Jumat, 31 Juli 2009

HERLINDA

KOMENTAR
I. Pengantar

Responden yang kami hormati. Seminggu yang lalu peneliti sudah meminta bantuan Saudara untuk membaca, memahami, dan mengkritisi tulisan yang diberi judul “E-135: sebagai Draf Model Pengembangan Pembelajaran Linguistik di Universitas Andalas” yang ditulis oleh Sawirman tahun 2005 (32 halaman, ketikan 1 spasi, font geramond 11, ukuran kertas A4). Berkenaan dengan tulisan tersebut, kami berharap bantuan Saudara untuk menjawab sejumlah pertanyaan berikut dengan sekritis-kritisnya. Jawaban Saudara tidak akan berpengaruh sama sekali dengan profesi, pendidikan, dan pekerjaan yang sedang Saudara tekuni saat ini. Terima kasih atas bantuan Saudara.


II. Identitas Diri

Nama : Herlinda, S.Pd.
Pekerjaan : PNS (Tenaga Peneliti di Balai Bahasa Padang) dan sekarang sedang mengikuti tugas belajar pada Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana,
Universitas Andalas Padang (semester II).

III. Pertanyaan

A. Terma E-135
(1)
Apakah Saudara pernah membaca/ mendengar terma E-135 dalam referensi lain selain rancangan model yang ditulis dan dirancang oleh Sawirman yang ada di tangan Saudara? Bila iya dimana?

Saya belum pernah membaca atau mendengar terma E-135 dalam referensi lain. Inilah pertama kalinya saya memperoleh dan membaca bahan ini.

(2)
Terma E-135 adalah singkatan dari E=Eksemplar, 1=Hermeneutika, 3=formalis, kritis, dan cultural studies/ posmodernis, serta 5= tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi), bagaimanakah menurut Saudara dengan nama itu?

Apabila hanya mendengar atau melihat nama saja tanpa membaca apa isinya, terma E-135 terkesan sangat matematis dan populer. Angka 135 yang menurut penulis adalah indikasi untuk menyatakan teori ini terdiri atas tiga tahapan, yaitu angka 1 merupakan tahapan ontologis/filosofis, angka 3 merupakan tahapan kritis, dan angka 5 merupakan tahapan analisisnya saya rasa belum tersampaikan/terkodekan dengan baik karena bisa saja orang beranggapaan bahwa angka 135 bermakna terdapat 135 buah teori/langkah untuk menganalisis wacana. Jadi, untuk menghindari salah penafsiran, sebaiknya antara angka 1, 3, dan 5 diberi tanda hubung, sehingga terdapat sinkronisasi antara nama teori dan filosofi pemikirannya. Selain itu, dengan menggunakan nama E-135, tidak sedikit pun akan terpikir oleh pembaca bahwa isinya ternyata berkaitan dengan bidang linguistik. Oleh sebab itu, saya menyarankan sebaiknya nama Terma E-135 sedikit diubah menjadi Teori Analisis Wacana 1-3-5, sehingga tidak menghilangkan ciri linguistik dan kajian filosofisnya.


(3)
Apakah Saudara memiliki usulan nama lain untuk “pengganti” terma E-135?

Seperti yang sudah saya utarakan pada pertanyaan kedua, sebaiknya nama
E-135 diubah menjadi Teori Analisis Wacana 1-3-5


B. Hermeneutika dalam Linguistik
(4)
Apakah Saudara setuju dengan Hermeneutika dijadikan sebagai basis ontologis pengembangan linguistik khususnya mata-mata kuliah “makro” seperti wacana, semiotika, bahasa media, serta bahasa dan ideologi, dan lain-lain?

Pada dasarnya saya setuju hermeneutika dijadikan sebagai basis ontologis pengembangan linguistik khususnya terhadap mata-mata kuliah “makro” karena hermeneutika memusatkan kajiaannya pada ihwal penafsiran atau interpretasi makna di dalam teks. Jadi, para mahasiswa, dosen, atau peneliti yang menggeluti kajian makro seperti wacana, semiotika, bahasa media, bahasa dan ideologi, dll. bisa lebih “bebas” menginterpretasikan tanda, baik tanda linguistik atau nonlinguistik yang akan dianalisisnya.


(5)
Sejauhmanakah Saudara mengenal aliran filsafat Hermeneutika beserta tokoh-tokohnya?

Saya mengenal aliran filsafat hermeneutika beserta tokoh-tokohnya dengan cukup baik. Banyak tokoh yang telah mengemukakan teori pendekatan hermeneutik seperti, F.D.E Schleiermarcher, Wilhelm Dilthey, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, dan Paul Ricoeur. Di antara beberapa tokoh tersebut, Ricoeur adalah tokoh yang paling familiar bagi saya karena ia lebih menitikberatkan pendekatan hermeneutik untuk menganalisis bahasa sebagai simbol makna dalam wacana.

C. Teori-teori “Formalis” dalam Linguistik
(6)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep “Formalisme” dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Saya setuju dengan batasan konsep “formalisme” dalam tulisan ini karena pada dasarnya, memang konsep formalisme yang selama ini saya ketahui hanya menawarkan kepada kita tentang apa hukum dan label linguistik yang ada dalam wacana tanpa ada kajian lanjutan untuk menginterpretasi bagaimana dan mengapa hal itu bisa terjadi.

(7)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Formalisme”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori Formalis beserta tokoh-tokohnya?

Saya mengenal teori-teori formalis beserta tokoh-tokohnya dengan cukup baik. Tokoh yang saya kenal paling “sentral” adalah Halliday dengan konsep cohesion and transitivitynya.
(8)
Bagaimanakah harusnya analisis linguistik yang eksplanatoris yang diharapkan Chomsky (bukan hanya deskriptif) menurut Saudara?

Menanggapi analisis linguistik yang eksplanatoris seperti yang diharapkan oleh Chomsky, pada dasarnya saya setuju dengan pemikiran yang Anda tawarkan dalam terma E-135 karena setelah saya amati, sampai saat ini semua hanya masih merupakan harapan belum perwujudan.

C. Teori-teori Kritis dalam Linguistik
(9)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep Teori Kritis dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Saya setuju dengan dengan batasan konsep teori kritis dalam tulisan ini karena pada akhirnya, semua akan bermuara pada pemaknaan terdalam terhadap sebuah simbol.

(10)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Teori Kritis”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori Kritis dalam Linguistik beserta tokoh-tokohnya?

Ada beberapa tokoh yang saya kenal sehubungan dengan teori-teori kritis dalam linguistik, tetapi terus terang saya katakan bahwa saya tidak terlalu tertarik dengan teori-teori tersebut.

(11)
Bagaimanakah Kontribusi teori-teori kritis seperti model Norman Fairclough, van Dick, atau tokoh-tokoh lain di mata Anda?

Kontribusi beberapa model teori kritis dalam linguistik khususnya wacana saya rasa cukup menjanjikan, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa masih diperlukan sebuah model yang baru agar hasil yang dicapai lebih maksimal.

D. Teori-teori “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis” dalam Linguistik
(12)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis” dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Pada dasarnya saya setuju dengan batasan konsep “cultural studies/ posmodernis/dekonstruksionis” yang terdapat dalam tulisan ini, alasalkan “pembongkaran” yang dilakukan masih dalam unsur-unsur yang saling berkaitan dan bersifat logis.

(13)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori tersebut dalam Linguistik beserta tokoh-tokohnya?

Saya cukup mengenal teori-teori dan tokoh-tokoh “cultural studies/posmodernis/ dekonstruksionis” dalam linguistik. Tokoh yang paling saya kenal dan teori yang paling saya pahami adalah konsep dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida.

(14)
Bagaimanakah Kontribusi “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis, seperti Derrida, Foucault, Lyotard, dan lain-lain di mata Anda?

Kontribusi para tokoh tersebut di bidang linguistik khusunya dalam telaah wacana cukup banyak.

E. Tahapan Analisis E-135
Bagaimanakah menurut Saudara tahapan E-135 untuk menganalisis Mata Kuliah Wacana? Silakan komentari kelebihan, kelemahan, dan peluangnya di masa mendatang!

(15)
Tahapan Elaborasi (Tahap Linguistik)





Saya rasa cukup bagus untuk perkembangan bidang mikro linguistik di masa yang akan datang.



(16)
Tahapan Representasi
(Interteks Vertikal/Horizontal)




Tahapan ini pada dasarnya bagus, tetapi bagi orang-orang yang kurang peka dalam merepresentasikan antara objek mental dan realitas akan mengalami sedikit kerumitan, interpretasi yang dangkal bahkan mungkin kesalahan interpretasi.




17)
Tahapan Signifikasi (Semiotika)




Pada tahapan ini, saya kira analisis wacana sudah terbentuk, hanya saja hasilnya sangat dipengaruhi oleh kejelimetan penganalisis dalam memaknai dan menginterpretasikan penanda dan petanda.





(18)
Tahapan Eksplorasi (Dimensi Ilmu Lain)



Jawaban saya tidak jauh berbeda dengan pertanyaan nomor 17, yaitu analisis wacana sudah sangat terpola hanya saja hasil analisis akan sangat dipengaruhi oleh siapa yang melakukan analisis karena hal ini berhubungan dengan banyak hal seperti pendidikan, norma, latar historis, kultural, ideologis, politik, ekonomi, dll.





(19)
Tahapan Transfigurasi
(Pemetaan/Makna Hiperealis)





Menurut saya, pada tahap inilah analisis wacana sesungguh dilakukan karena makin tinggi pemahaman subjektif (horizon ekpektasi) seseorang, maka semakin baik dan mendalamlah makna yang dihadirkannya.




Tahap “Penundaan Makna”

(20)
Kebenaran makna dalam e-135 menganut “Prinsip Penundaan”? Bagaimanakah menurut Anda?



Menurut saya, prinsip penundaan makna adalah sebuah hal yang baik, karena dengan adanya penundaan makna, kita tidak terlalu terburu-buru memaknai sesuatu(data). Melalui prinsip penundaan, pada akhirnya akan ditemukan makna yang lebih kompleks dan mendalam.





(21)
Bisakah Saudara membedakan Prinsip Penundaan Makna Menurut Derrida dan/atau Lyotard dengan e-135?




Menurut saya, pada dasarnya prinsip penundaan makna menurut Derrida dan Lyotard dengan e-135 sama. Hanya saja penundaan makna pada term e-135 lebih kompleks. Artinya, penundaan makna pada term e-135 dilakukan berulang kali, sehingga berkemungkinan hasil pemaknaannya akan lebih baik dan lebih mendalam.




(22)
Bagaimanakah Prinsip Penundaan Makna dengan terma “Rekonstruksi Makna” dalam e-135?





Penundaan makna pada term e-135 dilakukan berulang kali dan lebih kompleks.






Tahap Pengayangan Makna (Melting Pot)

(23)
Untuk mengungkap interpretasi pemaknaan terdalam dalam e-135 dapat dilakukan dengan pengayangan makna (melting pot) dengan model/diagram tersendiri, bagaimanakah menurut Saudara?





Menurut saya hal itu sah-sah saja dilakukan karena pada dasarnya tahapan ini adalah tahapan untuk menghasilkan makna yang lebih kompleks.




(24)
Bisakah model pengayangan makna yang diagram yang diusulkan mampu mengungkap “makna terdalam” (depth meaning) Baudrillard dalam Analisis Wacana menurut Saudara?




Bisa saja, asalkan benar-benar dilakukan dengan sempurna.





F. Pertanyaan Umum secara Holistik

(25)
Apakah e-135 telah ditulis dengan baik sesuai dengan Ejaan yang benar? Silakan kemukakan alasan Anda?

Pada umumnya draf teori e-135 telah ditulis dengan baik sesuai dengan EYD, namun perlu diperhatikan lagi penulisan huruf kapital karena saya melihat banyak sekali penulisan huruf kapital yang tidak sesuai dengan EYD, seperti penulisan teori tertentu tidak perlu menggunakan huruf kapital jika tidak terdapat di awal kalimat atau perlu mendapat penekanan tertentu.


(26)
Apakah e-135 telah ditulis sesuai dengan kaidah dan etika akademis? Silakan kemukakan alasan Anda?

Pada dasarnya draf teori e-135 telah ditulis dengan kaidah dan etika akademis, namun perlu kiranya ditambahkan komentar para ahli linguistik, dosen, atau peneliti dari luar Indonesia sebagai penguatan konsep.

(27)
Apakah e-135 telah dipikirkan dengan baik dan ditulis dengan baik? Silakan kemukakan alasan Anda?

Setelah saya membaca draf teori ini, saya merasa e-135 telah telah dipikirkan dan ditulis dengan baik oleh penulis. Alasan saya mengatakan hal ini karena saya melihat latar belakang, visi, dan misi e-135 yang begitu bagus, konsep teori yang begitu matang dan model analisis yang sangat terpadu dan mendalam. Saya merasa penemuan baru ini layak memperoleh apresiasi.

(28)
Apakah kelebihan dari e-135 menurut Anda?

Menurut saya, kelebihan e-135 adalah keterpaduan model analisisnya yang mampu menerapkan analisis dari tahapan formalis/mikro sampai pada tahapan trasfigurasi, sehingga dapat menghasilkan interpretasi yang mengagumkan.

(29)
Apakah e-135 tidak terlalu ambisius?

Saya rasa tidaklah terlalu ambisius jika memang darf teori ini bisa mencapai sasaran yang diharapkan.

(30)
Apakah target yang diharapkan dari e-135 masuk akal dan realistis?

Target yang diharapkan dari e-135 bisa dikatakan masuk akal dan realistis karena menggunakan konsep teori dan model analisis yang ilmiah.





(31)
Apakah e-135 sesuai dengan tujuan penelitian wacana?

Menurut saya, e-135 sudah sesuai dengan tujuan penelitian wacana karena tujuan akhir penelitian wacana adalah interpretasi yang mendalam terhadap relasi antara peristiwa dan makna.


(32)
Apakah sudah ditunjukkan bahwa e-135 ini tidak merupakan pengulangan dari
yang sudah pernah dilakukan?

Sudah bisa dikatakan bahwa e-135 tidak merupakan pengulangan dari
yang sudah pernah dilakukan karena model analisisnya sangat jauh berbeda dengan yang sudah dilakukan sebelumnya.


(33)
Apakah e-135 sesuai dengan kepakaran peneliti?

Saya rasa kepakaran peneliti benar-benar telah teruji dengan hadirnya e-135 dalam kancah analisis wacana.


(34)
Apakah sudah ditunjukkan keterkaitan dengan pustaka-pustaka/hasil penelitian yang sudah terbit/sudah dilakukan?

Menurut saya sudah dilakukan karena sudah begitu lengkap dikutip dalam tulisan ini.


(35)
Apakah e-135 yang diajukan dapat dianggap inovatif dalam analisis wacana? Mengapa?


e-135 yang diajukan dapat dianggap inovatif dalam analisis wacana karena telah melahirkan model analisis wacana baru yang lebih kompleks dan terpadu, sehingga diharapkan akan menghasilkan interpretasi analisis wacana yang lebih baik.


(36)
Apakah metode yang diajukan dapat menjawab tujuan yang diharapkan?


Melalui metode yang begitu kompleks dan terpadu, saya rasa sudah dapat menjawab tujuan yang diharapkan.

(37)
Apakah e-135 sudah dipertimbangkan dengan baik? Mengapa

Jawaban saya adalah e-135 sudah dipertimbangkan dengan baik karena tanpa melalui pertimbangan yang matang tidak mungkin akan lahir sebuah draf teori yang bagus seperti e-135 ini.


(38)
Apakah e-135 yang diajukan masuk akal dan realistis?

Sepanjang metode e-135 menggunakan konsep teori dan tahapan analisis yang ilmiah serta dapat menginterpretasi dan menganalisis wacana dengan baik, mendalam, dan logis saya rasa draf teori ini masuk akal dan realistis.


(39)
Apakah dengan sumberdaya, buku, dan peralatan yang ada e-135 dapat dilaksanakan dalam mata kuliah wacana di S2?

Dengan penuh percaya diri saya mengatakan e-135 dapat dilaksanakan dalam mata kuliah wacana di S2 pada umumnya dan di Program Studi Linguistik Unand khususnya.


(40)
Apakah dengan sumberdaya, buku, dan peralatan yang ada e-135 dapat dilaksanakan dalam mata kuliah wacana di S1?

Saya rasa kalau pada tingkat S1, mungkin hanya pada taraf pengenalan teori ka dan analisis singkat yang tidak begitu mendalam serta disesuaikan dengan kapasitas dan kualitas mahasiswa tersebut.


G. Penutup

(41)
Bagaimanakah harusnya analisis linguistik yang ideal menurut Saudara?

Menurut saya analisis linguistik yang ideal adalah analisis linguistik yang mampu menghasilkan analisis dan interpretasi “terdalam” dari sebuah data.







(42)
Terkait dengan pertanyaan dimaksud, Bagaimanakah kontribusi E-135 untuk menjadikan ilmu linguistik menjadi semakin humanis serta semakin berguna bagi kemanusiaan, kemasyarakatan, dan perjuangan etnis/moral?

Saya sangat optimis bahwa term E-135 dapat menjadikan ilmu linguistik menjadi semakin humanis serta semakin berguna bagi kemanusiaan, kemasyarakatan, dan perjuangan etnis/moral.


(43)
Item-item/ pertanyaan-pertanyaan nomor berapakah yang sulit Saudara pahami/ambigu? Mengapa?

Menurut saya pertanyaan nomor 33 (Apakah e-135 sesuai dengan kepakaran peneliti?) cukup ambigu. Melalui pertanyaan ini saya atau mungkin responden lain menjadi bingung. Siapakah yang dimaksud peneliti di sini ? penulis teori atau responden? Jika yang dimaksud penulis teori mengapa tidak memakai istilah memrakarsa teori saja?


(44)
Mohon diberikan saran-saran lain terkait dengan e-135 di luar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan?

Sebaiknya term e-135 lebih disempurnakan lagi baik dari segi bahasanya maupun dari format penyajiannya supaya lebih mudah dipahami dan menarik untuk dibaca.


Pertanyaan nomor 45 yang merupakan penerapan analisis wacana menggunakan terma
E-135 terhadap data, ditulis di halaman terpisah di bawah ini.




Padang, Mei 2009
Responden,



Herlinda, S.Pd.

45. Contoh Analisis Wacana Menggunakan Teori e-135

I. Pendahuluan
Untuk menganalisis wacana dengan menggunakan teori e-135, penulis memilih data berupa simbol wacana nama usaha dagang di wilayah Padang yang terdapat dalam Yellow Pages. Pemilihan tersebut dilatarbelakangi karena halaman yellow pages memang khusus disediakan sebagai sarana untuk mempromosikan semua kebutuhan produk dan jasa secara lengkap, akurat, dan mudah digunakan karena disusun secara klasikal dalam dua bahasa (Inggris dan Indonesia), berdasarkan alfabet. Hal yang terpenting adalah melalui penggunaan referensi berupa halaman yellow pages, semua informasi usaha baik berupa barang dan jasa bisa diperoleh secara lebih murah dan ekonomis karena informasi tersebut didapatkan secara gratis.
Setiap tahun, buku petunjuk telepon diterbitkan berdasarkan wilayah pakai atau suplemen pakai, misalnya, wilayah Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, dan lain-lain. Buku tersebut dibagikan secara cuma-cuma kepada semua pelanggan PT. Telkom di wilayah pakainya sebagai perwujudan service costumer. Dengan demikian, halaman yellow pages menjadi salah satu sumber data yang cukup relevan untuk menemukan data berupa simbol wacana nama usaha dagang yang akan dianalisis dengan term e-135.
Buku petunjuk telepon yang penulis ambil sebagai sumber data penelitian adalah buku petunjuk untuk pemakaian wilayah Padang yang berlaku pada bulan Januari 2008—Desember 2008. Di dalam yellow pages, terdapat banyak simbol wacana nama usaha dagang yang dipromosikan. Data simbol wacana nama usaha dagang yang dipilih untuk dianalisis adalah A.A Catering. Pemilihan tersebut dilakukan secara acak karena begitu banyak data nama usaha dagang di dalam yellow pages yang tidak mungkin dianalisis keseluruhannya dalam tulisan singkat ini.

II. Analisis Simbol Wacana Nama Usaha Dagang
“A.A Catering” Menggunakan Metode e-135




2.1 Tahap Elaborasi

Simbol wacana berupa nama usaha dagang A.A Catering sebagai salah satu bentuk tanda linguistik, terlebih dahulu dibedah dengan menggunakan pisau linguistik mikro sebagai refleksi pendekatan formalis. Secara linguistik, A.A Catering dapat digolongkan sebagai frasa nomina yang terdiri atas gabungan akronim A.A dan nomina catering. Akronim dapat diartikan sebagai singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, atau pun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata (EYD, 2002:18). Dengan demikian, akronim A.A merupakan gabungan huruf awal dari deret suatu kata, sehingga membentuk akronim yang terdiri atas dua fonem.

Nomina catering berasal dari bahasa asing (Inggris). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bentuk catering yang telah mengalami proses penyerapan adalah katering yang bermakna ‘jasa boga’. Proses elaborasi ini untuk sementara ditempatkan pada kotak makna tertunda satu seperti berikut ini.

Kotak Makna Elaborasi (Kotak Makna Tertunda I)
/A.A Catering/


I. frasa nomina akronim nomina asing
(tdd 2 fonem) (katering ‘jasa boga’)



2.2 Tahap Representasi

Berdasarkan hasil survei di lapangan terhadap pihak yang berkompeten, ternyata akronim A.A yang terdapat pada nama usaha dagang A.A Catering adalah singkatan dari nama pemilik perusahaan catering tersebut, yaitu Azwar Aziz. Pemilihan akronim sebagai nama usaha dagang merupakan fenomena yang cukup unik dan langka. Pada umumnya, nama usaha dagang lebih sering dinyatakan secara langsung tanpa disingkat dalam bentuk akronim. Selain itu, berdasarkan kajian sosiologi dan teori sosial, pemakaian bentuk akronim sebagai nama usaha dagang seperti A.A Catering, terkesan lebih memiliki identitas tersendiri, sehingga membedakannya dari yang lain. Proses representasi ini untuk sementara ditempatkan pada kotak makna tertunda dua seperti berikut ini.




Kotak Makna Representasi (Kotak Makna Tertunda II)

/A.A Catering/ = /Katering Azwar Aziz /


I. frasa nomina akronim nomina asing
II. singkatan nama pemilik katering unik langka


2.3 Tahap Signifikasi

Pada tahap signifikasi ini, proses pemaknaan akan dilakukan dengan menggunakan teori semiotika Barthes. Pemaknaan secara semiotika terhadap penanda nama usaha yang memakai akronim dan menggunakan nomina yang berasal dari bahasa asing, seperti A.A catering adalah bahwa pengusaha seakan ingin tampil beda dari pengusaha lainnya. Interpretasi selanjutnya, pengusaha ingin membangun image tersendiri atau ingin memberikan kesan khusus kepada para pelanggan, supaya pelanggan lebih mudah mengingat nama usaha tersebut. Proses pemaknaan pada tahapan signifikasi juga ditunda dulu dan dialokasikan pada kotak makna tertunda tiga seperti berikut ini. Hal ini dilakukan karena diperlukan tahapan selanjutnya, yaitu tahapan eksplorasi untuk melengkapi proses pemaknaan berikutnya.
Kotak Makna Signifikasi (Kotak Makna Tertunda III)

/A.A Catering/ = /Katering Azwar Aziz /

I. frasa nomina akronim nomina asing
II. singkatan nama pemilik katering unik/langka punya identitas
III. tampil beda membangun image tersendiri mudah diingat


2.4 Tahap Eksplorasi

Proses pemaknaan selanjutnya adalah tahapan eksplorasi. Pada tahap ini, tanda atau simbol lingual dianalisis sampai tahapan makna terdalam (depth meaning) seperti harapan Baudrillard. Pendekatan hipersemiotika (hipersign) dan hiperteks (hypertxt) juga diberdayakan pada tahap ini. Berdasarkan konsep analisis dalam tahapan ekplorasi tersebut, dapat diinterpretasikan lebih lanjut bahwa nama usaha dagang yang berbentuk akronim seperti A.A Catering, bisa saja dikonotasikan bahwa pemiliknya segan, malas mencari nama lain atau ia memilihnya hanya demi kepraktisan dan keefektifan saja. Proses pemaknaan pada tahapan ekplorasi juga ditunda dulu karena akan dilanjutkan pada tahap trasfigurasi. Pemaknaan pada tahap eksplorasi dialokasikan pada kotak makna tertunda empat seperti berikut ini.
Kotak Makna Eksplorasi (Kotak Makna Tertunda IV)

/A.A Catering/ = /Katering Azwar Aziz/

I. frasa Nomina akronim nomina asing
II. singkatan nama pemilik katering unik/langka punya identitas
III. tampil beda membangun image tersendiri mudah diingat
IV. malas segan praktis dan efektif







2.5 Tahap Transfigurasi

Tahap transfigurasi mengalokasikan dua strategi untuk “melepaskan” makna-makna yang selama ini tertunda, yakni (1) melalui strategi “rekonstruksi makna” dan (2) melalui strategi “dekonstruksi makna”(pengayangan makna). Berikut contoh dan eksplanasinya.
2.5.1. Strategi “Rekonstruksi Makna”
Melalui strategi rekonstruksi makna ini diharapkan agar semua kotak makna tertunda satu, dua, tiga, dan empat dimasukkan ke dalam kotak rekonstruksi makna seperti berikut ini. Kotak rekonstruksi makna
/A.A Catering/ = /Katering Azwar Aziz /


I. frasa nomina akronim nomina asing



II. singkatan nama pemilik katering unik/langka punya identitas



III. tampil beda membangun image tersendiri mudah diingat


IV. malas segan praktis dan efektif



V. makna hiperealis tesis baru tanda baru

Tanda Rantai Abadi
2.5.2 Strategi Penganyangan Makna (“Dekonstruksi Makna”)
Proses pemaknaan yang dilakukan dengan melakukan “penganyangan makna” pada kotak yang disebut Derrida dengan melting pot (“kotak penganyangan makna”). Tanda/simbol/kata yang sudah dianalisis akan melahirkan makna-makna (tesis-tesis) berbeda. Tesis-tesis tersebut “dianyang” pada “kotak pengayangan makna’, sehingga melahirkan proses dialektika kompleks. Makna yang dihasilkan pada ‘kotak penganyangan makna” dapat dilakukan secara lebih acak, misalnya dengan cara melakukan pengadukan makna hasil analisis teori-teori (1) linguistik dengan fungsi, (2) linguistik dengan semiotik, (3) linguistik dengan hipersemiotik, dan seterusnya. “Pengayangan makna” menghasilkan Sintesis Y (sekaligus sebagai Tesis Y karena membuka peluang untuk diantitesis). Paradigma dekonstruksi menghasilkan Transfigurasi Y seperti diagram berikut.
Gambar Strategi Penganyangan Makna (Dekonstruksi)

Elaborasi
Tesis 1/Linguistik/Makna 1


Sintesis 1/2 Sintesis 1/3 Sintesis 1/2/3

Representasi/ Signifikasi/
Tesis 2/ Tesis 3/
Intrateks/ Interteks/
Makna 2 Sintesis 1/2/3/4 Sintesis 1/3/4 Makna 3
Sintesis
1/2/4
Sintesis Sintesis 1/2/3/4/5 Sintesis 3/4
2/4

Sintesis 1/2/5 Sintesis 1/3/5 S 3/5
Eksplorasi/ S 2/5 Eksplorasi/
Tesis 4/ Tesis 4/
Hiperteks/ Sintesis 1/5 Hiperteks/
Makna 4 Makna 4
Sintesis 4/5





Transfigurasi/ Hermeneutis/Melting Pot/Hiperrealis/
Otoritas Interpretan/Pemberian Label/Makna Baru/
Sintesis Baru/Tesis Baru/Tanda Baru/


Catatan : S=Sintesis, 1=Elaborasi, 2=Ekspresi, 3=Signifikasi, 4=Eksplorasi, 5=transfigurasi


III. Simpulan

Salah satu nama usaha dagang yang dipakai dalam yellow pages adalah A.A Catering. Secara linguistik, A.A Catering dapat digolongkan sebagai frasa nomina yang terdiri atas gabungan akronim A.A dan nomina catering. Akronim A.A merupakan gabungan huruf awal dari deret suatu kata, sehingga membentuk akronim yang terdiri atas dua fonem. Nomina catering berasal dari bahasa asing (Inggris). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bentuk catering yang telah mengalami proses penyerapan adalah katering yang bermakna ‘jasa boga’.
Berdasarkan hasil survei di lapangan terhadap pihak yang berkompeten, ternyata akronim A.A adalah singkatan dari nama pemilik perusahaan katering tersebut, yaitu Azwar Aziz. Pemakaian akronim sebagai nama usaha dagang merupakan fenomena yang cukup unik dan langka. Interpretasi terhadap nama usaha yang memakai akronim ini adalah bahwa pengusaha seakan ingin tampil beda dari pengusaha lainnya.
Interpretasi lainnya, pengusaha ingin membangun image tersendiri atau ingin memberikan kesan khusus kepada para pelanggan, supaya pelanggan lebih mudah mengingat nama usaha tersebut. Sebenarnya jika diinterpretasikan lebih lanjut, nama usaha dagang yang berbentuk akronim bisa saja dikonotasikan bahwa pemiliknya segan, malas mencari nama lain atau ia memilihnya hanya demi kepraktisan dan keefektifan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar