Sabtu, 15 Agustus 2009

Cultural Studies: Ciri Khas Jurnal Linguistika Kultura Universitas Andalas

CULTURAL STUDIES:
DIMENSI PENGEMBANGAN LINGUISTIK MASA DEPAN


Sawirman
Universitas Andalas Padang



ABSTRACT

This writing aims to apply cultural studies as one of the dimension in developing linguistic studies in the future. Cultural studies has several genealogies. Cultural studies is committed to reconcile the division of knowledge and a moral evaluation. It attempts to overcome the split between intuitive knowledge based on local cultures and universal forms of knowledge. Its contant goal is not only to expose marginalized object, society, and popular culture, but also to expose both psychological and intellectual enterprise.
On those reasons, cultural studies spirit can be promoted as ones of dimensions to struggle and survive marginalized society and understandand change the structure of modern society, as well as dominance of power and capitalist societies. Other critical social sciences involvement is needed to criticize and analyze types of linguistic systems and phenonema. It assumes a common interest between the observer and what is being observed or between the knower and the known. In short, cultural studies is not simply study of culture as though culture is one of the dominant aspects within cultural studies.

Key words: Cultural Studies, Linguistics, Hegemony, Marginalized Object, Multi-Dimentional Approach, Revolution of Science, Ethical Struggle, Popular Culture



1. Pendahuluan

Artikel perdana jurnal ini berjudul selain untuk memberi penjelasan akademis (academic explanation) tentang cultural studies, juga memberikan jawaban mengapa cultural studies perlu dimunculkan khususnya dalam peta kebahasaan di tanah air (sekaligus menjadi spesialisasi jurnal ini). Paradigma cultural studies mulai mencuat di tahun 1950-an atas serbuan budaya pop dari seberang Atlantik ke Benua Eropa (During, 1995; Storey, 1997). “Panik budaya” tersebut (Budiman, 2001:1) memunculkan keprihatinan berbagai pihak. Selain, pemikir seperti Matthew Arnold, F.R Leavis, dan T.S Eliot yang menginginkan agar ada elit-elit intelektual yang melestarikan nilai-nilai budaya adiluhung menandai melambangkan keemasan suatu masa, juga ada sejumlah tokoh seperti Louis Althusser, Theodor Adorno, dan Walter Benjamin yang juga mengkhawatirkan pengaruh budaya massa (budaya pop) pada daya intelektual dan kreatif masyarakat. Pikiran Althusser dengan sejumlah teman-teman Frankfurt-nya menurut Manneke Budiman menjadi lebih dikenal atas adanya statement bahwa kebudayaan dapat dijadikan sebagai instrumen ideologi kekuasaan dominan untuk meninabobokan rakyat. Kekuasan dominan menurut Althusser diwakili oleh negara yang menggunakan berbagai institusi, adat kebiasaan, dan media massa sebagai aparatus ideologisnya. Nama-nama seperti Bruno Latour dan Steve Woolgar dalam tulisan Laboratory Life dengan subjudul Social Construction of Scientific Facts (ditulis tahun 1979) dianggap berjasa mengembangkan cultural studies ke tataran science untuk memperjuangkan masyarakat terhegemoni (Sardar and Borin Van-Loon, 2005:96).
Tidak terkecuali nama-nama luar negeri seperti E.P. Thompson, Stuart Hall, Paddy Whannel, ...
Untuk mendapatkan artikel lengkap, silakan kontak ke email linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id atau sawirman@fsastra.unand.ac.id (cc sawirman03@yahoo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar