Sabtu, 15 Agustus 2009

Cultural Studies: Ciri Khas Jurnal Linguistika Kultura Universitas Andalas

PENGANTAR REDAKSI

Wujudkan “Mazhab Linguistik/Sastra” di Indonesia
Oleh
Sawirman (Pimpinan Redaksi)


Setiap mazhab/zaman memiliki paradigma dan semangat tersendiri. Filsafat Yunani menjadikan kosmos sebagai titik sentral (kosmosentris). Teosentris seperti antara lain diberdayakan Weber merupakan ciri khas filsuf abad pertengahan. Logosentris dan antroposentris seperti antara lain termaktub dalam logos Rene Descartes cogito ergo sum ‘saya berpikir, maka saya ada’ selain mewarnai fokus filsuf abad pencerahan, juga ciri khas strukturalisme dan modernitas. Kehadiran Stephen Hawking (penemu black holes) dan Capra dengan Jaring-jaring Kehidupan-nya menempatkan biosentris sebagai tolok ukur. Mahzab Stoic menempatkan filsafat kesenian sebagai titik sentral. Mazhab Praha yang dirintis Jakobson dan Trubetskoy pada tahun 1926, antara lain dikenal dengan paradigma ketidaksadaran berbahasa. Mazhab Coopenhagen pada tahun 1930 dikenal dengan telaah afasianya (linguistik dengan kedokteran). Kelompok Wina (Swiss) terkenal dengan positivisme logisnya. Mazhab Frankfurt (Walter Benyamin, Adorno, Herbert Marcuse, Habermas) dikenal pencetus mazhab kritis, selain memperkenalkan paradigma reflektif, interpretatif, dan kompetensi komunikatif sebagai spesialisasi. Mazhab Kyoto di Jepang terkenal dengan filsafat agamanya. Posmodernisme menempatkan kultur lokal dan kaum pinggiran, selain mempertanyakan posisi linearitas dan Grand Narrative keilmuan sebagai titik fokus.Demikian pula halnya setiap tokoh, ahli, dan politisi memiliki spesialisasi “mazhab” yang terefleksi dari fokus perjuangan dan kata-kata kuncinya yang terkenal. Hegel dikenal dengan filsafat sejarah/ Roh absolut dan Heidegger dengan.........
Cultural studies yang ditawarkan dalam jurnal ini diperkirakan mampu menjawab tantangan pesatnya perkembangan ilmu linguistik, kajian linguistik, dan pemanfaatan kompetensi linguistik oleh ilmu lain. Cultural studies diperkirakan pula akan memunculkan sintesis-sintesis baru (neologisme) dalam proses pemaknaan linguistik yang konsekuensinya mampu membawa telaah linguistik “menyatu” dengan ilmu lain. Seperti harapan Popper, batas suatu ilmu dengan ilmu lain, seperti lautan dengan dasarnya. Dimensi cultural studies yang ditawarkan diharapkan dapat mengembangkan kajian linguistik menjadi medan terbuka (memakai ilmu lain untuk menjelaskan dirinya atau meminjam “tenaga lawan” dalam filosofi silat Minang). Linguistik dapat berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Linguistik dapat membaca dunia seperti harapan para posmodernis dan postrukturalis. Cultural studies yang akan ditawarkan juga bersesuaian dengan pandangan Bakhtin, Barthes, Kristeva, dan Fairclough (beberapa tokoh semiotika ekspansionis, postrukturalis, dan teori kritis) yang menginginkan telaah objek secara dimensional. Barthes juga memproklamirkan degree writing zero yang menghendaki kajian interteks yang pada prinsipnya adalah cultural studies. Barthes ingin keluar dari spesialisasi yang mereduksi persoalan seperti halnya harapan Wallerstein dalam buku Ilmu Sosial Lintas Batas. Cultural studies dapat menjadikan sebuah kajian linguistik menjadi mosaik bermakna. Dengan cara demikian, linguistik dapat ditelaah secara heuristik, holistik, anti-reduksi, dan anti-distorsi. Paradigma ini bila dihubungkan dengan konsep rantai tanda abadi Peirce juga bersesuaian. Penerapan cultural studies antara lain diharapkan pula dapat mengkritisi keterbatasan epistemologi positivisme di ranah linguistik. Linguistik harus menjadi sebuah medan terbuka. Sinyalemen tersebut senada dengan Rorty tentang pentingnya bahasa mengungkap persoalan pengetahuan dan kemanusiaan masa depan (preskriptif dan prospektif). Cultural studies yang ditawarkan dapat mengeluarkan jebakan nomotetik yang membuat linguistik tersubordinasi dan didominasi oleh sistem dan konvensi fondasionalis.
Cultural studies memang salah satu isu mendunia saat ini, akan tetapi masih langka dijadikan sebagai orientasi keilmuan. Permasalahannya sekarang bagaimanakah gagasan-gagasan revolusioner ini dapat diwujudkan dalam pengembangan kajian linguistik/sastra di tanah air? ....

Untuk mendapatkan artikel lengkap, silakan kontak ke email (1) linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id, (2) linguistikakultura@yahoo.com atau (3) sawirman@fsastra.unand.ac.id (cc sawirman03@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar