Jumat, 31 Juli 2009

SUCIATI PORO

KOMENTAR
I. Pengantar
Responden yang kami hormati. Seminggu yang lalu peneliti sudah meminta bantuan Saudara untuk membaca, memahami, dan mengkritisi tulisan yang diberi judul “E-135: sebagai Draf Model Pengembangan Pembelajaran Linguistik di Universitas Andalas” yang ditulis oleh Sawirman tahun 1999 (32 halaman, ketikan 1 spasi, font geramond 11, ukuran kertas A4). Berkenaan dengan tulisan tersebut, kami berharap bantuan Saudara untuk menjawab sejumlah pertanyaan berikut dengan sekritis-kritisnya. Jawaban Saudara tidak akan berpengaruh sama sekali dengan profesi, pendidikan, dan pekerjaan yang sedang Saudara tekuni saat ini. Terima kasih atas bantuan Saudara.


II. Identitas Diri
Nama : Suciati Poro
Pekerjaan : Dosen


III. Pertanyaan

A. Terma E-135

(1)
Apakah Saudara pernah membaca/ mendengar terma E-135 dalam referensi lain selain rancangan model yang ditulis dan dirancang oleh Sawirman yang ada di tangan Saudara? Bila iya dimana?

Tidak Pernah

(2)
Terma E-135 adalah singkatan dari E=Eksemplar, 1=Hermeneutika, 3=formalis, kritis, dan cultural studies/ posmodernis, serta 5= tahapan analisis (elaborasi,representasi,signifikasi, eksplorasi,dan transfigurasi),bagaimanakah menurut Saudara dengan nama itu?

Unik, ilmiah, penuh misteri dan keingin tahuan pembaca untuk lebih memahaminya.

(3)
Apakah Saudara memiliki usulan nama lain untuk “pengganti” terma E-135?

Saya rasa nama itu sudah pas.



B. Hermeneutika dalam Linguistik

(4)
Apakah Saudara setuju dengan Hermeneutika dijadikan sebagai basis ontologis pengembangan linguistik khususnya mata-mata kuliah “makro” seperti wacana, semiotika, bahasa media, serta bahasa dan ideologi, dan lain-lain?

Setuju, karena dengan pendekatan tersebut, kita secara bebas dapat mengembangkan linguistik dengan interpretasi yang beragam, yang sesuai dengan pola tentunya.

(5)
Sejauhmanakah Saudara mengenal aliran filsafat Hermeneutika beserta tokoh-tokohnya?

Saya pernah membaca beberapa buku tentang Hermeneutika, dan saya pernah mempresentasikan bahan yang bertopik hermeneutika tersebut dalam studi Analisis Wacana. Tokoh yang saya kemukakan adalah Paul Ricoeur. Ricoeur lebih menitikberatkan pendekatan hermeneutik untuk menganalisis bahasa sebagai simbol makna dalam wacana (Sumaryono, 1999). Dalam menggunakan pendekatan hermeneutik untuk menganalisis wacana, Ricoeur menggabungkan teori linguistik Ferdinand de Saussure dan konsep Hjemslev yaitu, membedakan bahasa berdasarkan tuturan individu (parole) dan sistem bahasa (langue) serta mengkategorikan bahasa dalam skema dan penggunaannya. Selanjutnya, Ricoeur (1981), juga menjelaskan bahwa terdapat empat unsur pembentuk wacana yaitu,

subjek yang menyatakan, isi atau proposisi yang merupakan dunia yang digambarkan, alamat yang dituju, dan konteks (ruang dan waktu). Oleh karena itu, dalam wacana terjadi lalu-lintas makna yang sangat kompleks. Untuk mencapai objektifitas dalam menginterpretasi teks, Ricoeur (1981) menawarkan empat kategori metodologis yang dapat dilakukan yaitu, 1) objektifasi melalui struktur, 2) distansiasi melalui tulisan, 3) distansiasi melalui dunia teks, dan 4) apropriasi (pemahaman diri penutur/penulis). Kategori pertama dan kedua merupakan kutub yang sangat objektif. Hal ini penting sebagai syarat agar teks bisa mengatakan sesuatu. Objektifitas melalui struktur adalah usaha menunjukkan relasi-relasi intern dalam struktur atau teks. Berdasarkan hal ini, terlihat bahwa hermeneutik juga berkaitan erat dengan analisis struktural. Analisis struktural adalah sarana logis untuk menguraikan teks (objek yang ditafsirkan). Asumsi dasar struktural adalah melihat berbagai permasalahan sebagai sebuah jaringan struktur atau sistem. Di dalam jaringan struktur, relasi menjadi bagian penting. Membaca dunia, dalam perspektif struktural, berarti memahami struktur dan makna dunia melalui relasi-relasi. Kerena melihat segala persoalan sebagai struktur, analisis struktural bersifat statis (anti perubahan), ahistoris (anti sejarah), dan reproduktif (pengulangan). Dengan kata lain, analisis struktural melihat berbagai objek sebagai fakta otonom yang tidak memiliki hubungan keluar dari objek tersebut. Perlu ditekankan bahwa dalam kaitan dengan hermeneutik, metode struktural hanya berfungsi untuk mengobjektivasi struktur saja. Dengan kata lain, penggunaan metode ini berhenti pada pembacaan teks yang otonom untuk mendukung (mengobjektivasi) pemaknaan yang dihasilkan dalam tafsiran dan interpretasi.



C. Teori-teori “Formalis” dalam Linguistik

(6)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep “Formalisme” dalam tulisan tersebut? Alasan

Saudara?

Kurang setuju, karena prinsip formalisme dalam menganalisis sebuah wacana hanya sampai pada tahapan menjawab pertanyaan “apa”, sehingga penggalian makna hanya bersifat dangkal. Sebaiknya wacana dan tanda perlu dimaknai secara kritis dan mendalam untuk mendapatkan suatu pemahaman yang maksimal.



(7)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Formalisme”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori Formalis beserta tokoh-tokohnya?

Saya pernah membaca buku yang menerangkan tentang teori formalisme. Diantara tokoh-tokohnya: Ferdinand de Saussure dengan topik The Object of Study, Roman Jakobson dengan topik Linguistics and Poetics; The Metaphoric and Metonymic Poles, Mikhail Bakthin dengan topik from the prehistory of novelistic discourse, Tzvetan Todorov dengan topik The Typology of Detective Fiction, Roland Barthes dengan topik The death of the Author, Textual Analysis: Poe’s ‘Valdemar’, Julia Kristeva dengan topik The ethics of linguistics, Paul de Man dengan topik The resistance to theory, dan Umberto Eco dengan topik Casablanca: Cult movies and intertextual collage.

(8)
Bagaimanakah harusnya analisis linguistik yang eksplanatoris yang diharapkan Chomsky (bukan hanya deskriptif) menurut Saudara?

Analisis linguistik yang tidak hanya mengemukakan pendapat para ahli, atau dengan mendeskripsikan sebuah analisis linguistik, melainkan juga bersifat menjelaskan secara kritis tentang seluk beluk analisis linguistik tersebut.


C. Teori-teori Kritis dalam Linguistik

(9)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep Teori Kritis dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Setuju, menurut dalam meneliti sebuah wacana kita harus menggali makna secara mendalam dan kritis sehingga hipotesis yang diambil pun akan lebih valid dan terjamin keakuratannya.

(10)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Teori Kritis”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori Kritis dalam Linguistik besertatokoh-

tokohnya?

Tokoh-tokoh teori kritis diantaranya: Lacan, Derrida, Foucault, dan Barthes. Dalam teori kritis teks dipandang sebagai area wacana yang berhubungan dengan manusia dan kehidupannya. Kebenaran dibuktikan dengan menggabungkan antara kenyataan di dunia dan argumentasi dari para ahli, sehingga akan terbentuk satu ideologi baru yang berasal dari kajian kritis tentang sebuah wacana (Lodge, 2000).


(11)
Bagaimanakah Kontribusi teori-teori kritis seperti model Norman Fairclough, van Dick, atau tokoh-tokoh lain di mata Anda?

Kontribusi teori kritis terlihat pada munculnya interpretasi-interpretasi yang berbeda dari para ahli ketika membahas tentang wacana yang berhubungan dengan manusia (humanities). Analisis terhadap wacana tidak hanya akan menjawab pertanyaan “apa”, tapi juga “bagaimana” dan “mengapa”.

D. Teori-teori “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis” dalam Linguistik

(12)
Apakah Saudara setuju dengan batasan konsep “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis” dalam tulisan tersebut? Alasan Saudara?

Setuju, karena batasan-batasan tersebut juga akan melahirkan sebuah pemahaman kritis tentang wacana.

(13)
Terkait dengan batasan tulisan tersebut tentang “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis”, sejauhmanakah Saudara mengenal teori-teori tersebut dalam Linguistik beserta tokoh-tokohnya?

Cultural Studies:
Walter benyamin, Mikhail Bakhtin, Michel Foucault, Julia Kristeva, Edward Said, Juliet Mitchell, Eve Kosofsky Sedgwick dan Stephen Greenblatt.
Posmodernis:
Tokoh-tokoh posmodernis diantaranya yaitu Fredric Jameson dan Terry Eagleton.
Dekonstruksionis:
Tokoh-tokoh dekonstruksionis yaitu Jacques Derrida, M.H. Abrams, J. Hillis Miller, Paul de Man, Geoffrey Hartman, Jean Badrillard dan Gayatri Chakaravorty Spivak.
Menurut Derrida,


(14)
Bagaimanakah Kontribusi “Cultural Studies/ Posmodernis/ Dekonstruksionis, seperti Derrida, Foucault, Lyotard, dan lain-lain di mata Anda?

Sangat bermanfaat, karena dengan adanya “cultural studies”, posmodernis dan dekonstruksionis analisis linguistik dapat dilakukan dengan merangkum kerjasama linguistik dengan ilmu lain sehingga makna terdalam dan tahap eksplanatoris dapat dicapai.

E. Tahapan Analisis E-135
Bagaimanakah menurut Saudara tahapan E-135 untuk menganalisis Mata Kuliah Wacana? Silahkan komentari kelebihan, kelemahan, dan peluangnya di masa mendatang!

(15)
Tahapan Elaborasi (Tahap Linguistik)




Tahap ini berisi proses pembandingan antara satu analisis dengan analisis lainnya dari ahli yang berbeda, tapi dalam konteks yang sama. Tahap ini sangat bermanfaat bagi para linguis dan peneliti lainnya, karena sebagai peneliti maka kita juga harus menggunakan pendapat dari orang lain ataupun yang lebih bersifat ideologi dari ahli lain. Disinilah tahap elaborasi berperan dalam melakukan analisis wacana, yaitu dengan membandingkannya dengan analisis wacana yang dilakukan oleh ahli lain. Kelmahannya adalah jika tahap ini tidak dimanfaatkan para peneliti sebagai bahan pendukung, melainkan untuk menonjolkan karya sendiri. Peluangnya di masa akan datang sangat besar, seperti yang telah dijelaskan pada bagian kelebihan/manfaat.





(16)
Tahapan Representasi
(Interteks Vertikal/Horizontal)



Tahapan ini adalah proses penggabungan wacana yang diteliti dengan realitas yang ada. Representasi terbagi dua; mental (subyektif) dan bahasa. Representasi mental yang dihasilkan seseorang berbeda tergantung pada perbedaan ideologi, pendidikan, pengalaman, pengetahuan dll, sedangkan representasi bahasa juga

berbeda; diksi, suara, gestures, kesan serta wilayah bahasa lainnya. Tahapan ini sangat bermanfaat, karena dengan tahapan ini analisis wacana dilakukan diharapkan tidak hanya menggali makna yang ada pada sebuah wacana tapi juga di luar wacana; representasi mental atas makna yang tersembunyi dari sebuah wacana.






(17)
Tahapan Signifikasi (Semiotika)


Dalam E-135 tahap ini menyediakan ruang bagi pembaca seluas-luasnya untuk melacak makna terhadap representasi mental pemproduksi teks. Tahap ini mengharapkan seorang analis teks agar memposisikan diri sebagai seorang pembaca teks yang kritis untuk menginterpretasikan makna teks. Tahap ini memiliki keuntungan karena pembaca diberikan ruang untuk dapat menggali makna teks secara mental dan kritis.







(18)
Tahapan Eksplorasi (Dimensi Ilmu Lain)


Pada tahap ini para analis diharapkan tidak lagi mempermasalahkan tentang realitas wacana, melainkan memperhatikan interpretasi yang diberikan oleh orang lain mengenai wacana tersebut berdasarkan norma, nilai universal, latar historis, kultural, politis, ideologis, serta konteks ruang dan waktu masing-masing penulis teks. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa keuntungan dari tahap ini adalah pemproduksi teks akan mendapatkan masukan mengenai teks yang dibuatnya dari pihak lain maupun dari dimensi ilmu lain, sehingga terlihat hubungan saling mengisi antara pemproduksi teks dan pihak lain di luar teks.






(19)
Tahapan Transfigurasi
(Pemetaan/Makna Hiperealis)


Ricoeur lebih menitikberatkan untuk menganalisis bahasa sebagai simbol makna dalam wacana. Dalam perspektif Ricoeur, wacana lahir karena adanya pertukaran makna dalam peristiwa tutur. Karakter peristiwa itu sendiri merujuk pada orang yang sedang berbicara (Ricoeur:1981). Selanjutnya, Ricoeur, juga menjelaskan bahwa terdapat empat unsur pembentuk wacana yaitu, subjek yang menyatakan, isi atau proposisi yang merupakan dunia yang digambarkan, alamat yang dituju, dan konteks (ruang dan waktu). Oleh karena itu, dalam wacana terjadi lalu-lintas makna yang sangat kompleks.






Tahap “Penundaan Makna”

(20)
Kebenaran makna dalam e-135 menganut “Prinsip Penundaan”? Bagaimanakah menurut Anda?




Prinsip penundaan disini maksudnya dilatar belakangi oleh keingin tahuan pembaca ketika membaca sebuah wacana, maka dengan ideologi yang berbeda setiap pembaca atau peneliti dapat menelaah dan memahami wacana tersebut secara kritis dan mendalam, sehingga kemungkinan-kemungkinan munculnya makna yang tertunda sangat besar.





(21)
Bisakah Saudara membedakan Prinsip Penundaan Makna Menurut Derrida dan/atau Lyotard dengan e-135?




Proses penganyangan makna menurut Derrida hampir sama dengan prinsip E-135, karena sama-sama diawali dengan tahap elaborasi dan diakhiri dengan transfigurasi. Perbedaannya, Derrida tidak menggunakan simbol-simbol penamaan tersebut ehingga tahapan pada E-135 bersifat abstrak pada prinsip Derrida. Kotak

penganyangan makna disebut Derrida dengan istilah melting pot, dimana pada tahapan ini terjadi proses transfigurasi (tahapan terakhir pada pendekatan E-135).





(22)
Bagaimanakah Prinsip Penundaan Makna dengan terma “Rekonstruksi Makna” dalam e-135?


Rekonstruksi makna dalam E-135 sifatnya lebih kepada pengembangan dan penggalian makna baru dari makna yang tertunda. Adanya ideologi yang berbeda tentunya akan mendukung lahirnya ideologi-ideologi baru yang lebih kreatif yang berasal dari analisis dan pemikiran kritis tentang wacana.






Tahap Pengayangan Makna (Melting Pot)

(23)
Untuk mengungkap interpretasi pemaknaan terdalam dalam e-135 dapat dilakukan dengan pengayangan makna (melting pot) dengan model/diagram tersendiri, bagaimanakah menurut Saudara?

Setuju, karena diagram tersebut menggambarkan adanya proses penggalian makna dari tahapan elaborasi sampai kepada tahap transfigurasi, tahap dimana munculnya makna baru dari interpretasi secara kritis.








(24)
Bisakah model pengayangan makna yang diagram yang

diusulkan mampu mengungkap “makna terdalam” (depth meaning) Baudrillard dalam Analisis Wacana menurut Saudara?


Bisa, karena makna digali secara bertahap. Pertama-tama dibuat
sintesis makna yang diperoleh dari hasil tahapan elaborasi dengan tahapan ekspresi,

sintesis makna yang diperoleh dari hasil tahapan elaborasi dengan tahapan signifikasi,
sintesis makna yang diperoleh dari hasil tahapan elaborasi dengan tahapan eksplorasi,
sintesis makna yang diperoleh dari hasil tahapan elaborasi dengan tahapan ekspresi dan signifikasi,
sintesis makna yang diperoleh dari hasil tahapan elaborasi dengan tahapan ekspresi dan eksplorasi,
sintesis makna yang diperoleh dari hasil tahapan elaborasi dengan tahapan signifikasi dan eksplorasi,
sintesis makna yang diperoleh dari hasil tahapan elaborasi dengan tahapan ekspresi, signifikasi, dan eksplorasi.

Dengan adanya proses pengadukan diatas, akan dapat menggali makna terdalam dari sebuah wacana.








F. Pertanyaan Umum secara Holistik

(25)
Apakah e-135 telah ditulis dengan baik sesuai dengan Ejaan yang benar? Silakan kemukakan alasan Anda?

Sudah, karena penjabaran materi dimulai dari yang lebih umum kepada hal-hal yang bersifat spesifik. Teknik seperti ini akan membantu pembaca untuk dapat memahami dan memaknai sebuah dengan baik.

(26)

Apakah e-135 telah ditulis sesuai dengan kaidah dan etika akademis? Silakan kemukakan alasan Anda?


Sudah, karena tahapan-tahapan ditulis secara sistematis dan terpola dengan rapi, dari yang bersifat umum ke arah yang lebih khusus. Penulis juga memaparkan pendapat dari ahli lain dan memiliki banyak sumber bacaan yang berfungsi untuk mendukung tulisan ini. Aturan gramatikal yang digunakan dalam tulisan ini juga sudah baik, baik dilihat dari penulisan judul, pemaparan materi dan daftar pustaka. Ejaan yang digunakan juga sudah tepat.


(27)
Apakah e-135 telah dipikirkan dengan baik dan ditulis dengan baik? Silakan kemukakan alasan Anda?

Sudah, karena proses penjabaran permasalahan yang ingin dibahas sangat sistematis.

(28)
Apakah kelebihan dari e-135 menurut Anda?


E-135 menggali makna secara kritis dan mendalam sehingga dari sebuah wacana akan dapat diciptakan pemahaman yang berbeda-beda yang salah satunya disebabkan oleh perbedaan ideologi. Hal ini tentunya tidak terlepas dari prinsip kerja E-135.

(29)
Apakah e-135 tidak terlalu ambisius?

Tidak, karena tahapan yang disajikan sesuai dengan konteks analisis wacana, tidak bersifat ambigu dan terkesan mengada-ada.

(30)
Apakah target yang diharapkan dari e-135 masuk akal dan realistis?

Iya

(31)
Apakah e-135 sesuai dengan tujuan penelitian wacana?

Sesuai

(32)
Apakah sudah ditunjukkan bahwa e-135 ini tidak merupakan pengulangan dari
yang sudah pernah dilakukan?

Tidak, tapi lebih bersifat pengembangan dari teori yang sudah ada.

(33)
Apakah e-135

sesuai dengan kepakaran peneliti?

Sesuai

(34)
Apakah sudah ditunjukkan keterkaitan dengan pustaka-pustaka/hasil penelitian yang sudah terbit/sudah dilakukan?

Sudah

(35)
Apakah e-135 yang diajukan dapat dianggap inovatif dalam analisis wacana? Mengapa?


Dapat, karena pendekatan E-135 dapat digunakan sebagai landasan teori dalam menganalisis wacana secara kritis. Analisis dipandang dari aspek kewacanaan dan non kewacanaan.

(36)
Apakah metode yang diajukan dapat menjawab tujuan yang diharapkan?


Dapat, karena tujuan dari analisis wacana adalah membongkar makna dan membuat interpretasi terhadap sebuah wacana. Dengan pendekatan E-135, wacana diinterpretasikan secara kritis sehingga didapatkan makna dari analisis kritis wacana tersebut.

(37)
Apakah e-135 sudah dipertimbangkan dengan baik? Mengapa?

Sudah, karena dari penjelasan mengenai pendekatan E-135 terlihat adanya suatu konsep yang sistematis dan berpola. Penjelasan juga disertai dengan contoh analisis yang jelas didasari oleh cara kerja E-135.

(38)
Apakah e-135 yang diajukan masuk akal dan realistis?

Iya


(39)
Apakah dengan sumberdaya, buku, dan peralatan yang ada e-135 dapat dilaksanakan dalam mata kuliah

wacana di S2?


Sangat mendukung, karena sebagai mahasiswa S-2 seharusnya memandang sesuatu secara kritis, sehingga mahasiswa S-2 dapat melakukan analisis kritis tentang kewacanaan. Tingkatan analisis kritis yang dimaksud adalah yang mengkaji sesuatu bukan hanya dari unsur intrinsiknya saja, tapi juga unsur ekstrinsik, sehingga pembuktian terhadap suatu analisis pun akan lebih akurat dan valid.

Adanya ideologi yang berbeda juga akan mendukung lahirnya konsep baru yang lebih kreatif, tentunya tidak melenceng dari konsep-konsep yang sudah ada. Sifatnya lebih kepada pengembangan dan penggalian makna baru dari makna yang tertunda.


(40)

Apakah dengan sumberdaya, buku, dan peralatan yang ada e-135 dapat dilaksanakan dalam mata kuliah wacana di S1?

Mungkin saja, tergantung pada tingkat pemahaman dan kemampuan mahasiswa, baik dalam berpikir kritis maupun mengenai konsep e-135 itu sendiri, dan kontribusi dosen dalam pemahaman siswa mengenai konsep tersebut sejalan dengan pemunculan e-135 pada perkuliahan di S-1.


G. Penutup

(41)
Bagaimanakah harusnya analisis linguistik yang ideal menurut Saudara?

Analisis linguistik yang ideal adalah yang lahir dari proses pemikiran kritis dan digabungkan dengan argumen-argumen dari ahli yang terkait dengan bidang ilmu dan topik kewacanaan yang dianalisis.

(42)
Terkait dengan pertanyaan dimaksud, Bagaimanakah kontribusi E-135 untuk menjadikan ilmu linguistik menjadi semakin humanis serta semakin berguna bagi kemanusiaan, kemasyarakatan, dan perjuangan etsi/moral?

Adanya tahapan-tahapan dalam E-135; elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi dan transfigurasi yang sangat cocok dipakai untuk menganalisis wacana linguistik sehubungan dengan sifatnya yang membahas masalah seputar manusia atau humanis.

(43)
Item-item/ pertanyaan-pertanyaan nomor berapakah yang sulit Saudara pahami/ambigu? Mengapa?

------

(44)
Mohon diberikan saran-saran lain terkait dengan e-135 di luar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan?

Penjelasan pada tulisan Bapak sudah bagus, tapi saya sebagai orang awam butuh waktu lama untuk memahaminya. Mungkin dengan adanya contoh analisis menggunakan pendekatan e-135 yang lebih banyak akan dapat membantu, karena saya bisa menjadikannya sebagai model sebelum menganalisis sebuah wacana dengan pendekatan e-135.

(45)
Mohon diberikan saran-saran lain terkait dengan e-135 di luar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan?

Contoh Aplikasi pada Mata Kuliah Wacana sesuai dengan Tugas Kelompok!

Menurut pandangan analisis wacana kritis, hubungan kekuasaan dalam masyarakat diikuti oleh bahasa hegemoni dengan menyatakan realitas di balik ideologi, misalnya mengenai kesetaraan seksual. Penelitian menyatakan bahwa kaum laki-laki berpenghasilan lebih tinggi dibandingkan perempuan dan kaum perempuan secara sistematis menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga dibandingkan laki-laki. Dari kenyataan tersebut ada ketidak konsistenan antara sebuah wacana dengan realitas yang ada. Orang tidak melihat realita dengan tepat karena ideologi mengganggu pandangan dunia mereka. Disinilah tugas analisis wacana kritis dan e-135 menjelaskannya. Ketidaksesuaian antara fakta dan wacana yang ada mungkin terjadi karena ada ideologi yang beranggapan bahwa jenis kelompok (antara wanita dan pria), setelah bertahun-tahun perjuangan dapat menjadi setara, baik

dalam hal penghasilan maupun dalam persentasi pekerjaan di rumah tangga.

Tinjauan terhadap ideologi yang dominan bertujuan menyingkap kekuasaan dengan menggunakan kebenaran. Setiap wacana harus dihubungkan dengan realita yang ada dan kemungkinan sebuah realita itu dapat terjadi. Ilmu pengetahuan tidak hanya membandingkan sebuah wacana dengan kebenaran dalam realita, tetapi juga harus dapat menyingkap secara kritis tentang tinjauan lebih lanjut; bagaimana ilmu pengetahuan tersebut dapat diterapkan dengan cara yang bertangguing jawab pada semua aspek kehidupan, baik yang bersifat kewacanaan maupun nonkewacanaan.

Maksud dari analisis wacana berdasarkan e-135 yaitu ketika sebuah wacana tidak membuktikan realita tapi wacana dimunculkan untuk mengubah realita yang ada karena diyakini akan dapat memberikan kontribusi yang lebih baik. Contoh lain misalnya analisis wacana

kritis Fairclough. Menurutnya, wacana hampir sama dengan ideologis. Wacana yang ideologis adalah wacana yang memberi representasi realitas yang terdistorsi. Ini berarti bahwa analisis wacana hendaknya mengungkap representasi ideologis dan mencoba menggantinya dengan representasi realitas.

Analisis wacana kritis dalam beberapa hal mengubah tinjauan ideologi. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan bertugas memberikan kontribusi kepada perdebatan publik, karena kita mengetahui bahwa setiap manusia mempunyai ideologi yang berbeda dalam memandang sesuatu. Tinjauan yang dimaksud dapat berupa tinjauan atas asal makna yang dianggap lumrah, yaitu membongkar makna dari sebuah wacana secara alami dan bukan hanya sebagai sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Teori yang mendukung tinjauan ini yaitu teori Laclau dan Mouffe mengenai praktik hegemonis wacana; dimana mereka mengonseptualisasikan bagaimana realitas sampai bisa bersifat alami dan bukan bersifat mungkin saja (Jorgensen dan Phillip, 2007). Melalui dekonstruksi mereka berusaha memperlihatkan bahwa entitas yang bersifat objektif dan alami ternyata dapat mendominasi unsur-unsur yang dapat diartikulasikan secara berbeda. Teori wacana ini bertujuan untuk mendekonstruksi objektifitas yang bisa menawarkan kebenaran yang bebas ideologi. Kedua yaitu tinjauan dari luar. Berbeda dengan tinjauan yang bersifat alami, tinjauan ini dibentuk setelah melihat hakekat realitas yang ada. Sesuatu yang lumrah berisi kesenjangan-kesenjangan realitas. Disinilah tugas analisis wacana kritis menentang realitas yang dianggap lumrah, misalnya kaum feminis lahir setelah adanya kesenjangan sosial antara lelaki dan perempuan. Dorothy Smith (1987) berpendapat bahwa cita-cita ilmu pengetahuan Barat modern dalam kaitannya dengan objektivitas dan abstraksi mencerminkan dan memperkuat marginalisasi perempuan dalam masyarakat kapitalis dan patriarkal. Oleh karena itu dia menyarankan suatu sosiologi yang didasarkan pada sudut pandang kaum perempuan. Argumen yang dikemukakan bukan berbunyi bahwa perempuan bisa memandang realitas secara berbeda karena secara biologis memang berbeda dengan laki-laki, namun kaum perempuan sebagai suatu kelompok sosial memiliki pengalaman yang berbeda dengan kaum laki-laki sebagai akibat distribusi pekerjaan yang didasarkan pada gender. Tinjauan berikut yaitu tinjauan kesenjangan dalam struktur. Tinjauan ini dilakukan karena adanya kesenjangan dalam sebuah struktur yang kemudian juga menghasilkan sebuah analisis sebagai lanjutan dari analisis wacana kritis. Donna Haraway meneliti tentang feminisme, ia tidak mendasarkan penelitiannya pada perspektif perempuan atau kelas pekerja saja. Tapi ia mencoba memposisikan

dirinya antara kategori-kategori yang ada dan memandang dunia dari sana.







DAFTAR BACAAN

Jorgensen, Marianne.W dan Phillips, Louise.J. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lodge, David. 2000. Modern Criticism and Theory. New York: Longman.

Ricoeur, P. 1981. Hermeneutics and The Human Sciences, Essays on language, action and Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press.




Padang, Mei 2009


Name : Suciati Poro
Signature :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar