RESENSI BUKU
Suprasegmental
sebagai “Lahan Cultural Studies” dan e-135
Sawirman
Universitas Andalas Padang
1. Pendahuluan
Dari sejumlah aspek fonologis, kajian suprasegmental termasuk ranah yang terabaikan, termarjinalkan, dan terlupakan. Dalam konteks bahasa Indonesia, selain disertasi Amran Halim, hampir tidak ada lagi linguis yang secara serius concern terhadap ranah suprasegmental. Padahal ranah ini tidak kalah pentingnya dibanding dengan aspek-aspek linguistik lainnya. Banyak kata dalam bahasa-bahasa di dunia, apalagi tone languages (seperti bahasa Etung, Peking Mandarin, Swedia, Norwegia, Vietnam, Kroasia, Spanyol, Kikuyu, dan bahasa-bahasa di Afrika) memiliki perbedaan makna hanya karena faktor-faktor suprasegmental, seperti durasi, nada, intonasi, panjang, dan lain-lain. Adalah beralasan mengapa suprasegmental dianggap sebagai “lahan cultural studies” dalam tulisan ini.
Selain fokus kajian pada aspek-aspek suprasegmental, dipilihnya buku Carlos Gussenhoven and Haike Jacobs untuk diresensi juga disebabkan oleh teori generatif yang diaplikasikannya. Seperti yang diungkap oleh Multamia (2005), kajian-kajian linguistik di tanah air masih didominasi oleh teori-teori struktural dan tradisional. Penerapan teori generatif dalam konteks tanah air masih berada di bawah 7% (tujuh persen). Dengan demikian, kehadiran buku ini memiliki dua arti penting bila ditinjau dari sisi cultural studies (perjuangan etis pada ranah-ranah yang terpinggirkan), yakni (1) membahas aspek suprasegmental dan (2) menggunakan pendekatan generatif (khususnya fonologi generatif sebagai pisau analisis).
2. Suprasegmental dalam Kaidah Generatif
Seperti yang sudah diuntai sebelumnya, buku Carlos Gussenhoven and Haike Jacobs membahas suprasegmental melalui pendekatan fonologi generatif. Hal itu disebabkan oleh beberapa pertimbangan bahwa teori fonologi generatif: (1) mampu mengakomodasi dan menghubungkan realisasi representasi fonemis dengan representasi fonetis; (2) dirumuskan berdasarkan pertimbangan kecenderungan-kecenderungan proses-proses fonologis dan morfologis sebuah bahasa; dan (3) mengkaidahkan kelas segmen dengan fitur-fitur distingtif dan spesifikasi ciri minimum yang diperlukan untuk sebuah identifikasi segmen.
Suprasegmental yang beberapa tonologis/prosodis menggunakan terminologi prosodi merupakan salah satu ciri pembeda sebuah segmen. Ciri-ciri pembeda sebuah segmen dalam fonologi generatif didasarkan atas (1) fitur kelas utama (silabis, sonoran, konsonantal); (2) daerah artikulasi (anterior, koronal); (3) cara artikulasi (kontinuan, penglepasan tertunda, striden, nasal, lateral); (4) batang lidah (tinggi, rendah, belakang); (5) bentuk bibir (bulat); (6) tambahan (tegang, bersuara, aspirasi, glotalisasi); dan (7) prosodi (tekanan dan panjang) (Kenstowicz, 1994:452; Schane, 1992a:28--35; dan Carr, 1994).
Pengklasifikasian ciri suprasegmental di mata para ahli fonologi generatif hanya terdiri atas [tekanan] dan [panjang]. Dengan demikian, Pengklasifikasian ciri suprasegmental di mata para ahli generatif lebih sederhana daripada pengklasifikasian yang dilakukan para ahli tradisional dan struktural. Para ahli fonologi generatif memiliki tendensi untuk menyederhanakan terminologi yang agak tumpang tindih (rancu). Terma pitch, tone, accent, intonation, loudness, srengthening, weakening, rhythm, dan stress disatukan menjadi fitur [tekanan] dan istilah duration, speed, dan length disatukan menjadi fitur [panjang]. Hal itu sejalan dengan visi teori transformasi generatif yang lebih mengutamakan prinsip keuniversalan, kealamiahan, dan kesederhanaan kaidah struktur bahasa.
Gussenhoven dan Jacobs (1998:136) menotasikan segmen bertekanan dengan fitur [+tekanan], dan segmen panjang dengan tanda [+panjang] seperti pada konstruksi bahasa Etung berikut.
a a
(1) t [+high tone] t [+high tone]
Contoh di atas mengindikasikan bahwa kedua vokal pada data (1) mendapat tekanan tinggi. Tanda + pada fitur tersebut mengindikasikan bahwa segmen /a/ memiliki ciri itu. Piranti-piranti lain seperti jeda atau persendian (juncture) yang ditetapkan dalam fonologi generatif (lihat Gussenhoven and Jacobs, 1998:141--148; Schane, 1992a;65--77; 1992b:43--45; Hyman, 1975:186--238) adalah notasi + (selain menyatakan ciri segmen, juga menyatakan batas morfem), notasi # (menyatakan batas kata), notasi (menyatakan batas frase), notasi [ ] (menyatakan ciri sebuah segmen), notasi ø (menyatakan kaidah penyisipan jika muncul di sebelah kiri tanda panah dan pelesapan jika muncul di sebelah kanan tanda panah), dan notasi K,V (menyatakan fitur konsonan dan vokal).
Suprasegmental
sebagai “Lahan Cultural Studies” dan e-135
Sawirman
Universitas Andalas Padang
1. Pendahuluan
Dari sejumlah aspek fonologis, kajian suprasegmental termasuk ranah yang terabaikan, termarjinalkan, dan terlupakan. Dalam konteks bahasa Indonesia, selain disertasi Amran Halim, hampir tidak ada lagi linguis yang secara serius concern terhadap ranah suprasegmental. Padahal ranah ini tidak kalah pentingnya dibanding dengan aspek-aspek linguistik lainnya. Banyak kata dalam bahasa-bahasa di dunia, apalagi tone languages (seperti bahasa Etung, Peking Mandarin, Swedia, Norwegia, Vietnam, Kroasia, Spanyol, Kikuyu, dan bahasa-bahasa di Afrika) memiliki perbedaan makna hanya karena faktor-faktor suprasegmental, seperti durasi, nada, intonasi, panjang, dan lain-lain. Adalah beralasan mengapa suprasegmental dianggap sebagai “lahan cultural studies” dalam tulisan ini.
Selain fokus kajian pada aspek-aspek suprasegmental, dipilihnya buku Carlos Gussenhoven and Haike Jacobs untuk diresensi juga disebabkan oleh teori generatif yang diaplikasikannya. Seperti yang diungkap oleh Multamia (2005), kajian-kajian linguistik di tanah air masih didominasi oleh teori-teori struktural dan tradisional. Penerapan teori generatif dalam konteks tanah air masih berada di bawah 7% (tujuh persen). Dengan demikian, kehadiran buku ini memiliki dua arti penting bila ditinjau dari sisi cultural studies (perjuangan etis pada ranah-ranah yang terpinggirkan), yakni (1) membahas aspek suprasegmental dan (2) menggunakan pendekatan generatif (khususnya fonologi generatif sebagai pisau analisis).
2. Suprasegmental dalam Kaidah Generatif
Seperti yang sudah diuntai sebelumnya, buku Carlos Gussenhoven and Haike Jacobs membahas suprasegmental melalui pendekatan fonologi generatif. Hal itu disebabkan oleh beberapa pertimbangan bahwa teori fonologi generatif: (1) mampu mengakomodasi dan menghubungkan realisasi representasi fonemis dengan representasi fonetis; (2) dirumuskan berdasarkan pertimbangan kecenderungan-kecenderungan proses-proses fonologis dan morfologis sebuah bahasa; dan (3) mengkaidahkan kelas segmen dengan fitur-fitur distingtif dan spesifikasi ciri minimum yang diperlukan untuk sebuah identifikasi segmen.
Suprasegmental yang beberapa tonologis/prosodis menggunakan terminologi prosodi merupakan salah satu ciri pembeda sebuah segmen. Ciri-ciri pembeda sebuah segmen dalam fonologi generatif didasarkan atas (1) fitur kelas utama (silabis, sonoran, konsonantal); (2) daerah artikulasi (anterior, koronal); (3) cara artikulasi (kontinuan, penglepasan tertunda, striden, nasal, lateral); (4) batang lidah (tinggi, rendah, belakang); (5) bentuk bibir (bulat); (6) tambahan (tegang, bersuara, aspirasi, glotalisasi); dan (7) prosodi (tekanan dan panjang) (Kenstowicz, 1994:452; Schane, 1992a:28--35; dan Carr, 1994).
Pengklasifikasian ciri suprasegmental di mata para ahli fonologi generatif hanya terdiri atas [tekanan] dan [panjang]. Dengan demikian, Pengklasifikasian ciri suprasegmental di mata para ahli generatif lebih sederhana daripada pengklasifikasian yang dilakukan para ahli tradisional dan struktural. Para ahli fonologi generatif memiliki tendensi untuk menyederhanakan terminologi yang agak tumpang tindih (rancu). Terma pitch, tone, accent, intonation, loudness, srengthening, weakening, rhythm, dan stress disatukan menjadi fitur [tekanan] dan istilah duration, speed, dan length disatukan menjadi fitur [panjang]. Hal itu sejalan dengan visi teori transformasi generatif yang lebih mengutamakan prinsip keuniversalan, kealamiahan, dan kesederhanaan kaidah struktur bahasa.
Gussenhoven dan Jacobs (1998:136) menotasikan segmen bertekanan dengan fitur [+tekanan], dan segmen panjang dengan tanda [+panjang] seperti pada konstruksi bahasa Etung berikut.
a a
(1) t [+high tone] t [+high tone]
Contoh di atas mengindikasikan bahwa kedua vokal pada data (1) mendapat tekanan tinggi. Tanda + pada fitur tersebut mengindikasikan bahwa segmen /a/ memiliki ciri itu. Piranti-piranti lain seperti jeda atau persendian (juncture) yang ditetapkan dalam fonologi generatif (lihat Gussenhoven and Jacobs, 1998:141--148; Schane, 1992a;65--77; 1992b:43--45; Hyman, 1975:186--238) adalah notasi + (selain menyatakan ciri segmen, juga menyatakan batas morfem), notasi # (menyatakan batas kata), notasi (menyatakan batas frase), notasi [ ] (menyatakan ciri sebuah segmen), notasi ø (menyatakan kaidah penyisipan jika muncul di sebelah kiri tanda panah dan pelesapan jika muncul di sebelah kanan tanda panah), dan notasi K,V (menyatakan fitur konsonan dan vokal).
Ciri suprasegmental tidak digunakan untuk menentukan segmen bahasa-bahasa di dunia secara universal. Hal itu cukup beralasan karena tidak semua bahasa memiliki fitur (ciri) suprasegmental tersebut. Bahasa-bahasa yang memiliki ciri suprasegmental (lihat Brosnahan dan Bertil Malmberg, 1976:148; Hyman, 1975:186--238) yang beberapa ahli memakai istilah tone languages (seperti bahasa Etung, Peking Mandarin, Swedia, Norwegia, Vietnam, Kroasia, Spanyol, Kikuyu, Etsako, dan sejumlah bahasa di Afrika).
Tingkatan tekanan dan panjang pada “bahasa-bahasa tone” juga berbeda satu sama lain. Bahasa Etung (Gussenhoven dan Haike Jacobs, 1998:137--138) hanya memiliki í tekanan tinggi (high, H), ì tekanan rendah (low, L), î tekanan turun (falling, HL), dan ì tekanan naik (rising, LH). Hal itu berbeda dengan bahasa Kikuyu (Hyman, 1975:223) yang selain memiliki tekanan tinggi (high), rendah (low), turun (falling), dan tekanan naik (rising), juga memiliki î tekanan turun-naik (falling-rising, HLH) dan ì tekanan naik-turun (rising-falling, LHL)[i].
Hal yang sama juga terjadi pada fitur durasi [panjang]. Gussenhoven dan Jacobs (1998:138), seperti halnya Schane (1992b:49) mengklaim bahwa vokal panjang dalam bahasa Inggris sebenarnya merupakan paduan dua vokal yang identik. Vokal i: berasal dari perpaduan vokal ii atau (ii ---> i:); vokal a: berasal dari perpaduan vokal aa (aa ---> a:); dan seterusnya. Hal itu mengisyaratkan pula bahwa panjang (long) pengucapan i: dan a: adalah sama dengan panjang pengucapan ii dan aa (long vowel count for two vowels) seperti yang terlihat pada kaidah berikut.
(2) 1
V V ---> [+panjang] ø
1 2
Kaidah tersebut memperlihatkan bahwa vokal panjang dalam bahasa Inggris berasal dari penggabungan dua vokal yang diikuti oleh pelesapan salah satu vokalnya[ii]. Dalam International Phonetic Association (IPA)[iii] tahun 1981, halaman 17 terdapat pula pada bahasa-bahasa lain di dunia vokal-vokal yang memiliki durasi setengah panjang (half long).
3. Konvensi Suprasegmental Sekalipun masih dalam jumlah relatif terbatas, beberapa kaidah, konvensi, tipologi, maupun asosiasi tentang aspek suprasegmental dapat digeneralisasikan pada uraian berikut[iv].....
Tingkatan tekanan dan panjang pada “bahasa-bahasa tone” juga berbeda satu sama lain. Bahasa Etung (Gussenhoven dan Haike Jacobs, 1998:137--138) hanya memiliki í tekanan tinggi (high, H), ì tekanan rendah (low, L), î tekanan turun (falling, HL), dan ì tekanan naik (rising, LH). Hal itu berbeda dengan bahasa Kikuyu (Hyman, 1975:223) yang selain memiliki tekanan tinggi (high), rendah (low), turun (falling), dan tekanan naik (rising), juga memiliki î tekanan turun-naik (falling-rising, HLH) dan ì tekanan naik-turun (rising-falling, LHL)[i].
Hal yang sama juga terjadi pada fitur durasi [panjang]. Gussenhoven dan Jacobs (1998:138), seperti halnya Schane (1992b:49) mengklaim bahwa vokal panjang dalam bahasa Inggris sebenarnya merupakan paduan dua vokal yang identik. Vokal i: berasal dari perpaduan vokal ii atau (ii ---> i:); vokal a: berasal dari perpaduan vokal aa (aa ---> a:); dan seterusnya. Hal itu mengisyaratkan pula bahwa panjang (long) pengucapan i: dan a: adalah sama dengan panjang pengucapan ii dan aa (long vowel count for two vowels) seperti yang terlihat pada kaidah berikut.
(2) 1
V V ---> [+panjang] ø
1 2
Kaidah tersebut memperlihatkan bahwa vokal panjang dalam bahasa Inggris berasal dari penggabungan dua vokal yang diikuti oleh pelesapan salah satu vokalnya[ii]. Dalam International Phonetic Association (IPA)[iii] tahun 1981, halaman 17 terdapat pula pada bahasa-bahasa lain di dunia vokal-vokal yang memiliki durasi setengah panjang (half long).
3. Konvensi Suprasegmental Sekalipun masih dalam jumlah relatif terbatas, beberapa kaidah, konvensi, tipologi, maupun asosiasi tentang aspek suprasegmental dapat digeneralisasikan pada uraian berikut[iv].....
Untuk mendapatkan artikel lengkap, silakan kontak ke email (1) linguistikakultura@fsastra.unand.ac.id, (2) linguistikakultura@yahoo.com atau (3) sawirman@fsastra.unand.ac.id (cc sawirman03@yahoo.com)
Catatan
[i] Penggunaan notasi atau grafem tekanan mengacu pada (Gussenhoven dan Haike Jacobs, 1998:137). Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman akibat ketidakseragaman notasi tekanan yang digunakan oleh para linguis, tonologis, dan prosodis.
[ii] Para ahli seperti Gussenhoven dan Haike Jacobs (1998:138), dan Schane (1992b:49) tidak menegaskan segmen yang dilesapkan atau masih bersifat arbitrer (mana suka). Namun, berdasarkan prinsip kealamiahan bahasa dan fonologi wajar (Schane, 1992:116--126), dapat diasumsikan bahwa segmen (vokal) yang lesap adalah segmen kedua.
[iii] Notasi, simbol, fitur, dan grafem yang tercantum dalam IPA (International Phonetic Association, 1981) berdasarkan pada penelitian ilmiah pada 51 bahasa di dunia.
[iv] Istilah konvensi yang dimaksudkan dalam kajian ini mengacu pada pengakuan umum tentang tipologi, asosiasi, prinsip, notasi, maupun kaidah universal aspek-aspek suprasegmental. Konvensi dalam kajian ini disarikan dari berbagai sumber, yakni Gussenhoven dan Haike Jacobs, (1998:136--146), Hyman (1975:186--238), Brosnahan dan Bertil Malmberg (1976:147--159), Schane (1992a:57--61; 90--96; 105--108), Schane (1992b:xiv--xv; 49--50; 79--80), dan Parera (1989:56--57).
[i] Penggunaan notasi atau grafem tekanan mengacu pada (Gussenhoven dan Haike Jacobs, 1998:137). Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman akibat ketidakseragaman notasi tekanan yang digunakan oleh para linguis, tonologis, dan prosodis.
[ii] Para ahli seperti Gussenhoven dan Haike Jacobs (1998:138), dan Schane (1992b:49) tidak menegaskan segmen yang dilesapkan atau masih bersifat arbitrer (mana suka). Namun, berdasarkan prinsip kealamiahan bahasa dan fonologi wajar (Schane, 1992:116--126), dapat diasumsikan bahwa segmen (vokal) yang lesap adalah segmen kedua.
[iii] Notasi, simbol, fitur, dan grafem yang tercantum dalam IPA (International Phonetic Association, 1981) berdasarkan pada penelitian ilmiah pada 51 bahasa di dunia.
[iv] Istilah konvensi yang dimaksudkan dalam kajian ini mengacu pada pengakuan umum tentang tipologi, asosiasi, prinsip, notasi, maupun kaidah universal aspek-aspek suprasegmental. Konvensi dalam kajian ini disarikan dari berbagai sumber, yakni Gussenhoven dan Haike Jacobs, (1998:136--146), Hyman (1975:186--238), Brosnahan dan Bertil Malmberg (1976:147--159), Schane (1992a:57--61; 90--96; 105--108), Schane (1992b:xiv--xv; 49--50; 79--80), dan Parera (1989:56--57).