Jumat, 31 Juli 2009

DINI MAULIA

KOMENTAR
I. Pengantar
Responden yang kami hormati. Seminggu yang lalu peneliti sudah meminta bantuan Saudara untuk membaca, memahami, dan mengkritisi tulisan yang diberi judul “E-135: sebagai Draf Model Pengembangan Pembelajaran Linguistik di Universitas Andalas” yang ditulis oleh Sawirman tahun 2005 (32 halaman, ketikan 1 spasi, font geramond 11, ukuran kertas A4). Berkenaan dengan tulisan tersebut, kami berharap bantuan Saudara untuk menjawab sejumlah pertanyaan berikut dengan sekritis-kritisnya. Jawaban Saudara tidak akan berpengaruh sama sekali dengan profesi, pendidikan, dan pekerjaan yang sedang Saudara tekuni saat ini. Terima kasih atas bantuan Saudara.

II. Identitas Diri
Nama : Dini Maulia, SS
Pekerjaan : Staf Pengajar Jurusan Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Andalas

III. Pertanyaan
A. Terma E-135
(1)
Apakah Saudara pernah membaca/ mendengar terma E-135 dalam referensi lain selain rancangan model yang ditulis dan dirancang oleh Sawirman yang ada di tangan Saudara? Bila iya dimana?

Tidak




(2)
Terma E-135 adalah singkatan dari E=Eksemplar, 1=Hermeneutika, 3=formalis, kritis, dan cultural studies/ posmodernis, serta 5= tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi), bagaimanakah menurut Saudara dengan nama itu?

Tidak ada sebuah kejanggalan terhadap nama tersebut. Tetapi alasan penggunaan angka 135 masih terlihat tidak berlandaskan. Pemisahan 1 pada hermeneutic, 3 pada formalis, kritis dan cultural studies, dan 5 pada tahap elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi dan transfigurasi masih kurang memberikan alasan yang tepat dalam pemilihan nama. Apakah tidak sebaiknya penulis memberikan alasan yang lebih kuat lagi. Mengapa terdapat pemilahan kelompok 1 (hanya untuk hermeneutic), 3 (untuk pengelompokkan formalis, kritis dan cultural studies) dan 5 (penggabungan tahap elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi dan transfigurasi)?

(3)
Apakah Saudara memiliki usulan nama lain untuk “pengganti” terma E-135?

Tidak ada. Dari segi penamaan, teori ini sangat menarik, tidak biasa, mempunyai ciri khas serta memunculkan segudang pertanyaan dan keingintahuan bagi ang mendengarnya. Hanya saja alasan penulis terhadap pemilihan nama tersebut sebaiknya lebih diuraikan secara terperinci.



B. Hermeneutika dalam Linguistik
(4)
Apakah Saudara setuju dengan Hermeneutika dijadikan sebagai basis ontologis pengembangan linguistik khususnya mata-mata kuliah “makro” seperti wacana, semiotika, bahasa media, serta bahasa dan ideologi, dan lain-lain?

Sangat setuju. Mata kuliah makro sangat menuntut ilmu penafsiran yang tinggi untuk kajiannya, dan hermeneutic merupakan bidang ilmu yang sangat tepat sekali untuk menuntun kita menafsirkan teks, tanda secara bebas serta mengkritisinya menurut bidang ilmu masin-masing. Coba saja kita mengganti pijakan bidang ilmu tersebut (misalnya melalui pisau positivisme-yang juga merupakan bagian filsafat)tentunnya analisis tidak dapat berkembang, karena teks sendiri (dalam ilmu wacana) begitu juga dengan tanda (dalam semiotika) meliputi keseluruhan hal, menuntut konteks, yang tidak bisa dipilah-pilah secara positivism.
a
(5)
Sejauhmanakah Saudara mengenal aliran filsafat Hermeneutika beserta tokoh-tokohnya?

Hermeneutic merupakan cabang filsafat mengenai penafsiran. Kata hermeneutic sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu hermeneuin yang berarti menafsirkan. Pada awalnya ilmu ini digunakan untuk menafsirkan injil, kemudian berkembang hingga sekarang digunakan dalam menganalisis wacana. Adapun tokoh hermeneutic yang dikenal beberapa di antaranya Paul Ricoer, Wilhelm Dilthey, Jurgen Habermas, Hans-Georg Gadamer dan F.D.E Schleirmarcher.

C. Teori-teori “Formalis” dalam Linguistik
(6)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep “Formalisme” dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Ya. Karena ketika masalah bentuk telah dieksplorasi secara keseluruhan (dari segi bunyi, pembentukan kata, dan setersusnya) maka analisis harus dibatasi (agar tidak menghasilkan sebuah pemaksaan eksplorasi) untuk dilanjutka pada bentuk analisis selanjutnya. Apabila analisis terus dilakukan dan tidak dibatasi pada titik analisis konsep formalism, maka hasil yang didapat tak lain hanya sebuah uraian struktur kata. Pembatasan dilakukan sangat tepat sekali karena teori e-135 ini ingin menghasilkan sebuah hasil analisis yang tidak hanya mengenai sebatas struktur.

(7)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Formalisme”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori Formalis beserta tokoh-tokohnya?

Formalisme merupakan teori yang muncul akibat reaksi terhadap teori positivism yang dikemukan August Comte yang menekankan kepada keberadaan benda yang dapat dilihat dengan panca indera. Menurut kaum formalis, tidak semua hal ilmu dapat diukur melalui keterangan yang terlihat secara langsung, tetapi terdapat beberapa fakta yang dapt terlewatkan dari pengamatan. Aliran ini umunya digunakan dalam teks sastra, dimana analisisnya menekankan pada bentuk ‘form’. Sedangkan dalam bidang linguistic, formalism hanya membahhas mengenai struktur, kaidah dan hukum dan kategori dalam analisis sebuah teks. Adapun beberapa tokoh formalism yang diketahui, yaitu: Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, Roman Jakobson, Leo Jakubinsky, formalism dalam bidang linguistic: Halliday (fungsional/sistemik) dan van Dijk dan Fairlough (pendekatan wacana kritis).

(8)
Bagaimanakah harusnya analisis linguistik yang eksplanatoris yang diharapkan Chomsky (bukan hanya deskriptif) menurut Saudara?

Analisiss eksplanatoris yang diharapkan oleh Chomsky adalah analisis linguistic yang tidak hanya menganalisis hanya pada sampai tingkat deskriptif tetapi dapat dimaknai hingga level eksplanatoris. Artinya sebuah analisis linguistic sebaiknya tidak hanya sekedar membahas struktur atau bentuk tata bahasa dalam menganalisis sebuah teks, karena apabila linguistic hanya bisa membahas masalah struktur dan bentuk dalam kajiannya, linguistic tidak dapat menyumbangkan apa-apa dalam perannya sebagai bidang ilmu bahasa yang ranah kajiannya hadir bersama kita dalam kehidupan sehari-hari. Analisis tata bahasa sampai pada tingkat bentuk menurut Chomsky perlu diperluas, apakah itu melanjutkannya pada tahapan membongkar makna yang tersembunyi di dalamnya atau mengupas masalah tersebut dengan mengkolaborasinya dengan bidang ilmu lain, gunanya agar analisis bahasa tidak statis dan berkembang.

C. Teori-teori Kritis dalam Linguistik
(9)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep Teori Kritis dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Setuju. Teori kritis pada pelaksanaaan analisisna memang terlihat lari dari unsur linguistic. Pabila kita lihat bagaimana analisiss wacana kritis yang disebut juga dengan CDA diaplikasikan pada konsep wacana,

(10)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Teori Kritis”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori Kritis dalam Linguistik beserta tokoh-tokohnya?

Teori kritis merupakan teori ang dipakai untuk menganalisis wacana dengan cara mengungkap makna-makna yang tersembunyi dalam sebuah wacana. Teori ini muncul sebagai reaksi menutupi ketidakpuasan para tokoh wacana terhadap teori formalis yang terlalu berkutat dengan struktur kata atau kalimat. Bagi teori kritis segala sesuatu yang terjadi di lingkunga sekitar merupakan fenomena, dan teori ini melakukan pemisahan antara teks dan pembuat teks di dalam analisisna. Bagi pandangan teori kritis yang paling penting merupakan interpretasi pembaca. Walaupun sebuah teks ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulisnya, tetap saja teks tersebut harus di analisis tersendiri sesuai dengan interpretasi orang-orang yang menikmati teks tersebut. Beberapa tokoh teori kritis yang dikenal, yaitu: Fairclough, Van Dijk, Adorno, Marcuse, Habermas.

(11)
Bagaimanakah Kontribusi teori-teori kritis seperti model Norman Fairclough, van Dick, atau tokoh-tokoh lain di mata Anda?

Konsep teori kritis yang dikemukakan pada saat ini merupakan konsep analisis wacana yang sangat menarik, karena mampu mengangkat fakta yang tersimpan dalam sebuah teks wacana. Itu tentunya dapat menghidupkan kembali nuansa bidang ilmu bahasa yang cenderung dimarjinalkan akibat teori formalis yang menjajali analisis bahas pada zaman modern. Hanya saja kemunculan teori kritis menyebabkan bidang ilmu linguistik kehilangan jati dirinya, sehingga pada akhirnya kita perlu mempertanyakan kembali apakah fungsi kajian fonologi., morfologi, sintaksis yang diciptakan oeh linguistik telah dibenamkan oleh linguistik itu sendiri?

D. Teori-teori “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis” dalam Linguistik
(12)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis” dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Setuju. Apabila kita menelusuri kembali konsep dekonstruksi yang membongkar makna dan menyusun kembali bentuk wacana secara bebas, mempertanyakan struktur yang telah terbentuk dalam wacana tanpa menyinggung sedikitpun penggunaan tata bahasa. Begitu juga halnya dengan posmodern, cultural studies, dan bagaimana kemudian berkembang dan muncul hyperealitas, keseluruhannya telah menenggelamkan konsep struktur yang pada hakikatnya merupakan landasan yang menopang ilmu linguistik sendiri. Bagaima wacana ditelaah melalui teori-teori tersebut, nampaknya dapat menjadikan ilmu linguistik sendiri kehilangan jati dirinya dan hasil aplikasinya cenderung merupakan plagiat dari analisiss bidang sastra.

(13)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori tersebut dalam Linguistik beserta tokoh-tokohnya?

Kosep cultural studies/ posmodernis/ dekonstruksionis merupakan pendekatan yang digunakan dalam bidang analisis wacana. Ketiga konsep tersebut telaahnya lebih dikenal dalam bidang ilmu kajian teks sastra, tetapi karena antara sastra dan linguistic tidak terdapat jurang pemisah yang signifikan, sehingga konsep tersebut juga digunakan bidang linguistic dalam kajian analisis wacana. Karena bertolak dari kajian terhadap teks sastra, ketiga konsep ini ketika diceburkan dalam menganalisis wacana pada bidang linguistic, meninggalkan konsep linguistic mikro pada telaahnya. Sehingga terkesan analisis wacana cenderung menenggelamkan konsep linguistic mikro yang merupakan konsep murni dalam kajian bahasa itu sendiri. Adapun tokoh-tokoh yang diketahui di antaranya: Derrida, Foucault, Lyotard, Roland Barthes.

(14)
Bagaimanakah Kontribusi “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis, seperti Derrida, Foucault, Lyotard, dan lain-lain di mata Anda?

Seperti yang telah diungkapkan pada bagian pertanyaan sebelumnya, kontribusi teori-teori tersebut kurang tepat dimasukkan menjadi bagian analisis linguistik. Pembongkaran sebuah wacana secara bebas, merupakan prinsip yang sedikit bertentangan dengan ilmu linguistik dalam hal ini bidang mikro. Kita mengetahui, sifat ilmu bahasa itu sendiri adalah memiliki keteraturan. Artinya, terdapat kaidah yang telah ditetapkan ketika kita berbicara mengenai ilmu bahasa. Pembahasan mengenai struktur memang kelihatan statis, tetapi tidaklah pantas sebuah akar ilmu bahasa ditenggelamkan dalam kajian bidang ilmunya.

E. Tahapan Analisis E-135
Bagaimanakah menurut Saudara tahapan E-135 untuk menganalisis Mata Kuliah Wacana? Silakan komentari kelebihan, kelemahan, dan peluangnya di masa mendatang!

(15)
Tahapan Elaborasi (Tahap Linguistik)

Tidak ada kelemahan menyimpang bidang ilmu linguistic dalam menganalisis wacana. Wacana sendiri mengandung unsur bahasa di dalamnya tentunya tidak dapat dipisahkan dari kajian linguistic mikro dalam menganalisisnya. Untuk ke depannya, penggunaan kajian linguistic oleh e-135 dengan menghadirkan tahap elaborasi ini akan menyebabkan teori ini akan terus diterima oleh kajian analisis wacana.

(16)
Tahapan Representasi
(Interteks Vertikal/Horizontal)

Setiap analisis wacana sangat membutuhkan kesinambungan teks dalam kajiannya. E-135 dengan perangkat yang menggabungkan banyak bidang ilmu ke dalamnya, sangat menuntut konsep interteks agar keseluruhan hasil analisis dari berbagai bidang ilmu dapat disatukan dan menghasilkan sebuah hasil kesimpulan yang padan. Kemunculan konsep interteks dalam e-135 menyadarkan kepada kita bahwa dalam menyelesaikan semua permasalahan dalam analisis wacana, sebaiknya keseluruhan isi teks ditelaah dan dikolaborasi dalam segala macam pendekatan agar hasil yang diperoleh juga sempurna dan teruji dari beberapa bidang ilmu. Ke depannya, tahap e-135 ini dapat memberi semangat baru terhadap penelitian bahasa, untuk dapat lebih terperinci dalam menganalisis keterkaitan teks dalam sebuah wacana.

(17)
Tahapan Signifikasi (Semiotika)


Wacana merupakan struktur yang dipenuhi tanda. Bagaimana sebuah makna yang ingin diungkapkan dalam sebuah tanda tentunya dibutuhkan kajian tanda untuk menganalisisnya, yaitu semiotik. Peluang mengajukan tahapan semiotika dalam analisis makna tentunya sebuah kelanjutan pada tahap analisis wacana dari masa sebelumnya, analisis dari sudut semiotik sendiri sejak berkembang hingga sekarang terus dipakai tanpa kritikan dan pembaharuan, sehingga apabila e-135 menggunakannya dalam formulasi teori tentunya sebagai sebuah bukti lagi bahwa semiotik tidak pernah mati.


(18)
Tahapan Eksplorasi (Dimensi Ilmu Lain)

Agar ilmu bahasa tidak terkesan statis dan bertentangan dengan sifat bahasa sendiri yang dinamis, maka sangat bagus apabila terdapat sebuah eksplorasi bidang ilmu bahasa dengan bidang lain. Seperti yang dilakukan, e-135 eksplorasi bahasa dengan bidang filsafat, sejarah dan budaya mungkin saja menjadi tonggak dasar perkembangan eksplorasi denganbidang ilmu yang lebih banyak lagi. Kehadian e-135 ke depannya juga tidak menutup kemungkinan kemunculan teori baru yang dapat mengeksplorasi bidang ilmu bahasa dengan bidang ilmu lain (yang saat ini dialakukan e-135 dengan ranah bidang ilmu social) seperti bidang ilmu eksakta.

(19)
Tahapan Transfigurasi
(Pemetaan/Makna Hiperealis)


Tahap transfigurasi merupakan tahap akhir yang mampu merangkum keseluruhan makna yang timbul melalui hasil interpretasi tanda. Tahap pemetaan yang dilakukan membuktikan bahwa analisis yang dilakukan oleh e-135 tidak semata bebas, tetapi menunjukkan hubungan sebab akibat anata teks, penulis teks dan interpretasi pembaca. Sebenarnya melalui tahapan ini saja, e-135 telah mampu menjadi sebuah teori yang dapat mengakomodasi bidang kajian interpretasi makna.

Tahap “Penundaan Makna”
(20)
Kebenaran makna dalam e-135 menganut “Prinsip Penundaan”? Bagaimanakah menurut Anda?

Bagus. Ketika sebuah makna dianalisis dalam dua tinjauan yang berbeda (antara mikro dan makro), peralihan analisis tentunya dapat diakomodasi dengan cara penundaan.




(21)
Bisakah Saudara membedakan Prinsip Penundaan Makna Menurut Derrida dan/atau Lyotard dengan e-135?




Lyotard dalam menganalisis wacana menggunakan wacana sejarah, sehingga menurut Lyotard dalam menghasilkan sebuah wacana tidak terlepas kaitannya dengan sejarah subjektivitas yang melatarbelakangi penulisnya. Sedangkan Derrida lebih khusus dalam membongkar struktur teks dan membangunnya dengan struktur yang baru.





(22)
Bagaimanakah Prinsip Penundaan Makna dengan terma “Rekonstruksi Makna” dalam e-135?

Setuju. Penundaan makna merupakan bagian dimana proses peralihan analisis dari satu tahap ke tahap lain. Ketika satu tahap struktur (formalis) selesai ditelaah, untuk beralih pada tahap analisis kritis sebaiknya dilakukan skip berupa penundaan makna. Apabila keseluruhan dipaksakan untuk berkelanjutan maka tidak akan ditemukan sebuah penghubung karena analisis beralih dari linguistik mikro ke makro. Sehingga setelah ditemukan hasil akhir, makna yang tertunda tersebut dapat digabungkan dan diinterpretasi secara keseluruhan untuk di dapat makna terdalamnya.



Tahap Penganyangan Makna (Melting Pot)
(23)
Untuk mengungkap interpretasi pemaknaan terdalam dalam e-135 dapat dilakukan dengan pengayangan makna (melting pot) dengan model/diagram tersendiri, bagaimanakah menurut Saudara?





Sangat menarik. Sudah seharusnya sebuah teori memiliki pola diagram tersendiri dalam menjelaskan konsep teori itu sendiri.




(24)
Bisakah model penganyangan makna yang diagram yang diusulkan mampu mengungkap “makna terdalam” (depth meaning) Baudrillard dalam Analisis Wacana menurut Saudara?

Ya, dapat. Proses yang telah dilewati analisis wacana telah menggunakan konsep semiotika dalam aplikasinya. Baudrillard yang sangat mengemukakan konsep tanda dalam analisisnya telah dipenuhi oleh e-135 dalam aplikasnya. Keinginan Baudrillard yang dalam menghasilkan makna terdalam dalam analisisnya tetapi hanya sanggup mengemukakan konsep tanda dari teorinya sendiri, dalam e-135 telah diformulasikan sedemikian rupa dengan merangkul teori kritis, hermeneutik yang keseluruhannya memiliki satu tujuan yang sama, yaitu membongkar makna. Sehingga beranjak dari penggabungan teori analisis makna yang dipadukan menjadi satu teori, adalah menjadi tidak mungkin hasil kolaborasi tersebut gagal dalam mengungkapkan makna terdalam dari sebuah teks.

F. Pertanyaan Umum secara Holistik
(25)
Apakah e-135 telah ditulis dengan baik sesuai dengan Ejaan yang benar? Silakan kemukakan alasan Anda?

Belum. Penulis tidak konsisten dalam menggunakan huruf capital untuk kata ekslempar. Karena merupakan penamaan teori sebaikna ada sebuah ketetapan dalam memilih ‘e’ atau ‘E’.

(26)
Apakah e-135 telah ditulis sesuai dengan kaidah dan etika akademis? Silakan kemukakan alasan Anda?

Ya. Masalah penamaan terikat dengan hak pencipta teori. Apapun bentuk penamaan tidak dapat diganggu gugat, hanya saja alasan yang kuat harus diberika oleh pencipta teori, karena ini menyangkut unsur akademis, sehingga segala sesuatu diciptakan harus dengan uraian alasan yang dapat diterima secara akademis pula.

(27)
Apakah e-135 telah dipikirkan dengan baik dan ditulis dengan baik? Silakan kemukakan alasan Anda?

Ya. Dengan kemunculan e-135, membuktikan bahwa ilmu linguistic tidak hanya ilmu statis yang hanya mengkaji sesuatu bermakana sesuatu tetapi dapat menjelaskan kenapa sesuatu tersebut dimaknai sesuatu pula. Penulis dengan paparan yang

(28)
Apakah kelebihan dari e-135 menurut Anda?

Analisis teori e-135 sangat lengkap, dapat memadukan analisis wacana (yang cenderung mengarah ke linguistic makro) dengan fitur linguistic mikro.

(29)
Apakah e-135 tidak terlalu ambisius?

Tidak. Ilmu bahasa bersifat dinamis. Tidak terkendali dan berubah seiring perkembangan. Sehingga untuk mengakomodasinya, perlu pembaharuan serta formulasi yang kompleks, agar ilmu bahasa tidak terlihat statis, yang tentunya harus dapat sejalan dengan sifat bahasa yang dinamis.

(30)
Apakah target yang diharapkan dari e-135 masuk akal dan realistis?

Ya, sangat masuk akal.Target yang diharapkan dari E-135 sudah dilandasi dengan konsep-konsep yang dapat dijelaskan secara akademis, dan mengakomodasi konsep-konsep dalam teori yang lain.

(31)
Apakah e-135 sesuai dengan tujuan penelitian wacana?

Ya, sesuai sekali. E-135 dapat menjawab semua persoalan dalam menganalisis wacana, karena dapat menguraikan makna secara terperinci dan diuraikan dengan landasan fakta yang terjadi.

(32)
Apakah sudah ditunjukkan bahwa e-135 ini tidak merupakan pengulangan dari
yang sudah pernah dilakukan?

E-135 dapat dikatakan merupakan rangkuman konsep sejumlah teori yang diejawantah lebih dalam dan saling melengkapi. Dalam hal ini, E-135 tentu saja tidak dikatakan sebagai bentuk pengulangan atau tukar nama dari sebuah teori lain. Setiap konsep pemikiran dapat memunculkan pemikiran lain, yang mendukung atau sebaliknya menolak pemikiran itu. Pemikiran baru dapat menjadi alternatif pengganti konsep lama atau menjadi sebuah perluasan dari konsep lama.

(33)
Apakah e-135 sesuai dengan kepakaran peneliti?

Ya. Sangat sesuai.

(34)
Apakah sudah ditunjukkan keterkaitan dengan pustaka-pustaka/hasil penelitian yang sudah terbit/sudah dilakukan?

Ya. Semuanya sangat berkaitan.

(35)
Apakah e-135 yang diajukan dapat dianggap inovatif dalam analisis wacana? Mengapa?


Ya, karena dapat membongkar makna seluas-luasnya tanpa harus lepas dari unsure linguistic mikro. Karena seperti ang diketahui, pada saat ini, teori analisis wacana lepas dari teori linguistic mikro, padahal alangkah sempurnya analisis wacana yang masih merupakan bagian dari ilmu bahasa tidak meninggalkan analisis kaidah dalam kajiannya.

(36)
Apakah metode yang diajukan dapat menjawab tujuan yang diharapkan?


Sedikit membingungkan bagi pembaca yang memiliki referensi sedikit dalam bidang ilmu yang menjadi landasan teori e-135.

(37)
Apakah e-135 sudah dipertimbangkan dengan baik? Mengapa

Ya. Telah dipertimbangkan dengan sangat baik. Karena telah diuji dan hasilnya dapat memberikan jawaban terhadap beberapa kasus.

(38)
Apakah e-135 yang diajukan masuk akal dan realistis?

Ya. Sangat masuk akal karena dapat menjawab beberapa persoalan dalam bidang ilmu.

(39)
Apakah dengan sumberdaya, buku, dan peralatan yang ada e-135 dapat dilaksanakan dalam mata kuliah wacana di S2?

Dapat. Hanya saja, sebelum teori ini digunakan dalam pembelajaran, hendaknya penulis memberikan referensi terdahulu yang berkaitan dengan teori ini, karena tidak semua mahasiswa memiliki dasar bidang ilmu yang kuat terhada filsafat, khususnya bagi mahasiwa yang lebih cenderung kuat pada penguasaan bidang linguistic mikro.

(40)
Apakah dengan sumberdaya, buku, dan peralatan yang ada e-135 dapat dilaksanakan dalam mata kuliah wacana di S1?

Belum. Karena dalam S1 sebaiknya mahasiswa perlu diberikan pengenalan terlebih dahulu. Karena seperti yang telah disebutkan pada poin sebelumnya, bagi mahasiswa s2 saja, teori ini cukup rumit untuk dikuasai apabila tidak memiliki dasar pijakan yang kuat serta referensi yang minim.

G. Penutup
(41)
Bagaimanakah harusnya analisis linguistik yang ideal menurut Saudara?

Analisis yang tidak melakukan pemilahan dalam linguistic mikro dan makro. Penggabunga keduanya tentu lebih sempurna dalam menjawab pertanyaan seputar masalah kebahasaan.

(42)
Terkait dengan pertanyaan dimaksud, Bagaimanakah kontribusi E-135 untuk menjadikan ilmu linguistik menjadi semakin humanis serta semakin berguna bagi kemanusiaan, kemasyarakatan, dan perjuangan etis/moral?

E-135 yang menggabungkan bidang studi lain dalam tahapan analisisnya akan menunjang perkembangan ilmu linguistik itu sendiri, tanpa harus kehilangan jati diri. Linguistik sebagai ilmu bahasa dikenal dengan konsep fonologi, morfologi, dan sintaksis melalui E-135 mulai dapat merangkul bidang ilmu lainnya. Mungkin apa yang dilakukan oleh E-135 hanya dapat mengolaborasi sesama ilmu sosial atau humaniora di dalamnya. Tetapi apakah tonggak awal itu sangat penting, untuk menyadarkan para linguis terutama yang berada di Indonesia untuk dapat membuat sebuah gebrakan dan menghidupkan kembali ilmu linguistik.

(43)
Item-item/ pertanyaan-pertanyaan nomor berapakah yang sulit Saudara pahami/ambigu? Mengapa?

Tidak ada.

(44)
Mohon diberikan saran-saran lain terkait dengan e-135 di luar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan?

E-135 menggunakan kolaborasi beberapa bidang ilmu dalam ramuan teorinya. Keseimbangan unsur mikro dan makro dalam kajiannya menewarkan sebuah konsep yang proposional terhadap kajian analisis wacana. Semua konsep teruraikan secara jelas oleh penulis, sehingga tidak ada hambatannya apabila teori e-135 ini dipublikasikan.

(45)
Mohon diberikan saran-saran lain terkait dengan e-135 di luar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan?

Contoh Aplikasi pada Mata Kuliah Wacana sesuai dengan Tugas Kelompok
Apabila kita menganalisis wacana semboyan yang dikeluarkan oleh Jusuf Kala, yaitu : “Jangan Kelamaan”
1. Tahap Elaborasi
Jangan Kelamaan apabila ditelaah merupakan singkatan dari nama sang pencipta semboyan, yaitu: Jusuf Kalla
Kata “Jangan” apabila dibuat transkripsi fonologisnya
[j a ŋ a n] sejajar dengan [j u s u f]
K V K V K K V K V K
[k e l a m a a n ] [k a l a]
K V K V K V V K K V K V]
2. Tahap Representasi
Jusuf Kalla yang terdiri dari dua kosa kata, sejajar dengan semboyan ‘jangan kelamaan’. Kemudian apabila kita telusuri kembali Golongan Karya, yang juga terdiri dari dua buah kosa kata. Golongan Karya sensri merupakan partai yang mengantarkan Jusuf Kalla sebagai calon presiden pada Pemilu 2009.
3. Tahap Signifikasi
Arti ‘Jangan Kelamaan’ apabila kita telaah dari segi makna berarti sebagai sebuah larangan yang ditujukan kepada seseorang. Semboyan yang dibuat ketika menjelang pemilihan presiden 2009, tentunya dimaksudkan kepada piha-pihak yang menjadi saingan Jusuf Kala pada ajang Pemilu. Dapat dikatakan semboyan ini ditelaah sebagai tanda sindiran kepada pihak-pihak tertentu.
4. Tahap Eksplorasi
Kemudian apa saja yang dapat kita temukan dalam wacana semboyan JK tersebut, adalah ketika JK mampu menyelesaikan konflik Aceh yang bergejolak dengan aksi Gerakan Aceh Merdeka nya. Kemudian pada tahap lain, JK bisa saja ingin menyinggung kepemimpinan SBY yang menurut data perkembangan ekonomi hanya mampu mengembalikan kesejahteraan ekonomi bangsa secara perlahan.
5. Tahap Transfigurasi
Jangan Kelamaan merupakan representasi dari JK sebagai sang pencipta semboyan. Terdapat dua makna penting yang ingin disampaikan oleh JK melalui wacana semboyan tersebut, di antaranya: JK ingin menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang dapat bertindak cepat. Melalui simbol singkatan namanya menunjukkan kepemilikkan khas yang menciptakannya. Buah hasil kerja JK dalam menyelesaikan kasus Aceh, menjadikan semboyan “Jangan Kelamaan” sebagai sebuah simbol kearoganaan dirinya. Kemudian makna lainnya berupa sebuah sindiran kepada saingannya dalam Pemilu, yaitu SBY. Dalam beberapa pidatonya, JK pernah mengkritisi pola pemerintahan yang sedang berjalan di Indonesia yang terkesan lambat, yang notabene di bawah kendali SBY. Semboyan “Jangan Kelamaan” direpresentasikan sebagai simbol kembali dengan makna sindiran.


Padang, 15 Juni 2009



Nama: Dini Maulia, SS
Signature

Tidak ada komentar:

Posting Komentar