Jumat, 31 Juli 2009

LEGENDA “MALIN KUNDANG”:ANALISIS E-135 SAWIRMAN

Oleh Non Martis
(Peneliti Balai Bahasa Padang)

I. Pengantar
Cerita Malin Kundang adalah sebuah legenda yang hidup di Minangkabau, yaitu mengenai seorang anak manusia yang bernama Malin Kundang, yang setelah berhasil di rantau, pulang dengan kapalnya bersama istrinya. Pada waktu kepulangannya itu, ibunya menjemput Malin Kundang ke pelabuhan. Keadaan ibunya yang sudah tua dan melarat menyebabkan Malin Kundang tidak mau mengakui orang tua itu sebagai ibunya. Karena sangat kecewa, ibunya berdoa agar Allah menurunkan kutukan kepada anaknya itu jika benar dia adalah anaknya. Doa si ibu terkabul dan kapal Malin Kundang dan seisinya menjadi batu.
Oleh masyarakat Minangkabau, legenda ini dianggap benar-benar terjadi di suatu waktu dan di suatu tempat. Manakala seorang anak ‘melawan’ kepada orang tuanya, ia akan diingatkan kepada kisah si Malin Kundang yang telah menjadi batu karang karena durhaka kepada orang tua. Sebagai legenda, cerita Malin Kundang terdiri atas ‘subjek’, yaitu teks dan benda yang diacu oleh teks tersebut, yaitu berupa batu yang terletak di Pantai Air Manis, Kota Padang. Antara benda yang diacu dengan teks cerita mempunyai hubungan yang sangat erat. Karena keeratan hubungan itu, batu Malin Kundang tidak akan bermakna tanpa adanya teks cerita Malin Kundang. Sebaliknya, teks cerita akan tetap bermakna tanpa adanya benda yang diacu, yakni batu yang diberi nama Batu Malin Kundang.
Dalam banyak hal, legenda Malin Kundang yang pada mulanya dalam bentuk sastra lisan telah banyak diresepsi orang dalam bentuk satra tulis, di antaranya Wisran Hadi dan Maryelliwati telah meresepsi legenda ini dalam bentuk drama, A.A. Navis dan Irman Syah telah pula meresepsinya dalam bentuk cerpen, dan dalam berbagai bentuk tulisan lainnya di koran-koran. Banyaknya resepsi atas legenda Malin Kundang itu dapat disimpulkan bahwa Malin Kundang telah menjadi sebuah fenomenal budaya, tidak hanya dalam lingkup budaya Minangkabau melainkan juga dalam lingkup budaya Indonesia. Faktor inilah yang menyebabkan penulis tertarik untuk menganalisis legenda Malin Kundang dengan E-135. Selain hal di atas, kiranya E-135 dapat digunakan sebagai sebuah ‘pisau bedah baru’ dalam bidang wacana Malin Kundang ini.

II. Teori
Sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa teori yang digunakan untuk menganalisis legenda Malin Kundang ini adalah E-135 yang digagas oleh Dr. Sawirman. Dalam draf yang disampaikan kepada kami (mahasiswa S2 Unand) jelas-jelas dikatakan bahwa E-135 bertitik tolak pada hermeneutik. Dalam aplikasinya, E-135 mempunyai lima tahapan analisis, yaitu 1) elaborasi, 2) representasi, 3) signifikasi, 4) eksplorasi, dan 5) transfigurasi. Kelima tahapan analisis E-135 itu disajikan sebagai berikut.
Tahap Elaborasi disebut juga dengan tahapan kajian linguistik. Pada tahapan ini sebuah teks atau wacana dimaknai sebagai sebuah produk dalam wujudnya sebagai sebuah fisik. Dengan demikian, objek materail yang digunakan adalah teks dalam artian wacana. Tahapan elaborasi juga sebagai sistem langue, determinsme sistem teori, kategori benar salah, linear, bahasa sebagai cermin monolitik, abstraksi bentuk, dan logika operasi yang memposisikan teks sebagai sebuah instrumen (Sawirman, dalam Draf E-135: 18).
Tahap Representasi merupakan tahapan pengkonkretan antara bahasa sebagai tanda dan konsep mental yang dipresentasikannya dengan realitas yang ada tentang fakta, manusia, keadaan, peristiwa, benda nyata atau objek (fiktif). Hall (1997: 17) membedakan antara representasi mental dan (mental representation) dengan bahasa. Menurutnya, representasi mental bersifat subjektif. Oleh karena itu masing-masing pengarang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan menetapkan hubungan antarkonsep yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan, preferensi, ideologi, pengalaman, pengetahuan, lingkungan sosial, prespektif, serta nilai-nilai politis lainnya yang beroperasi di balik subjek pembuat wacana. Sementara itu, bahasa dianggap menjadi bagian dari sistem representasi. Pertukaran makna terjadi ketika ada akses terdapat bahasa bersama sebagai sitem langue. Bahasa sebagai siste tanda (sign) akan membawa makna setelah diwujudkan dalam bentuk kata, ungkapan, gaya, diksi, suara, mimik, gestures, serta wilayah bahasa lainnya. Jika dikaitkan dengan pendapat Halliday (1978; 1991) representasi ini dapat disejajarjan dengan bahasa sebagai wahana (1) ideasioal, yaitu wahana untuk mengekspresikan sesuatu, (2) interpersonal, yaitu menilai, menyikapi, dan berinteraksi, dan (3) tekstual s, yaitu wahana pembentuk teks. Bahasa sebagai representasi ‘logika kesadaran’, sistem parol, emosi, pikiran, ide dn tingkah laku, bukan hanya serangkaian kata petunjuk benda juga refleksi tahapan ini. Objek material pada tahapan representasi ini adalah data interteks. Semua teks yang terkait perlu dipahami secara totalitas sebagai penghargaan pada totalitas pengarang. Sejumlah teori fungsi kewacanaan /kebahasaan, seperti yang diungkapkan Leech, Searle, dan Levinspn digunakan untuk memaknai tahapan ini.
Tahap Signifikasi, yaitu tahapan yang disediakan seluas-luasnya bagi pembaca untuk melacak makna terhadap representasi mental pemproduksi teks. Pada tahap ini diharapkan seorang analis teks agar dapat memposisikan diri sebagai seorang pembaca teks yang kritis untuk meng-code atau menginterpretasikan makna teks.
Tahap Eksplorasi, yaitu tahapan yang fokus pada jawaban bagaimana pihak-pihak yang berkepentingan saling memperebutkan, saling mempertentangkan, saling menegasikan, dan saling melakukan tesis, antitesis, sintesis terhadap sebuah tanda/simbol. Interpretasi yang berbeda-beda berdasarkan norma, nilai universal, latar historis, kultural, ideeologis, serta konteks ruang dan waktu yang memproduksi teks di telaah pada tahapan ini.
Tahap Transfigurasi, yaitu tahapan kebebasan bagi analis teks untuk memaknai wacana secara berbeda, tergantung pada pemahaman secara subjektif, berdasarkan hoeizon ekspektasinya (Draf E-135, 2005: 18—21).

III. Pembahasan
Sebagaimana yang telah dinyatakan di awal, legenda “Malin Kundang” akan dianalisis dengan ‘pisau bedah baru’ E-135 dengan menerapkan kelima tahapan analisisnya. Selanjutnya diterapkan pula strategi penganyangan makna (dekonstruksi makna) sebgaimana yang diisyaratkan dalam E-135 itu.
A. Penerapan Lima Tahapan Analisis E-135

1. Analisis simbol “Malin Kundang” sebagai Tinanda Pendurhakaan pada Tahapan Elaborasi

Malin Kundang adalah nama seorang anak dalam sastra lisan Minangkabau. Kata malin berasal dari bahasa Arab mualim dan diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi malim dengan makna ‘1.orang alim; ulama; guru agama Islam; 2.pemimpin; penunjuk jalan; 3. pawang. Dalam bahasa Minangkabau kata itu dikenal dengan malin—fonem m dan n pada kata-kata tertentu dalam dialek tertentu pada posisi akhir sering berkorespondensi—malin dalam bahasa Minangkabau berarti ‘1 orang alim; orang berilmu, ‘2 bagian dari gelar adat; termasuk dalam jenis yang IV Nan IV Jinih; hakikat’., ‘3 tokoh dalam cerita rakyat Minangkabau, misalnya Malin Deman, Malin Duano> menjadi media pendidikan masa lalu. Sementara itu, kundang dalam bahasa Minangkabau berarti ‘1.bawa atau selalu dibawa’, ‘2. sayang atau (anak) kesayangan’. Malin Kundang dibentuk dengan vokal dasar a, i, dan u dan kosonan m, l, n, k, d, dan g; durhaka adalah kata sifat/adjektiva yang berarti ‘1. ingkar terhadap perintah Tuhan; 2. tidak setia kepada kekuasaan yang sah (negara), yang dibentuk dengan vokal dasar u dan a dan konsonen d, r, h, dan k. Jika dikaitkan dengan legendanya, tidak ada keterkaitan sama sekali antara malin kundang dan durhaka. Proses pemaknaan pada tahap elaborasi ditunda dulu dan memasukkankanya pada kotak makna elaborasi berikut ini.
Kotak Makna Elaborasi (Kotak Makna Tertunda I
1. /malin kundang/ = /pendurhakaan/


1. dua kata nama alim, kesayangan, pemimpin
2. Analisis simbol “Malin Kundang” sebagai Tinanda Pendurhakaan pada Tahap Representasi

Pada teks yang lebih awal Malin Kundang direpresentasikan sebagai seorang anak laki-laki yang hidup di kampung dengan seorang ibu. Di usia remaja pergi merantau. Berhasil di rantau, beristri, Ia kembali ke kampung, bertemu dengan ibunya. Setelah itu mendapat kutukan. Proses representasi ini sementara ditempatkan pada ‘kotak makna tertunda dua’.
Kotak Makna Representasi (Kotak Makna Tertunda II)

/malin kundang/ = /pendurhakaan/=/menjadi batu/


1. dua kata nama alim, kesayangan, pemimpin
2. di kampung merantau di kampung dikutuk menjadi batu

3. Analisis simbol Malin Kundang sebagai Tinanda Pendurhakaan pada Tahapan Signifikasi

Pada tahapan ini penganalisis diberi otoritas yang seluas-luasnya untuk merepresentasikan tanda. Tahapan ini dalam e-135 disebut juga dengan tahapan sistem tanda semiotika. Dalam legenda ‘Malin Kundang’, tanda Malin Kundang tidak hanya mengacu kepada seorang anak yang durhaka kepada ibunya, tetapi dapat juga dimaknai lebih luas, misalnya, seorang kepala negara/presiden mendurhakai negaranya dengan menggunakan kekuasaannya untuk melakukan apa saja demi kepentingan dirinya atau kelompok tertentu. Di samping itu, tanda durhaka tidak hanya ditafsirkan sebagai ‘melawan atau menentang’, tetapi juga bisa ditafsirkan sebagai ‘tidak mengacuhkan atau tidak peduli’ kepada yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Proses pemaknaa untuk tahap ditunda dulu dan memasukkannya pada kotak makna tertunda III berikut ini.
Kotak Makna Signifikasi (Kotak Makna Tertunda III)
/malin kundang/ = /pendurhakaan/=/menjadi batu/=/pengabdian/


1. dua kata nama alim, kesayangan, pemimpin
2. di kampung merantau di kampung dikutuk menjadi batu
3. pejabat/kepala negara rakyat pengabdian

4. Analisis simbol Malin Kundang sebagai Tinanda Pendurhakaan pada Tahapan Eksplorasi

Cerita Malin Kundang hidup dalam konteks matrilineal Minangkabau. Seorang anak akan masuk garis keturunan ibunya. Meskipun demikian, sekarang ia telah menjadi sebuah fenomena kebudayaan. Oleh karena itu Malin Kundang telah banyak diresepsi orang dari bentuk sastra lisan ke bentuk sastra tulis, sebagaimana yang dilakukan Wisran Hadi dalam dramanya yang berjudul ‘Malin Kundang’. Terdapat banyak perbedaan/perubahan bentuk antara teks cerita Malin Kundang (awal) dengan teks drama Malin Kundang versi Wisran Hadi. Perubahan bentuk itu dapat dilihat dari sebuah cerita rakyat (legenda) menjadi sebuah naskah drama modern. Dalam drama Wisran Hadi tidak menggambarkan pendurhakaan seorang anak kepada orang tuanya, tetapi pendurhakaan diartikan Wisran sebagai sebuah simbol, yakni pendurhakaan terhadap sistem matrilineal Minangkabau.
Resepsi yang berbeda terdapat pada cerpen A.A.Navis berjudul ‘Malin Kundang ibunya durhaka’. Dalam hal ini Navis masih taat pada alur lama, yaitu semasa kecil Malin Kundang hidup di kampung bersama ibu, tanpa ayah. Mulai menginjak dewasa pergi merantau dan setelah berhasil kembali ke kampung bersama istrinya. Pada akhir cerita terjadi perubahan, yaitu Malin Kundang mengutuk dirinya sendiri menjadi batu karena ia telah terlahir dari rahim yang keliru. Perubahan ini terjadi, menurut Navis (1990:117—118) bahwa soerang anak tidak selalu berada pada posisi yang salah, sedangkan orang tua juga tidak selalu berada pada posisi yang benar. Pandangan ini berdasarkan realitas sosiokultural yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalamcerpen ini Navis telah memparodikan cerita Malin Kundang (awal). Proses pemaknaan tahap eksplorasi ditunda dulu ke dalam kotak makna tertunda IV berikut.

Kotak Makna Eksplorasi (Kotak Makna Tertunda IV)
/malin kundang/ = /pendurhakaan/=/menjadi batu/=/pengabdian/=/parodi/



1. dua kata nama alim, kesayangan, pemimpin
2. di kampung merantau dikutuk menjadi batu
3. pejabat/kepala negara rakyat pengabdian
4. matrilineal parodi sosiokultural


5. Analisis simbol Malin Kundang sebagai Tinanda Pendurhakaan pada Tahapan Transfigurasi

Tahapan transfigurasi adalah tahapan untuk ‘melepaskan’ makna-makna yang selama ini tertunda. Hal ini dilakukan melalui dua strategi, yaitu strategi ‘rekonstruksi makna’ dan ‘dekonstruksi makna’. Perlu penulis nyatakan di sini bahwa penulis belum mampu melakukan ‘dekonstruksi makna’ sebagaimana yang Bapak lakukan dalam Draf E-135. Namun, penulis berusaha melakukan ‘strategi rekonstruksi makna’ menurut pemahaman penulis sendiri.

1. Strategi Rekonstruksi Makna

Dalam strategi ini, semua kotak makna tertunda, yakni tertunda satu, dua, tiga, dan empat dimasukkan ke dalam kotak rekonstruksi makna berikut.

Kotak 5 Rekonstruksi Makna
/malin kundang/ = /pendurhakaan/=/menjadi batu/=/pengabdian/=/parodi/




1. dua kata nama alim, kesayangan, pemimpin

2. di kampung merantau di kampung dikutuk menjadi batu

3. pejabat/kepala negara rakyat pengabdian

4. matrilineal parodi sosiokultural


5. makna hiperteks tesis baru makna baru




III. Penutup
Legenda Malin Kundang yang hidup dalam masyarakat Minangkabau seyogianya dapat dianalisis dengan E-135. Akan tetapi, karena penulis belum memahami sepenuhnya teori ini, terutama pada tahapan analisisnya, hasil ini ‘sangat berantakan’ atau malah tidak dapat dipahami sema sekali. Oleh kerana itu, harapan saya/kami (mahasiswa S2 Unand) mohon kepada Bapak untuk memberikan penjelasan kepada kami bagaimana menganalisis wacana yang benar dan tepat berdasarkan tahapan E-135 tersebut.





Daftar Pustaka


Daratullaila Nasri. 2004. ‘Cerita Malin Kundang: Tinjauan Resepsi Sastra’. Dalam Salingka: Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra: Padang. Balai Bahasa Padang.

Hadi, Wisran. 1978. “Malin Kundang”. Padang: Dokumen Pribadi.

Navis, A.A. 1990. ‘Malin Kundang Ibunya Durhaka’. Dalam Biangala: Kumpulan Cerita Pendek: Jakarta: Pustaka Karya.

Sawirman. 2005. ‘Draf Teori Wacana Semiotika E-135’. Padang. Universitas Andalas Padang

sawirman@fsastra.unand.ac.id dan CC sawirman03@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar