Oleh
Sawirman
Editor Ahli/Pimpinan Redaksi
PENGANTAR REDAKSI
1. Pendahuluan
Rasanya perlu diberitahukan kepada pembaca bahwa berdasarkan hasil rapat tim pengelola, dengan alasan agar lebih menonjolkan nuansa akademis, beberapa perubahan nama dilakukan terhitung sejak penerbitan jurnal Volume 1 Nomor 3 Maret 2008 ini. Nama Ketua Dewan Editor diganti menjadi Editor Ahli dan nama Dewan Penasehat diganti menjadi Mitra Bestari. Selain mencantumkan kisi-kisi artikel Pengantar Redaksi, terhitung mulai edisi ini pula, terma artikel editorial sebagai ruang untuk menampung artikel yang berisikan “modal ilmiah” atau “artikel untuk ilmu” dihadirkan pula.
1.1 Kisi-kisi Pengantar Redaksi
Ruang pengantar redaksi lebih dari sekadar memberikan pengantar pada sejumlah artikel yang dimuat. Kehadiran pengantar redaksi memiliki beberapa tujuan berikut.
Pertama, pengantar redaksi dimaksudkan untuk mengupas secara kritis dengan penyertaan alasan akademis yang memadai seputar penerbitan artikel. Pembaca tentu memaklumi bahwa kehadiran sebuah jurnal bukan hanya sekadar kumpulan (kompilasi) sejumlah artikel yang tanpa arah. Academic explanations seputar penerbitan artikel sesuai dengan ciri khas jurnal yang dicantumkan perlu diutarakan. Hal itu dimaksudkan agar pembaca mengetahui mengapa sejumlah artikel perlu dimuat dalam sebuah jurnal sesuai dengan visi dan ciri khasnya.
Kedua, terma ini diperlukan untuk memperjelas, mempertegas, atau memberikan tambahan informasi seputar poin-poin penting, kata-kata kunci, atau proposisi-proposi kunci artikel-artikel yang dimuat setiap edisi dengan harapan agar pesan-pesan penulis dapat lebih dimengerti oleh pembaca. Pembaca tentu menyadari bahwa hak tim editor dalam dunia ilmiah hanya sebatas “mempercantik” face validity (perwajahan) terhadap sebuah artikel/karya ilmiah. Secara etis, tim editor tidak diperkenankan memasuki (menambah atau mengurangi) ranah content validity dan construct validity. Adalah menjadi salah satu alasan mengapa space pengantar redaksi disediakan bagi tim editor, dewan penasehat, mitra bestari, atau tim pengelola jurnal ini untuk mengembangkan topik-topik artikel menyangkut soal validitas isi, metodologi, dan filosofi. Masukan dan pengembangan tersebut diharapkan tidak hanya akan bermanfaat bagi pembaca, tetapi juga bagi sang penulis artikel di masa depan. Selain pengantar redaksi, ruang artikel korespondensi memiliki spirit dialektis sejenis yang disediakan bagi semua pihak untuk melakukan resensi terhadap semua artikel yang sudah diterbitkan dalam jurnal ini sejak volume 1 nomor 1 sampai edisi terakhir (informasi lebih detail dapat dibaca acuan penulisan pada halaman belakang jurnal ini).
Ketiga, ruang ini diperuntukan untuk memuat sebuah artikel ilmiah yang dihadirkan berdasarkan bedahan kritis ciri khas penerbitan[1], bedahan kritis artikel unggulan, atau ramuan kritis dari beberapa artikel (unggulan) setiap edisi/penerbitan. Dengan kata lain, artikel-artikel yang dianggap unggulan tidak hanya akan dibedah secara lebih khusus dalam pengantar redaksi, tetapi juga dikritisi secara lebih memadai sembari memaparkan kelebihan, kelemahan, peluang, atau mengemukakan usulan prospektif dan solutif terkait dengan artikel-artikel (unggulan) dimaksud.
Keempat, space pengantar redaksi juga dimaksudkan untuk “menjaga gawang” agar semua artikel setiap edisi memenuhi standar akademis “kelayakan muat” yang ditetapkan. Makna tersirat diperlukannya pemberian alasan akademis semua artikel yang dimuat dalam setiap edisi adalah dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut. Adalah mustahil bagi siapa pun mampu mengemukakan alasan akademis tanpa memahami artikel dimaksud terlebih dahulu.
Dengan demikian, terma pengantar redaksi berisikan kisi-kisi, yakni:
(1) komentar umum terkait penerbitan jurnal (subbagian Pendahuluan);
(2) alasan akademis penerbitan semua artikel sesuai ciri cultural studies (diutarakan pada subbagian Alasan Ilmiah Penerbitan Artikel);
(3) ulasan, masukan, komentar, atau kritik yang mendasar pada artikel-artikel unggulan atau ciri khas jurnal setiap edisi; dan
(4) usulan preventif dan/atau solutif untuk mengantisipasi suatu gejala keilmuan yang dikontribusikan pada ilmu linguistik-sastra.
1.2 Kisi-kisi artikel editorial
Selain pengantar redaksi, jurnal ini juga menyediakan space untuk artikel editorial. Artikel ini menampung produk-produk penelitian fundamental[2]. Artikel editorial adalah salah satu tipe artikel yang berisi “modal ilmiah” dengan kisi-kisi:
(1) artikel untuk ilmu, ”science is for science”, “linguistics is for linguistics”, atau “art is for art” bervisi cultural studies (perjuangan etis, kemanusiaan, dan lintas keilmuan);
(2) produk kreativitas, originalitas, dan validitas/reliabilitas tinggi sebuah penelitian yang mendukung pengembangan linguistik-sastra;
(3) penciptaan paradigma[3], metode, model, postulat, atau kaidah baru;
(4) ide-ide kreatif-inovatif, preskriptif, dan prospektif membaca atau mengantisipasi suatu gejala keilmuan dalam linguistik-sastra; dan
(5) “modal ilmiah” yang diwujudkan dalam penciptaan eksemplar[4] atau teori[5] yang akan melandasi penelitian linguistik-sastra terapan di masa mendatang dalam kaitannya dengan pluralitas, ilmu sosial, kemanusiaan, humaniora, tata nilai, budaya, ideologi, psikologi, dan seni.
Dengan demikian, jurnal ini memiliki enam ciri artikel: (a) pengantar redaksi, (2) editorial, (c) penelitian, (d) kepustakaan, (e) korespondensi, dan (f) resensi. Kisi-kisi keempat artikel lainnya dapat dilihat pada halaman Acuan Penulisan. Sampai edisi ini, sejumlah artikel yang masuk ke tim redaksi umumnya bercorak artikel penelitian dan kepustakaan. Adalah beralasan mengapa ruang artikel editorial dan resensi masih diisi oleh tim editor.
2. Alasan Akademis Penerbitan Artikel
Dalam kaitan dengan jurnal ini, pembaca perlu diberitahu aneka alasan akademis mengapa artikel-artikel yang dimuat termasuk berdimensi cultural studies yang dimaksudkan dalam jurnal ini. Seperti yang diutarakan pada Pengantar Redaksi Volume 1 Nomor 1 Juli tahun 2007 dan halaman Acuan Penulisan jurnal ini, terma cultural studies yang dimaksudkan adalah kajian linguistik-sastra yang bercirikan:
(1) memiliki spirit multi-dimensional berbasis linguistik-sastra;
(2) mengkaji ranah-ranah terpinggirkan, termarjinalkan, atau terabaikan;
(3) menampung objek-objek material atau objek-objek formal baru; dan
(4) berpihak pada perjuangan etis, kemanusiaan, dan kaum terpinggirkan.
Artikel-artikel yang tidak memenuhi kriteria (minimal salah satu dari kriteria tersebut) tidak dimuat dalam jurnal ini.
Sejumlah artikel yang dimuat dalam edisi ini mengungkap ranah-ranah cultural studies. Edisi ini dibuka dengan artikel editorial berjudul “Eksemplar 135”: Embrio “Mazhab Linguistik Unand” Berdimensi Cultural Studies. Kajian tipologi bahasa yang ditulis oleh Jufrizal dapat dikatakan artikel perdana yang membahas seputar tipologi sintaksis dalam konteks bahasa Minangkabau. Artikel Anatona seputar perbudakan merupakan refleksi kaum termarjinalkan (secara khusus tiga artikel ini dikaji secara inheren pada subbagian 3.1 pengantar redaksi ini).
Sekalipun teori Morfologi Alamiah sudah beredar di Jerman dan Austria sejak akhir 1970-an (khususnya oleh Willi Mayerthaler, Wolfgang Ullrich Dressler, dan Wolfgang Ullrich Wurzel), di mata Mulyadi seolah-olah masih berada dalam sebuah “pandora box”. Menurut Mulyadi, parameter dan bukti tabir misteri tersebut perlu dijustifikasi sebagai sebuah pisau pengungkap seluk beluk bahasa di dunia untuk mencari sebuah kebenaran yang hakiki. Seperti diungkap Mulyadi, arti penting tulisan ini karena seringnya konsep alamiah dijadikan sebagai instrumen untuk mengungkap komponen-komponen deskripsi linguistik (seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik). Apakah “kotak pandora” Morfologi Alamiah berakhir seperti film Lara Croft yang dibintangi Angelina Jolie? Mulyadi mencoba mengungkapnya pada edisi ini.
Teori Morfologi Alamiah dapat dianggap sebagai objek formal baru dalam konteks ke-Indonesia-an. Sepanjang pengamatan, beberapa tahun terakhir di tanah air, baru akan beredar pendekatan Makna Alamiah Metabahasa (MAM) atau Natural Semantic Metalanguage (NSM). Anna Wierzbicka subbagian sosok yang dianggap mampu mengilmiahkan kajian semantik melalui pendekatan NSM/MAM (lintas budaya/cultural studies) tersebut diungkap oleh Sawirman dalam artikel resensi edisi ini.
Kajian-kajian aksara (Minang) Herwandi dan Pramono juga dianggap ranah-ranah terabaikan. Dalam konteks keilmuan, dua artikel tersebut memiliki arti penting untuk melakukan “titik balik peradaban” akan anggapan selama ini bahwa masyarakat Minang tidak memiliki aksara. Dua artikel tersebut meninggalkan spirit cultural studies agar para ahli dalam semua dimensi keilmuan terus mengungkap tabir misteri keberadaan aksara Minangkabau.
3. Usulan prospektif pada artikel unggulan
Dari sejumlah artikel yang dimuat dalam edisi ini, dua artikel di antaranya (1) tentang tipologi bahasa yang ditulis oleh Jufrizal dan (2) tentang perbudakan yang ditulis oleh Anatona akan diuntai lebih jauh terutama dalam kaitannya dengan konteks kekinian, spirit lintas keilmuan berbasis linguistik, serta posisinya dalam “eksemplar 135” dan cultural studies. Berikut beberapa usulan prospektif dan preskriptif untuk kedua artikel dimaksud.
3.1 Tipologi bahasa dan “eksemplar 135”
Baik tipologi sintaksis yang mengklasifikasikan bahasa atas tipe ergatif, akusatif, dan ergatif-akusatif (Comrie,1983:68; 112), maupun tipologi morfologis yang mengklasifikasikan bahasa atas tipe isolasi, aglutinasi, fusi, dan inkorporasi (Katamba, 1993:56--59) merupakan objek-objek material/formal yang perlu dikembangkan dalam konteks ke-indonesian-an. sekalipun acuan dasar yang digunakan para ahli untuk mengklasifikasikan tipologi sebuah bahasa berbeda satu sama lain, Croft (1993:39) menganggap klasifikasi bahasa secara tipologi merupakan manifestasi pemahaman kesatuan organis struktur bahasa manusia secara universal
Baik tipologi sintaksis maupun tipologi morfologis juga belum banyak ditelaah pada sejumlah bahasa lokal di Nusantara. Dalam konteks bahasa Minangkabau, kajian tipologi sintaksis yang ditulis oleh Jufrizal dapat dikatakan sebagai artikel perdana. Selain Jufrizal, kita patut memberikan penghargaan tinggi pada beberapa linguis tanah air, I Wayan Arka, I Ketut Artawa, Shibatani, dan nama-nama lain yang mengharumkan nama bangsa lewat pengakuan inter(nasional) dalam bidang yang ditekuni Bernard Comrie ini.
A. Sebuah Penantian
Kajian tipologi yang dilakukan Jufrizal murni berada dalam ranah linguistik mikro. Genre linguistik mikro umumnya memang bercirikan artikel untuk ilmu, science is for science, linguistics is for linguistics, atau art is for art. Keteraturan, struktur, kaidah, hukum, bentuk, dan kategori fenomena lingual menjadi titik perhatian utama.
Dalam konteks “eksemplar 135”[6], genre penelitian ini diposisikan ke dalam ranah “formalisme”. Formalisme (formalism) yang disarikan dari Wehmeier, et al[7], Summers et al,[8] dan Carrol (2000:137—152) dalam berbagai dimensi keilmuan bercirikan: (1) lebih mengutamakan kaidah-kaidah (rules) daripada makna-makna (inner meanings) yang disembunyikan; (2) lebih mengutamakan hukum-hukum keteraturan (the correct arrangement) daripada pesan-pesan tersembunyi (latent messages) yang diekspresikan; (3) lebih mengutamakan perwajahan (appearance of things) daripada isi (content) yang diimplisitkan; (4) lebih mengutamakan aspek material daripada aspek mental (feelings) yang disuguhkan; dan (5) lebih mencari jawaban apa (what) daripada jawaban bagaimana (how) dan mengapa (why). Dengan kata lain, para formalis lebih mengutamakan aspek material, keakuratan aneka bentuk (correct forms), dan pemberian aneka label kategori daripada memperhatikan semesta “konsep” (ideologi, kultur, subjektivitas, politis, preferensi) yang tersembunyi di balik keteraturan, struktur, kaidah, hukum, bentuk, dan kategori sesuatu (objek, peristiwa, produk, tanda, dan wacana).
Adalah beralasan mengapa teori-teori dan kajian-kajian linguistik mikro (sintaksis, morfosintaksis, morfofonologi/ morfofonemik, morfologi, dan fonologi) dalam berbagai pendekatan (tradisional, struktural, generatif, dan pasca generatif) diposisikan dalam ranah formalisme. Umumnya pengkaji “matematika linguistik” ini seakan-akan ending setelah dianggap mampu memberikan label-label linguistis pada suatu objek/subjek penelitian. Adalah dapat dimaklumi, sulitnya formula dan banyaknya aspek yang dikaji membuat umumnya para micro linguist terpaksa mengakhiri tugas keilmuannya setelah dianggap berhasil mengaplikasikan teori, merevisi teori, atau setelah dianggap mampu memberikan label-label linguistik baru. Seakan-akan tercipta stereotip:
Saya seorang micro linguist
Tugas saya hanya menjelaskan hukum-hukum keteraturan
Tugas saya sebatas menemukan kaidah-kaidah universal
Tugas saya sekadar memberikan label-label linguistis
Selanjutnya, terserah Anda
Sepanjang referensi yang didapatkan, masih langka ditemukan karya-karya yang menyebut dirinya sosok-sosok micro linguist (bahkan dalam konteks internasional) menindaklanjuti label-label yang dengan susah payah mereka temukan ke level penandaan[9] atau menganggap label-label yang mereka temukan sebagai jejak-jejak (traces) yang memuat seonggok budaya, setumpuk ideologi, dan segudang nilai.
Jufrizal dalam artikel jurnal ini mengindikasikan bahwa bahasa Minangkabau secara tipologi sintaktis bercirikan bahasa akusatif. So what next? Kita tentu menunggu ide-ide brilian Jufrizal mengemukakan clues atau signal agar temuan keilmuan tersebut dapat dimanfaatkan, misalnya oleh para linguis terapan, penerjemah, pengajar bahasa Minang secara khusus atau Austronesia secara umum. Tentu kita menunggu pena Beliau menorehkan signifikansi atau relevansi temuan tersebut untuk perjuangan humanis, pengungkapan sosial-budaya, kemanusiaan, pluralitas, humaniora, tata nilai, ideologi, psikologi masyarakat (Minang), dan lain-lain.
B. “Eksemplar 135”: linguistik mikro sebagai entry-point
Dengan segala keterbatasannya, “Eksemplar 135” yang diperkenalkan pada pengantar redaksi ini membawa spirit dimaksud. “Eksemplar 135” menjadikan linguistik mikro sebagai starting point menuju cultural studies, bukan hanya ending pada pemberian label-label linguistik (tentang struktur, kaidah, hukum, dan kategori). “Kebenaran ilmu” atau objek formal formalisme ini dijadikan sebagai basis untuk menapak setakat demi setakat menuju cultural studies. Di saat para neo-formalism dan posmodernis “membantai” penganut formalis, “eksemplar 135” justru menghargainya sebagai pintu masuk (entry point) salah satu tahap pencari kebenaran dari lima tahap yang diusulkan (disimbolkan angka 5 dalam “Eksemplar 135”).
Linguistik perlu bekerjasama dengan ranah-ranah ilmu lain untuk mencapai tahapan makna terdalam. Kehadiran “Eksemplar 135” ini semula dimaksudkan untuk mengisi “ruang kosong” keterbatasan teori-teori wacana-semiotika yang ada. Himbauan Chomsky agar para linguis mampu memaknai linguistik sampai level ekplanatoris (explanatory adequacy) dan harapan Baudrillard agar wacana dan tanda perlu dimaknai sampai tahapan makna terdalam (depth meaning), tampaknya masih jauh dari harapan. Belum ada ditemukan teori wacana yang akomodatif untuk dapat mewujudkan harapan tersebut. Baik Chomsky maupun Baudrillard sendiri baru hanya menaruh harapan, belum ada model aplikatif yang dapat dibawa ke tataran praktis analisis wacana yang ditawarkan kedua tokoh tersebut untuk mewujudkan tahapan pemaknaan yang dicita-citakannya.
Bila menilik pendekatan formalis, baik pendekatan fungsional/sistemik Halliday(an) maupun conversational analysis (CA) demikian pula halnya. Salah satu kelemahan pendekatan wacana formalis adalah karena terkesan masih ending pada pemberian label-label linguistis (tentang struktur, kaidah, hukum, dan kategori) dalam analisis sebuah teks. Teori-teori formalis di ranah wacana masih berorientasi menjawab seputar pertanyaan apa (what) sehingga seputar pertanyaan how dan why masih terabaikan.
Bila kita menengok pendekatan wacana kritis (Critical Discourse Analysis, CDA), baik dari aliran van Dijk maupun Fairclough, tampaknya masih memarjinalkan keberadaan hukum-hukum linguistik sehingga terkesan kehilangan pijakan dasar linguistik. Pendekatan terkini yang juga belum banyak dijadikan sebagai dimensi pengembangan wacana dan linguistik adalah cultural studies. Karena pendekatan masih relatif baru peredarannya di Indonesia, model aplikasinya secara praktis ke ranah wacana menanti uluran tangan para linguis. Eksemplar-135 mencoba melahirkan konstruksi berpikir untuk merevisi dan merangkum ide-ide dasar sejumlah aliran dimaksud dalam eksemplar tersendiri.
Tidak terkecuali ranah semiotika, sejak dari pendekatan Strukturalisme Saussure (Saussurian), Peirce (Peircean), dan ekspansionis Bakhtin-Kristeva (pengikutnya) sampai pendekatan posmodernis Derrida-Lyotard (pengikutnya), postrukturalis Foucault-Roland Barthes (pengikutnya), belum memiliki model praktis dan eksemplar tersendiri bila dibawa ke ranah wacana/tanda lingual. Perlu diakui bahwa masing-masing aliran tersebut memiliki keunggulan-keunggulan tersendiri sehingga dapat melahirkan kebenaran dengan alasannya masing-masing. “Eksemplar-135” mencoba mempertalikan “kebenaran” aliran-aliran dan antar-ranah yang berbeda ini dalam menganalisis wacana dan semiotika.
Eksemplar yang tahan uji secara akademis untuk mempertalikan ranah wacana dengan ranah semiotika sudah saatnya dicanangkan. Layaknya aliran filsafat analitis dan positivis, ranah wacana dan semiotika memiliki banyak persamaan. Baik studi wacana maupun semiotika sama-sama menekankan pada (re)produksi tanda selain sebagai produk praktik bahasa. Kedua ranah tersebut juga sama-sama menitikberatkan peran makna sebagai titik sentral. Sebuah wacana memuat semesta tanda. Sistem pertandaan (ranah semiotika) dalam arti luas juga dianggap wacana. Adalah beralasan mengapa ranah semiotika dan wacana perlu dipertalikan.
Kedua ranah yang sampai saat ini masih dianggap berbeda oleh para ahli tersebut, secara filosofis menuju sasaran yang “sama”. Adalah tidak mengherankan mengapa dalam karya-karya Paul Ricoeur, Roland Barthes, Foucault, Baudrillard, Lyotard, Derrida, dan lain-lain ditemukan istilah diskursus (discourse), teks (text), semiotika (semiotics), dan tanda (sign) yang dipakai secara bergantian. Baik teori-teori wacana (lingual) dengan sejumlah perangkatnya maupun teori-teori tanda (semiotika) dengan seperangkat instrumennya pada dasarnya sama-sama menghendaki sebuah proses pemaknaan. Dengan demikian, adalah beralasan bila dianggap kedua ranah ini sulit dipisahkan, tanpa ada batasan yang tegas layaknya dua sisi mata uang atau ibarat lautan dengan dasarnya (meminjam istilah Popper, 2002).
Kenyataannya, sampai saat ini masih relatif terbatas (bila tidak boleh dikatakan belum ada) inisiatif dan spirit para ahli wacana atau ahli semiotika untuk mempertemukan kedua ranah ini melalui sebuah teori, pendekatan, paradigma, atau sejenisnya yang dapat diandalkan. Tahapan yang pas untuk membedah praktik pertandaan dalam sebuah wacana lingual (apalagi berdimensi cultural studies seperti harapan During, 2007) sepanjang referensi yang didapatkan belum mengemuka, bahkan dalam kancah internasional sekalipun (Sawirman, 2007a; b). Bila pertemuan antara objek biologi dengan objek linguistik dinaungi dalam biolinguistics atau pertautan antara objek forensik dengan linguistik dapat dikaji dalam forensic linguistics, mengapa belum mengemuka (bahkan dalam kancah internasional), misalnya terminologi, teori, atau pendekatan “wacana-semiotika” atau “semiotika-wacana” untuk menaungi pertautan antara wacana dengan semiotika, atau sebaliknya. “Eksemplar-135” yang dideklarasikan sejak tahun 2005 adalah salah satu karya yang memulai langkah tersebut.
3.2 Budak masa lalu, buruh masa kini
Artikel Anatona seputar perbudakan merupakan refleksi kaum termarjinalkan. Ciri khas nama-nama budak masa lalu tampaknya memiliki keunikan tersendiri bila ditilik dari sisi sapaan (address terms). Sekalipun Anatona belum menjadikan linguistik sebagai pintu masuk, akan tetapi nama-nama diri (names) seputar perbudakan dapat dijadikan sebagai titik pijakan bagi para linguis untuk menelusuri ranah ini secara lebih jauh. Sepanjang referensi yang didapatkan, fokus kajian pada nama-nama diri (names) seputar perbudakan dari sisi linguistis juga merupakan ranah keilmuan yang terlupakan.
Bila ditilik dari sisi genealogis, budak dan praktik perbudakan sebenarnya belum terhapus di muka bumi. Praktik perbudakan di Indonesia dalam konteks kekinian sebenarnya masih terjadi di perusahaan, perkebunan, rumah tangga, dan bahkan di pemerintahan. Pengekangan hak-hak sosial politik para buruh oleh perusahaan, pengabaian hak-hak normatif dan ketidakpastian nasib para buruh oleh pemerintah, kurangnya jaminan hukum pada TKI, kerapnya terjadi pelecehan seksual pada pembantu rumah tangga dan kekerasan pada wanita di rumah tangga (KDRT), serta pengeksploitasian anak yang semakin menjadi-jadi di tanah air adalah beberapa praktik perbudakan yang masih tersisa.
Kerjasama linguistik dengan sejarah dan sejumlah ilmu humaniora lainnya diperkirakan dapat menjamah wacana perbudakan secara lebih akomodatif. Kerjasama antar-keilmuan ini diperkirakan dapat menelusuri sejarah ide dan konsepsi seputar terminologi perbudakan sampai perburuhan. Dulu nama-nama budak disebut secara bervariasi. Saat ini, nama-nama buruh dan praktik perburuhan diberi kembang-kembang bahasa agar dapat diperlakukan, maaf seperti budak masa lalu. Selain buruh (“budak masa kini”), nama kuli, pekerja, karyawan, pegawai, pekerja kontrak, dan PWT mengemuka pula dalam konteks kekinian. Posisi mereka tetap dimarjinalkan. ............
1. Pendahuluan
Rasanya perlu diberitahukan kepada pembaca bahwa berdasarkan hasil rapat tim pengelola, dengan alasan agar lebih menonjolkan nuansa akademis, beberapa perubahan nama dilakukan terhitung sejak penerbitan jurnal Volume 1 Nomor 3 Maret 2008 ini. Nama Ketua Dewan Editor diganti menjadi Editor Ahli dan nama Dewan Penasehat diganti menjadi Mitra Bestari. Selain mencantumkan kisi-kisi artikel Pengantar Redaksi, terhitung mulai edisi ini pula, terma artikel editorial sebagai ruang untuk menampung artikel yang berisikan “modal ilmiah” atau “artikel untuk ilmu” dihadirkan pula.
1.1 Kisi-kisi Pengantar Redaksi
Ruang pengantar redaksi lebih dari sekadar memberikan pengantar pada sejumlah artikel yang dimuat. Kehadiran pengantar redaksi memiliki beberapa tujuan berikut.
Pertama, pengantar redaksi dimaksudkan untuk mengupas secara kritis dengan penyertaan alasan akademis yang memadai seputar penerbitan artikel. Pembaca tentu memaklumi bahwa kehadiran sebuah jurnal bukan hanya sekadar kumpulan (kompilasi) sejumlah artikel yang tanpa arah. Academic explanations seputar penerbitan artikel sesuai dengan ciri khas jurnal yang dicantumkan perlu diutarakan. Hal itu dimaksudkan agar pembaca mengetahui mengapa sejumlah artikel perlu dimuat dalam sebuah jurnal sesuai dengan visi dan ciri khasnya.
Kedua, terma ini diperlukan untuk memperjelas, mempertegas, atau memberikan tambahan informasi seputar poin-poin penting, kata-kata kunci, atau proposisi-proposi kunci artikel-artikel yang dimuat setiap edisi dengan harapan agar pesan-pesan penulis dapat lebih dimengerti oleh pembaca. Pembaca tentu menyadari bahwa hak tim editor dalam dunia ilmiah hanya sebatas “mempercantik” face validity (perwajahan) terhadap sebuah artikel/karya ilmiah. Secara etis, tim editor tidak diperkenankan memasuki (menambah atau mengurangi) ranah content validity dan construct validity. Adalah menjadi salah satu alasan mengapa space pengantar redaksi disediakan bagi tim editor, dewan penasehat, mitra bestari, atau tim pengelola jurnal ini untuk mengembangkan topik-topik artikel menyangkut soal validitas isi, metodologi, dan filosofi. Masukan dan pengembangan tersebut diharapkan tidak hanya akan bermanfaat bagi pembaca, tetapi juga bagi sang penulis artikel di masa depan. Selain pengantar redaksi, ruang artikel korespondensi memiliki spirit dialektis sejenis yang disediakan bagi semua pihak untuk melakukan resensi terhadap semua artikel yang sudah diterbitkan dalam jurnal ini sejak volume 1 nomor 1 sampai edisi terakhir (informasi lebih detail dapat dibaca acuan penulisan pada halaman belakang jurnal ini).
Ketiga, ruang ini diperuntukan untuk memuat sebuah artikel ilmiah yang dihadirkan berdasarkan bedahan kritis ciri khas penerbitan[1], bedahan kritis artikel unggulan, atau ramuan kritis dari beberapa artikel (unggulan) setiap edisi/penerbitan. Dengan kata lain, artikel-artikel yang dianggap unggulan tidak hanya akan dibedah secara lebih khusus dalam pengantar redaksi, tetapi juga dikritisi secara lebih memadai sembari memaparkan kelebihan, kelemahan, peluang, atau mengemukakan usulan prospektif dan solutif terkait dengan artikel-artikel (unggulan) dimaksud.
Keempat, space pengantar redaksi juga dimaksudkan untuk “menjaga gawang” agar semua artikel setiap edisi memenuhi standar akademis “kelayakan muat” yang ditetapkan. Makna tersirat diperlukannya pemberian alasan akademis semua artikel yang dimuat dalam setiap edisi adalah dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut. Adalah mustahil bagi siapa pun mampu mengemukakan alasan akademis tanpa memahami artikel dimaksud terlebih dahulu.
Dengan demikian, terma pengantar redaksi berisikan kisi-kisi, yakni:
(1) komentar umum terkait penerbitan jurnal (subbagian Pendahuluan);
(2) alasan akademis penerbitan semua artikel sesuai ciri cultural studies (diutarakan pada subbagian Alasan Ilmiah Penerbitan Artikel);
(3) ulasan, masukan, komentar, atau kritik yang mendasar pada artikel-artikel unggulan atau ciri khas jurnal setiap edisi; dan
(4) usulan preventif dan/atau solutif untuk mengantisipasi suatu gejala keilmuan yang dikontribusikan pada ilmu linguistik-sastra.
1.2 Kisi-kisi artikel editorial
Selain pengantar redaksi, jurnal ini juga menyediakan space untuk artikel editorial. Artikel ini menampung produk-produk penelitian fundamental[2]. Artikel editorial adalah salah satu tipe artikel yang berisi “modal ilmiah” dengan kisi-kisi:
(1) artikel untuk ilmu, ”science is for science”, “linguistics is for linguistics”, atau “art is for art” bervisi cultural studies (perjuangan etis, kemanusiaan, dan lintas keilmuan);
(2) produk kreativitas, originalitas, dan validitas/reliabilitas tinggi sebuah penelitian yang mendukung pengembangan linguistik-sastra;
(3) penciptaan paradigma[3], metode, model, postulat, atau kaidah baru;
(4) ide-ide kreatif-inovatif, preskriptif, dan prospektif membaca atau mengantisipasi suatu gejala keilmuan dalam linguistik-sastra; dan
(5) “modal ilmiah” yang diwujudkan dalam penciptaan eksemplar[4] atau teori[5] yang akan melandasi penelitian linguistik-sastra terapan di masa mendatang dalam kaitannya dengan pluralitas, ilmu sosial, kemanusiaan, humaniora, tata nilai, budaya, ideologi, psikologi, dan seni.
Dengan demikian, jurnal ini memiliki enam ciri artikel: (a) pengantar redaksi, (2) editorial, (c) penelitian, (d) kepustakaan, (e) korespondensi, dan (f) resensi. Kisi-kisi keempat artikel lainnya dapat dilihat pada halaman Acuan Penulisan. Sampai edisi ini, sejumlah artikel yang masuk ke tim redaksi umumnya bercorak artikel penelitian dan kepustakaan. Adalah beralasan mengapa ruang artikel editorial dan resensi masih diisi oleh tim editor.
2. Alasan Akademis Penerbitan Artikel
Dalam kaitan dengan jurnal ini, pembaca perlu diberitahu aneka alasan akademis mengapa artikel-artikel yang dimuat termasuk berdimensi cultural studies yang dimaksudkan dalam jurnal ini. Seperti yang diutarakan pada Pengantar Redaksi Volume 1 Nomor 1 Juli tahun 2007 dan halaman Acuan Penulisan jurnal ini, terma cultural studies yang dimaksudkan adalah kajian linguistik-sastra yang bercirikan:
(1) memiliki spirit multi-dimensional berbasis linguistik-sastra;
(2) mengkaji ranah-ranah terpinggirkan, termarjinalkan, atau terabaikan;
(3) menampung objek-objek material atau objek-objek formal baru; dan
(4) berpihak pada perjuangan etis, kemanusiaan, dan kaum terpinggirkan.
Artikel-artikel yang tidak memenuhi kriteria (minimal salah satu dari kriteria tersebut) tidak dimuat dalam jurnal ini.
Sejumlah artikel yang dimuat dalam edisi ini mengungkap ranah-ranah cultural studies. Edisi ini dibuka dengan artikel editorial berjudul “Eksemplar 135”: Embrio “Mazhab Linguistik Unand” Berdimensi Cultural Studies. Kajian tipologi bahasa yang ditulis oleh Jufrizal dapat dikatakan artikel perdana yang membahas seputar tipologi sintaksis dalam konteks bahasa Minangkabau. Artikel Anatona seputar perbudakan merupakan refleksi kaum termarjinalkan (secara khusus tiga artikel ini dikaji secara inheren pada subbagian 3.1 pengantar redaksi ini).
Sekalipun teori Morfologi Alamiah sudah beredar di Jerman dan Austria sejak akhir 1970-an (khususnya oleh Willi Mayerthaler, Wolfgang Ullrich Dressler, dan Wolfgang Ullrich Wurzel), di mata Mulyadi seolah-olah masih berada dalam sebuah “pandora box”. Menurut Mulyadi, parameter dan bukti tabir misteri tersebut perlu dijustifikasi sebagai sebuah pisau pengungkap seluk beluk bahasa di dunia untuk mencari sebuah kebenaran yang hakiki. Seperti diungkap Mulyadi, arti penting tulisan ini karena seringnya konsep alamiah dijadikan sebagai instrumen untuk mengungkap komponen-komponen deskripsi linguistik (seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik). Apakah “kotak pandora” Morfologi Alamiah berakhir seperti film Lara Croft yang dibintangi Angelina Jolie? Mulyadi mencoba mengungkapnya pada edisi ini.
Teori Morfologi Alamiah dapat dianggap sebagai objek formal baru dalam konteks ke-Indonesia-an. Sepanjang pengamatan, beberapa tahun terakhir di tanah air, baru akan beredar pendekatan Makna Alamiah Metabahasa (MAM) atau Natural Semantic Metalanguage (NSM). Anna Wierzbicka subbagian sosok yang dianggap mampu mengilmiahkan kajian semantik melalui pendekatan NSM/MAM (lintas budaya/cultural studies) tersebut diungkap oleh Sawirman dalam artikel resensi edisi ini.
Kajian-kajian aksara (Minang) Herwandi dan Pramono juga dianggap ranah-ranah terabaikan. Dalam konteks keilmuan, dua artikel tersebut memiliki arti penting untuk melakukan “titik balik peradaban” akan anggapan selama ini bahwa masyarakat Minang tidak memiliki aksara. Dua artikel tersebut meninggalkan spirit cultural studies agar para ahli dalam semua dimensi keilmuan terus mengungkap tabir misteri keberadaan aksara Minangkabau.
3. Usulan prospektif pada artikel unggulan
Dari sejumlah artikel yang dimuat dalam edisi ini, dua artikel di antaranya (1) tentang tipologi bahasa yang ditulis oleh Jufrizal dan (2) tentang perbudakan yang ditulis oleh Anatona akan diuntai lebih jauh terutama dalam kaitannya dengan konteks kekinian, spirit lintas keilmuan berbasis linguistik, serta posisinya dalam “eksemplar 135” dan cultural studies. Berikut beberapa usulan prospektif dan preskriptif untuk kedua artikel dimaksud.
3.1 Tipologi bahasa dan “eksemplar 135”
Baik tipologi sintaksis yang mengklasifikasikan bahasa atas tipe ergatif, akusatif, dan ergatif-akusatif (Comrie,1983:68; 112), maupun tipologi morfologis yang mengklasifikasikan bahasa atas tipe isolasi, aglutinasi, fusi, dan inkorporasi (Katamba, 1993:56--59) merupakan objek-objek material/formal yang perlu dikembangkan dalam konteks ke-indonesian-an. sekalipun acuan dasar yang digunakan para ahli untuk mengklasifikasikan tipologi sebuah bahasa berbeda satu sama lain, Croft (1993:39) menganggap klasifikasi bahasa secara tipologi merupakan manifestasi pemahaman kesatuan organis struktur bahasa manusia secara universal
Baik tipologi sintaksis maupun tipologi morfologis juga belum banyak ditelaah pada sejumlah bahasa lokal di Nusantara. Dalam konteks bahasa Minangkabau, kajian tipologi sintaksis yang ditulis oleh Jufrizal dapat dikatakan sebagai artikel perdana. Selain Jufrizal, kita patut memberikan penghargaan tinggi pada beberapa linguis tanah air, I Wayan Arka, I Ketut Artawa, Shibatani, dan nama-nama lain yang mengharumkan nama bangsa lewat pengakuan inter(nasional) dalam bidang yang ditekuni Bernard Comrie ini.
A. Sebuah Penantian
Kajian tipologi yang dilakukan Jufrizal murni berada dalam ranah linguistik mikro. Genre linguistik mikro umumnya memang bercirikan artikel untuk ilmu, science is for science, linguistics is for linguistics, atau art is for art. Keteraturan, struktur, kaidah, hukum, bentuk, dan kategori fenomena lingual menjadi titik perhatian utama.
Dalam konteks “eksemplar 135”[6], genre penelitian ini diposisikan ke dalam ranah “formalisme”. Formalisme (formalism) yang disarikan dari Wehmeier, et al[7], Summers et al,[8] dan Carrol (2000:137—152) dalam berbagai dimensi keilmuan bercirikan: (1) lebih mengutamakan kaidah-kaidah (rules) daripada makna-makna (inner meanings) yang disembunyikan; (2) lebih mengutamakan hukum-hukum keteraturan (the correct arrangement) daripada pesan-pesan tersembunyi (latent messages) yang diekspresikan; (3) lebih mengutamakan perwajahan (appearance of things) daripada isi (content) yang diimplisitkan; (4) lebih mengutamakan aspek material daripada aspek mental (feelings) yang disuguhkan; dan (5) lebih mencari jawaban apa (what) daripada jawaban bagaimana (how) dan mengapa (why). Dengan kata lain, para formalis lebih mengutamakan aspek material, keakuratan aneka bentuk (correct forms), dan pemberian aneka label kategori daripada memperhatikan semesta “konsep” (ideologi, kultur, subjektivitas, politis, preferensi) yang tersembunyi di balik keteraturan, struktur, kaidah, hukum, bentuk, dan kategori sesuatu (objek, peristiwa, produk, tanda, dan wacana).
Adalah beralasan mengapa teori-teori dan kajian-kajian linguistik mikro (sintaksis, morfosintaksis, morfofonologi/ morfofonemik, morfologi, dan fonologi) dalam berbagai pendekatan (tradisional, struktural, generatif, dan pasca generatif) diposisikan dalam ranah formalisme. Umumnya pengkaji “matematika linguistik” ini seakan-akan ending setelah dianggap mampu memberikan label-label linguistis pada suatu objek/subjek penelitian. Adalah dapat dimaklumi, sulitnya formula dan banyaknya aspek yang dikaji membuat umumnya para micro linguist terpaksa mengakhiri tugas keilmuannya setelah dianggap berhasil mengaplikasikan teori, merevisi teori, atau setelah dianggap mampu memberikan label-label linguistik baru. Seakan-akan tercipta stereotip:
Saya seorang micro linguist
Tugas saya hanya menjelaskan hukum-hukum keteraturan
Tugas saya sebatas menemukan kaidah-kaidah universal
Tugas saya sekadar memberikan label-label linguistis
Selanjutnya, terserah Anda
Sepanjang referensi yang didapatkan, masih langka ditemukan karya-karya yang menyebut dirinya sosok-sosok micro linguist (bahkan dalam konteks internasional) menindaklanjuti label-label yang dengan susah payah mereka temukan ke level penandaan[9] atau menganggap label-label yang mereka temukan sebagai jejak-jejak (traces) yang memuat seonggok budaya, setumpuk ideologi, dan segudang nilai.
Jufrizal dalam artikel jurnal ini mengindikasikan bahwa bahasa Minangkabau secara tipologi sintaktis bercirikan bahasa akusatif. So what next? Kita tentu menunggu ide-ide brilian Jufrizal mengemukakan clues atau signal agar temuan keilmuan tersebut dapat dimanfaatkan, misalnya oleh para linguis terapan, penerjemah, pengajar bahasa Minang secara khusus atau Austronesia secara umum. Tentu kita menunggu pena Beliau menorehkan signifikansi atau relevansi temuan tersebut untuk perjuangan humanis, pengungkapan sosial-budaya, kemanusiaan, pluralitas, humaniora, tata nilai, ideologi, psikologi masyarakat (Minang), dan lain-lain.
B. “Eksemplar 135”: linguistik mikro sebagai entry-point
Dengan segala keterbatasannya, “Eksemplar 135” yang diperkenalkan pada pengantar redaksi ini membawa spirit dimaksud. “Eksemplar 135” menjadikan linguistik mikro sebagai starting point menuju cultural studies, bukan hanya ending pada pemberian label-label linguistik (tentang struktur, kaidah, hukum, dan kategori). “Kebenaran ilmu” atau objek formal formalisme ini dijadikan sebagai basis untuk menapak setakat demi setakat menuju cultural studies. Di saat para neo-formalism dan posmodernis “membantai” penganut formalis, “eksemplar 135” justru menghargainya sebagai pintu masuk (entry point) salah satu tahap pencari kebenaran dari lima tahap yang diusulkan (disimbolkan angka 5 dalam “Eksemplar 135”).
Linguistik perlu bekerjasama dengan ranah-ranah ilmu lain untuk mencapai tahapan makna terdalam. Kehadiran “Eksemplar 135” ini semula dimaksudkan untuk mengisi “ruang kosong” keterbatasan teori-teori wacana-semiotika yang ada. Himbauan Chomsky agar para linguis mampu memaknai linguistik sampai level ekplanatoris (explanatory adequacy) dan harapan Baudrillard agar wacana dan tanda perlu dimaknai sampai tahapan makna terdalam (depth meaning), tampaknya masih jauh dari harapan. Belum ada ditemukan teori wacana yang akomodatif untuk dapat mewujudkan harapan tersebut. Baik Chomsky maupun Baudrillard sendiri baru hanya menaruh harapan, belum ada model aplikatif yang dapat dibawa ke tataran praktis analisis wacana yang ditawarkan kedua tokoh tersebut untuk mewujudkan tahapan pemaknaan yang dicita-citakannya.
Bila menilik pendekatan formalis, baik pendekatan fungsional/sistemik Halliday(an) maupun conversational analysis (CA) demikian pula halnya. Salah satu kelemahan pendekatan wacana formalis adalah karena terkesan masih ending pada pemberian label-label linguistis (tentang struktur, kaidah, hukum, dan kategori) dalam analisis sebuah teks. Teori-teori formalis di ranah wacana masih berorientasi menjawab seputar pertanyaan apa (what) sehingga seputar pertanyaan how dan why masih terabaikan.
Bila kita menengok pendekatan wacana kritis (Critical Discourse Analysis, CDA), baik dari aliran van Dijk maupun Fairclough, tampaknya masih memarjinalkan keberadaan hukum-hukum linguistik sehingga terkesan kehilangan pijakan dasar linguistik. Pendekatan terkini yang juga belum banyak dijadikan sebagai dimensi pengembangan wacana dan linguistik adalah cultural studies. Karena pendekatan masih relatif baru peredarannya di Indonesia, model aplikasinya secara praktis ke ranah wacana menanti uluran tangan para linguis. Eksemplar-135 mencoba melahirkan konstruksi berpikir untuk merevisi dan merangkum ide-ide dasar sejumlah aliran dimaksud dalam eksemplar tersendiri.
Tidak terkecuali ranah semiotika, sejak dari pendekatan Strukturalisme Saussure (Saussurian), Peirce (Peircean), dan ekspansionis Bakhtin-Kristeva (pengikutnya) sampai pendekatan posmodernis Derrida-Lyotard (pengikutnya), postrukturalis Foucault-Roland Barthes (pengikutnya), belum memiliki model praktis dan eksemplar tersendiri bila dibawa ke ranah wacana/tanda lingual. Perlu diakui bahwa masing-masing aliran tersebut memiliki keunggulan-keunggulan tersendiri sehingga dapat melahirkan kebenaran dengan alasannya masing-masing. “Eksemplar-135” mencoba mempertalikan “kebenaran” aliran-aliran dan antar-ranah yang berbeda ini dalam menganalisis wacana dan semiotika.
Eksemplar yang tahan uji secara akademis untuk mempertalikan ranah wacana dengan ranah semiotika sudah saatnya dicanangkan. Layaknya aliran filsafat analitis dan positivis, ranah wacana dan semiotika memiliki banyak persamaan. Baik studi wacana maupun semiotika sama-sama menekankan pada (re)produksi tanda selain sebagai produk praktik bahasa. Kedua ranah tersebut juga sama-sama menitikberatkan peran makna sebagai titik sentral. Sebuah wacana memuat semesta tanda. Sistem pertandaan (ranah semiotika) dalam arti luas juga dianggap wacana. Adalah beralasan mengapa ranah semiotika dan wacana perlu dipertalikan.
Kedua ranah yang sampai saat ini masih dianggap berbeda oleh para ahli tersebut, secara filosofis menuju sasaran yang “sama”. Adalah tidak mengherankan mengapa dalam karya-karya Paul Ricoeur, Roland Barthes, Foucault, Baudrillard, Lyotard, Derrida, dan lain-lain ditemukan istilah diskursus (discourse), teks (text), semiotika (semiotics), dan tanda (sign) yang dipakai secara bergantian. Baik teori-teori wacana (lingual) dengan sejumlah perangkatnya maupun teori-teori tanda (semiotika) dengan seperangkat instrumennya pada dasarnya sama-sama menghendaki sebuah proses pemaknaan. Dengan demikian, adalah beralasan bila dianggap kedua ranah ini sulit dipisahkan, tanpa ada batasan yang tegas layaknya dua sisi mata uang atau ibarat lautan dengan dasarnya (meminjam istilah Popper, 2002).
Kenyataannya, sampai saat ini masih relatif terbatas (bila tidak boleh dikatakan belum ada) inisiatif dan spirit para ahli wacana atau ahli semiotika untuk mempertemukan kedua ranah ini melalui sebuah teori, pendekatan, paradigma, atau sejenisnya yang dapat diandalkan. Tahapan yang pas untuk membedah praktik pertandaan dalam sebuah wacana lingual (apalagi berdimensi cultural studies seperti harapan During, 2007) sepanjang referensi yang didapatkan belum mengemuka, bahkan dalam kancah internasional sekalipun (Sawirman, 2007a; b). Bila pertemuan antara objek biologi dengan objek linguistik dinaungi dalam biolinguistics atau pertautan antara objek forensik dengan linguistik dapat dikaji dalam forensic linguistics, mengapa belum mengemuka (bahkan dalam kancah internasional), misalnya terminologi, teori, atau pendekatan “wacana-semiotika” atau “semiotika-wacana” untuk menaungi pertautan antara wacana dengan semiotika, atau sebaliknya. “Eksemplar-135” yang dideklarasikan sejak tahun 2005 adalah salah satu karya yang memulai langkah tersebut.
3.2 Budak masa lalu, buruh masa kini
Artikel Anatona seputar perbudakan merupakan refleksi kaum termarjinalkan. Ciri khas nama-nama budak masa lalu tampaknya memiliki keunikan tersendiri bila ditilik dari sisi sapaan (address terms). Sekalipun Anatona belum menjadikan linguistik sebagai pintu masuk, akan tetapi nama-nama diri (names) seputar perbudakan dapat dijadikan sebagai titik pijakan bagi para linguis untuk menelusuri ranah ini secara lebih jauh. Sepanjang referensi yang didapatkan, fokus kajian pada nama-nama diri (names) seputar perbudakan dari sisi linguistis juga merupakan ranah keilmuan yang terlupakan.
Bila ditilik dari sisi genealogis, budak dan praktik perbudakan sebenarnya belum terhapus di muka bumi. Praktik perbudakan di Indonesia dalam konteks kekinian sebenarnya masih terjadi di perusahaan, perkebunan, rumah tangga, dan bahkan di pemerintahan. Pengekangan hak-hak sosial politik para buruh oleh perusahaan, pengabaian hak-hak normatif dan ketidakpastian nasib para buruh oleh pemerintah, kurangnya jaminan hukum pada TKI, kerapnya terjadi pelecehan seksual pada pembantu rumah tangga dan kekerasan pada wanita di rumah tangga (KDRT), serta pengeksploitasian anak yang semakin menjadi-jadi di tanah air adalah beberapa praktik perbudakan yang masih tersisa.
Kerjasama linguistik dengan sejarah dan sejumlah ilmu humaniora lainnya diperkirakan dapat menjamah wacana perbudakan secara lebih akomodatif. Kerjasama antar-keilmuan ini diperkirakan dapat menelusuri sejarah ide dan konsepsi seputar terminologi perbudakan sampai perburuhan. Dulu nama-nama budak disebut secara bervariasi. Saat ini, nama-nama buruh dan praktik perburuhan diberi kembang-kembang bahasa agar dapat diperlakukan, maaf seperti budak masa lalu. Selain buruh (“budak masa kini”), nama kuli, pekerja, karyawan, pegawai, pekerja kontrak, dan PWT mengemuka pula dalam konteks kekinian. Posisi mereka tetap dimarjinalkan. ............
Untuk mendapatkan tulisan lengkap silakan kontak ke email linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id, sawirman@fsastra.unand.ac.id atau sawirman03@yahoo.com
[1] Misalnya, bila topik yang diangkat pada Volume X Nomor X bercirikan wacana dakwah, artikel khusus terkait dengan wacana dakwah sembari memberikan academic explanations pada semua artikel pada Volume X Nomor X dapat dimunculkan.
[2] Penelitian fundamental memiliki kedekatan makna dengan (1) “relating to the most basic and important parts of something” (Summers, et.al, ibid.); (2) serious, very important, and affecting the most central and important parts of something; (3) a basic rule or principle or an essential part (Wehmeier, et. al. 2005:630).
[3] Paradigma dapat dimaknai as a technical, formal, and typical model or example that shows how something or pattern of something works or is produced or a set of basic beliefs that deals with ultimates (the best or most modern example of) a world view or something (Summers, et al 2005:1193; Wehmeier, 2005:1099).
[4] Eksemplar berasal dari bahasa Inggris exemplar. Menurut kamus Oxford tahun 2005 dimuat maknanya sebagai a person or thing that is a good or typical example of something. Kamus Longman tahun 2005 juga memaknai kata exemplar dengan parafrase “formal a good or typical example”. Thomas Kuhn (2002) sebagai pencetus revolusi sains menganggap exemplar sebagai cikal bakal lahirnya sebuah paradigma atau teori. Sebuah eksemplar yang tahan uji akan menjadi paradigma dengan sendirinya. Dalam konteks tanah air, sebuah exemplar yang berpijak pada spirit ketimuran, kemanusiaan, objek terlupakan, masyarakat terhegemoni/ termarjinalkan, dan spirit multi-disiplin berbasis ilmu sendiri perlu dilahirkan dan diciptakan agar ranah humaniora menjadi semakin humanis, bukan malah semakin sebaliknya (Sawirman, 2007a; b).
[5] Teori dapat dimaknai seperti batasan Summers, et al (2005:1719) as an idea or set of ideas that is intended to explain something about life or the world, especially an idea that has not been proved to be true or general principles and ideas about a subject and an idea or opinion that someone thinks is true but for which they have no proof. Teori adalah formal set of ideas that is intended to explain something why something happens or exists or the principles on which a particular subject is based (Wehmeier, et al., 2005:1590).
[6] Sebuah eksemplar yang memposisikan perspektif linguistik mikro sebagai basis menuju cultural studies yang diciptakan Sawirman (dibahas pada uraian selanjutnya).
[7] “a style or method in art, music, literature, science, etc. that pays more attention to the rules and the correct arrangement and appearance of things than to inner meaning and feelings” (Wehmeier, et al. 2005:610).
[8] “a style or method in art, religion, or science that pays a lot attention to the rules and correct forms of something rather than to inner meanings” (Summers et al, 2005:633-634).
[9] Dalam kaitan dengan bahasa, Hodge dan Kress (1991) menyebut teks, sistem, bahasa sebagai bunyi, bahasa sebagai tulisan, susunan kata (wording), bahasa sebagai struktur, konfigurasi bagian-bagian struktur, bahasa sebagai sumber, pilihan kata (diksi), dan pilihan di antara pilihan-pilihan (choices among alternatives) sebagai tanda-tanda yang mempresentasikan aneka realitas.