiliki spirit multi-dimensional. Dengan berpijak pada ilmu masing-masing, setiap disiplin ilmu (ekonomi politik, komunikasi, sosiologi, teori sosial, teori sastra, teori media, kajian film/video, antropologi budaya, filsafat, museum, dan seni) diharapkan dapat saling bekerja sama dan membuka diri. Cultural studies mencoba membedah fenomena (budaya, bahasa, dan ideologi) masyarakat melalui pendekatan eklektis dan lintas keilmuan (Sawirman, 2007a; b). Seperti halnya posmodernis, paradigma cultural studies dicetuskan oleh Richard Hoggart, et al belum memiliki “model aplikatif” untuk dapat dimanfaatkan demi kepentingan analisis wacana lingual. Dua paradigma dimaksud masih berada dalam tataran ontologis/filosofis (“di awang-awang”) yang masih sulit dicerna, apalagi dibawa ke ranah tertentu (seperti wacana/linguistik). Konsep aliran wacana kritis, seperti konstruksionisme memandang wacana/teks sebagai agen konstruksi pesan, bukan lagi sebagai saluran murni dan netral layaknya tatapan kaum positivis. Konsep wacana kritis diperkenalkan oleh sosiolog Peter L. Berger dan Thomas Luckman(Gunawan, 2007). Aliran kritis juga tidak bisa mungkin lepas dari pengaruh filsafat psikologisme yang menjadikan pengalaman manusias sebagai titik fokus meskipun tidak terkonvensi. Para penganut teori kritis memandang segala sesuatu sebagai sebuah proses (fenomenal). Pemisahan antara subjek (pembuat teks) dan objek (teks) merupakan keberatan utama para penganut teori kritis terhadap epistemologi positivis. Peran intersubjektif dan hubungan-hubungan sosial yang dalam perspektif fenomenologis dianggap sentral dalam pembuatan teks juga diunggulkan aliran kritis (Ricoeur, 1978:250—251). Teori kritis muncul diprakarsai ole para kritikus sosial-budaya mazhab Frankfurt (Adorno, Marcuse, Habermas). Para tokoh mazhab Frankfurt ikut memperluas cakupan hermeneutika psikososial dengan aspek ideologi, alienasi, dan psikoanalisis (Ricoeur, 1978:270). Tokoh aliran kritis yang lain adalah Fairclough dan van Dijk. Kedua tokoh ini dengan gigih membawa teori kritis ke ranah wacana (lingual) atau lebih dikenal dengan nama pendekatan wacana kritis (critical discourse analysis, CDA). Dua linguis tersebut memetakan teori kritis ke ranah wacana melalui model-model tersendiri dengan menempatkan pengonsumsi teks (pembaca) sebagai titik sentral. Mereka fokus kepada pemaknaan.
Selain itu terdapat pula tokoh-tokoh lain yaitu,
1. Jaques Derrida.
Jaques Derrida terkenala dengan teori dekonstruksinya. Derrida adalah penganut language is a game seperti halnya Wittgenstein. Ia mengawali konstruksi berpikirnya dengan melakukan “permainan” pada perbedaan antara difference (bahasa Inggris) dengan difference (bahasa Perancis) yang menghasilkan differance (bahasa dekonstruksi Derrida). Derrida (1985; 1986; 2000; 2002) memulai teorinya dengan différance tersebut (berasal dari verba bahasa Perancis). Perubahan afiks [-ance menjadi –ence], jejak (trace), melting pot, dan konsep deviant-nya sering dirangkum para ahli termaktub dalam terminologi dekonstruksi (deconstruction) sekaligus dianggap “paradigma baru” dalam ranah semiotika dan wacana. Derrida dengan dekonstruksi-nya melakukan pembongkaran terhadap teks yang dianalisis agar memunculkan sejumlah makna hiperealis yang disebut juga oleh Baudrillard dengan makna hiperealis. Derrida seperti halnya Lyotard (pencetus penundaan makna atau differend), dan Baudrillard (pencetus hiperealitas) dikategorikan para ahli ke dalam “klub posmodernis”.
Melalui differance-nya, Derrida tidak hanya mencetuskan “kotak penganyangan makna” yang disebutnya dengan melting pot, tetapi juga kemerdekaan dalam proses pemaknaan seperti harapan Lyotard. Strategi pemaknaan di mata Derrida harus dijadikan sebagai medan terbuka, “tanpa batas”, serta “merdeka” dari konvensi umum (sejenis degree writing zero-nya Roland Barthes). Derrida dikenal juga sebagai penganut “konsep penundaan”. Lebih lanjut, Derrida memerdekakan differance-nya dari kungkungan ruang dan waktu demi mendapatkan makna hiperelis.
Teks menurut perspektif Derrida ibarat dunia kehidupan, … has no stable identity, no stable origin, no stable end (Derrida, 1974:xii)5. Derrida memandang bahasa bukan sekadar dyadic sign atau hubungan timbal balik antara lambang dan acuan. Derrida menolak mono interpretasi, dan pengkritis kestabilan/ ketunggalan makna ini diposisikan sebagian ahli sebagai pencetus model ketidakberaturan (chaos), penghasil produk, massalisasi, dan retailisme makna yang kehilangan ‘roh’, esensi, atau nilai utama sehingga rasa apatis, pesimis, dan ketidakbernilaian makna, serta ketidakpercayaan terhadap makna.
2. Jean-François Lyotard
Jean-François Lyotard juga disebut sebagai tokoh posmodernis. Ia lahir di Versailles tahun 1924 dan merupakan aktivis politik Marxis di tahun 1950-an dan berubah haluan menjadi non-marxis sejak tahun 1980. Buku Lyotard yang terkenal adalah The Differend: Phrases in Dispute yang mengkritisi wacana dan simbol-simbol Marxis terkait dengan determinisme ekonomi. Karyanya tentang Economie Libidinale banyak mengkritisi wacana dan tanda lingual sehubungan dengan determinisme ekonomi Marx. Lyotard memandang teori-teori sistem yang menganggap masyarakat sebagai sebuah identitas kesatuan sudah kehilangan kredibilitas. Ia memahami ilmu sebagai “permainan bahasa”. Tidak ada semesta tunggal untuk hal yang plural. Ini mereupakan statemennya untuk mengukuhkan bahwa setiap “genre frase/wacana” memiliki jenis preskriptif, performatif, penyeru (ekslamator), interogatif, evaluatif, nominatif, dan lain-lain yang dalam permainan bahasa memiliki aturan tersendiri untuk mewakili sebuah semesta (Lechte, 2001:372-377).
3. Jean Baudrillard
Kajian Baudrillard tentang nilai sebuah simbol diawali atas tinjauan ulang teori Marx tentang nilai guna (objek kebutuhan dan keperluan) dan nilai tukar (logika kesetaraan). Nilai simbol menurut Baudrillard masih bersifat reduktif. Seperti yang dikatakan Piliang (2003; 2004), perkembangan teknologi, komputerisasi, digitalisasi, dan ilmu alam, selain membuka ruang merasuknya tanda-tanda hiperrealitas, juga memberi kesempatan berlangsungnya reproduksi tanda dari suatu objek atau situasi secara sempurna. Konsekuensinya, tanda/ simbol dapat menerobos “realitas baru” yang seakan-akan “real, nyata, dan terpercaya”. Hal ini disebut Baudrillard dengan hiperreality signs (tanda-tanda hiperealitas).
Buku Baudrillard yang terkenal tentang simbol berjudul Symbolic Exchange and Death yang ditulis pada tahun 1970-an. Baudrillard dalam bukunya Le Système des Objets (Sistem Objek) tahun 1968 memberikan realisme baru dalam kajian mitos, simbol, dan tanda. Baudrillard tidak menolak strukturalisme, tetapi lebih menekankan pentingnya “sistem perbedaan” antara yang real dan yang imajiner. Dalam buku Consumer Society (1970) dan For a Political Economy of the Sign (1972). Baudrillard menelaah simbol dalam kaitannya dengan psikologistik (kebutuhan berbasis sifat manusia) dan bentuk kulturalis (kebutuhan berbasis fungsi masyarakat). Subjek dan objek bergabung dalam status tidak sadar, dan bukan bergabung atas dasar kualitas abadi. Manusia bukan berupaya untuk mendapatkan persamaan (homogenisasi), akan tetapi berupaya untuk melakukan diferensiasi melalui sistem penandaan. Selain itu, Baudrillard mengemukakan sebuah konsep, yaitu konsep parodi (simbol baru “menertawakan” simbol lama). Dengan konsep ini Baudrillard menyebutkan, bahwa sebuah iklan bisa memparodikan iklan itu sendiri. Simbol di mata Baudrillard juga memiliki ciri solitaire (kemandirian dan konvensi makna yang tidak tergantung dengan tanda lainnya).



(14)
Bagaimanakah Kontribusi “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis, seperti Derrida, Foucault, Lyotard, dan lain-lain di mata Anda?

Ada beberapa hal yang menjadi kekhususan “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis, di antaranya adalah: (1) cenderung berpikir dari akibat ke sebab; (2) sebuah jejak (trace) dijadikan basis pemaknaan; (3) oposisi-oposisi saling berlawanan dan saling ketergantungan dalam jalinan diskursus menjadi titik perhatian; (4) pemberian label atau penamaan tidak menjadi titik fokus, sekalipun ada, pemberian label dilakukan setelah melalui proses “penundaan makna”; (5) memperkenalkan “kotak penganyangan makna” (melting pot) untuk memunculkan makna “hiperealis” (“makna yang berbeda dengan sejumlah interpretasi sebelumnya”); (6) makna dapat dibebaskan dari konteks ruang dan waktu; (7) penganut kemerdekaan berinterpretasi (seperti juga dianut tokoh posstrukturalis Roland Barthes dalam buku the Dead of the Author; (8) kemunculan “makna-makna baru” akibat proses pemaknaan seakan-akan dianggap lebih bernilai; (9) wacana adalah permainan bebas bahasa; (10) menolak kehadiran makna absolut atau tinanda absolut (pencarian makna absolut dianggap mustahil); (11) menihilkan kebenaran mutlak; (12) makna dapat muncul dari celah-celah antara penanda dengan tinanda atau antara teks dengan maknanya; (13) wacana merupakan proses perubahan makna secara terus-menerus (perubahan yang menempatkan posisi makna di luar jangkauan kebenaran mutlak). Konsep-konsep di atas merupakan konsep-konsep yang juga diambil oleh e-135 sebagai landasan, menurut saya merupakan kontribusi yang sangat besar bagi analisis wacana kritis.

E. Tahapan Analisis E-135
Bagaimanakah menurut Saudara tahapan E-135 untuk menganalisis Mata Kuliah Wacana? Silakan komentari kelebihan, kelemahan, dan peluangnya di masa mendatang!

(15)
Tahapan Elaborasi (Tahap Linguistik)




-





(16)
Tahapan Representasi
(Interteks Vertikal/Horizontal)



-






(17)
Tahapan Signifikasi (Semiotika)



-






(18)
Tahapan Eksplorasi (Dimensi Ilmu Lain)




-




(19)
Tahapan Transfigurasi
(Pemetaan/Makna Hiperealis)




-





Tahap “Penundaan Makna”
(20)
Kebenaran makna dalam e-135 menganut “Prinsip Penundaan”? Bagaimanakah menurut Anda?




Saya setuju dengan prinsip penundaan E-135, karena setiap orang memiliki kebenaran yang berbeda dalam menilai suatu objek, sesuai dengan latar belakang budaya dan sudut pandang yang dia gunakan. Untuk itu, kita sebagai analis harus menampung semua tipe kebenaran yang ada untuk akhirnya menemukan kebenaran yang paling mendekati kebenaran yang hakiki.





(21)
Bisakah Saudara membedakan Prinsip Penundaan Makna Menurut Derrida dan/atau Lyotard dengan e-135?










(22)
Bagaimanakah Prinsip Penundaan Makna dengan terma “Rekonstruksi Makna” dalam e-135?



Prinsip penundaan makna dalam rekonstruksi makna adalah, semua kotak makna tertunda satu, dua, tiga, dan empat dimasukan ke dalam kotak “rekonstruksi makna”. Kotak rekonstruksi makna adalah tempat penggodokkan makna pada tahapan transfigurasi. Tahapan tersebut tidak lagi menunda makna, tetapi saatnya melepaskan pemaknaan secara kritis. Artinya, semua makna yang ditemukan mulai dari tahapan elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan tansfigurasi dilepaskan di dalam kotak ini. Semua makna dibandingkan untuk menemukan makna baru.
Selanjutnya, makna-makna yang ada pada masing-masing tahapan e-135, yakni (1) tahapan elaborasi dengan objek material teks (sebagai data) dikaji dengan objek formal teori linguistik (mikro), (2) tahapan representasi dengan objek material intrarteks dikaji dengan objek formal wacana (fungsional), (3) tahapan signifikasi dengan objek material interteks dikaji dengan objek formal semiotik, (4) tahapan eksplorasi dengan objek material hiperteks (sebagai data) dikaji dengan objek formal cultural studies, dan (5) tahapan transfigurasi merupakan “kotak pengayangan makna” (melting pot) yang didapat dari sejumlah korpus data tahap-tahap sebelumnya (teks, intrateks, interteks, dan hiperteks) dengan otoritas interpretan diputar di dalam kotak rekonstruksi ini. Artinya, setiap muatan makna dalam kotak-kotak makna e-135 memiliki posisi setara. Setiap kotak makna dengan muatan maknanya dapat melahirkan masing-masing kebenaran yang dihargakan sama, (1) kotak makna elaborasi melahirkan “kebenaran linguistis”; (2) kotak makna representasi melahirkan “kebenaran fungsional”; (3) kotak makna signifikasi melahirkan “kebenaran semiotis/semantis”; (4) kotak makna eksplorasi melahirkan “kebenaran hipersemiotis”; dan (5) kotak makna transfigurasi melahirkan “kebenaran cultural studies”.
Kemunculan makna-makna baru (hiperealis) yang didapat dari “anyangan makna” tahap-tahap sebelumnya juga akan melahirkan “makna-makna yang beralasan”, “tidak liar” atau tanpa batas alias semau gue) seperti yang sering menjadi titik kritikan para ahli pada teori dekonstruksi Derrida. Proses pemaknaan dengan memberikan kebebasan terkendali ini selain dapat menghindari terjadinya ketidakberaturan makna/model dan retailisme makna yang kehilangan esensi, roh, atau spirit, juga dapat menghilangkan rasa apatis akan ketidakbernilaian dan/atau ketidakpercayaan terhadap makna.







Tahap Pengayangan Makna (Melting Pot)
(23)
Untuk mengungkap interpretasi pemaknaan terdalam dalam e-135 dapat dilakukan dengan pengayangan makna (melting pot) dengan model/diagram tersendiri, bagaimanakah menurut Saudara?




Saya setuju dengan model/ diagram tersendiri yang ditawarkan E-135 untuk mengungkap interpretasi pemaknaan terdalam, karena tanda/simbol/kata yang dianalisis dengan objek formal linguistik (bentuk), fungsi, semiotik (makna), dan hipersemiotik akan menghasilkan makna-makna (tesis-tesis) berbeda. Tesis-tesis tersebut harus “dianyang” pada “kotak pengayangan makna’ untuk melahirkan proses dialektika kompleks yang pada akhirnya membuka peluang untuk diantitesis.


(24)
Bisakah model pengayangan makna yang diagram yang diusulkan mampu mengungkap “makna terdalam” (depth meaning) Baudrillard dalam Analisis Wacana menurut Saudara?




Dari membaca dan mempelajari diagram penganyangan makna yang ditawarkan E-135, saya berpendapat digram tersebut bisa/ dapat diusulkan untuk mengungkap “makna terdalam” (depth meaning) yang diharapkan Baudrillard.





F. Pertanyaan Umum secara Holistik
(25)
Apakah e-135 telah ditulis dengan baik sesuai dengan Ejaan yang benar? Silakan kemukakan alasan Anda?

E-135 telah ditulis dengan baik. Walaupun ada beberapa kekeliruan, saya beranggapan itu hanya kekhilafan semata. Seperti penulisan: periristiwa (hal 1), adalah di awal kalimat (hal 2), kata menengok (hal 2) menurut saya bisa diganti dengan melihat. beredar (hal 2) bagaimana jika diganti dengan terdapat. Tidak konskuen, contoh kadang menulis bdk Hermawan, 2008 (hal 3), kadang baca Hermawan, 2008 (hal 18); kadang menulis E-135 kadang e-135.

(26)
Apakah e-135 telah ditulis sesuai dengan kaidah dan etika akademis? Silakan kemukakan alasan Anda?

Sudah. Penulis dengan taat mencantumkan nana pemilik pernyataan-pernyataan yang dikutip.

(27)
Apakah e-135 telah dipikirkan dengan baik dan ditulis dengan baik? Silakan kemukakan alasan Anda?

Sudah

(28)
Apakah kelebihan dari e-135 menurut Anda?

E-135 hadir untuk menyempurnakan teori formalis dan CDA. Dalam melakukan analisis teks E-135 berpijak kepada landasan linguistik dan mampu menghadirkan makna terdalam yang selama ini cenderung diabaikan oleh teori formalis.

(29)
Apakah e-135 tidak terlalu ambisius?

Tidak. Ambisius merupakan mimpi. Dengan bermimpi kita akan berjuang untuk mewujudkannya.

(30)
Apakah target yang diharapkan dari e-135 masuk akal dan realistis?

Masuk akal dan sangat realistik, karena dengan situasi dan kondisi keilmuan yang mengkaji saat ini yang belum lengkap, seperti teori formalis yang hanya terfokus pad pemberian label linguistik dan melupakan makna, teori sosial critis, cultural studie yang cenderung kehilangan pijakan lingustik, maka hadirnya E-135 sebagai sebuah teori baru yang berpijak pada landasan linguistik dan menganlisis teks sekritis-kritisnya akan menjadi solusi yang tepat.

(31)
Apakah e-135 sesuai dengan tujuan penelitian wacana?

Sesuai. Penelitian wacana menginginkan pengkajian yang menemukan makna tersembunyi. Bisa saja yang ditampilkan X isinya asalah X’, yang ditampilkan X isinya X’’, atu yang ditampilkan X isinya adalah Y. Maka penelitian wacana menginginkan X’, X’’, atau Y tersebut, dan hal ini sesuai dengan tujuan dasar E-135.

(32)
Apakah sudah ditunjukkan bahwa e-135 ini tidak merupakan pengulangan dari
yang sudah pernah dilakukan?

Belum

(33)
Apakah e-135 sesuai dengan kepakaran peneliti?

Sesuai

(34)
Apakah sudah ditunjukkan keterkaitan dengan pustaka-pustaka/hasil penelitian yang sudah terbit/sudah dilakukan?

Sudah

(35)
Apakah e-135 yang diajukan dapat dianggap inovatif dalam analisis wacana? Mengapa?


Dapat. Selama analisis wacana seperti CDA hanya menampilkan makna-makan yang tersembunyi dari sebuah teks, namun melupakan pijakan linguistik. Oleh karena itu, E-135 menjadi sangat inovatif, membantu dalam melakukan analisis wacana. Hingga pada akhirnya, analisis wacana tidak hanya menampilkan makna tersembunyi dan analisis teks yang kritis namun juga menampilakan aspek linguistik yang menjadi pijakannya.

(36)
Apakah metode yang diajukan dapat menjawab tujuan yang diharapkan?


Dapat

(37)
Apakah e-135 sudah dipertimbangkan dengan baik? Mengapa

Sudah. Ketika sebuah kerangka berpikir telah menjjalani proses yang panjang, maka konsep tersebut akan semakin matang. Sama kita ketahui, konsep E-135 telah menjalani seretetan proses yang panjang dan berat, seperti sidang terbuka/ tertutup Disertasi, seminar nasional dan internasional, serta telah mengudara lewat jurnal internasional. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa E-135 merupakan konsep dasar teori analisis wacana yang telah beranjak matang karena dipertimbangkan dengan sangat baik oleh penulis.

(38)
Apakah e-135 yang diajukan masuk akal dan realistis?

Masuk akal.

(39)
Apakah dengan sumberdaya, buku, dan peralatan yang ada e-135 dapat dilaksanakan dalam mata kuliah wacana di S2?

Dapat, karena untuk perkuliahan tingkat post-graduete E-135 dapat dilaksanakan.

(40)
Apakah dengan sumberdaya, buku, dan peralatan yang ada e-135 dapat dilaksanakan dalam mata kuliah wacana di S1?

Bisa saja. Namun, saya berfikir pada perkuliahan tingkat S1 akan lebih baik mahasiswa diberikan landasan linguistik mikro dan linguistik makro yang kuat dan padat, sehingga tidak mengalami shok ilmu ketika mendalami E-135 yang sangat padat keilmuan, mulai dari linguistik mikro, makro, cultural studies, social kritis, critical discoure analisis. Jadi, menurut saya E-135 lebih tepat mulai diajarkan pada tataran S2.

G. Penutup
(41)
Bagaimanakah harusnya analisis linguistik yang ideal menurut Saudara?

Analisis linguistik yang berawal dari analisis mikro dan berakhir dengan penganalisan makna yang kritis. Gabungan analisis teori formalis dan critical discoure analisys.

(42)
Terkait dengan pertanyaan dimaksud, Bagaimanakah kontribusi E-135 untuk menjadikan ilmu linguistik menjadi semakin humanis serta semakin berguna bagi kemanusiaan, kemasyarakatan, dan perjuangan etsi/moral?

E-135 dengan cara kerja menggabungkan kerja teori formalis dengan cultural studies akan membuat kajian linguistik (humaniora) lebih dihargai dan dipandang sebagai kajian yang bermutu, sebagimana kajian ilmu eksak.

(43)
Item-item/ pertanyaan-pertanyaan nomor berapakah yang sulit Saudara pahami/ambigu? Mengapa?

Ada beberapa pertanyaan yang belum dapat saya jawab. Hal ini disebabkan karena saya masih butuh waktu untuk memahami. Seyogyanya sebuah teori yang dipikirkan, dibuat dengan segala kemampuan yang dimiliki pencetusnya, maka untuk mengkritisi juga membutuhkan kesiapan yang matang si pengkritisinya. Bagimanakah seseorang dapat mengatakan empedu itu pahit, ketika ia belum pernah mencobanya. Namun yang pasti, penghargaan terbesar dan dukungan akademis saya berikan kepada Bapak , semoga kapal ini sampai ke pulau yang dicita-citakan.
Terlebih lagi, saya mohon kritikan dan pembetulan terhadap kesalahan yang saya lakukan dalam menelaah makna “Karambia Tokeang”, yang menggunakan E-135 untuk perbaikan ke depannya.

(44)
Mohon diberikan saran-saran lain terkait dengan e-135 di luar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan?

Di dalam exemplar yang ada di tangan saya terlihat penggunaan E dan e secara berganti untuk menamakan konsep atau teori yang diajukan, seperti pada halaman 5. di situ ditulis E-135 dan e-135. Apakah penamaan ini sama?
E-135 digunakan untuk menamakan sebuah konstruksi berpikir untuk menciptakan sebuah paradigma berdimensi cultural studies dan sebagai cikal bakal lahirnya sebuah paradigma atau teori, sebuah eksemplar yang tahan uji akan menjadi paradigma dengan sendirinya (halaman 1). Berdasarkan pernyataan itu, apakah ketika eksempler ini telah menjadi sebuah teori, namanya akan berubah?





(45)
Mohon diberikan saran-saran lain terkait dengan e-135 di luar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan?

Terkait dengan pertanyaan saya di nomor 44, jika E-135 dan e-135 adalah sama, maka saya mengusulkan supaya penulisannya konsekuen E atau e. Tujuannya adalah untuk menjadikan eksemplar 135 lebih kukuh.

Contoh Aplikasi

Analisis E-135 Membedah Simbol Wacana “Karambia Tokeang”

1. Tahapan Elaborasi
“Karambia Tokeang” sebagai kata bahasa Minangkabau terlebih dahulu dibedah dengan pisau linguistik mikro sebagai refleksi pendekatan Formalis. Karambia tokeang terdiri dari dua kata, yaitu karambia dan tokeang. Karambia adalah nama buah. Dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan kelapa.
Kata karambia terdiri dari 7 fonem, yaitu /k/,/a/,/r/,/a/,/m/,/b/,/ia/. Terdiri dari satu vokal, yaitu vokal /a/, satu vokal rangkap atau diftong /ia/, empat konsonan, yaitu konsonan /k/, konsonan /r/, konsonan /m/, konsonan /b/.
Analisis fonem terlihat dari tabel berikut.
Vokal
Nama vokal
Posisi lidah Vertikal
Posisi lidah Horizontal
Bentuk mulut
Posisi Lidah dan bentuk mulut
/a/
Vokal rendah
Vokal pusat
Vokal tak bundar
Vokal pusat rendah tak bundar
Selain vokal /a/ , terdapat vokal rangkap atau diftong yaitu /ia/. /ia/ merupakan diftong naik, yang mana bunyi pertama /i/ lebih rendah dari pada bunyi kedua /a/.
Konsonan
Nama konsonan
Posisi pita suara
Tempat artikulasi
Cara artikulasi
/k/
Tidak bersuara
dorsovelar
hambat
/r/
-
laminoalveolar
Getaran/trill
/m/
-
bilabial
Sengauan/nasal
/b/
Bersuara
bilabial
hambat

Tokeang adalah kata sifat yang menunjukan kondisi atau keadaan. Kata tokeang terdiri dari enam fonem, yaitu /t/, /o/, /k/, /e/, /a/, /ng/. Terdiri dari tiga fokal, yaitu vokal /o/,/vokal /e/,/vokal /a/, tiga konsonan, yaitu /t/,/konsonan /k/, konsonan /ng/.

Analisis fonem kata tokeang terlihat pada tabel di bawah ini,

Vokal
Nama vokal
Posisi lidah vertikal
Posisi lidah horizontal
Bentuk mulut
Posisi lidah dan bentuk mulut
/o/
Vokal tengan
Vokal belakang
Vokal bundar
Vokal belakang tengah bundar
/e/
Vokal tengah
Vokal depan
Vokal tidak bundar
Vokal depan tak bundar
/a/
Vokal tengah
Vokal pusat
Vokal tak bundar
Vokal pusat tengah rendah tak bundar

Konsonan
Nama konsonan
Posisi pita suara
Tempat artikulasi
Cara artikulasi
/k/
Tidak bersuara
dorsovelar
hambat
/t/
Tidak bersuara
laminoalveolar
hambat
/ ng /
-
dorsovelar
Sengauan/ nasal

Secara morfologi, karambia tokeang terdiri dari dua morfem bebas yaitu morfem karambia dan morfem tokeng. Disebut juga dengan morfem bebas, karena morfem karambia dan morfem tokeang dapat berdiri sendiri, artinya morfem memiliki makna sendiri jika dipisahkan.
Secara sintaksis karambia tokeng terdiri dari dua unsur, yaitu nominal dan ajektif.
Karambia tokeang
N Adj
Dari sudut pandang sintaksis dapat dijelaskan bahwa kata tokeang menerangkan kondisi dari karambia. Karambia merupakan unsur pusat, tokeng unsur tambahan. Secara semantis, karambia berarti buah dari tumbuhan yang banyak terdapat di daerah pesisir. Dalam bahasa Indonesia karambia memiliki padanan kata, yaitu kelapa. Tokeang artinya sompong atau berlobang (Saydam, 2004: 179).
Jadi pada tahapan elaborasi ditemukan makna semantik yaitu kelapa bolong.

Makna 1: Karambia tokeng ________ Kelapa bolong



2. Tahapan Representasi
Dalam tahap representasi kita hubungan antara bahasa dengan konsep mental yang dipresentasikan dengan realitas yang ada tentang fakta, manusia, keadaan, peristiwa, benda nyata, atau objek. Dalam tahapan representasi masing-masing individial atau pengarang memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu objek. Pada tahap ini, kita menghargai otoritas pengarang atau pemproduksi teks. Subjek yang memproduksi teks dihargai pada tahapan ini. Kata karambiah tokeng merupakan potongan judul cerita pendek yang ditulis oleh Wisran Hadi pada Harian padang Ekspress terbitan ---- . tulisan ini berada pada rubrik Jilatang dengan judul lengkap Kampanye di Muko Karambia Tokeang. Wisran Hadi menggunakan kata karambia tokeng untuk menyebut unsur pimpinan adat Minangkabau (niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai) yang tidak menjalankan fungsinya secara baik, telah rusak. Kaitan antara karambia tokenga dengan pemimpin dilihat dari fungsi keduanya yang sangat sentral. Karambia bagi masyarakat Minangkabau merupakan bahan dasar untuk membuat randang (rendang)[1], bubur dan berbagai jenis masakan. Di sini kelihatan bahwa karambia memiliki banyak fungsi. Pemimpin (niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai) merupakan fondasi dasar terciptanya masyarakat yang sejahtera. Pemimpin di Minangkabau diibaratkan sebagai beringin di tengah koto. Tempat seluruh masyarakat mengadu.
Jadi,
Karambia = pemimpin = fungsi sentral

Karambia tokeang, kelapa yang telah berlobang tidak dapat digunakan lagi untuk membuat masakan, artinya ia tidak berfungsi lagi. Makna ini bersimbiosis dengan makna pemimpin yang tidak menjalankan fungsi.
Jadi, pada tahapan representasi ditemukan makna dua2, yaitu:

Makna 2: Karambia tokeang ______ Pemimpin yang tidak berfungsi



3. Tahapan Signifikasi
Pada tahap signifikasi, teks akan dianalisis sekritis-kritisnya. Pada tahapan ini digunakan critikal discoure analisys (CDA).
Karambia tokeng adalah kelapa yang bolong. Biasanya karambia (kelapa) dibolongi/ dilobangi oleh tupai (binatang penggeret, tupai melobangi kelapa agar bisa memakan isinya). Hilangnya fungsi karambia sebagai bahan dasar membuat rendang (masakan) disebabkan oleh tupai yang melobanginya. Ada pihak ketiga yang menyebabkan kerusakan tersebut, yaitu tupai. Tupai melobangi karambia (kelapa) sudah barang tentu karena dia lapar. Jadi, tupai melobangi karambia untuk memenuhi kebutuhan perutnya.
Pemimpin tidak menjalankan fungsinya/ rusak disebabkan karena banyak faktor, misalnya kekuasaan, harta. Dalam banyak sejarah ditemukan bahwa pemimpin yang tidak menjalankan fungsinya disebabkan oleh tiga masalah klasik yaitu harta, tahta, wanita. Oleh karena itu, dapat diidentifikasi pihak ketiga yang menyebabkan rusaknya pemimpin adalah harta, tahta, wanita.

Karambia tokeang dirusak oleh tupai
Pemimpin Rusak dirusak oleh harta, tahta, wanita (hawa nafsu)


4. Tahapan Eksplorasi
Pada tahap eksplorasi, teks akan dikaitakan dengan kultural, idiologi, pandangan hadup masyarakat Minangkabau. Dalam adat Minangakabau, pemimpin disebut juga dengan istilah tungku tigo sajarangan, terdiri dari niniak mamak (pengulu), alim ulama, cerdik pandai. Ia merupakan pucuk pimpinan tertinggi. Ia yang akan menjaga dan memelihara seluruh isi nagari. Ia disebut juga sebagai baringin di tangah koto, batang tampek basanda, daun tampek tampek balinduang, urek tampek baselo, ka pai tampek batanyo, ka pulang tampek babarito. Lebih lanjut, disebutkan dalam mamangan adat, peranan dari pemimpin, yaitu kaluak paku kacang balimbiang, tampuruang lenggang lenggokakan, bawo manurun ka saruaso, anak dipangku, kamanakan dibimbiang, tenggang nagari jan binaso. Ia memiliki kewajiban yang komplek, yaitu memelihara anaknya, kemenakannya, serta nagarinya. Terkait dengan rusaknya pemimpin dalam arti pemimpin tidak menjalankan fungsinya dengan baik, dapat dilihat dari kasus penjualan harta pusaka yang diprakarsai penghulu sendiri untuk kepentingan pribadi. Penjualan tanah ulayat untuk mengisi kantong sendiri, terlibat narkoba atau yang lebih riskan main perempuan”[2]. Inilah yang disebut dalam mamangan adat tungkek mambao rabah.
Lebih lanjut, seorang pemimpin apapun dia, anggota dewan; bupati; walikota, gubernur, minimal pemimpin diri sendiri, ia merupakan manusia yang mengalami proses yang alamiah. Artinya, ia juga mengawali kehidupannya dari dalam rahim, lahir, bayi, anak-anak, remaja, dan akhirnya dewasa. Ia pernah berada dalam kondisi tidak dapat berbuat apa-apa, harus dibantu oleh orang lain (ibunya, bapaknya, sanak saudaranya, korong kampungnya). Ini bearti ia juga memilki kewajiban selain membela anak kemenakan, masyarakat yaitu kewajiban untuk membalas guna, membalas budi kebaikan orang-orang yang telah mengantarkannya ke tataran kejayaan. Sebagaimana telihat dari mamangan adat berikut, satinggi- tinggi batuang, batang manjulang manyapu awan, tapi dan pucuak runduak ka bumi menyilau tanah tampek tumbuah. Mamangan ini mengajarkan, setinggi apapun pangkat dan kedudukan seorang individu tetap harus membalas budi.
Dikaitkan dengan karambia tokeng sebagai penanda, jika karambia telah rusak ia tidak bisa membalas guna kepada petani yang menanamnya. Begitu juga dengan pemimpin yang rusak ia juga tidak pandai membalas budi orang-orang yang telah berjasa terhadap hidupnya.
Jadi ditemukan makna 4 yaitu:

Makna 4: pemimpin tidak membalas budi

5. Tahapa Transfigurasi
1. Rekonstruksi makna


I. Karambia Tokeang = kelapa bolong


II. Karambia tokeang = Pemimpin yang rusak (tidak menjalankan berfungsi)


III. Karambia tokeang dirusak oleh tupai
Pemimpin Rusak dirusak oleh harta, tahta, wanita (hawa nafsu)

IV. Karambia tokeang = pemimpin tidak membalas budi


2. Dekonstruksi Makna
Sebagaimana telah ditulis sebelumnya, dalam adat Minangakabau pemimpin disebut juga dengan istilah tungku tigo sajarangan, terdiri dari niniak mamak (pengulu), alim ulama, cerdik pandai. Ia merupakan pucuk pimpinan tertinggi. Ia berkewajiban menjaga dan memelihara seluruh isi nagari. Ia disebut juga sebagai baringin di tangah koto, batang tampek basanda, daun tampek tampek balinduang, urek tampek baselo, ka pai tampek batanyo, ka pulang tampek babarito. Lebih lanjut, disebutkan dalam mamangan adat, peranan dari pemimpin, yaitu kaluak paku kacang balimbiang, tampuruang lenggang lenggokakan, bawo manurun ka saruaso, anak dipangku, kamanakan dibimbiang, tenggang nagari jan binaso. Ia memiliki kewajiban yang komplek, yaitu memelihara anaknya, kemenakannya, serta nagarinya.
Berkaitan dengan makna II pemimpin rusak dapat dijelaskan bahwa pemimpin tidak menjalankan fungsinya dengan baik, sebagaimana yang telah digariskan dalam aturan adat. Kondisi ini menggambarkan bahwa pemimpin telah rusak. Kerusakan tersebut didorong oleh keingginannya untuk memuaskan hawa nafsu semata (pihak ketiga sama dengan tupai yang menjadi pihak yang menyebabkan kerusakan karambia). Kerusakan tersebut dapat dilihat dari berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat, seperti penjualan harta pusaka yang diprakarsai penghulu sendiri untuk kepentingan pribadi, penjualan tanah ulayat untuk mengisi kantong sendiri, terlibat narkoba atau yang lebih hebat main perempuan”[3]. Dalam mamangan adat hal ini disebut dengan tungkek mambao rabah. Lebih lanjut, di dalam ajaran adat disebutkan, pemimpin berfungsi sebagai penerang dalam nagari. Ia adalah pihak yang paling berkompeten untuk mengawasi, menghalangi hal-hal yang dapat merusak masyarakat. Seperti telihat dari ungkapan adat suluah bendang dalam nagari. Namun, ketika hal itu diharapkan yang muncul adalah pertanyaan sederhana, jika pemimpin telah main perempuan bagaimana ia menjegah anak kemenakannya main perempuan? jika pemimpin korupsi bagimana ia bisa mencegah anak kemenakannya mengambil hak orang lain? Sudah jelas fungsi tersebut tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini diungkapkan dalam pepatah adat, kalau pemimpin karaia tagak, kajamban balari anak buahnyo.
Karambia bisa berbuah karena di pelihara dengan baik oleh petani. Seyogyanyalah petani dapat memanen hasilnya. Petani berhak memetik buah yang matang untuk dijual ke pasar. Uang hasil penjualan digunakan untuk menyenangkan hidupnya. Ketika karambia telah bolong, busuk yang didapat oleh petani adalah kekecewaan. Begitu juga dengan orang tua, sanak keluarga si pemimpin. Ketika ia hanya menurutkan hawa nafsu semata, maka kewajibannya berbakti, membalas budi tidak akan dapat dipenuhi. Ia durhaka kepada orang tua yang telah mengasuh, mendidik, dan mengantarkannya kepada kejayaan.










































Daftar Bacaan

Amir Piliang, Yasraf. 2003. HIPERSEMIOTIKA, ” Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna”. Yokyakarta: Jalasutra.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: balai Pustaka
Nafis, A.A. 1984. Alam Takambang Jadi Guru. Jakarta: Grafiti Press.
Nasrun, M. 1951. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Grafiti Perss.
Mrazeck, Rudolf. 1999. Tan Malaka, Penj. Endi Haryono, Bhanu Setyanto, Judul Asli Tan Malaka A Political Personality’s Stukture Of Experience, Yogyakarta: BIGRAF Publishing
Sawirman. Draf Teori Wacana - Semiotika E-135.
Saydam, Gouzali. 2004. Kamus Lengkap Bahasa Minangkabau. Padang: PPIM
Sturrock. John (ed). 2004. Strukturalisme, Postrukturalisme ”Dari Levi-Strauss sampai Deridda. Surabaya: Jawa Post Press.




























Padang, 15 Mei 2009



Nama: Isma Darma Yanti
Signature
[1] Randang (rendang): rendang daging sapi atau kerbau yang semula berasal dari gulai santan kelapa yang dikeringkan. Randang merupakan makanan khas Minangkabau, sering kali disebut sebagai makanan adat.
[2] Pernyataan ini memang tidak dapat disebutkan secara terang-terangan, namun kita sama pernah mendengar anggota Dewan yang tertangkap sedang berbuat mesum dengan PSK di penginapan lingkaran danau Singkarak beberapa waktu yang lalu.
[3] Pernyataan ini memang tidak dapat disebutkan secara terang-terangan, namun kita sama pernah mendengar anggota Dewan yang tertangkap sedang berbuat mesum dengan PSK di penginapan lingkaran danau Singkarak beberapa waktu yang lalu.
5 Derrida seperti dikutip Aminuddin, dkk. (2002:155).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar