”Joko Tjandra Buron ”Kejarlah daku, Kalau bisa””
Oleh Daisy Forita
I. Pendahuluan
Seperti kita ketahui setiap berita yang ditampilkan pada sebuah surat kabar atau majalah, berita yang harus ditampilkan haruslah disampaikan dalam bentuk kalimat–kalimat yang komunikatif dan efisien. Yang dimaksudkan dengan komunikatif adalah kalimat berita tersebut haruslah dapat dengan mudah dibaca oleh pembaca, kemudian jelas isi dan maksud yang ingin disampaikan oleh penulis. Sedangkan efisiensi adalah tidak berlebihan dalam menggunakan kata–kata namun diusahakan juga tidak menghilangkan kejelasan dari berita tersebut. Berdasarkan bentuknya headline dikelompokkan ke dalam 6 kategori yaitu berita, pertanyaan, narasi, perintah, cara 1–2–3, dan bagaimana–apa – mengapa. Sesuai dengan namanya headline berita menyatakan suatu berita (“Krisis Multifungsi Segera Selesai…”); headline pertanyaan biasanya mengajukan pertanyaan problematik (“Saban Bulan Mengganggu Sampeyan?”); headline narasi menceritakan sesuatu peristiwa yang mengesankan (“Permen Yang Terlalu Enak Buat Anak Kecil …”); headline perintah biasanya mensugesti audiens untuk melakukan sesuatu tindakan (“Jangan Membeli Sebelum Anda Mencoba Ketiganya …”); headline cara 1–2–3 berisi kiat untuk mengatasi persoalan (“12 Cara Untuk Mengurangi Pajak Penghasilan Anda”)’ headline bagaimana– apa–mengapa mengungkapkan rangkaian kejadian sebab-akibat (“Mengapa Mereka Tidak dapat Berhenti Membeli”). Merancang sebuah headline bukan pekerjaan yang sekedar mengandalkan akal sehat, pikiran kritis, kreativitas, atau intuisi. Secara teknis headline dituntut untuk mudah dimengerti pada saat dibaca sekilas, serta dapat berkomunikasi secara cepat dengan ide yang tepat pula (moeljadi, 2001).
Pada dasarnya, headline yang bagus akan menarik perhatian audience yang memiliki prospek; headline tidak akan menarik perhatian mereka yang tidak berkepentingan dengan produk. Sebuah headline yang bagus akan memilih target audience -nya dengan membicarakan kesenangan mereka. Headline berfungsi untuk menghentikan audience. Salah satu cara untuk menghentikannya adalah dengan melalui pesan yang menantang. Teknik ini akan semakin memiliki pengaruh jika mengundang audience untuk berpartisipasi dalam mengembangkan pesan, atau dipaksa untuk membaca dan menemukan jawabannya. Untuk itu, pesan yang agak tidak sesuai dengan yang diyakini audiens merupakan penarik perhatian yang paling berharga.
Pemilihan majalah Tempo sebagai sumber data adalah karena majalah ini merupakan suatu majalah yang memiliki pengaruh yang sangat besar di masyarakat Indonesia, dengan oplah penjualan yang besar, dan selain itu juga merupakan lambang perjuangan media dari kungkungan penguasa orde baru dulunya.
II. Permasalahan
Analisis headline majalah Tempo edisi 22-28 Juni 2009 yang berjudul “kejarlah daku, kalau bisa” yang merupakan kritikan, ungkapan ketidakpercayaan kepada hukum yang berlaku di Indonesia, keyakinan bahwa Joko Tjandra tidak akan pernah tertangkap, dan semua upaya hukum yang ada akan sia-sia belaka.
III. Kerangka Teori e-135
E-135 merupakan singkatan dari Eksemplar 135. Huruf e pada e-135 menyimbolkan eksemplar. Sedangkan penjelasan tentang angka 1 pada e-135 adalah menyimbolkan landasan ontologis/filosofis (hermeneutika).e-135 menjadikan Hermeneutika sebagai landasan ontologis, memposisikan pengonsumsi teks sebagai titik sentral. Indikasinya, seorang interpreter teks memiliki hak prerogatif mutlak menginterpretasi teks yang dianalisis. Seorang interpreter dibolehkan menelaah sebuah teks sekalipun berbeda sama sekali dengan maksud si pengarang.
Angka 3 dalam e-135 menyimbolkan revisi pendekatan wacana terkini (kritis, dekonstruksionis, cultural studies). Semua paradigma ini digabungkan dengan prinsip bahwa segala paradigma keilmuan adalah pencari-pencari kebenaran. Semua paradgma ini dapat dihubungkan berdasarkan keterkaitan konsep, ide dasar, asumsi dasar, dan konstruksi berpikirnya dalam memandang realitas, manusia, masyarakat, opsi moral, ideologi, kultur, nilai, komitmen akademis, logis, dan etis.
Angka 5 dalam e-135 menyimbolkan tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi) sekaligus landasan objek material dan formal yang masing-masingnya diberi penjelasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Gambar Tahapan Analisis e-135
5 Tahapan Analisis
5 Objek Material/ 5 Objek Formal
Ontologis (Filosofi, Fokus, Abstraksi)
Epistemologis (Pendekatan, Epistem, Data)
Aksiologis (Logika, Sistem, Teori)
I
Elaborasi
Bahasa sebagai cermin
Otoritas teks (produk)
Abstraksi bentuk
Pendekatan formalis Epistemologi objektif Teks
Logika reflektif Sistem langue Wacana Formalis
II
Representasi
Bahasa sebagai representasi Otoritas pemproduksi teks Abstraksi fungsi
Pendekatan fungsional Epistemologi subjektif Intrateks
Logika representasi Sistem parole Fungsi wacana
III
Signifikasi
Bahasa sebagai permainan Otoritas pengonsumsi teks Abstraksi makna
Pendekatan kritis Epistemologi pragmatis Interteks
Logika semantis Sistem tanda Semiotik
IV
Eksplorasi
Bahasa ajang dialektis Otoritas intersubjektif Abstraksi dialektis
Pendekatan posmodernis Epistemologi metaetis Hiperteks
Logika dialektis Sistem dialektis Hipersemiotik
V
Transfigurasi
Bahasa sebagai kesenangan Otoritas interpretan Abstraksi hiperrealis
Pendekatan cultural studies Epistemologi hermeneutis “Cultural studies”
Logika filosofis Sistem nilai Pemetaan Bahasa
IV. Analisis Headline Majalah Tempo Menggunakan Metode e-135
IV.1 Tahap Elaborasi
Headline majalah tempo yang berupa teks “kejarlah daku, kalau bisa” terlebih dahulu dibedah dengan menggunakan pisau linguistik mikro sebagai refleksi pendekatan formalis. Dalam pembagian headline, kalimat headline majalah Tempo “kejarlah daku, kalau bisa” ini dapat dikategorikan ke dalam headline perintah, yaitu, mensugesti audiens untuk melakukan sesuatu tindakan. Kemudian dalam analisis selanjutnya, kalimat “kejarlah daku, kalau bisa” merupakan sebuah kalimat yang terdiri dari 12 fonem, diftong, dan 4 kata dasar. Sedangkan kata sia-sia terdiri atas 3 fonem dan 1 kata dasar. Keterkaitan antara antara kedua simbol lingual ini dalam makna secara linguistis dapat diungkap secara fonologis yaitu adanya keterkaitan antara fonem, karena semua fonem /sia-sia/ terdapat dalam fonem /kejarlah daku, kalau bisa/
Proses elaborasi ini untuk sementara ditempatkan pada kotak makna tertunda satu seperti berikut ini.
Kotak Makna Elaborasi (Kotak Makna Tertunda I)
/kejarlah daku, kalau bisa/ = /sia-sia/
I. fonem kalimat perintah tindakan
IV.2 Tahap Representasi
Kalimat “kejarlah daku, kalau bisa” yang merupakan kode dari “sia-sia” ini, ternyata juga memiliki kode lain sesuai dengan teks yang pernah diterbitkan juga oleh majalah Tempo, yaitu kasus yang paling spektakuler adalah kaburnya Eddy Tansil yang sampai kini pun masih buron. Kejadian kaburnya Joko Tjandra ini kemudian disamakan dengan kejadian Eddy Tansil sehingga menimbulkan keyakinan bahwa tidak pernah tertangkapnya Eddy Tansil juga akan berlaku kepada Joko Tjandra.
Selain itu, media merupakan suatu pengawas dalam kehidupan bernegara, sejarah majalah tempo yang selalu menjadi corong kebebasan pers dan sebagai penyuara hati rakyat tidak pernah gentar memberitakan masalah-masalah yang sensitif dan mengupasnya dengan sangat tajam, sehingga dahlulunya majalah tempo sering dibredel oleh penguasa lama, bahkan pernah diserang oleh oknum tidak dikenal.
Proses representasi ini untuk sementara ditempatkan pada kotak makna tertunda dua seperti berikut ini.
Kotak Makna Representasi (Kotak Makna Tertunda II)
/kejarlah daku, kalau bisa/ = /sia-sia/ = /kasus Eddy Tansil/
I. fonem kalimat perintah tindakan
II. kasus Eddy Tansil opini mengkritik
IV.3 Tahap Signifikasi
Pada tahap signifikasi ini, proses pemaknaan dalam kerangka ideologi teks yang akan dianalisis.Terdapat teks-teks lain yang menunjang rasa ketidakpercayaan dan pesimisme terhadap hukum di Indonesia, yaitu adanya kolom opini yang merupakan pemikiran dari pihak penulis, yang dalam hal ini adalah majalah Tempo sendiri, namun menjadi suatu corong aspirasi perasaan rakyat Indonesia pada umumnya.
Proses pemaknaan pada tahapan signifikasi juga ditunda dulu dan dialokasikan pada kotak makna tertunda tiga seperti berikut ini. Hal ini dilakukan karena diperlukan tahapan selanjutnya, yaitu tahapan eksplorasi untuk melengkapi proses pemaknaan berikutnya.
Kotak Makna Signifikasi (Kotak Makna Tertunda III)
/kejarlah daku, kalau bisa/ = /suap, hukum dibeli/ = /kasus Eddy Tansil/ = /mengkritik/
I. fonem kalimat perintah tindakan
II. kata “Eddy Tansil” opini mengkritik
III. kata “pesimisme” teks-teks lain aspirasi rakyat
IV.4 Tahap Eksplorasi
Proses pemaknaan selanjutnya adalah tahapan eksplorasi. Pada tahap ini, tanda atau simbol lingual dianalisis sampai tahapan makna terdalam (depth meaning) seperti harapan Baudrillard. Pendekatan hipersemiotika (hipersign) dan hiperteks (hypertxt) juga diberdayakan pada tahap ini.
Apabila dikaitkan tentang masa kampanye presiden dan calon wakil presiden dengan turunnya berita ini dan menggunakan kalimat tersebut sebagai headline, bisa jadi hal ini merupakan cara untuk memojokkan salah satu calon presiden. Kalimat “kejarlah daku, kalau bisa” yang juga berarti /sia-sia/ menyiratkan bahwa kata tersebut merupakan janji-janji kosong kampanye calon presiden yang sedang berlangsung sekarang, yang menyatakan bahwa hukum di Indonesia pada pemerintahannya sudah baik namun pada kenyataannya hukum yang ada masih amburadul dan tetap tidak dapat dipercaya, sehingga para pemilih seperti “diingatkan” oleh media yang ada untuk menimbang benar-benar pilihan mereka agar tidak memberi kesempatan agar keadaan ini terus dilanjutkan.Proses pemaknaan pada tahapan ekplorasi juga ditunda dulu karena akan dilanjutkan pada tahap trasfigurasi. Pemaknaan pada tahap eksplorasi dialokasikan pada kotak makna tertunda empat seperti berikut ini.
Kotak Makna Eksplorasi (Kotak Makna Tertunda IV)
/kejarlah daku, kalau bisa/ = /suap, hukum dibeli/ = /kasus Eddy Tansil/ = /mengkritik/ = / aspirasi rakyat/
I. fonem kalimat perintah tindakan
II. kata “Eddy Tansil” opini mengkritik
III. kata “pesimisme” teks-teks lain aspirasi rakyat
IV. janji kosong wacana pemilu menyudutkan salah satu capres
IV.5 Tahap Transfigurasi
Tahap transfigurasi mengalokasikan dua strategi untuk “melepaskan” makna-makna yang selama ini tertunda, yakni (1) melalui strategi “rekonstruksi makna” dan (2) melalui strategi “dekonstruksi makna”(pengayangan makna). Berikut contoh dan eksplanasinya.
IV.5.1. Strategi “Rekonstruksi Makna”
Melalui strategi rekonstruksi makna ini iharapkan agar semua kotak makna tertunda satu, dua, tiga, dan empat dimasukkan ke dalam kotak rekonstruksi makna seperti berikut ini.
Kotak rekonstruksi makna
/kejarlah daku, kalau bisa/ = /suap, hukum dibeli/ = /kasus Eddy Tansil/ = /mengkritik/ = / aspirasi rakyat/
I. fonem kalimat perintah tindakan
II. kata “Eddy Tansil” opini mengkritik
III. kata “pesimisme” teks-teks lain aspirasi rakyat
IV. vokal dasar wacana pemilu menyudutkan salah satu capres
V. makna hiperealis tesis baru tanda baru
Tanda Rantai Abadi
IV.5.2 Strategi Penganyangan Makna (“Dekonstruksi Makna”)
Proses pemaknaan yang dilakukan dengan melakukan “penganyangan makna” pada kotak yang disebut Derrida dengan melting pot (“kotak penganyangan makna”). Tanda/simbol/kata yang sudah dianalisis akan melahirkan makna-makna (tesis-tesis) berbeda. Tesis-tesis tersebut “dianyang” pada “kotak pengayangan makna’, sehingga melahirkan proses dialektika kompleks. Makna yang dihasilkan pada ‘kotak penganyangan makna” dapat dilakukan secara lebih acak, misalnya dengan cara melakukan pengadukan makna hasil analisis teori-teori (1) linguistik dengan fungsi, (2) linguistik dengan semiotik, (3) linguistik dengan hipersemiotik, dan seterusnya. “Pengayangan makna” menghasilkan Sintesis Y (sekaligus sebagai Tesis Y karena membuka peluang untuk diantitesis). Paradigma dekonstruksi menghasilkan Transfigurasi Y seperti diagram berikut.
Gambar Strategi Penganyangan Makna (Dekonstruksi)
Elaborasi
Tesis 1/Linguistik/Makna 1
Sintesis 1/2 Sintesis 1/3 Sintesis 1/2/3
Representasi/ Signifikasi/
Tesis 2/ Tesis 3/
Intrateks/ Interteks/
Makna 2 Sintesis 1/2/3/4 Sintesis 1/3/4 Makna 3
Sintesis
1/2/4
Sintesis Sintesis 1/2/3/4/5 Sintesis 3/4
2/4
Sintesis 1/2/5 Sintesis 1/3/5 S 3/5
Eksplorasi/ S 2/5 Eksplorasi/
Tesis 4/ Tesis 4/
Hiperteks/ Sintesis 1/5 Hiperteks/
Makna 4 Makna 4
Sintesis 4/5
Transfigurasi/ Hermeneutis/Melting Pot/Hiperrealis/
Otoritas Interpretan/Pemberian Label/Makna Baru/
Sintesis Baru/Tesis Baru/Tanda Baru/
Catatan : S=Sintesis, 1=Elaborasi, 2=Ekspresi, 3=Signifikasi, 4=Eksplorasi, 5=transfigurasi
V. Simpulan
Dalam suatu pemberitaan di media, khususnya media cetak, berita yang ada ditampilkan dengan komunikatif, maksudnya adalah kalimat berita tersebut haruslah dapat dengan mudah dibaca oleh pembaca, kemudian jelas isi dan maksud yang ingin disampaikan oleh penulis. Sedangkan efisiensi adalah tidak berlebihan dalam menggunakan kata–kata namun diusahakan juga tidak menghilangkan kejelasan dari berita tersebut. Yang menjadi daya tarik dalam suatu kemasan berita media cetak adalah penggunaan headline. Dengan menggunakan e-135, headline majalah tempo dapat dibedah sehingga menghasilkan beberapa makna-makna yaitu : pada tahap elaborasi dapat diinterpretasikan bahwa kalimat headline itu bermakna suatu tindakan sia-sia, sedangkan pada tahap representasi, headline itu dapat diinterpretasikan bahwa majalah tempo menganggap bahwa usaha hukum terhadap Joko Tjandra akan sia-sia sama halnya terhadapa Eddy Tansil, kemudian pada tahap signifikasi dapat diinterpretasikan bahwa majalah Tempo menyuarakan pemikiran rakyat yang sudah putus asa dan pesimis dengan keadilan hukum di Indonesia, sedangkan pada tahap eksplorasi dapat diinterpretasikan bahwa headline tersebut bermaksud untuk mengkritik salah satu calon presiden, apabila dikaitkan dengan peristiwa besar yang sedang berlangsung sebentar lagi yaitu Pemilu Presiden.
VI. Sumber Data
Majalah Tempo edisi 22-28 Juni 2009, Cover Muka
VII. Referensi
Pranata Moeljadi. 2001. Headline: Fungsi dan Perancangannya. pdf
Sawirman, 2009. Draf Teori Wacana Semiotika e-135
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar