Oleh: Herlinda
I. Pendahuluan
Struktur gaya bahasa terkait dengan struktur umum bahasa, baik pada bentuk kata, frasa, klausa, kalimat, dan paragraf. Perbedaan gaya bahasa terkait erat dengan penulis dan latar belakang kehidupannya. Penulis dengan latar belakang yang berbeda dengan sendirinya akan menggunakan gaya bahasa yang berbeda pula. Penulis yang kreatif akan senantiasa mengemukakan gagasan-gagasan baru dan menggunakan gaya yang membedakan dirinya dengan penulis lain. Dengan kata lain, penyebab terjadinya perbedaan gaya bahasa juga ditentukan oleh kreatifitas seorang penulis.
Gaya bahasa sebagai bagian dari sarana penulisan kreatif, termasuk salah satu aspek kajian yang cukup bermanfaat untuk ditelaah. Salah satu alasannya karena gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas atau spesifik bagi seorang penulis yang dapat membedakannya dari penulis yang lain. Gaya bahasa yang digunakan oleh penutur/penulis sangat beragam seperti, perbandingan, metafora, personifikasi, dll. Dalam makalah ini, penulis hanya memfokuskan analisis terhadap pemakaian gaya metafora yang terdapat di media massa cetak (pemberitaan olahraga bertajuk sepakbola di Harian Singgalang) dengan menggunakan term e-135.
Alasan pemilihan tersebut dikarenakan banyaknya penulis atau wartawan yang menggunakan metafora sebagai salah satu gaya penulisannya. Dengan kata lain, dapat disebut bahwa tidak ada bahasa pers tanpa metafora. Berbagai tulisan di media massa cetak seperti di bidang ekonomi, politik, pemerintahan, olahraga, dll. merupakan lahan subur untuk memakai metafora. Kesuburannya didukung oleh kepentingan para pemberita, penulis, atau wartawan untuk melihat suatu arti atau fenomena sosial dari berbagai sisi dan mengungkapkannya kepada pembaca melalui pemilihan kata yang mengandung persamaan dan perbandingan dengan kata lain (metaphor).
Mengingat banyaknya penggunaan majas metafora dalam berbagai rubrik di media massa cetak, maka sebagai sumber data makalah ini, penulis memilih salah satu rubrik yang selalu muncul setiap hari dan banyak menggunakan majas metafora yang bersifat kreatif dalam pemunculannya yaitu, rubrik olahraga yang bertajuk sepakbola.
Media massa cetak terutama surat kabar, dewasa ini tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan. Di daerah Sumatra Barat saja, terdapat berbagai nama media massa cetak. Oleh sebab itu, penulis memilih salah satu media massa cetak sebagai sumber data penelitian ini yaitu, Harian Singgalang yang terbit pada bulan Juni tahun tahun 2009. Pemilihan tersebut ditentukan dengan dasar pertimbangan bahwa surat kabar Harian Singgalang jumlah oplahnya besar, jangkauan sasaran pembacanya luas, dan anggapan surat kabar ‘baik’ menurut penelitian masyarakat dan pihak-pihak yang berkompeten.
II. Kerangka Teori
2.1 Gaya Bahasa
Menurut Keraf (2000:113), gaya bahasa adalah pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Gaya bahasa disebut juga style yaitu, suatu bagian dari masalah diksi yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Persoalan gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan, pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat. Bahkan, persoalan wacana secara keseluruhan dan nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula ke dalam persoalan gaya bahasa, (Keraf, 2000:112).
Keraf (2000), membagi gaya bahasa atas lima jenis yaitu, (1) gaya bahasa berdasarkan segi bahasa dan segi nonbahasa, (2) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata yaitu, gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan, (3) gaya bahasa berdasarkan nada yaitu, gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah, (4) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimatnya yaitu, klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, repetisi, (5) gaya bahasa berdasarkan langsung tidak langsungnya makna yaitu, gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan atau majas.
2.2 Majas
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa kiasan atau majas merupakan bagian dari gaya bahasa. Gaya bahasa kiasan atau majas itu sendiri dapat diartikan sebagai sebuah kata yang mengandung makna tambahan atau mengandung makna berbagai perasaan dan nilai rasa terentu yang lazim disebut sebagai makna konotatif, (Keraf: 2000). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:699), majas diartikan sebagai cara melukiskan sesuatu dengan cara menyamakan dengan sesuatu yang lain (kiasan).
Menurut Djayasudarama (1999:20), arti kiasan atau arti majasi diperoleh jika denotasi kata atau ungkapan dialihkan dan mencakupi juga denotasi lain bersamaan dengan tauatan pikiran lain. Masih dalam Djayasudarma (1999:20-22), majas dikelompokkan ke dalam tiga golongan yaitu, (1) majas perbandingan, (2) majas pertentangan, (3) majas pertautan. Majas perbandingan terdiri dari, (a) majas perumpamaan, (b) majas kiasan/metafora, dan, (c) majas penginsanan/personifikasi. Majas pertentangan terdiri dari, (a) majas hiperbol, (b) majas litotes dan, (c) majas ironi. Majas pertautan terdiri dari, (a) majas metonimia, (b) majas sinekdoke, (c) majas kilasan/alusi dan, (d) majas eufimisme.
2.3 Metafora
Tarigan (1985:15), mengatakan bahwa metafora adalah salah satu gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, dan tersusun rapi. Menurut Djayasudarama (1999:22), gaya bahasa kiasan atau metafor ialah perbandingan yang implisit. Jadi, tanpa kata seperti atau sebagai di antara dua hal yang berbeda misalnya, sumber ilmu, buah hati, mata jarum, anak emas. Chaer (dalam Pateda, 2001:234), mengatakan bahwa metafora dapat dilihat dari segi digunakannya sesuatu untuk membandingkan yang lain dengan yang lain. Oleh Kridalaksana (2001:136), metafora (metaphor) dikatakan sebagai pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan misalnya, kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia.
Badudu (dalam Pateda:2001), mengatakan struktur dasar metafora sangat sederhana yaitu, sesuatu yang dibicarakan dan ada sesuatu yang dipakai sebagai perbandingan sehingga, dapat dikatakan bahwa gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda lain. Selanjutnya, rumusan umum yang disampaikan oleh Ogden dan Richards (dalam Pateda:2001), mengatakan metafora secara umum berfungsi sebagai penunjuk sekelompok benda yang saling berhubungan satu dengan lainnya dan bertujuan sebagai penghubung dalam hubungan analogis antar kelompok yang berbeda.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2008:739), metafora didefinisikan sebagai pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.
2.4 Pengertian Wacana
Sebelum lebih jauh dibicarakan perihal penggunaan pendekatan term e-135 untuk menganalisis gaya metafora yang terdapat dalam wacana pemberitaan olahraga yang bertajuk sepakbola di Harian Singgalang, ada baiknya terlebih dahulu dipahami pengertian wacana. Banyak batasan yang dikemukakan oleh para ahli untuk mendefinisikan wacana, antara lain, 1) peristiwa terstruktur yang diwujudkan melalui perilaku linguistik (Edmonson, 1981:1), 2) sepenggal bahasa yang sedang menjalankan fungsinya (Schifrin, 1994:1), 3) proses terbentuknya sesuatu di dunia yang diintegrasikan ke dalam bentuk kata, aktifitas, nilai, kepercayaan, perilaku dan identitas sosial (Kramsch, 1998:61), 4) relasi antara peristiwa dan makna (Ricoeur, 2002:32), 5) produk dan praktek budaya suatu masyarakat (Duranti:1997 dan Foley, 1997:369), dan 6) a. komunitas verbal; percakapan, b. keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan, c. satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti, novel, buku, artikel, pidato, khotbah, dll., d. kemampuan/prosedur berfikir secara sistematis, kemampuan/proses memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat, e. pertukaran ide secara langsung (KBBI, 2008:1552).
2.5 Draf Teori e-135
E-135 adalah salah satu draf teori untuk menganalisis wacana yang merupakan singkatan dari eksempelar 135. Draf teori ini diprakarsai oleh Dr. Sawirman, M.Hum. Dosen Sastra Inggris Universitas Andalas. Darf teori ini pertama kali diperkenalkan melalui disertasi doktoral tahun 2005 di Universitas Udayana. Angka 1 pada e-135 menyimbolkan landasan ontologis/filosofis (hermeneutika), angka 3 menyimbolkan revisi pendekatan wacana terkini (kritis, dekonstruksionis, cultural studies), dan angka 5 menyimbolkan tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi) sekaligus landasan objek material dan formal yang masing-masingnya diberi penjelasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Kelima tahapan analisis e-135, yaitu tahap elaborasi, tahap representasi, tahap signifikasi, tahap eksplorasi, dan akan transfigurasi akan diuraikan dalam tabel berikut ini.
Tahapan Analisis Teori e-135
5 Tahapan Analisis
5 Objek Material/ 5 Objek Formal
Ontologis (Filosofi, Fokus, Abstraksi)
Epistemologis (Pendekatan, Epistem, Data)
Aksiologis (Logika, Sistem, Teori)
I
Elaborasi
Bahasa sebagai cermin
Otoritas teks (produk)
Abstraksi bentuk
Pendekatan formalis Epistemologi objektif Teks
Logika reflektif Sistem langue Wacana Formalis
II
Representasi
Bahasa sebagai representasi Otoritas pemproduksi teks Abstraksi fungsi
Pendekatan fungsional Epistemologi subjektif Intrateks
Logika representasi Sistem parole Fungsi wacana
III
Signifikasi
Bahasa sebagai permainan Otoritas pengonsumsi teks Abstraksi makna
Pendekatan kritis Epistemologi pragmatis Interteks
Logika semantis Sistem tanda Semiotik
IV
Eksplorasi
Bahasa ajang dialektis Otoritas intersubjektif Abstraksi dialektis
Pendekatan posmodernis Epistemologi metaetis Hiperteks
Logika dialektis Sistem dialektis Hipersemiotik
V
Transfigurasi
Bahasa sebagai kesenangan Otoritas interpretan Abstraksi hiperrealis
Pendekatan cultural studies Epistemologi hermeneutis “Cultural studies”
Logika filosofis Sistem nilai Pemetaan Bahasa
III. Pembahasan
Di dalam pemberitaan olahraga yang bertajuk sepakbola di Harian Singgalang, ditemukan gaya metafora dalam bentuk kata dan kelompok kata. Data gaya metafora yang diambil untuk dianalisis dipilih secara acak karena begitu banyak data berupa gaya metafora yang dipakai oleh wartawan dalam pemberitaan olahraga yang betajuk sepakbola di Harian Singgalang, sehingga tidak mungkin dianalisis keseluruhannya dalam tulisan singkat ini. Data dan analisisnya akan diuraikan berikut ini.
3.1 Data
(1) Bolton menghadapi perlawanan sengit dari tim asal Negri Gajah Putih, yang sebelumnya berhasil menundukkan Everton lewat adu penalti. (Singgalang, 25 Juni 2009).
(2) Dalam gim eksebisi keduanya di Amerika Serikat, Real yang berjuluk Los Galakcticos menaklukkan Galaxy 2-0. (Singgalang, 20 Juni 2009)
3.2 Analisis Data Menggunakan Tahapan e-135
3.2.1 Tahap Elaborasi
Wacana/gaya metafora berupa kata menundukkan dan menaklukkan sebagai salah satu bentuk tanda linguistik, terlebih dahulu dibedah dengan menggunakan pisau linguistik mikro sebagai refleksi pendekatan formalis. Secara linguistik, bentuk menundukkan dan menaklukkan berdasarkan kategori katanya dapat digolongkan sebagai verba (kata kerja) dan berdasarkan bentuk katanya dapat digolongkan sebagai kata turunan. Verba adalah lingkungan kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan (KBBI, 2008:1546). Kridalaksana, (2001:98) mengatakan bahwa kata turunan atau kata jadian adalah kata yang terbentuk sebagai hasil proses afiksasi, reduplikasi (pengulangan) atau penggabungan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk menundukkan dan menaklukkan merupakan kata turunan yang terbentuk dari proses afiksasi karena kedua metafora ini berasal dari bentuk dasar tunduk dan takluk yang mendapat imbuhan berupa prefiks –meng dan sufiks –kan. Alwi dkk. (1998: 109—117) mengatakan bahwa bentuk prefiks meng- akan berubah menjadi men- apabila bergabung dengan kata dasar yang dimulai dengan fonem /d/, atau /t/, sehingga bentuk dasar tunduk dan takluk setelah disisipi prefiks –meng akan menjadi menundukkan dan menaklukkan. Proses elaborasi ini untuk sementara ditempatkan pada kotak makna tertunda satu seperti berikut ini.
Kotak Makna Elaborasi (Kotak Makna Tertunda I)
/menundukkan-menaklukkan/ =/mengalahkan/
I. verba kata turunan afiksasi (prefiks -meng+ sufiks -kan)
3.2.2 Tahap Representasi
Secara interteks (metafora lain yang dipakai oleh para penulis berita sepakbola untuk menyatakan jika sebuah tim memperoleh kemenangan atau dapat mengalahkan tim lawan) digunakan beberapa bentuk metafora seperti data berikut.
(3) Ini pertama kali dalam enam tahun sebuah klub Brazil meraih sukses kejuaraan, sejak Palmeiras yang di final 2008 melibas Deportivo Cali lewat adu penalti. (Singgalang, 16 Juni 2009).
(4) Motifasi PSP untuk membunuh PSMS di hadapan pendukungnya telah memotifasi pemain untuk bermain habis-habisan. (Singgalang, 22 Juni 2009)
(5) Sungguh luar biasa Brazil ! Tim Selecao ini berhasil menjadi juara piala konfederasi 2008 dengan merontokkan Argentina dengan kemenangan 4-1 di final, Kamis 30 Juli dinihari di Stadion Wald Frankfurt. (Singgalang, 21 Juni 2009).
Berdasarkan telaah interteks tersebut, didapatkan bahwa terdapat tiga metafora lain yang dipakai oleh para penulis berita sepakbola untuk menyatakan bahwa sebuah tim sepakbola telah berhasil mengalahkan tim lawan, yaitu melibas, membunuh, dan merontokkan. Proses representasi ini untuk sementara ditempatkan pada kotak makna tertunda dua seperti berikut ini.
Kotak Makna Representasi (Kotak Makna Tertunda II)
/menundukkan-menaklukkan/=mengalahkan
I. verba kata turunan afiksasi (prefiks -meng+ sufiks -kan)
II. melibas membunuh merontokkan
3.2.3 Tahap Signifikasi
Secara leksikal, metafora menundukkan bermakna ‘menjadi tunduk; menaklukkan’, sedangkan metafora menaklukkan dapat dimaknai sebagai suatu tindakan untuk menundukkan sebuah objek (KBBI, 2008:1381,1502). Berdasarkan arti leksikal tersebut, kata menundukkan dapat diinterpretasikan secara metafora menjadi mengalahkan. Penggunaan kata menundukkan dan menaklukkan dalam konteks pemberitaan olahraga yang terdapat dalam data (1) dan (2), maknanya mengacu pada ‘kekuatan’ sebuah grup sepakbola dan pada umumnya menggunakan kosakata yang bersifat sedikit ekstrim dan menunjukkan keberanian. Proses pemaknaan pada tahapan signifikasi juga ditunda dulu dan dialokasikan pada kotak makna tertunda tiga seperti berikut ini. Hal ini dilakukan karena diperlukan tahapan selanjutnya, yaitu tahapan eksplorasi untuk melengkapi proses pemaknaan berikutnya.
Kotak Makna Signifikasi (Kotak Makna Tertunda III)
/menundukkan-menaklukkan/ = /mengalahkan /
I. verba kata turunan afiksasi (prefiks -meng+ sufiks -kan)
II. melibas membunuh merontokkan
III. melambangkan “kekuatan” kosakata ekstrim menunjukkan keberanian
3.2.4 Tahap Eksplorasi
Proses pemaknaan selanjutnya adalah tahapan eksplorasi. Pada tahap ini, tanda atau simbol lingual dianalisis sampai tahapan makna terdalam (depth meaning) seperti harapan Baudrillard. Pendekatan hipersemiotika (hipersign) dan hiperteks (hypertext) juga diberdayakan pada tahap ini. Berdasarkan konsep analisis dalam tahapan ekplorasi tersebut, dapat diinterpretasikan lebih lanjut bahwa simbol wacana yang digunakan oleh para penulis berita/wartawan untuk melambangkan kemenangan sebuah tim sepakbola atau melambangkan sebuah tim dapat mengalahkan tim lawan dalam pemberitaan di dunia persebakbolaan haruslah menggunakan kata-kata yang memiliki sifat dan ciri tertentu/ spesifikasi tertentu. Spesifikasi itu juga harus merujuk pada unsur-unsur yang melambangkan daya juang dan sportifitas yang tinggi.
Proses pemaknaan pada tahapan ekplorasi juga ditunda dulu karena akan dilanjutkan pada tahap trasfigurasi. Pemaknaan pada tahap eksplorasi dialokasikan pada kotak makna tertunda empat seperti berikut ini.
Kotak Makna Eksplorasi (Kotak Makna Tertunda IV)
/menundukkan-menaklukkan/ = /mengalahkan/
I. verba kata turunan afiksasi (prefiks -meng+ sufiks -kan)
I. melibas membunuh merontokkan
III. melambangkan kekuatan kosakata ekstrim menunjukkan keberanian
IV. kata yang memililiki melambangkan melambangkan
spesifikasi tertentu daya juang sportifitas yang tinggi
3.2.5 Tahap Transfigurasi
Tahap transfigurasi mengalokasikan dua strategi untuk “melepaskan” makna-makna yang selama ini tertunda, yakni (1) melalui strategi “rekonstruksi makna” dan (2) melalui strategi “dekonstruksi makna”(pengayangan makna). Berikut contoh dan eksplanasinya.
3.2.5.1. Strategi “Rekonstruksi Makna”
Melalui strategi rekonstruksi makna ini diharapkan agar semua kotak makna tertunda satu, dua, tiga, dan empat dimasukkan ke dalam kotak rekonstruksi makna seperti berikut ini.
Kotak Rekonstruksi Makna
/menundukkan-menaklukkan/ = /mengalahkan/
I. verba kata turunan afiksasi (prefiks -meng+ sufiks -kan)
II. melibas membunuh merontokkan
III. melambangkan kekuatan kosakata ekstrim menunjukkan keberanian
IV. kata yang memililiki melambangkan melambangkan
spesifikasi tertentu daya juang sportifitas yang tinggi
V. makna hiperealis tesis baru tanda baru
Tanda Rantai Abadi
3.2.5.2 Strategi Penganyangan Makna (“Dekonstruksi Makna”)
Proses pemaknaan yang dilakukan dengan melakukan “penganyangan makna” pada kotak yang disebut Derrida dengan melting pot (“kotak penganyangan makna”). Tanda/simbol/kata yang sudah dianalisis akan melahirkan makna-makna (tesis-tesis) berbeda. Tesis-tesis tersebut “dianyang” pada “kotak pengayangan makna’, sehingga melahirkan proses dialektika kompleks. Makna yang dihasilkan pada ‘kotak penganyangan makna” dapat dilakukan secara lebih acak, misalnya dengan cara melakukan pengadukan makna hasil analisis teori-teori (1) linguistik dengan fungsi, (2) linguistik dengan semiotik, (3) linguistik dengan hipersemiotik, dan seterusnya. “Pengayangan makna” menghasilkan Sintesis Y (sekaligus sebagai Tesis Y karena membuka peluang untuk diantitesis). Paradigma dekonstruksi menghasilkan Transfigurasi Y seperti diagram berikut.
Gambar Strategi Penganyangan Makna (Dekonstruksi)
Elaborasi
Tesis 1/Linguistik/Makna 1
Sintesis 1/2 Sintesis 1/3 Sintesis 1/2/3
Representasi/ Signifikasi/
Tesis 2/ Tesis 3/
Intrateks/ Interteks/
Makna 2 Sintesis 1/2/3/4 Sintesis 1/3/4 Makna 3
Sintesis
1/2/4
Sintesis Sintesis 1/2/3/4/5 Sintesis 3/4
2/4
Sintesis 1/2/5 Sintesis 1/3/5 S 3/5
Eksplorasi/ S 2/5 Eksplorasi/
Tesis 4/ Tesis 4/
Hiperteks/ Sintesis 1/5 Hiperteks/
Makna 4 Makna 4
Sintesis 4/5
Transfigurasi/ Hermeneutis/Melting Pot/Hiperrealis/
Otoritas Interpretan/Pemberian Label/Makna Baru/
Sintesis Baru/Tesis Baru/Tanda Baru/
Catatan : S=Sintesis, 1=Elaborasi, 2=Ekspresi, 3=Signifikasi, 4=Eksplorasi, 5=transfigurasi
IV. Simpulan
Berdasarkan deskripsi data dan hasil analisis yang sudah dilakukan, dapat disimpulan bahwa bentuk menundukkan dan menaklukkan adalah gaya metafora yang dipakai oleh wartawan dalam pemberitaan olahraga yang betajuk sepakbola di Harian Singgalang untuk menyatakan bahwa sebuah tim sepak bola telah berhasil mengalahkan tim lawan.
Secara linguistik, bentuk menundukkan dan menaklukkan berdasarkan kategori katanya dapat digolongkan sebagai verba (kata kerja) dan berdasarkan bentuk katanya dapat digolongkan sebagai kata turunan. Metafora menundukkan dan menaklukkan merupakan kata turunan yang terbentuk dari proses afiksasi karena kedua metafora ini berasal dari bentuk dasar tunduk dan takluk yang mendapat imbuhan berupa prefiks –meng dan sufiks –kan.
Berdasarkan telaah interteks, didapatkan bahwa terdapat tiga metafora lain yang digunakan oleh penulis berita sepakbola untuk menyatakan bahwa sebuah tim sepak bola telah berhasil mengalahkan tim lawan, yaitu melibas, membunuh, dan merontokkan.
Penggunaan kata menundukkan dan menaklukkan berdasarkan konteks metafora dalam pemberitaan olahraga yang terdapat dalam data (1) dan (2), maknanya mengacu pada ‘kekuatan’ sebuah grup sepakbola dan penggunaan kosakata tersebut bersifat sedikit ekstrim dan menunjukkan keberanian.
Melalui tahapan eksplorasi dapat diinterpretasikan lebih lanjut bahwa simbol wacana metafora yang digunakan oleh para penulis berita/wartawan untuk melambangkan kemenangan sebuah tim sepakbola atau melambangkan sebuah tim dapat mengalahkan tim lawan dalam pemberitaan di dunia persebakbolaan haruslah menggunakan kata-kata yang memiliki sifat dan ciri tertentu/ spesifikasi tertentu. Spesifikasi itu juga harus merujuk pada unsur-unsur yang melambangkan daya juang dan sportifitas yang tinggi.
V. Daftar Pustaka
Alwi dkk., 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Djayasudarma, T Fatimah.. 1999. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama.
Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. First published, Cambridge: Cambridge University Press.
Edmonson, W. 1981. Spoken Discourse: A Model for Analisys. London: Longman.
Foley, W. A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Blackwell.
Keraf, Gorys. 2000. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarata: Gramedia.
Kramsch, C. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta Gramedia.
Pateda, M.. 2001. Semantik Leksikal: Jakarta: Rineka Cipta.
Ricoeur, P. 2002. Filsafat Wacana: Membelah Makna dalam Otonomi Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.
Sawirman. 2008a. Jurnal Linguistika Kultura, Vol.1 Nomor 3 Maret 2008 dalam Artikel Editorial berjudul “Eksemplar 135” sebagai embrio “Mazhab Linguistik” Universitas Andalas. Padang: Andalas University Press.
Schiffrin, D. 1994. Approaches to Discourse. Cambridge: Blackwell Publishers.
Tarigan, H.G. 1985. Pengantar Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat. Jakarta: Gramedia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar