Minggu, 16 Agustus 2009

e-135 Sawirman dan Hermeneutika

ARTIKEL EDITORIAL

Hermeneutik
“Payung E-135” Merangkul Cultural Studies



Sawirman
Editor Ahli/Pemimpin Redaksi


1. Pendahuluan
Sejumlah objek material linguistik dan statemen yang diutarakan sebelumnya semakin mengukuhkan klaim mengapa e-135 (nama baru “Eksemplar 135”) menjadikan hermenutis sebagai landasan filosofisnya dengan merangkul paradigma cultural studies sebagai fokus perjuangan. Adalah mustahil seorang linguis mampu mengungkap wacana dakwah (Islam) secara akomodatif tanpa melibatkan ilmu agama (Islam) dan sejumlah ilmu humaniora lainnya sebagai pembanding.
Pada artikel editorial terdahulu berjudul “Eksemplar 135” Embrio Mazhab Linguistik Unand Berdimensi Cultural Studies (Linguistika Kultura, Volume 1 Nomor 3 Maret 2008), penulis sudah mengutarakan kupasan seputar alasan akademis kemunculan e-135 yang saat itu masih disebut “eksemplar 135”. Dalam tulisan ini, sebutan “Eksemplar 135” diubah menjadi E-135.
Dengan demikian, e-135 merupakan singkatan dari “Eksemplar 135” (sebuah draf paradigma linguistik berdimensi cultural studies yang penulis ciptakan sejak tahun 2005). Huruf e pada e-135 menyimbolkan eksemplar (bukan simbol elektronik seperti e-mail, e-journal, e-learning, e-book, e-library, e-commerce, dan lain-lain), sekalipun e-135 memang menjadikan data elektronik sebagai data “hiperteks” pada salah satu tahapan (tahapan eksplorasi). Angka 1 pada e-135 menyimbolkan landasan ontologis/filosofis (hermeneutik), angka 3 menyimbolkan revisi pendekatan wacana terkini (kritis, dekonstruksionis, cultural studies), serta angka 5 menyimbolkan tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi) sekaligus landasan objek material dan formal yang masing-masingnya diberi penjelasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

2. Mengapa Hermeneutik dijadikan Landasan Filosofis E-135
Huruf e pada e-135 yang menyimbolkan eksemplar sudah dikupas pada edisi sebelumnya. Angka 1 pada e-135 menyimbolkan landasan ontologis/filosofis (hermeneutik) yang menjadi titik fokus pada artikel ini. Simbol angka 3 pada e-135 yang menyimbolkan revisi pendekatan wacana terkini (formalis, kritis, dan cultural studies), serta angka 5 pada e-135 yang menyimbolkan tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi) sekaligus landasan objek material dan formal dengan penjelasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis akan dibahas pada edisi-edisi mendatang. Tulisan ini akan membedah peran hermeneutik (simbol angka 1) dalam e-135” setelah disosialisasikan dalam Forum Dosen Berprestasi Unand) sebagai wakil Fakultas Sastra tanggal 11 Juni 2008.
2.1 Hermeneutik sejalan dengan spirit cultural studies
Di mata Sumaryono, bahasa dapat menjadi pusat perhatian hermeneutik sejauh interpretasinya merangkul dan melibatkan sejumlah ilmu dan keseluruhan jaringan (sejarah, kebudayaan, kehidupan, dan nilai-nilai sosial). Kata studies (bentuk plural) dalam frame cultural studies adalah spirit multi-dimensional seperti yang diungkap Sumaryono. Di mata Gibbons (2002:xii), hermeneutik menjadi salah satu kata kunci dalam dunia pemikiran abad XX dan XXI. Filsafat Barat kontemporer menganggap hermeneutik tidak hanya berhasil menyikapi persoalan-persoalan mendasar pola pikir “modern”, tetapi juga berhasil memformulasikan “wacana baru” dalam memahami realitas. Adalah beralasan mengapa istilah ini disandingkan dengan posmodern.
Dengan alasan bahwa sebuah ranah, tanda, teks atau suatu objek dan fenomena menjadi medan terbuka (open-mindedness) untuk dimaknai, maka adalah beralasan mengapa filsafat hermeneutik dianggap dapat mengikuti semangat zaman. Dengan alasan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memaknai, berinterpretasi, dan mencari kebenaran sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, serta nilai-nilai yang dianut, menjadikan hermeneutik terbebas dari “dogma”, konvensi, linearitas, dan oposisi biner para positivis dan strukturalis.
Sebagai sebuah metodis....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar