Sabtu, 15 Agustus 2009

e-135 sebagai Model Penilaian Alternatif Mata Kuliah Wacana (Sebuah Pemikiran Awal)[1]

Oleh. Dr. Sawirman[2]

e-135: Sebuah Introduksi
e-135 adalah singkatan dari eksemplar 135. E-135 semula penulis ciptakan untuk membedah simbol lingual wacana politik Tan Malaka (salah seorang tokoh perenial asal Minangkabau) untuk keperluan disertasi doktoral di Universitas Udayana tahun 2005. Diseminasi dan sosialisasi e-135 ini sudah dilakukan dalam berbagai forum dan jurnal ilmiah. Baik masukan, kritikan, dan input berharga maupun respon positif dan apresiasi lisan dari sejumlah pihak membuat penulis secara berkelanjutan merevisi e-135 agar semakin teruji secara akademis.
Pada disertasi, huruf e pada e-135 menyimbolkan eksemplar (bukan simbol elektronik seperti e-mail, e-journal, e-learning, e-book, e-library, e-commerce, dan lain-lain), sekalipun e-135 memang menjadikan data elektronik sebagai data “hiperteks” pada salah satu tahapan. Angka 1 pada e-135 menyimbolkan landasan ontologis/filosofis (hermeneutika), angka 3 menyimbolkan landasan objek formal (konstruksi, rekonstruksi, dan dekonstruksi), serta angka 5 menyimbolkan landasan objek material, teoretis, dan tahapan analisis (elaborasi, ekspresi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi) yang masing-masingnya diberi penjelasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Bila sebuah teori dimaknai seperti batasan Della Summers, et al (2005:1719) as an idea or set of ideas that is intended to explain something about life or the world, especially an idea that has not been proved to be true or general principles and ideas about a subject and an idea or opinion that someone thinks is true but for which they have no proof, maka e-135 dapat dikatakan sebuah teori. Sebutan teori untuk e-135 juga cukup beralasan bila statemen Sally Wehmeier, et al (2005:1590) digunakan sebagai acuan. Sebuah teori menurut mereka adalah formal set of ideas that is intended to explain something why something happens or exists or the principles on which a particular subject is based.
Bila sebuah paradigma dimaknai dari dua sumber yang sama as a technical, formal, and typical model or example that shows how something or pattern of something works or is produced; (Summers, et al 2005:1193; Wehmeier, 2005:1099), maka e-135 dapat pula dianggap sebagai sebuah paradigma. Apapun sebutan e-135 tidaklah begitu penting. Perdebatan hanya karena seputar terminologi yang sudah terwaris sejak zaman pra-Yunani sebaiknya jangan menghilangkan esensi dan substansi terhadap suatu objek atau fenomena. Penulis menyebut e-135 sebagai sebuah eksemplar.
Akan tetapi pada tulisan ini, huruf e tetap menyimbolkan eksemplar, angka 1 menyimbolkan landasan ontologis/filosofis (KBK), angka 3 menyimbolkan landasan logika formal (etis, kritis, dan dekonstruksionis) dan model tugas, serta angka 5 menyimbolkan rubrics (kriteria penilaian) sekaligus sebagai landasan objek material (elaborasi, ekspresi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi).

Penjelasan simbol e pada e-135 pada tulisan ini
Huruf e tetap menyimbolkan eksemplar seperti yang sudah diutarakan. Istilah eksemplar berasal dari bahasa Inggris exemplar yang menurut kamus Oxford tahun 2005 dimuat maknanya sebagai a person or thing that is a good or typical example of something. Kamus Longman tahun 2005 juga memaknai kata exemplar dengan parafrase “formal a good or typical example”. Mengacu pada statemen-statemen tersebut dan beberapa statemen sebelumnya, kata exemplar dapat bersinonim atau berdekatan makna dengan konstruksi berpikir, model, contoh, kerangka konseptual, paradigma, atau teori yang pantas ditauladani tentang sesuatu atau peristiwa. Thomas Kuhn (2002) sebagai pencetus revolusi sains menganggap exemplar sebagai cikal bakal lahirnya sebuah paradigma atau teori. Sebuah eksemplar yang tahan uji akan menjadi paradigma dengan sendirinya.
Sejumlah eksemplar yang lahir di zamannya dalam berbagai bidang ilmu akan saling berkompetisi, saling beradu ketangguhan, dan saling melakukan tesis dan anti-tesis. Thomas Kuhn yang terilham dari ide Hegel dalam memandang “pergulatan” ilmu, menganggap setiap pertentang tesis dengan anti-tesis akan melahirkan eksemplar baru sebagai sintesis (tesis baru) sekaligus sebagai pertanda perkembangan sebuah ilmu. Dalam konteks linguistik di tanah air, sebuah exemplar yang berpijak pada spirit ketimuran, kemanusiaan, objek terlupakan, masyarakat terhegemoni/ termarjinalkan, dan spirit multi-disiplin berbasis ilmu sendiri seperti harapan cultural studies perlu dilahirkan dan diciptakan agar linguistik yang berada dalam ranah humaniora ini menjadi semakin humanis, bukan sebaliknya. E-135 ditawarkan sebagai salah satu “paradigma alternatif” atau “teori alternatif” ke arah itu. Eksemplar ini masih tetap diujikan ke beragam objek/fenomena wacana, teks, dan linguistik.

Penjelasan simbol angka 1 pada e-135
Angka 1 menyimbolkan KBK sebagai landasan ontologis/filosofis pembuatan sebuah asesmen. Dalam upaya menjawab tantangan UNESCO yang merumuskan empat pilar pembelajaran learning to be, learning to know, learning to do, dan learning to live together dan mengimplementasikan UU No. 20 tahun 2003 di perguruan tinggi, Mendiknas antara lain mengeluarkan SK No. 232/U/2000 dan No. 045/U/2002 tentang Curriculum-Based Approach (CBA) yang perlu didukung oleh SDM dan sarana (alat dan kemanfaatan) yang berkualitas. Selain SK No. 176/O/2001 pasal 24-c tentang perumusan kebijakan teknis pembinaan dan pengembangan sarana dan prasarana, SK Mendiknas Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Pernilaian Hasil Belajar juga dikeluarkan.
Menurut SK Nomor 232/U/2000 (pasal 3 ayat 3) diyatakan bahwa hasil lulusan perguruan tinggi memiliki ciri-ciri: (1) mempunyai kemampuan mengembangkan dan memutakhirkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian dengan cara menguasai dan memahami, pendekatan, metode, kaidah ilmiah disertai keterampilan penerapannya; (2) mempunyai kemampuan memecahkan masalah di bidang keahliannya melalui kegiatan penelitian dan pengembangan berdasarkan kaidah ilmiah; dan (3) mempunyai kemampuan mengembangkan kinerja profesionalnya yang ditunjukkan dengan ketajaman analisis permasalahan, keserbacakapan tinjauan, kepaduan pemecahan masalah atau profesi yang serupa.
Sejumlah pertanyaan dapat dimunculkan terkait dengan pencapaian tujuan pendidikan yang dicanangkan dalam SK No. 232/U/2000 dan No. 045/U/2002 tentang Curriculum-Based Approach (CBA) yang perlu didukung oleh SDM dan sarana (alat dan kemanfaatan) yang berkualitas tersebut. Apakah program kurikulum sudah disusun secara efektif? Apakah program pengajaran sudah dipersiapkan secara efektif? Apakah mahasiswa sudah dibekali kompetensi-kompetensi tersebut sebelum tamat? Apakah institusi memiliki keyakinan bahwa mahasiswa mampu mengaplikasikan kompetensi-kompetensi itu setelah tamat? Apakah upaya-upaya yang dilakukan institusi meyakinkan masyarakat bahwa mahasiswa telah menguasai kompetensi fungsional dan vokasional sebelum tamat? Apakah institusi melakukan evaluasi tentang efektifitas kurikulum sebelum/ setelah implementasi? Apakah perbaikan fungsi diagnostik atau early warning system diperlukan?.
Menyikapi hal tersebut sebuah perubahan besar juga diperlukan baik di kalangan institusi, dosen, dan mahasiswa, selain sosialisasi yang intens perlu diwujudkan. Sebagian besar staf pengajar belum memahami arah perubahan ini. Sebagian dosen/guru baru hanya sekadar mengenal istilah PBK/KBK[3], akan tetapi silabus, materi, dan aktivitas pengajaran masih jauh dari harapan PBK. Kadar pemahaman dosen tentang PBK dapat dibagi menjadi dua kategori (1) sebagian besar baru mengenal istilah, belum mengetahui prinsip-prinsip PBK dan (2) sebagian kecil sudah mengetahui prinsip-prinsip PBK tetapi masih terbiasa dengan pola pengajaran konvensional seperti pendekatan didaktik (didactic view) dan stimulus-responds (S-R approach).
Sebagian besar mahasiswa demikian pula halnya. Mereka belum terbiasa belajar mandiri. Mahasiswa terbiasa dengan pendekatan instruktif yang berlawanan dengan prinsip-prinsip KBK yang mensyaratkan agar mahasiswa dapat melakukan high ranking learning/thinking skills. Berkaca pada hal tersebut, perjuangan dan evaluasi secara berkelanjutan tentang PBK/KBK serta arah pengembangannya diperlukan. Selain untuk mewujudkan arah pendidikan dan kurikulum yang dicanangkan pemerintah, KBK juga merupakan kiblat pembelajarn keilmuan saat ini.
Sejumlah pertanyaan dapat dimunculkan terkait dengan Assemen alternatif berbasis KBK di Unand? Apakah bahan ajar sudah dipersiapkan secara efektif dan terintegrasi untuk membekali mahasiswa memiliki kompetensi-kompetensi minimal sebelum tamat? Apakah materi sudah didisain untuk menjadikan pengetahuan sebagai sarana (content-vehicle) agar mahasiswa menguasai kompetensi fungsional, vokasional, dan profesional sebelum tamat? Apakah model penilaian sudah disesuaikan dengan KBK?. Indikator-indikator kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang perlu diwujudkan antara lain sebagai berikut.
Pertama, KBK mengharapkan produk ajar agar memiliki kompetensi fungsional (functional competence). Kompetensi ini terkait dengan peran seseorang di masyarakat (societal role). Produk ajar diharapkan agar memiliki kemampuan mengaplikasikan ilmunya di masyarakat dan dunia realitas (has ability to apply knowledge). Kompetensi ini berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Unjuk kerja kompetensi pada dunia nyata menjadi pedoman kurikulum dan proses pembelajaran. Materi ajar diharapkan otentik (benar-benar berguna bagi masyarakat). Melalui tugas-tugas kampus (paedagogic taks) dan tugas-tugas mandiri yang berorientasi agar lulusan perguruan tinggi berguna bagi masyarakat, lapangan, dan dunia kerja menjadi model pembuatan buku ajar. Para dosen diharapkan menganjurkan mahasiswanya agar turun ke lapangan untuk menindaklanjuti strategi-strategi tersebut di dunia nyata sesuai dengan ciri khas mata kuliah dan kebutuhan lokal masing-masing daerah.
Kedua, KBK mengharapkan produk ajar agar memiliki kompetensi vokasional dan profesional (professional/vocassional competence). Produk ajar diharapkan mampu profesional dalam pekerjaan dan karir sesuai dengan perannya (has ability to function effectively in a job or life role). Kompetensi ini berorientasi pemakai produk lulusan. Dengan demikian, kurikulum dan materi ajar selain diharapkan disejajarkan dengan tuntutan pasar, juga diharapkan “didiskusikan” dengan pemakai lulusan.
Ketiga, KBK mengharapkan produk ajar agar memiliki kompetensi adaptasi (istilah penulis untuk mengalihbahasakan istilah transfer competence). Kompetensi ini mengharapkan produk ajar agar mampu beradaptasi (has ability to perform something well) dengan lingkungan dan situasi baru. Pendekatan-pendekatan yang dipadukan dengan strategi pembelajaran mandiri diharapkan dapat mengantarkan maha/siswa agar tidak hanya berhenti pada tahap transfer ilmu/pengetahuan (content-based), tetapi menjadikan pendekatan-pendekatan tersebut sarana (content-vehicle) bagi maha/siswa menuju tahap aplikatif melalui pengembangan knowing menjadi doing di lapangan.
Keempat, KBK mengharapkan produk ajar agar memiliki kompetensi pengembangan diri (study/transfer skill). Kompetensi ini mengharapkan produk ajar agar mampu mengembangkan diri melalui studi mandiri sebagai lanjutan dari materi dan tugas perkuliahan (paedagogic tasks). Dengan demikian, strategi pembelajaran mandiri (knowing by doing/behaving) seharusnya diajarkan kepada maha(siswa). Dari sejumlah strategi pengajaran bahasa, sejumlah topik yang berorientasi agar mahasiswa mampu mengembangkan diri di lapangan dijadikan sebagai basis pengembangan buku ajar.
Kelima, KBK mengubah peran pengajar (dosen/guru). PBK/KBK mengubah orientasi peran dosen/guru dari (1) teaching centered menjadi learning centered dan (2) peran dosen dari teaching/lecturing menjadi fasilitating. Staf pengajar dalam KBK diharapkan mampu menyesuaikan disain silabus (mencakup analisis kebutuhan siswa, tujuan pengajaran, satuan acara perkuliahan, metode dan teknik pengajaran, pembuatan materi ajar, dan evaluasi kemampuan mahasiswa), evaluasi kurikulum, aktivitas pembelajaran, dan asessmen agar berorientasi kemampuan maha(siswa), kompetensi minimal, kebutuhan pemakai lulusan, dan kebutuhan mahasiswa.
Keenam, KBK mengubah peran pembelajar/maha(siswa). KBK mengubah peran pembelajar (1) dari objek pengajaran menjadi subjek pembelajaran dan (2) dari konsep schooling (pelajaran didapat dari dosen dengan metode konvensional, antara lain pendekatan instruktif, didactic view, dan S-R approach) menjadi konsep learning dengan menempatkan pembelajaran individual (self directed learning) menjadi high ranking learning competence. Transfer ilmu/pengetahuan (transfer of knowledge) yang berorientasi agar mahasiswa hanya knowing dianggap KBK sebagai tahapan paling rendah. Pendidikan diharapkan tidak hanya berhenti pada tahap transfer ilmu/pengetahuan (content-based), tetapi diharapkan sebagai sarana (content-vehicle) menuju tahap aplikatif melalui pengalaman belajar knowing by doing/behaving dan pengembangan knowing menjadi doing. PBK yang berorientasi hasil (learning outcome) yang terpusat pada mahasiswa (student-directed learning) dan dunia nyata (real life setting), serta berprinsip learning by doing, mengharapkan inovasi-inovasi materi ajar serta proses dan strategi pembelajaran demi tumbuh kembangnya potensi kompetensi dasar keterampilan, daya adaptasi terhadap ipteks, daya analisis, serta daya adaptasi terhadap perubahan sesuai kebutuhan pasar sangat diperlukan. Dengan demikian, mahasiswa berubah dari objek pengajaran menjadi subjek pembelajaran (Departemen Pendidikan Nasional, 2005a; 2005b; 2005c; 2005d; 2005e; 2005f; Ansyar, 2007).

Penjelasan simbol angka 3 pada e-135
Untuk memfasilitasi hal tersebut angka 3 menyimbolkan landasan logika formal (etis, kritis, dan dekonstruksionis). Ketiga logika tersebut melahirkan 3 model tugas (asesmen) yang juga memiliki 3 masing-masinya (1) individual performance (quiz, resensi, fortofolio), group performance (paper, presentasi, peer review), dan observasi kelas (kehadiran, keaktifan, kuisioner) dengan sejumlah indikator tersendiri[4]. Penerapan KBK dalam konteks keilmuan bukanlah suatu hal yang gampang. Para ahli pengajaran banyak paham dengan how to teach, tetapi belum tentu perkembangan keilmuan terkini. Ketiga logika tersebut dianggap mewarnai aliran wacana dunia saat ini.



1. Logika Teknis (konstruksivis)
Istilah logika teknis seperti yang diaplikasikan konstruksivis adalah penganut mono-ontologis, fondasionalisme, nomotetis, positivisme, linearitas, dan narasi besar (grand narrative) yang menganggap teori sebagai sebuah “kitab suci”. Sebuah teori diaplikasikan para konstruksivis secara matematis (mathematical law). “Sangkar besi” (istilah Weber) sebagai simbol sebuah konvensi dan aturan yang tidak boleh ditembus. Konstruksivis mengunggulkan monolitik makna dan fakta-fakta empiris dalam telaah teks seperti halnya pemaknaan realitas ala empirisme-positivisme dan metode analitis. Perspektif konstruksivis, selain memandang realitas sebagai refleksi kognitif (rasio/logika), juga memandang realitas sebagai mediator objektif dan netral. Konstruksivis memisahkan objek (teks) dari subjek (pembuat teks) serta pengonsumsi teks. Gramatika menjadi titik perhatian utama konstruksivis. Konstruksivis mengabaikan yang dalam epistemologi hermenutika disebut "interpretasi psikologis" (penafsiran teks dengan mempertimbangkan faktor psikologis pembuat teks). Konstruksivis juga memiliki pretensi mendapatkan generalisasi. Generalisasi cenderung melakukan penggeneralisasian objek studi yang spesifik pada sasaran totalitas untuk menemukan hukum-hukum umum. Konstruksivis memiliki tendensi mengabaikan peran konteks ruang dan waktu (being and time) dalam menguji sebuah kebenaran dan statemen universal itu banyak dikritik para posmodernis dan dekonstruksionis. Para konstruksivis yang dimaksudkan dalam tulisan ini antara lain telaah realitas seperti yang dilakukan Aguste Comte dalam pengklasifikasian peradaban manusia, Saussure dalam bahasa, Abraham Maslow dalam psikologi, Rostow dalam ekonomi, dan Durkheim dalam sosiologi. Sosok konstruksivis terlalu mengunggulkan aspek rasio dan konvensi sosial. Individual ditelaah dari sebuah konvensi sosial seperti antara lain konsep anomi-nya Durkheim.

2. Logika Kritis (Rekonstruksionis)
Istilah rekonstruksi seperti dianut oleh para rekonstruksionis adalah penganut teori kritis. Bingkai rekonstruksionis yang dipelopori Immanuel Kant dengan trancendental logic-nya diteruskan Frankfurt dengan teori kritisnya. Kant seperti halnya Edmund Husserl mengakui subjek yang ditransendensikan. Peneliti di mata rekonstruksionis diharapkan masuk ke dunia pengalaman yang diteliti. Pengalaman itu sendiri bersifat subjektif. Setiap fenomena pengalaman menurut Husserl memiliki ego transendental yang tidak dapat dijelaskan secara lahir. Husserl yang juga dianggap perintis fenomenologi ini menjadi dasar ilmu etnografi antropologi, yaitu tidak hanya melihat masyarakat dari luar (antropologi), tetapi juga dari tingkat batin (etnografi) masyarakat itu sendiri (Spradley, 1997). Telaah rekonstruksionis berakar dari aliran filsafat psikologisme (titik fokus pada pengalaman manusia meskipun tidak terkonvensi). Para rekonstruksionis memandang sesuatu tidak secara tetap, tetapi selalu dalam sebuah proses (fenomenal). Pemisahan antara subjek (pembuat teks) dan objek (teks) merupakan keberatan utama para rekonstruksionis terhadap epistemologi analitis dan positivisme yang dianut konstruksivis. Peran intersubjektif dan hubungan-hubungan sosial dalam perspektif fenomenologis dianggap sentral dalam pembuatan teks (Ricoeur, 1978:250—251; Brannen, 1997:140). Kemunculan mahzab-mahzab kritis antara lain dimotori para kritikus sosial-budaya mazhab Frankfurt (seperti Walter Benajmin, Adorno, Marcuse, Habermas), ikut memperluas cakupan hermeneutika psikososial dengan aspek ideologi (Ricoeur, 1978:270). Mazhab Frankfurt adalah jembatan memahami posmodern. Ide-ide para pengkritik modernitas seperti Nietszche, Marx, dan Freud diteruskan Frankfurt. Mazhab Frankfurt tidak dimasukan sebagai teori modern dalam ilmu sosial karena memasukan aspek psikologis seperti alienasi dan psikoanalisis Freud. Telaah rekonstruksionis dilakukan secara interteks, intersubjektif, dan dialektika struktur-agen.

3. Logika “Dekonstruksionis”
Derrida lebih memilih istilah dekonstruksi daripada konstruksi-rekonstruksi (pemahaman atas makna yang berdasarkan hubungan-hubungan formal pada sebuah teks). Istilah dekonstruksi (seperti yang dilakukan dekonstruksionis) dan pengikut posmodernis dipadukan dengan hermeneutika ontologis dapat pula melahirkan kebenaran. Telaah secara dekonstruksionis sesungguhnya sudah dilakukan sejak Nietszche dengan Nihilisme, Heidegger dengan Kesadaran, dan Freud dengan Psikoanalisis. Derrida (1985; 1986; 2002) dengan diffĂ©rance (berasal dari kata kerja Perancis “diffĂ©rer”: membedakan/menunda), (“-ance” -- “-ence”), jejak (trace), melting pot, dan deviant-nya mempopulerkan istilah dekonstruksi menjadi sebuah “paradigma baru”. Dekonstruksi (deconstruction) Derrida adalah pembongkaran teks melebihi makna teks yang dianalisis. Telaah secara dekonstruksionis juga dilakukan oleh penganut posmodernis Baudrillard dengan makna terdalam-nya (deep meaning). Derrida seperti halnya Foucault, Barthes, dan Baudrillard disebut pula pengikut posmodernis (postrukturalis).
Narasi modernitas memandang konsep sejarah secara linear, oposisi biner, logosentrisme, antroposentrisme (manusia memahami dunia berpusat pada kepentingan dirinya), dan demitologisasi (dunia dipandang sudah tidak misteri lagi). Aufklarung (zaman pencerahan) yang antara lain dipelopori Rene Descartes (terkenal dengan ungkapan “cogito ergo sum”-nya), dianggap sebagai tonggak modernitas. Kekuasaan manusia pada masa modernitas menjadi memuncak atas alam dan Tuhan. Pernyataan itu diperkuat oleh Albert Camus. Abad modern menurut Camus (2000) merupakan tirani rasionalistik, masa orang feodal dimusnahkan, tonggak kerajaan akal, akal di atas segala-galanya, kesadaran adalah salah satu akal, pikiran mengontrol segalanya, dan agama dianggap mitos.
Pecahnya revolusi Perancis adalah salah satu upaya mengukuhkan pernyataan untuk merdeka dari semua itu. Ilmu hanya untuk ilmu (ilmu bebas nilai) atau seperti disebut kaum formalis Rusia Gerard Genette dalam Lechte (2001:110) l’art pour l’art (seni untuk seni) juga ditantang para posmodernis. Posmodernis menganggap metafisika belum mati dan ideologi masih eksis (baik materi maupun konsep/ide dapat saling mengkonstruk realitas). Posmodernis mencanangkan kematian sistem (the end of modernity), kematian narasi besar, dan kematian materialisme budaya. Posmodern (Gellner, 1994; Sumaryono, 1999; Lechte, 2001) yang antara lain dipelopori oleh Baudrillard, Lyotard, Derrida, dan Foucault pada dasarnya mengeksplorasi ketidaksadaran. Setiap manusia memiliki impulse-impulse psikologis yang disebut sebagai hasrat atau kehendak untuk berkuasa (bahasa Nietszche) yang dapat disejajarkan dengan ketidaksadaran Freud (2002). Kerasionalan dimunculkan oleh hal-hal yang bersifat irrasional. Posmodern “menghancurkan” ideologi yang dalam kaca mata Lyotard, hanyalah narasi besar (grand theory).

Penjelasan simbol angka 5 pada e-135
Angka 5 menyimbolkan rubrics (kriteria penilaian) sekaligus sebagai landasan objek material (elaborasi, ekspresi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi), seperti pada tabel berikut.

Tabel: Kriteria Penilaian Mata Kuliah Wacana/Rubrics

Tahapan Penilaian “Eksemplar 135”
Ontologis
Epistemologis
Aksiologis
I. Elaborasi
Bahasa sebagai cermin
Otoritas teks (produk)
Pendekatan linguistik
Epistemologi objektif
Abstraksi bentuk
Logika linguistis
Sistem langue

II Ekspresi
Bahasa sebagai ekspresi
Otoritas pemproduksi teks
Interteks horizontal
Pendekatan fungsi
Epistemologi subjektif
Abstraksi fungsi
Logika reflektif
Sistem parole
Fungsi bahasa
III Signifikasi
Bahasa sebagai permainan
Otoritas pengkonsumsi teks
Interteks vertikal
Pendekatan semiotik
Epistemologi pragmatis
Abstraksi makna
Logika semantis
Sistem tanda
Semiotik
IV Eksplorasi
Bahasa ajang dialektis
Otoritas intersubjektif
Hiperteks
Pendekatan interteks
Epistemologi metaetis
Abstraksi dialektis
Logika dialektis
Sistem dialektis
Hipersemiotik
V Transfigurasi
Bahasa sebagai kesenangan
Otoritas interpretan
Pemetaan bahasa
Pendekatan heuristik
Epistemologi hermeneutis
Abstraksi hiperrealis
Logika filosofis
Sistem nilai
Etika

Fitur-fitur pada tabel dimaksud sengaja diracang untuk menilai Paper atau Ujian Esei mahasiswa dari mahasiswa S1 sampai S3. Bagi mahasiswa Strata Satu misalnya, nilai A (A Plus atau A Minus) dapat diberikan apabila sudah mencapai sejumlah fitur pada Tahap III (Tahap Signifikasi). Nilai A (A Plus atau A Minus) pada mata kuliah yang sama pada level Strata Dua dapat diberikan kepada mahasiswa yang mampu menjamah sejumlah fitur yang terdapat pada Tahap IV (Tahap Eksplorasi). Fitur-fitur penilaian pada Tahap V (Tahap Transfigurasi) diperuntukkan bagi Mahasiswa Doktor yang ingin mendapatkan nilai terbaik (A, A plus, atau A minus). Mahasiswa yang belum mampu mencapai poin-poin yang distandarkan akan memperoleh nilai di bawah level A (bisa B, B plus, B minus, C atau gagal).

Tampilan berikut (terlampir) adalah format penilaian yang disesuaikan dengan e-135 yang dirancang dengan ICT sederhana (program Excel). Teman-teman pasti sudah jauh melebihi hal ini. Saya hanya mengetahui permukaan, Bapak-bapak dan Ibu-ibu mengarungi dalamnya lautan. Terima kasih. Mari kita saling berbagi pengalaman antarsesama customer.
[1] Disampaikan pada Applied Aproach pada tanggal 21 Agustus 2008 di Universitas Andalas.
[2] Dosen Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Andalas
[3] PBK (Pendidikan Berbasis Kompetensi) dan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
[4] Sejumlah indikator sudah dirancang sekalipun dalam tahapan awal. Berhubung terlalu panjang, sejumlah indikator tersebut belum dimuat dalam tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar