Sabtu, 15 Agustus 2009

e-135 Sawirman dan Halliday (PENGANTAR REDAKSI Vol. 2 No. 2 Linguistika Kultura) Universitas Andalas

Memposisikan Halliday dalam Frame Cultural Studies dan E-135
PENGANTAR REDAKSI
Oleh
Sawirman
(Pimpinan Redaksi)



1. Pendahuluan
Edisi ini diawali dengan artikel Edi Setia berjudul Fungsi dan Dimensi Bahasa. Berangkat dari teori Leksikal Fungsional Sistemik (LFS) yang beberapa ahli juga menyingkat/ menyebut teori Halliday ini dengan teori Sistemik atau teori Tata Bahasa Fungsional (Lexical Functional Grammar), Edi Setia secara implisit berupaya mempertalikan dan memetakan fungsi bahasa pada posisi idealnya melalui lima dimensi, yakni (1) struktur sebagai simbol urutan sintagmatik atau urutan klausa-grup atau frasa-kata-morfem yang berkenaan dengan aspek komposisi bahasa; (2) sistem sebagai simbol urutan paradigmatik yang berkaitan dengan konstituensi atau jaringan sistem (tata bahasa sebuah bahasa) yang dibutuhkan dalam memproduksi teks; (3) stratifikasi yang dikaitkan dengan penggabungan dua strata yang berbeda antara strata semantik (makna) dan strata tata bahasa (bentuk); (4) ”penyontohan” sebagai simbol yang digunakan untuk merujuk pada konsep pemberian contoh penjabaran dalam strata sama atau bahasa yang dijabarkan dalam bentuk teks; dan (5) metafungsi (ideasional, interpersonal, dan tekstual) sebagai simbol fungsi dasar bahasa alami (natural language) atau tataran makna dalam suatu bahasa.
Terimplisit, Edi Setia berupaya mengangkat citra teori Halliday agar lebih membumi dalam ranah teks, wacana, dan bahasa. Mengacu pada lima dimensi bahasa analisis Edi Setia mengindikasikan bahwa Halliday tampaknya memang tidak mau dikungkung dalam satu ranah untuk memaknai semesta tanda/teks. Tidak hanya paduan struktur (sintagmatik) dan sistem (paradigmatik) yang diharapkannya dalam analisis bahasa, tetapi juga dimensi strafikasi (strata semantik dan strata tata bahasa) serta metafungsi (ideasional, interpersonal, dan tekstual). Sebuah spirit bernafaskan lintas keilmuan (cultural studies).
Tidak tanggung-tanggung, 22 tulisan (buku/artikel) Halliday, yakni The tones of English (1963, Archivum Linguisticum 15.1:1-28), Intonation in English grammar (1963, Transactions of the Philological Society 143-169), the Concept of Rank: a reply (1966, Journal of Linguistics 2, 1, 110-118), Intonation and Grammar in British English (1967, Mouton The Hague), Exploration in the Functions of Language (1973, Edward Arnold London), Language and Social Man (1974, Schools Council & Longman London), Learning How to Mean: Explorations in the development of language. (1975, Edward Arnold Publishers London), Cohesion in English (1976, bersama Ruqaiya Hasan, Longman London). Language as Social Semiotic: The social interpretation of language and meaning (1979, Edward Arnold Publishers London), An Introduction to Functional Grammar, edisi ke-1 (1985, Edward Arnold London), Spoken and Written Language (1986, Deakin University Press Victoria), The Notion of ‘context’ in language education (1992, in Le, T., McCausland, M. Eds., Interaction and development: proceedings of the international conference, Vietnam. 30 Maret – 1 April 1992, Language Education University of Tasmania), Writing Science: Literacy and Discursive Power (1993, the Falmer Press London), An Introduction to Functional Grammar, edisi ke-2 (1994, Arnold London), Construing Experience through Meaning: a language-based approach to cognition (1999, bersama Matthiessen, C. M.I.M., Cassell London), Linguistic Studies of Text and Discourse (2002, Continuum London), On Language and Linguistics (2003, Continuum London, The Language of Early Childhood (2004, Continuum London), An Introduction to Functional Grammar, edisi ke-3 (2004, bersama Matthiessen, C. M.I.M. Arnold London), On Grammar (2005, Continuum London), The Language of Science. (2006, Continuum London), dan Computational and Quantitative Studies (2006, Continuum London) dijadikan Edi Setia sebagai sumber untuk melahirkan artikelnya.
Banyaknya pengarang yang hanya berkiblat pada frekuensi, kuantitas, dan produktivitas, sehingga mengabaikan nuansa kualitas sebuah karya seperti yang dicemaskan Ignas Kleden tampaknya tidak terlihat pada karya-karya yang dilahirkan Halliday. Tulisan ini lebih difokuskan untuk membaca Halliday sebagai sosok semiotik sosial dan cultural studies. Salah satu buku yang ditulis Halliday ke arah demikian diberi judul Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning terbitan Edward Arnold London tahun 1978. Dalam artikel Edi Setia pada jurnal ini, buku dimaksud belum dijadikan sebagai referensi. Dengan demikian, kehadiran tulisan ini juga dimaksudkan untuk mengisi kekosongan dimaksud.

2. Halliday sebagai sosok semiotik sosial dan cultural studies
Tentu tidak asing lagi bagi pembaca bahwa terma semiotik bermula dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda (sign). Selain semiotik, terma semiologi atau semiologie (semiology) juga mengemuka. Para ahli umumnya tidak lagi mempermasalahkan penggunaan istilah semiotik (berasal dari Peirce) dan semiologi (berasal dari Saussure yang diikuti Barthes). Dalam konteks Indonesia, terma semiotik (semiotics) tampaknya lebih lazim dipakai daripada semiologi (Sunardi, 2002:345). Istilah semiotik juga digunakan Halliday dalam sejumlah bukunya.Teori Halliday disebut Matthews (1997:156) Neo-Firthian. Sekalipun Halliday tidak mengatakan hal itu dalam buku-bukunya, klaim Matthews tersebut masuk akal karena Firth adalah mantan guru Halliday. Konsep konteks situasi yang mewarnai hampir semua karya Halliday antara lain, sebenarnya bermula dari konsep Malinowski yang dikembangkan oleh Firth. Menurut Halliday (1978), setiap bahasa yang muncul sebagai sebuah teks (teks adalah sebutan yang sering digunakan Halliday sebagai pengganti istilah tanda dalam kajian semiotik) harus diinterpretasi dalam konteks ruang dan waktu. Analisis bahasa yang memperhatikan konteks ruang dan waktu itulah yang disintesiskannya dengan terminologi konteks situasi (context of situation) dan konteks budaya (context of culture). Fungsi konteks situasi dan konteks budaya menurut Halliday selain dapat mengungkap representasi pengalaman, hubungan peran (role relationships), juga dapat berperan sebagai alat simbol (symbolic channels) dalam pengungkapan makna teks. Teori konteks situasi dan konteks budaya Halliday diilustrasikan oleh Suzanne Eggins (1994:34) seperti pada diagram halaman berikut. .............
Untuk mendapatkan artikel lengkap, silakan kontak ke email linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id atau sawirman@fsastra.unand.ac.id (cc sawirman03@yahoo.com)

2 komentar:

  1. Saudara Sawirman,
    Artikel ini sangat bagus untuk rujukan, saya perlukan bantuan untuk dapatkan artikel penuh. terima kasih

    BalasHapus
  2. Terimakasih atas tulisannya...
    Menurut saya, mungkin istilah teori Halliday lebih pas dengan Linguistik Fungsional Sistemik daripada Leksikal Fungsional Sistemik.

    salam hangat dari india

    BalasHapus