Menciptakan Paradigma Wacana Berdimensi Cultural Studies
(disebut dengan ”Eksemplar 135”)
Oleh
Sawirman
(Cuplikan tulisan yang disampaikan pada Forum Dosen Berprestasi di Universitas Andalas sebagai wakil Fakultas Sastra 11 Juni 2008)
1. Latar Belakang
a. Setiap mazhab/zaman memiliki paradigma dan semangat tersendiri. Filsafat Yunani menjadikan kosmos sebagai titik sentral (kosmosentris). Teosentris seperti antara lain diberdayakan Weber merupakan ciri khas filsuf abad pertengahan. Logosentris dan antroposentris seperti antara lain termaktub dalam logos Rene Descartes cogito ergo sum ‘saya berpikir, maka saya ada’ selain mewarnai fokus filsuf abad pencerahan, juga ciri khas strukturalisme dan modernitas. Kehadiran Stephen Hawking (penemu black holes) dan Capra dengan Jaring-jaring Kehidupan-nya menempatkan biosentris sebagai tolok ukur. Mahzab Stoic menempatkan filsafat kesenian sebagai titik sentral. Mazhab Praha yang dirintis Jakobson dan Trubetskoy pada tahun 1926, antara lain dikenal dengan paradigma ketidaksadaran berbahasa. Mazhab Coopenhagen pada tahun 1930 dikenal dengan telaah afasianya (linguistik dengan kedokteran). Kelompok Wina (Swiss) terkenal dengan positivisme logisnya. Mazhab Frankfurt (Walter Benyamin, Adorno, Herbert Marcuse, Habermas) dikenal pencetus mazhab kritis, selain memperkenalkan paradigma reflektif, interpretatif, dan kompetensi komunikatif sebagai spesialisasi. Mazhab Kyoto di Jepang terkenal dengan filsafat agamanya. Posmodernisme menempatkan kultur lokal dan kaum pinggiran, selain mempertanyakan posisi linearitas dan Grand Narrative keilmuan sebagai titik fokus. Masyarakat wacana (umumnya masyarakat linguistik di tanah air) belum memiliki mazhab dan paradigma yang dapat dijual ke tingkat dunia dengan semangat ketimuran. Penciptaan paradigma, mazhab, spesialisasi, ataupun ciri khas tampaknya belum membudaya pada masyarakat keilmuan di Indonesia, termasuk masyarakat linguistik di Indonesia. Mazhab linguistik Rawamangun pernah hadir di Indonesia, tetapi hilang entah ke mana. Ciri khas sebuah keilmuan yang tidak menghiraukan semangat zaman dan hiruk pikuk kehidupan akan ditelan oleh dialektika kehidupan itu sendiri. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa “Eksemplar 135” berdimensi Cultural Studies dijadikan sebagai spesialisasi pengembangan kajian linguistik dan wacana tanah air.
b. Sejak lama, model kajian linguistik memang dikuasai positivisme, fondasionalisme, dan nomotetisme. Cultural studies seperti diungkap Barker dalam buku Cultural Studies Teori dan Praktik tahun 2004 dan Simon During tahun 2007 menentang fondasionalisme dan nomotetisme (ilmu alam yang ditransformasikan ke ranah ilmu sosial). Ranah hegemoni, moral, dan etis dalam kajian bahasa, budaya, sastra, dan ideologi adalah beberapa kata kunci cultural studies menurut Storey dalam buku Cultural Studies and the Studies of Popular Culture: Theories and Methods. Cultural studies juga muncul karena kritik pada modernitas, positivisme, dan ilmu bebas nilai. Cultural studies menyerap sejumlah paradigma dalam menelaah suatu objek/disiplin ilmu. Data merupakan titik sentral dalam memverifikasi makna. Dengan cara demikian, proses emansipasi sebuah paradigma, teori, dan eksemplar dapat berlangsung sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Cultural studies, bukanlah cultural study, atau study of culture (kajian budaya). Cultural studies is not simply a study of culture seperti dikatakan Sardar and Borin Van Loon tahun 2005 halaman 11 dalam buku Cultural Studies. Kata studies pada nama cultural studies melambangkan spirit multi-dimensional (a broad field of inquiry). “Eksemplar 135” menjadikan linguistik menjadi medan terbuka sebagai basis ilmu lain dengan mengusung visi memperjuangkan masyarakat tertindas, budaya massa, dan objek-objek ilmu yang selama terlupakan/terabaikan.
c. Kajian linguistik di tanah air semakin “anti-kemanusiaan”. Para linguis Indonesia seakan-akan seperti mikroskop (mampu melihat yang kecil, tetapi lupa dengan yang besar). Indonesia sekarang diributkan dengan bencana alam, krisis mental, kenaikan BBM, sertifikasi guru, terorisme, dan lain-lain yang luput dalam kaca mata linguis. Belum banyak yang dilakukan para linguis untuk memperjuangkan pengangguran bersertifikat, PSK, krisis mental, anak-anak cacat, orang gila, pengemis, pengamen, anak jalanan, tindakan separatis, tsunami, kasus lapindo, gempa, tanah longsor, kejahatan perbankan, cyber-crime, kerusakan ekologi, dan lain-lain.
Minggu, 20 September 2009
“Eksemplar 135” dalam Teks Politik Tan Malaka
“Eksemplar 135” dalam Teks Politik Tan Malaka
Paradigma Alternatif Cultural Studies
(Tulisan ini adalah cuplikan publikasi e-135 pada Jurnal Kajian Budaya (Indonesian Journal of Cultural Studies) Volume 3 Nomor 5 Januari 2006 terbitan Program Doktor Unversitas Udayana Denpasar, hal. 35—66)
Oleh
Dr. Sawirman, M.Hum.
(Dosen Universitas Andalas Padang)
Abstract
There is now a change in the perception how to analyze the text. One of the causes of this case may be the analist’s point of view. Constructivist focus on much about the object, structure and system of the text. On the other side, Degree Writing Zero and the Dead of the Author are several mottos proclaimed by posstructuralist and deconstructionist. These statements above reflect the importance of good paradigm in interpreting the text. For those reasons, It’s hoped, the “Eksemplar 135” (“Model of 135”) is able to answer the research problems. The “Eksemplar 135” means 1 for hermeneutic, 3 for dialectic of construction, reconstruction, deconstruction, and 5 for analysis steps of elaboration, expression, signification, exploration, and transfiguration.
I. Pengantar
Setiap zaman memiliki titik tolak tersendiri......
II. Kritik Paradigma “Mazhab Bali”
..., “Mazhab Bali” yang masih dalam status embrio memerlukan paradigma tersendiri dengan harapan Bendera mazhab Bali yang sudah dikibarkan pantang diturunkan kembali. Setelah membaca buku suntingan Mudana (2003) serta Bawa dan Cika (2004) terutama terkait dengan paradigma kajian budaya dan linguistik kebudayaan “mazhab Bali” masih menyisakan beberapa ketidakjelasan konsep ontologis dan epistemologis.
Batasan ketiga kata kunci (bentuk, fungsi, makna) “mazhab Bali” terasa juga masih bermasalah secara akademis. Adanya kecenderungan pemaknaan bentuk (form) hanya pada hal-hal yang bersifat mengobjek (objektif) atau tanda yang dapat ditelaah panca indera adalah keterjebakan paradigma “mazhab Bali” ke arah filsafat materialis dan empiris. Paradigma “mazhab Bali” seolah-olah kehilangan telaah esensi tanda. Paradigma bentuk tentu bukan hanya berwujud fisis, tetapi juga terkait dengan ide dan diskursus mental seperti halnya dalam filsafat idealis. Ide berkaitan dengan pemikiran. Pemikiran (thought) adalah sebuah diskursus mental (Gibbons, 2002:137). Esensi tanda sebagai sebuah universalia berbeda dengan esensi tanda sebagai sebuah realitas. Penanda keadilan secara universalia memiliki tinanda bahwa setiap orang berhak mendapat sesuatu yang layak sesuai dengan hak dan kewajibannya. Akan tetapi, adil bagi anggota MPR adalah pada saat gajinya selalu dinaikan. Adil bagi korban Tsunami (masyarakat Aceh, Nias, Srilanka, Thailand) dan korban busung lapar adalah pada saat mereka mampu bertahan hidup (to survive). Tanda keadilan dalam dunia ide tidak sama dengan adil dalam dunia realitas.
Demikian pula halnya batasan konsep fungsi (function) dan makna (meaning). Penjelasan batasan fungsi dan makna secara akademis terasa diperlukan. Bila fungsi yang dimaksudkan adalah telaah keterkaitan suatu objek/realitas dengan objek/realitas eksternalnya seperti yang dilakukan Malinowski, bagaimanakah halnya dengan makna? Apakah telaah makna tidak perlu dikaitkan dengan realitas lain? Selain itu, beberapa istilah seperti nilai (value) dan guna (use) tentu perlu pula mendapatkan tempat dan penjelasan akademis.
Selain terasa agak dilematis untuk membuat batasan fungsi dan makna, juga ada kecenderungan untuk menelaah fungsi dan makna hanya sebatas taraf kesadaran [+logika]. Mimpi (Freud, 2002:186—192) muncul karena adanya faktor ketidaksadaran (uncounciousness), tetapi tetap memiliki fungsi dan makna. Freud mampu menganalisis kaitan perilaku kerja mimpi dengan cara kerja bahasa. Bahasa spritualitas, bahasa roh, dan bahasa iman terkadang tidak berwujud kata-kata, tetapi tetap memiliki fungsi dan makna. Dengan kalimat lain, fungsi dan makna dapat muncul dari ketidaksadaran manusia. Konsep autrui Levinas dan habitus Pierre Bourdieu adalah eksplorasi wilayah ketidaksadaran yang dapat melahirkan makna. Ketidaksadaran dapat menjadi sumber makna dalam analisis tanda. Salah satu emansipatoris posmodernis adalah mengembalikan telaah makna kepada esensinya yang selama ini dipermainkan modernitas. Roman Jakobson dengan Nicolai Trubetskoy (Lechte, 2001:108) adalah dua tokoh mazhab Praha yang mengembangkan aspek ketidaksadaran (antara lain pemaduan linguistik dengan teori psikoanalisis Freud dan kesadaran palsu Marx). Being-in-the-World (cara dunia mengada) Husserl juga terkait dengan ketidaksadaran manusia. Eksplorasi ketidaksadaran menjadi salah satu ranah dominan dalam pemaknaan tanda (baik tanda bahasa maupun tanda non-bahasa seperti upacara dan karnavalnya Bakhtin).
III. “Eksemplar 135” dan Cultural Studies
Sebuah paradigma “Mazhab Bali” dengan semangat ketimuran (tanpa harus selalu meminta “lisensi Barat”) yang tahan falsifikasi diperlukan. Tulisan ini dengan mengacu pada paradigma Thomas Kuhn dalam bukunya yang kontroversial The Structure of Science Revolution, Berger dan Kellner (1981:31—42), dan Episteme Foucault (2002b:242—244; 266) ikut secara partisipatif membangun “Mazhab Bali” yang sudah dikibarkan dengan “Eksemplar 135”.
Paradigma Alternatif Cultural Studies
(Tulisan ini adalah cuplikan publikasi e-135 pada Jurnal Kajian Budaya (Indonesian Journal of Cultural Studies) Volume 3 Nomor 5 Januari 2006 terbitan Program Doktor Unversitas Udayana Denpasar, hal. 35—66)
Oleh
Dr. Sawirman, M.Hum.
(Dosen Universitas Andalas Padang)
Abstract
There is now a change in the perception how to analyze the text. One of the causes of this case may be the analist’s point of view. Constructivist focus on much about the object, structure and system of the text. On the other side, Degree Writing Zero and the Dead of the Author are several mottos proclaimed by posstructuralist and deconstructionist. These statements above reflect the importance of good paradigm in interpreting the text. For those reasons, It’s hoped, the “Eksemplar 135” (“Model of 135”) is able to answer the research problems. The “Eksemplar 135” means 1 for hermeneutic, 3 for dialectic of construction, reconstruction, deconstruction, and 5 for analysis steps of elaboration, expression, signification, exploration, and transfiguration.
I. Pengantar
Setiap zaman memiliki titik tolak tersendiri......
II. Kritik Paradigma “Mazhab Bali”
..., “Mazhab Bali” yang masih dalam status embrio memerlukan paradigma tersendiri dengan harapan Bendera mazhab Bali yang sudah dikibarkan pantang diturunkan kembali. Setelah membaca buku suntingan Mudana (2003) serta Bawa dan Cika (2004) terutama terkait dengan paradigma kajian budaya dan linguistik kebudayaan “mazhab Bali” masih menyisakan beberapa ketidakjelasan konsep ontologis dan epistemologis.
Batasan ketiga kata kunci (bentuk, fungsi, makna) “mazhab Bali” terasa juga masih bermasalah secara akademis. Adanya kecenderungan pemaknaan bentuk (form) hanya pada hal-hal yang bersifat mengobjek (objektif) atau tanda yang dapat ditelaah panca indera adalah keterjebakan paradigma “mazhab Bali” ke arah filsafat materialis dan empiris. Paradigma “mazhab Bali” seolah-olah kehilangan telaah esensi tanda. Paradigma bentuk tentu bukan hanya berwujud fisis, tetapi juga terkait dengan ide dan diskursus mental seperti halnya dalam filsafat idealis. Ide berkaitan dengan pemikiran. Pemikiran (thought) adalah sebuah diskursus mental (Gibbons, 2002:137). Esensi tanda sebagai sebuah universalia berbeda dengan esensi tanda sebagai sebuah realitas. Penanda keadilan secara universalia memiliki tinanda bahwa setiap orang berhak mendapat sesuatu yang layak sesuai dengan hak dan kewajibannya. Akan tetapi, adil bagi anggota MPR adalah pada saat gajinya selalu dinaikan. Adil bagi korban Tsunami (masyarakat Aceh, Nias, Srilanka, Thailand) dan korban busung lapar adalah pada saat mereka mampu bertahan hidup (to survive). Tanda keadilan dalam dunia ide tidak sama dengan adil dalam dunia realitas.
Demikian pula halnya batasan konsep fungsi (function) dan makna (meaning). Penjelasan batasan fungsi dan makna secara akademis terasa diperlukan. Bila fungsi yang dimaksudkan adalah telaah keterkaitan suatu objek/realitas dengan objek/realitas eksternalnya seperti yang dilakukan Malinowski, bagaimanakah halnya dengan makna? Apakah telaah makna tidak perlu dikaitkan dengan realitas lain? Selain itu, beberapa istilah seperti nilai (value) dan guna (use) tentu perlu pula mendapatkan tempat dan penjelasan akademis.
Selain terasa agak dilematis untuk membuat batasan fungsi dan makna, juga ada kecenderungan untuk menelaah fungsi dan makna hanya sebatas taraf kesadaran [+logika]. Mimpi (Freud, 2002:186—192) muncul karena adanya faktor ketidaksadaran (uncounciousness), tetapi tetap memiliki fungsi dan makna. Freud mampu menganalisis kaitan perilaku kerja mimpi dengan cara kerja bahasa. Bahasa spritualitas, bahasa roh, dan bahasa iman terkadang tidak berwujud kata-kata, tetapi tetap memiliki fungsi dan makna. Dengan kalimat lain, fungsi dan makna dapat muncul dari ketidaksadaran manusia. Konsep autrui Levinas dan habitus Pierre Bourdieu adalah eksplorasi wilayah ketidaksadaran yang dapat melahirkan makna. Ketidaksadaran dapat menjadi sumber makna dalam analisis tanda. Salah satu emansipatoris posmodernis adalah mengembalikan telaah makna kepada esensinya yang selama ini dipermainkan modernitas. Roman Jakobson dengan Nicolai Trubetskoy (Lechte, 2001:108) adalah dua tokoh mazhab Praha yang mengembangkan aspek ketidaksadaran (antara lain pemaduan linguistik dengan teori psikoanalisis Freud dan kesadaran palsu Marx). Being-in-the-World (cara dunia mengada) Husserl juga terkait dengan ketidaksadaran manusia. Eksplorasi ketidaksadaran menjadi salah satu ranah dominan dalam pemaknaan tanda (baik tanda bahasa maupun tanda non-bahasa seperti upacara dan karnavalnya Bakhtin).
III. “Eksemplar 135” dan Cultural Studies
Sebuah paradigma “Mazhab Bali” dengan semangat ketimuran (tanpa harus selalu meminta “lisensi Barat”) yang tahan falsifikasi diperlukan. Tulisan ini dengan mengacu pada paradigma Thomas Kuhn dalam bukunya yang kontroversial The Structure of Science Revolution, Berger dan Kellner (1981:31—42), dan Episteme Foucault (2002b:242—244; 266) ikut secara partisipatif membangun “Mazhab Bali” yang sudah dikibarkan dengan “Eksemplar 135”.
Media Massa, Perpanjangan Tangan Kolonial Bersama Spirit e135
Media Massa, Perpanjangan Tangan Kolonial Bersama Spirit e135
(Ancangan Proposal Tesis)
Oleh: M. Yunis
(Mahasiswa Magister Linguistik Universitas Andalas Padang)
Pendahuluan
Mengamati puluhan tulisan Sawirman sejak tahun 2003 hingga 2009 terutama seputar e-135, saya dapat merangkul spirit utama, yaitu “Jadikan Linguistik Menjadi Medan Terbuka”. Spirit inilah yang saya hargai untuk menjadikan lima tahapan dalam e-135 sebagai bingkai analisis media massa yang saya lakukan dalam tulisan ini. Sekelipun demikian, tulisan ini bukanlah cerminan bingkai praktis e-135 yang diuntai oleh Sawirman dengan begitu rigid. Lagi pula, tulisan ini tidak membuat lima tahapan yang diuntai oleh Sawirman secara eksplisit. Akan tetapi bagi pihak-pihak yang sudah memahami e-135 dengan seksama, lima tahapan yang diutarakan untuk mencapai makna terdalam sudah termaktub di dalamnya.
Ada sebuah stegmen yang menarik bahwa dunia film lebih kejam dari segala dunia. Ungkapan seperti ini kerap penulis dengar di saat masih bekerja pada salah satu Production House di Jakarta awal 2008 kemaren. Setiap kali pulang shuting penulis dan kawan-kawan bercerita dan bertukar pengalaman, seputar tentang dunia perfileman khususnya dunia media umumnya. Sikut-sikutan sepertinya sudah menjadi barang harian, menjatuhkan kawan baik apalagi lawan itu diperlukan untuk menunjang sebuah karir. Ya dunia media. Namun begitu, dunia media yang digambarkan tidak hanya sebatas daun kelor ataupun daun talas, tetapi sebuah dunia yang luas dan sarat dengan pengkodean, kolonialisasi bahasa, dan menyertai disana kepentingan media. Nah, mungkin kita akan berpikir apa yang patut dibicarakan dalam dunia media ini atau cukup diserahkan kajian orang akademis dengan cultural studies. Meskipun, Keith Tester (2003) mengatakan bahwa cultural studies adalah disiplin ilmu yang sangat bodoh, karena dia adalah anak haram (bastard child) media yang akan diekspos oleh cultural stuidies. Sebab kajian budaya bukan hanya pada media, tetapi seyogyanya mempunyai posisi yang sangat terhormat dan mempunyai nilai intelektual yang sangat tinggi, sementara cultural studies baru lahir di Universitas Birmingham pada tahun 1960-1970. Oleh sebab keberhasilan sebuah penelitian Centre for Contemporary Cultural Studies kemudian bisa mengklem bahwa kajian budaya adalah miliknya.
Baru Tahun 1980 kajian cultural studies semakin menyempit, lebih terfokus pada ekplorasi terhadap kesenangan-kessenangan yang diberitakan media, pakaian, belanja, sehingga terjadinya kegeraman moral yang semakin lama semakin tidak bisa berbuat apa-apa. Cobalah perhatikan ketika iklan TV menampilan perempaun atau laki-laki yang menarik, apa yang timbul di dalam pikiran pembaca? Penulis sendiri mungkin mengatakan aduhai sambil menyuap nasi atau sedang membaca buku, nyata sebuah moral yang digambarkan media sangat terang-terangan dan kumuh, sebab hanya bersifat mengekploitasi ksenangan dan birahi. Bahkan Rorty dalam Tester (2003) mengatakan bahwa televisi dan koran merupakan sarana utama bagi perkembangan dunia kontemporer, kemudian mengulas Baudrillar, bahwa media menciptakan audien yang pasif, sebuah strategi politik atau kepentingan media?
Terlepas dari perdebatan di atas, duto urang awak indak sato, kicuah urang awak indak ikuik, penulis mencoba untuk menelaah kode-kode yang dimunculkan oleh media. Kode-kode inilah yang akan demapatkan dan dilipat demi untuk kepentingan media sehingga bermuara pada Denotatum yang sama yang penulis namakan dengan ‘kolonialisasi bahasa oleh media’.
Tentang Postkolonial
Di awali dengan dengan teks proklamasi, ‘’hal-hal mengenai perpindahan, kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya’’, alhamdulilah sudah tertunaikan dengan baik. Tetapi, yang lebih sulit perpindahan dari jiwa dan mental terjajah kemental dan jiwa merdeka membutuhkan waktu yang relatif lama. Seperti yang dikemukana Leela Gandhi (2001) dampak penjajahan itu akan terasa bebrapa tahun atau mungkin puluhan tahun setelah kemerdekaan, dampak itu kian terasa setelah praktek itu dilaksanakan oleh bangsa dan saudara sendiri. Baik melalui sistem pendidikan, politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Kita bangsa indonesia yang berdaulat baik kedalam maupun keluar belum mampu menciptakan sitem sendiri, banyak hal yang selalu disadur dari dunia barat atau Eropah. Dari cara berpikir, life stile, acuan kemajuan hingga pendidikan sendiri semuanya bermuara pada denotaum yang sama yaitu Barat. Kolonialisme sudah jelas menginginkan segala hal yang berasal dari dirinya (Fanom dalam Gandhi 2001:26). Fanon menegaskan kebebasan total dalam artian merdeka sebenarnya adalah kebebasan yang memperhatikan segala aspek kepribadian.
Jadi menurut Fanom, kebebasan itu adalah bebas berpikir, bertindak, dan melakukan segala hal selama tidak merugikan orang lain secara khusus dan kesatuan bangasa secara umum. Nah, kesatuan bangsa? Perlu dilihat lagi kesatuan bangasa seperti apa? Kita lihat konsep bangsa dan negara, awalnya merupakan kesatuan dari kelompok kecil lambat laun menjadi besar setelah mempunyai persamaan misi, visi dan satu cita-cita yaitu kemakmuran bersama dan saling mencerdaskan dan bukanlah saling membunuh? Jika semua itu tidak bisa direalisasikan lagi, apakah salah GAM memberontak atau PRRI pecah yang kemudian divonis menjadi pemberontak. Jawabnya sederhana saja adalah sebuah kewajaran karena menuntut sebuah keadilan yang memihak rakyat, sebab negara ini bukanlah milik penguasa, negara ini ada karena adanya rakyat jelata sebagai tumbal kemerdekaan meskipun dimasa PRRI dianggap sebagai sampah kemerdekaan.
Alhasil dari itu, membekaslah luka-luka historis dari mereka yang dipaksa menjadi budak. Luka-luka ini lambat-laum menjalar dan mengakar dan melahirkan moral baru, proses itu akan berlangsung sangat rapi melalui sitem yang diakui dan bahkan dipuja atas nama intelektual dan sebuah keinginan menaklukan dunia dan merubahnya menjadi dunia yang dihayalkan, moral baru etika baru kiranya perlu dipergunakan untuk mencapai birahi kesempunaan tersebut. Nah, di saat para budak ini berkuasa, darah-darah baru akan disusupkan melalui sitem yang rapi, kepembuluh-pembuluh vena maupun arteri warga negara, itulah moral yang dinginkan dalam sebuah perubahan menyeluruh, namun masih dalam versi hayalan satu budak saja. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nietzche dalam Ritzer (2003) geneologi moral yang digambarkannya sangat memilukan, moral awalnya jatuh dari langit, setelah sampai dibumi moral dibunuh, kemudian moral dilahirkan kermbali dalam wujud baru sesuai dengan kepentingan duniawi, Nietczhe kemudian divonis mati dalam keadaan gila dan seluruh keluarganya ikut menjadi tumbal kegilaan Nietczhe. Jelaslah terlihat apa yang dikemukan Gandhi dalam Gandhi (2001:29) bahwa para budak mengingnkan sifat penjajah tetapi tidak mau disebut sebagai penjajah, menginginkan sifat hariamau tapi tidak mau disebut harimau, tetapi pahlawan atau penyelamat. Jalan satu-satunya untuk terus maju adalah membuat harimau itu tidak lagi menyenangkan, kapan perlu jangan sampai belangnya tertinggal dan tercecer.
Seiring dengan itu Gandhi dan Fanon dalam Gandhi telah mengingatkan akan bahaya Narasi Moderen Barat, bahwa Kolonial tidak akan berhenti sampai kemedekaan Si tejajah telah diperoleh secara De facto, Gandhi dan Fanon ingin menyatakan bahwa Barat akan kembali memasukan tokoh-tokoh dari para korbannya yang terepresi dan terpinggirkan, dalam artian menjadi objek kajian untuk mengambil hati Si terjajah. Untuk mensukseskan itu mereka menceritkan industrialisasi sebagai ekspoitasi terhadap ekonomi, demokrasi yang terpecah terhadap aksi protes dari pihak yang mempunyai hak pilih, teknologi yang selalu dikombinasikan dengan perang, sejarah pengobatan yang diidentikan dengan teknik penyiksaan. Semuanya itu bertujuan untuk menghasilan ekploitasi ekonomi baru terhadap para budak, menciptakan senjata yang lebih canggih untuk menghadapi perang, dan menciptakan teknik penyiksaan baru terhadap kaum akar rumput. Apakah ini suatu penodaan dan pendosaan terhadap Marx? yang pada kenyataannya Marxisme itu disalahtafsirkan sehingga kaum intelektual menceburkan dirinya ke dalam konsep komunis, sebagai akibat dari pendewaan terhadap salah satu segi aspek saja tanpa memikirkan aspek utama yang dibahas di dalam marxisme, akhirnya Marx didosai atas pemikiran yang dimunculkannya (Berlin 2000). Ataukah memang itulah tujuan Karl Marx yang sebenarnya? (Baca rahasia kecerdasan Yahudi).
Salah satu contoh yang jelas terlihat atas keberhasilan prinsip kolonial ini, seperti yang dikemukan Leela Gandhi adalah protesnya terhadap Rene Descartes. Gandhi juga menarangkan menjalarnya teknik kolonial ini berangkat dari kegagalan cogitonya Descartes, karena subjek yang berpikir tidak tahu batasan yang jelas tentang berpikir sehingga berakhir dengan kekerasan, debat kusir para sarjana karena ingin curhat pada kebenaran mutlak, semangat persaingan, kompetisi sehingga secara pelan akan menempa senjata-senjata akal. Alhasil, rusaklah rasionalitas kaum intelektual yang notabenenya pelanjut Aufklarung, ujung-ujungnya akan membawa kepada kepicikan hingga ke peperangan-peperangan. Lalu hukum akan menggantikan kesejahteraan dengan ‘’rule of low’’ dengan cara memasukan kekerasan ke dalam sistem dan berlanjut kedalam dominasi ke dominasi (pengaruh). Faucoult mengatakan dalam dalam Poole (1993) dengan mengatas namakan geneologi kekuasaan, dimana kekuasaan tersebut berada dimana-mana, kapan saja, momen apa saja, mengitari diri setiap orang.
Jadi, Poskolonial sejalan dengan feminisme dan Hyperrealitas yang dikemukan Eco, Baudrillar dengan simulasinya, seperti yang diakatakan tiada salahnya kita menikmati hidup dalam dunia simulasi, menikmati hidup dalam hiperealitas, pelipatgandaan ada (being), kemudian Piliang dengan Hypersemoitika yang mengatakan bahwa tanda tidak ada lagi acuannya dalam realitas, semuanya berupa penanda. Maka inilah yang dikatakan Piliang (2006) bahwa manusia terjebak dalam bujuk rayu dan ketersesatan tanpa bertujuan, citraan adalah segala-galanya bagi manusia. Tanda menciptakan mitosnya sendiri dalam nostalgia dan mengambil alih makna secara atuh, hayalan-hayalan semu tetapi terlihat sangat nyata. Meskipun padahal awalnya simulasi dianggap Baudrillard sebagai strategi intelektual, namun perkembangannya membawa dampak menuju hiperrealitas sebagai akibat dari pengalaman kebendaan itu adalah hasil dari sebuah proses.
Postkolonial adalah pemberontakan cara pandang objektiftivitas terhadap ekpsloitasi yang berlebihan oleh subjektivitas, sebab di dalam prosesnya sendiri kolonial itu ditanamkan dengan nama baru, atas nama kemanusiaan, pencerahan, keamaanan dan juga atas nama ketentraman masyarakat yang pada intinya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menanamkan pengaruh, dominasi, namun sangat tersusun rapi, tersistim dan hal itu diakui secara tidak sadar maupun tidak. Kajian terhadap Poskolonial lebih sejalan dengan Dekonstruksi yang diancang dan dipraktekan Derrida di dalam melihat seuatu yang bermakan adalah teks.
Pembahasan
1. Ekploitasi Seksual
‘’Tetapi jelaslah bahwa nilai-nilai perempuan sangat sering berbeda
dengan dengan nilai yang telah diciptakan oleh jenis kelamin lain,
sebenarnya begitulah,sebenarnya nilai-nilai maskulinlah yang berkuasa (Viiginia dalam Poole, 1983; 67)’’
Menarik apa yang dikemukan Faucoult dalam Ritzer (2003: 109) bahwa seksualitas adalah pemindahan pemahaman yang padat terhadap seksual. Awal abat 17 victorinisme membatasi seksual hanya sebatas di dalam rumah dan perkawinan dalam lingkungan keluarga, namun setalah itu diserap oleh ilmu pengetahuan ke dalam diskursus, adanya suatu usaha agar seks dipadatakan melalui bahasa, pernyataan bahwa seks adalah topik yang sangat menyenangkan untuk dibahas, bahkan di lain kajian tentang seksual sudah diciptakan teorinya. Penanaman idiologi atas ketabuan seks harus disirnakan karena itu menyasikan. Agar diskursus tentang seks ini tidak merugikan kekuasaan, maka kekuasaan berusha mengidentifikasi, menyediakan literatur dan melakukan pencatatan yang sangat rapi, persoalan seks adalah kebijakan negara, di Indonesia sendiri lahirlah UU pornografi dan porno aksi. Artinya, kekuasaan tidak berusaha tidak menyembunyikan hasil dari peningkatan pandangan tetapi lebih tertarik kepada kenikmatan seks. Focoult juga menyatakan bahwa kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan persetubuhan, dengan mencumbunya dengan mata, mengintensifkan bagian-bagiannya, membangkitkan permukaannya dan mendramatisir kekacauan (Rizer 2003: 112).
Kemudian pasca pelacur melahirkan postfeminisme, yang mana banyak kalangan menuntut untuk melegalkan prostitusi, lesbian, homoseksual dan heteroseksual. Prostitusi, lesbi ataupun homo pernah dibicarakan tuhan pada masa Nabi Lut, yang maan para umatnya dilaknat kerena laki-laki telah menyerupai perempuan, perempuan menyerupai laki-laki, seks sesama jenis. Kemudian Dorse yang menukar kelamin mejadi perempuan, Afi yang minta dikuburkan sebagai laki-laki, Lenny yang sembahyang memakai makena dan pergi Haji sebagai laki-laki. Ini adalah sebuah fenomena yang nyata ditawarkan oleh media yang sudah dimamah oleh masyarakat komsumer kita. Memang betul isunya berangkat dari jender, persamaan jender, pembagian rata hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan. Juga, awalnya mucikari hanya seorang penampung PSK atau pencari PSK untuk diperkerjakan, tetapi lambat laun hal itu berubah menjadi sebuah profesi yang patut pula dihargai dan diakui. Perhatikan saja rimah atau Lokalisai Doly, setiap belun puasa kegiatan jual beli diliburkan karena para pekerja pulang kampung untuk menunaikan ibadah puasa, sementara itu Pak RT di lingkungan Doly bisa istirahat.
Nah apa yang terjadi di dunia media, sesuai dengan apa yang dinyatakan Focoult tersebut di atas, seks dicumbu dengan mata, televisi menyuguhkan kemolekan tubuh wanita, kelangsingan, mulus, cantik itu putih dan segala macamnya. Inilah yang yang dinginkan oleh kekuasaan, memanajemen seks untuk kenikmatan dan kepuasan birahi melalu sarana media, sebab tidak bisa ditolak bahwa semua mata masyarakat konsumen sudah tertuju pada dunia maya, antologi citraan. Sangat menggiurkan ketika iklan sampo mampu membersihkan kotoran rambut hingga keakar-akarnya, dan sangat menjanjikan ketika memakai biore, nivea mampu membuat wajah bersih dan putih. Meminum pil rapet wangi membuat perempuan terasa virgin. Sejalan juga denga apa yang dikemukan Piliang (2004: 322) bahwa kesucian telah digantikan oleh mesin, yang suci adalah yang sesuai dengan apa yang dibicarakan dalam ontologi citraan. Ini adalah suatu usaha bagaimana membuat kaum adam senang, dan matanya tertuju kepada virjinitas kaum perempuan. Moral-moral seperti ini telah mampu menciptakan mitos baru bahwa yang virjin itu adalah perempuan yang suca meminum pil rapet wangi, dan secara tidak langsung sudah menghancurkan mitos lama bahwa yang virgin itu adalah yang suci dan belum tersentuh. Di sini moral yang diajarkan agama samawi terbuang dan hancur seiring timbulnya mitos yang dibuat oleh kekuasaan.
Sejalan dengan itu, ekploitasi terhadap seksual semakin dibicarakan, budaya seksual yang menjadi pembahasan cultural studies mengkategorikannya ke dalam budaya populer yang sudah seharusnya dinimati oleh masyarakat moderen. Setidaknya itulah yang diciptakan dan yang dinginkan Hagemoni Barat dan Eropah, membangun sebuah tatanan baru, feminisme perempuan dunia ketiga ke dalam sebuah kancah yang dulu termarjinalkan, menjadikan perempuan pribumi atau perempuan Timur sebagai objek pembanding. Membuat pernyataan bahwa sudah saepatutnya kesetaraan jender menjadi kajian yang menarik. Padahal sesungguhnya pandangan feminisme baru itu adalah sebuah pendustaan untuk menghancurkan mitos perempuan suci yang dimiliki oleh orang Timur. Di pihak perempuan Timur malah tidak sadar bahwa penjajahan terhadap dirinya sudah dilakukan oleh feminisme Barat (Yahudi), mempunyai anak cukup 2 saja karena bisa lebih fokus untuk membiayainya, makanya pakai kondom dalam transaksi seksual, atau diperbolehkan berhubungan seks dengan menggunakan kondom, bergerigi agar lebih sensual. Sekarang, transaksi seksual sering dibumi hanguskan, kalau memang benar ini dilaksanakan maka kerugian yang utama terletak pada kekuasaan, jika pelcuran ditutup maka berkuranglah devisa. Salahnya kekuasaan sendiri, bagi kaum lelaki dituntut mempunyai istri 1 supaya bisa bersifat adil dan setia, kekuasan memunculkan UU tentang itu, akibatnya Si laki-laki bebas jajan di pinggiran jalan dari pada menyantap hidangan yang terjamin dan bersih di dalam rumah. Namanya jajan di luar belum tentu jajanan itu bersih dan terbebas dari kuman penyakit.
Dalam bebearapa waktu ini kekuasan lengah dalam mengomandoi seksual, sehingga seks mengganas merambah gedung suci DPR, instansi dan lembaga-lembaga terdidik, sehinngga mental para pemangku kekuasan perlu dipertanyakan. Perselingkuhan, pelecehan seksual, dan istri simpanan, telah menghanguskan apa yang dianggap aturan yang ideal bagi bangsa Timur dan memberantas habis feminisme ketimuran. Media yang sarat dengan informasi telah berubah menjadi pemangsa yang ganas, memangsa budaya, moral hingga masyarakat akar rumput, pelecehan terhadap anak di bawah umur, perkosaan yang dilakuakan oleh ayah rutiang adalah fenomena yang tidak asing lagi, beginilah feminisme yang dinginkan dunia Barat. Memang wanita karir adalah sebuah profesi yang sangat menjajikan dalam dunia moderen tetapi secara radikal keluar, suami terabaikan, anak-anak kehilangan idolanya yang pertama, sejak kecil hidup dengan bebi sister, bebi sister jadi ibu tiri. Selera suami lebih ditentukan oleh pembantu, mulai dari pakaian, masakan hingga seks.
Sekurang-kurangnya usaha hagemoni Barat sudah mulai sukses untuk menanamkan ideologinya, sorotan terhadap kaum perempuan terpinggirkan menjadi suambangan hangat bagi perempuan timur, tetapi sesunggunya perempuan Timur telah membantu mentransformasikan usaha mereka untuk kembali menjajah dengan sistem.
2. Kuasa
Hanya berawal dari nafsu, nafsu benda, seks, dan jabatan. Mari kita coba mengkaji sedikit tentang nafsu. Abraham Ilyas (2003) menggolongan nafsu menjadi 2 bagian, pertama dinamakan dengan keinginan atau syahwat, syahwat ini dibagi menjadi 2 yaitu nafsu berbuat baik (mutmainah) kaum sufi menyebutnya dengan sifat ketuhanan dan Nafsu Asmara (supiah) yang membakar kebirahian remaja, mempercantik diri. Kedua dinamakan dengan ghodob (kemurkaan) yaitu amarah dan lawammah. Nafsu amarah sifatnya mempertahankan diri, berlindung, melawan, melarian diri, dan mempengaruhi orang lain. Jika berkembang sesuai dengan sepatutnya maka baiklah sebuah negara, sifatnya suka mencela dan keras kepala. Sedangkan lawammah yaitu nafsu untuk mengembangkan diri sifatnya rakus, tamak, ibarat seekor raksasa yang ingin melahap apa saja, jika nafsu ini terkordinir dengan baik maka akan mengusung kepada pembanguna material yang bagus.
Nah sekarang, kedua nafsu seperti yang dikemukan dokter gigi di atas dihadapakan kepada kapitalisme golbal yang nyatanya telah menyediakan ruang untuk perkembangan hasrat dan birahi. Sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Piliang (2003) semuanya berwujud simulasi, kekaburan batas antara polisi dengan kriminal, spiritual dengan antologi citraan, politik dengan ekonomi. Senyatanya telah terjadi penyatuan imanem dengan transendent. Apa yang dibanggakan oleh masyarakat moderen terhadap kemapanan, apa yang dipuja budaya pop atas nama kemajuan hanyalah berwujud utopia, utopia idiologis, utopia kemaslahatan dan utopia akhlak. Yang mapan adalah sebuah pembodohan, pembodohan-pembodohan inilah yang menggelayut di benak masayarakat komunal global.
Dunia nafsu yang digambarkan Abraham membaur dan saling tumpang tindih dalam merebut masing-masing kesempatan. Nafsu mutmainah menyatu dengan nafsu supiah di dalam kancah politis, di dalam kancah moralitas dan di dalam kancah budaya. Di saat burung garuda terbanng di atas nusantara, sungguh melihatkan kemakmuran, padi menguning, sayuran subur, petani salut acungkan jempol. Ketika petani bercengkrama dengan penjaga warung, kepentingan politis di elu-elukan, BBM turun, Bulog dikendalikan sementara masih ada saja orang yang kelaparan dan putus sekolah di usia yang sangat produktif. Di lapangan sosialisasi besar-besaran, memakai baju berlambangkan partai poliik mendapatkan upah Rp. 25.000. Namun, di sela kebodohannya masyarakat akar rumput mempergunakan momen yang sangat menantang itu, uang diambil tetapi pilihan tetap pada hati nurani rakyat atau hati nurani partai? Masyarakat telah lupa kedasyatan lumpur porong yang sampai sekarang semakin banyak memakan korban harta benda, masih tidur di tenda darurat, sementara lokasi lumpur sendiri sudah menjadi objek wisata, tercipta juga lapangan kerja baru di lingkungan porong, tetapi itukan hanya segelintir orang yang menikmati, lalu korban-koraban moral yang ditimbulkan bencana buatan itu bertindak anarkis, merampok dan menjual harga diri, inilah sebuah moral yang diinginkan kekuasaan, berusaha membuat wacana bencana untuk mengaburkan isu penting di dalam perpolitikan nasional. Kemudian di antara kampanye dengan bencana situ gintung? Tiada pembatas, menari di atas yang menangis, pesta demokrasi di pundak luka moral bangsa.
Pasca tumbangnya orde baru sebagai simbol kestabilan nasional terjadilah eksodus manusia secara besar-besaran, pengusiran, pembantaian etnis, perang suku, ras hingga agama. Ini dikatakan piliang secara semiotik sebagai simbol keruntuhan persatuan dan kesatuan bangsa, dimana saudara sebangsa tidak menghargai lagi perbedaan pendapat, etnis, agama dan kebiasaan. Hilangnya ruang-ruang sosial, kesaling pengertian, dan saling memahami, hanya kerana si termarjinalkan kembali menuntut atas ruang soaialnya yang telah dikapling dan dibagi-bagi penguasa pada masa lalu. Suatu momen yang tepat bagi media untuk menyatakan bahwa telah terjadi tindakan anarkis karena kesalahpahaman di antara masyarakat, media mampu memanagemen wacana itu kedalam sebuah berita yang populer di bicarakan hingga munculnya isu baru yang menghilangkan isu lama, permasalahan isu lama seslesai seiring yang dinginkan alam. Para masyarakat dibodohi, intelektal dipermainakan, intelektual ontologi citraan dipertanyakan.
Luka-luka itu bertambah lama bertambah melebar dan merambah masyarakat tradisional ke pelosok-pelosok terpencil, masyarakat tradisional seakan mengetahui cara membunuh, maling dan memperkosa dengan baik setelah simulasi buser di wacanakan di dalam media, kronologi peristiwa mengajarkan dengan cara tersistem, apa saja yang dipersiapkan pelaku sebelum membunuh, rute yang ditempuh, dan prosesnya hingga korban meregang nyawa. Sebuah kronologis citraaan yang sangat mendidik khalayak untuk bertindak anarkis dalam mencapai sebuah keinginan. Ketika si miskin maling ayam, sepeda motor atau pencopet hukum rame-rame ditegakan, kapan perlu ada bekas tembakan di kaki si terdakwa supaya tertanda dan terbukti terdakwa berusaha kabur saat di grebek polisi. Namun, dibalik itu semua, terdapat komando pencopet yang ditenggarai oleh pihak yang berwajib, di anggap sebagai uang keamanan. Lalu bagaimana jika hukum berhadapan dengan pemegang kekuasaan? Korupsi, pelecehan seksual, hukum dibuat samar, sebuah trik untuk melepaskan diri penguasa dari segala macam tuduhan dan jeratan dosa.
Pada masa orde baru penjajahan atau halusnya perluasan pengaruh kekuasan ditanamkan melalui ekonomi, politik dan budaya. Seolah-olah terdapat slogan, ‘’kami dan engkau’’, kamu adalah pancasialis dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan oleh karena itu engkau perlu di tatar, dan disingkirkan lebih-lebih bagi nenek moyangnya terlibat. Masa itu dipertegas oleh media dengan memutar kebejatan PKI pada tahun 65, sementara kisah pilu PRRI di sumatra barat terlupakan. Di saat tentara pusat mengerayangi harga diri rakyat Minangkabau, itu dianggap sebagai penjaga persatuan dan kesatuan, pembelaan terhadap kesaktian pancasila, seekor burung garuda yang dipaku didinding sekarang sudah bisa terbang menyelusuri seluruh pelosok nusantara, menebarkan kekuasaannya di pelosok kepulauan Indonesia, alangkah lebih berbahaya lagi.
Tidak berhenti hanya sampai di situ, pengaruh-pengaruh itu kembali dilanjutkan, media sebagai perentara kekuasaan itu, puluhan partai politik telah saling merebut pengaruh dan perhatian dari orang yang termarjinalkan secara politis, ekonomi dan budaya. Maka dibuatlah sistem politik yang agak berbeda dari sebelumnya, sistem ekonomi yang lebih kapitalis dari yang kapitalis (postcapitalis) sangat tersistem tangan-tangan panjang itu melangkul masyarakat yang kebetulan sedang kedinginan, kehausan dan kelaparan terhadap loyalitas pemimpin. Layaknya persatuan dan kesatuan itu telah dipecah, dikapling-kapling berdasarkan kepentingan politis demi menabur benih dan menanamkan kekuasaan baru di indonesia baru. Ingat burung Garuda yang dipaku di dinding sudah tidak merasa puas makanya dia terbang melihat secara langsung dimana lahan strategis untuk dijadikan pusat dan titik kekuasaan.
Jelas terasa bahwa nafsu amarah yang dimiliki kaum tertindas akan berhadapan secara langsung dengan nafsu lawwammah yang dimiliki oleh kekuasaan, perang tanding, sebagai akibat dari pengkaplingan hak, teritorial, pemaksaan politis hingga pembunuhan berencana melalu sistem. Sejalan dengan apa yang dinyatakan Frederik Nietczhe bahwa di saat para budak berkuasa revolusi massal akan dilakukan, bertindak atas nama keadilan, anarkis demi membela hak yang telah terampas, teriotorial yang direbut, sehingga kaum tertindas yang mengatasnamakan dirinya budak-budak yang berdaulat akan menuntut balas atas hak-haknya yang telah direbut oleh sejarah masa lalu, Skizofrenia historis dan sebuah utopia kemajuan. Kekerasan-kekerasan gaya baru tersebut sangat mempunyai peluang untuk menempati kekuasaan, sistem hukum, dengan puluhan partai politik dan sekaligus anarkis simpatisan hingga calon penguasa sendiri sudah mulai unjuk kekuatan untuk merebut simpati kaum tertindas.
Setelah berhasil memegang tampuk kekuasaan, cara menjajah akan lebih tersistematik, sebab kekuasaan akan mengambil dan belajar pada sejarahnya sendiri yang begitu anarkis serta memihak penguasa. Jika Focoult mengaitkan pengetahuan dengan kekuasan, Piliang mengaitkan pengetahaun, kekuaasaan dengan kematian, maka di saat yang akan datang penambahan yang dilakukan Piliang bisa berubah dengan kematian tersistem, dramatisir, dikolosalkan agar lebih indah. Melalui kepintaran media massa mengkolonialisasikan bahasa, kode-kode sosial mampu menciptakan strategi baru, mitos baru untuk mencapai kemakmuran yang diinginkan kekuasaan, sentralistik penguasa. Melalui ekploitasi language dan parol kekuasaan akan akan kekal di atas pundak-pundak deritanya kaum marginal, kekuasaan akan bertengger santai setelah tampuk jaringan dipegang oleh hanya satu orang, godfather.
Namun, publik yang pada mulanya dianggap bisa dibodohi terpakasa pintar, kuda memperkuda siapa, Si bodoh yanag akan membodohi siapa, seeprti yang diungkapakan pepatah minang, ‘’iyokan nan di urang lalukan nan di awak’’. Kalau boleh meminjam istilah Giddens tumbal modernitas yang dinamakannya itu akan akan bertindak kanibal melebihi Sumanto Si pemakan mayat, kali ini hingga abu tulang belulang akan menjadi incaran para budak-budak marginal. Contoh nyatanya dapat kita lihat dari tragedi ponari mampu mengungkap semua kejelekan kekuasaan, biaya berobat yang begitu mahal, birokrasi yang berbelit-belit di rumah sakit pemerintah, yang miskin cenderung terlalaikan sehingga Si miskin terpaksa meregang nyawa karena tidak mendapat kesempatan untuk hidup lebih lama. Masyarakat kecil putus asa, mempergunakan tetumbuhan yang tumbuh di daerah kotoran, barang-barang yang diharamkan agama, tetapi untuk obat hal itu dimaafkan, yang penting sugesti untuk tetap hidup. Ponari bukanlah fenomena langka dan baru, kebiasaan seperti ini sudah terjadi sejak puluhan tahun di daerah Minangkabau, jika anggota masyarakat tasapo, tataguaran, obat yang dianggap mujarab adalah cikumpai, cikarau, sidingin, sitawa, sapitan tunggua, pudiang hitam hingga air kencing mampu menyembuhkan. Hal ini diyakini mampu menawarkan maka tumbuhan itu dinamakan si tawa, kemampuan menyelesaikan masalah dengan jin dinamakan dengan ci karau berasal dari perkara, cikarau sengaja membuat buat perkara, si dingin dan si tawa mampu mendinginkan dan menenangkan Si pesakit. Anehnya masyarakat tradisional di jika berhadapan dengan penyakit kuno masyarakat Minangkabau tidak mempercayai obat yang diberikan dokter. Aapakah ini lambang keputus asaan dari masayarakat marjinal? Bagaimana jikalau penyakit itu timbul karena tubuh manusia dirasuki jin? Mampukah dokter menyembuhkannya? lalu apa masalahnya dengan Ponari yang hanya sebagai pelanjut dari keputus asaan tersebut, toh penyakit bisa saja sembuh karena adanya sugesti dari si penderita.
3. Politik Yahudi
Sewaktu Bani Israil di usir dari oleh Roma, ketika Ynuani mengkebiri dan membantai Bani Israil, dan di saat Mesir di bawah Amnehotib ke-IX memperbudak Kaum Yaqub ini terbitlah dendam kesumat bagi kaum Yahudi yang nota benenya adalah Bani Israil. Yahudi marah sehingga menghancurkan harapan Musa yang membawa taurat, dijadikannyalah Taurat sebagai Talmut, yang mana pokok ajarannya adalah mengganggap Bangsa Yahudi lebih unggul dari bangsa lain, agama Yahudilah yang lebih sempurna, Bangsa Yahudi bangsa pilihan Tuhan. Adalah wajar Yahudi bersikap seperti itu, sebab bagaimanapun juga syirah para Nabi menyatakan bawha Ibrahim, Musa, Yusuf, Yaqub, Sulaiman adalah manusia pilihan dai kaum Yahudui.
Nah, perasaan tidak senang muncul ketika kaum yahudi dideskreditkan, di bantai oelah nazi dan pengusa setempat lainnya. Di seluruh penjuru Yahudi menjadi bulan-bulanan dan tidak punya tempat tinggal. Talmut mengajarkan bangsa Yahudi memperbolehkan melakukan segala cara demi tegaknya kembali Kuil Salomon. Di segala penjuru Dunia Yahudi ada sebagai pengendali, mereka minoritas tetap mampu memanfaatkan penguasa setempat, Amerika, Inggris, Parncis, Spanyol, Indonesia dan seluruh Negara di bumi ini mulai merasakan kuatnya pengaruh Yahudi. Indonesi yang terikat uatag luar negri yang diwadahi IMF adalah bikinan Yahudi, uang diperbungakan untuk selalin bangsa Yahudi, di ciptakan Sosialis, Komunis, Demokrasi, Pluralisme, Marxisme dan segala macam ideolog yang mengatasnamakan Humaniora. Fremansory sebuah organisasi Nirbala yang mengatas namakan kemanusia adalah buatan Yahudi, sempat pula bergabung Jalaluddin Al-Afgani sebagai anggota.
Di Amerika Serikat segala lini dipegang oleh Yahudi. Ekonomi, Sosial, Budaya, Politik, Agama, hingga Media dikendalikan oleh Yahudi. Ajaran Marxisme buatan Karl Marx adalah yahudi karena Marx sendiri adalah Yahudi, Enstein yang kabur dari Jerman di saat pembantaian orang Yahudi oleh Hitler kabur ke Eropa dan menciptakan penemuan baru.
Nah, apakah Yahudi sudah sampai di Indonesia? Jawabnya ialah sudah lama, mereka juga menanamkan pengaruhnya di dunia akademis, Politik (multy Partai), Sosial agama (kawin beda agama), homo seksual, perkosaan anak dibawah umuradalah ide dari yahudi. Sebab yahudi sengaja merusak keturunan umat agama lain dengan jalan zinah. Aneka zinah adalah sebuah makna kerusakan generasi agar Yahudi lebih gampang memanfaatkan hasil karyanya tersebut. Sementara di kalangan mereka sendiri tidak melakukan ide ciptaannya tersebut. Sesama orang Yahudi tidak boleh berzinah, orang Yahudi dilarang nikah dengan orang beragama selain Yahudi, orang yahudi tidak boleh memakan riba karena mereka tahu dampaknya sangat buruk bagi saudara-saudaranya.
Ketika orientalisme muncul, Timur dianggap terbelakang, kanibal, Baratlah yang nomor satu. Bangsa timur adalah keturunan Syetan, sama dengan orang Nasrani sama-sama dari Syetan. Setelah Barat memiliki pengaruh besar notabenenya adalah Yahudy. Hagemoni yang digambarkan sebagai strategi sosialis (Laclau,2008) dimapatkan dan diselipkan ke segala lini, media sebagai salah satu sarana terbesar di Indonesia menyalurkan pengaruh dan ide Yahudi, pergaulan bebas, KKN, dan kebejatan moral lainnnya sangat jelas digambarkan media massa. Namun, masyarakat komunal memandang hal tersebut sebagai Multicultural, padahal multicultural dapat melahirkan orang cerdar sekaligus merusak moral bangsa dan masayakar consumer, budaya popular, modernisai hingga postmodernisme itu sniei adalah trik dari Yahudi itu sendiri agar gerak geriknya susah dicium, seadainya tercium nasib Yahudi akan lebih naas lagi, pembersihan etnis Yahudi di seluruh Negara.
Lalu apa yang dinginkan Kolonial? Siapakah kolonial itu? Berkaitan dengan apa yang diwacanakan di atas bahwa kolonial adalah sebuah gerakan penjajahan, kolonial tidak hanya Belanda atupun Inggris. Kolonial adalah sebuah usaha untuk menguasai hingga keakar-akarnya, kapan perlu tiada meninggalakn bekas. Kolonial adalah sebuah sifat dan gerakan sosialis, komunis, idiologis, yang sengaja diciptakan oleh Kaum Bani Israil (Yahudi) yang notabenenya dijelaskan tidak pernah mempunyai tempat tinggal yang tetap tetapi mampu menghasilkan pengaruh besar. Kolonial memegang pucuk pimpinan Amerika Serikat, Inggris, dan semua nagera kuat yang ada di belahan dunia. Dia masuk memalui sistem pendidikan, ekonomi, budaya, agama dan sosial masyarakat. Kehadirannnya terasa tetapi tidak terlihat, dia bergerak lambat tapi pasti, ketika gelagatnya merugikan kekuasaan setempat maka terjadilah pembantaian besar-besaran terhadapnya, seperti yang dilakukan Roma, Yunani, Mesir dismasa kepemimpinan Amnehotib (Ramses) hingga menjadi kelinci percobaan oleh Nazi.
Kemudian Inggris membuka eksodus bebsar-besaran terhadapnya saat menjajah palestina, pintu itu dibuka lebar bagi Inggris untuk kaum Yahudi untuk membentuk Negara Zionis yang selama ini teranaiaya dan terpinggirkan, mereka sangat yakin bahwa mereka adalah bangsa pilihan tuhan tetapi kenapa mereka tidak mempunyai tempat tinggal sehingga pembantaian terhadap etnisnya sering terjadi. Ibrahim, Musa, Yuyuf, Yaqub, Sulaiman adalah dari keturunanya tetapi kenapa Muhammad tidak dari keturunnanya? Kuil Salomon dihancurkan Roma dan islam mendirikan Masjidil Aqsa di atas reruntuhnya, para rabi membawa kekayaan kuil Salomon ke Vatikan Roma. Sekarang mereka menuntut minta kekayaan itu minta dikembalikan dan hancurkan Vatikan demi menyambut Al Meisiah sebagai juru selamat dunia, dia akan bersinga sana di Kuil Salomon yang direncanakan didirikan kembali. Islam sebagai musuh berbuyutan dan sekaligus pelindung bagi bani Israil semasa di usir dan dibantai tidak luput dari rencana jahat kolonial itu.
Kita mungkin masih ingat ambruknya gedung WTC, itu adalah ulah Yahudi dan bukan Osama Bin Laden sendiri, namun yang didosai adalah Oasama dengan kawan-kawannya. Bagi osama Bin Laden tidak masalah karena beliau adalah bangsa Yahudi. Tetapi label dan kode teroris Internasional di hadiahakn kepada Islam, Osama Bin Laden tidak akan bisa mati ataupun tertangkap jika tidak ditangkap atau dibunuh oleh Yahudi sendiri. Lagi pula HAMAS sebagai pembela hak Palestina dikatakan penjahat atau teroris, Amrozi CS dihukum mati, memang itulah yang diinginkan Yahudi supaya jejaknya tidak tercium oleh pengusa setempat, Amrozi CS adalah didikan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam. Nah, pasca terbitnya buku Teroris Internasional, Noam Chomsky menjadi hantu yang ditakuti oleh Barat dan Yahudi.
Simpulan
Media sebagai sarana informasi telah berubah menjadi hantu yang lebih menakutkan dari pada hantu-hantu Marx, sebab dia akan memangsa siapa saja yang bisa dipengaruhinya, runtuhya tembok transenden dan imanem, melahirkan kebiadaban, kekanibalan yang diinginkan Zionis/Kolonial. Terputuslah hubungan spriritual dengan tuhan, itulah yang dinginkan kolonial. Media sebagai sumber berita, telah membawa berita kematian, menanamkan pondasi kehancuran total bagi rakyat bawah. Baik dari segi moral, agam, budaya dan terlebih lagi hubungan sosial.
Media masa telah berusaha menanamkan sifat dan pengaruh kolonial (kapitalisme), meskipun pada awalnya kolonial adalah sifat Yahudi, sebuah bangsa berbahaya bagi setiap orang yang berada di luar etnis itu. Oleh karena itu, perlu dihancurkan dan dibinasakan, sebab belum lama ini Indonesia paceklik karena proses telah terrealisasikan melalui IMF. Besar kemungkinan tujuan selanjutnya menanamkan pengaruh terhadap suku bangsa terbesar di Indonesia yaitu Minangkabau! Sebab bagimanapun juga, Yahudi menghalalkan segala cara demi tegaknya Kuil Salomon dan menjadikan bangsa dan agama lain sebagasi budak, sebuah pembalasan orang Yahudi terhadap deritanya selama di bawah pemerintahan Amnehotib (Fir’aun).
Jadi, siapa saja yang memiliki sifat Kolonial adalah Yahudi, siapa saja yang menganut sitem kapitalis akan tebih cepat berubah menjadi Yahudi. Namun begitu, mereka tidakan pernah diakui sebagai se orang Yahudi, sebab di dalam kitab Talmut telah dijelaskan, ‘’bahwa siapa saja yang ingin menjadi Yahudi boleh-boleh saja, tetapi dia tetap tidak bisa menjadi Yahudi yang sebenarnya’’. Berarti, hanya sifat Yahudilah yang bisa dimiliki oleh bangsa dan agama lain, lagi pula bangsa lain sudah divonis tidak akan mendapatkan tempat di Kuil Salomon, karena mereka berasal dari keturunan Syetan. Hanya Yahudilah yang boleh hidup di dunia ini. Barat adalah anak emas Yahudi, meskipun begitu, Aku, Engkau dan Kita mempunyai peluang besar untuk menjadi seorang Yahudi.
DAFTAR PUSTAKA
Alimi, Moh. Yasir. 2004. Dekontruksi, Seksualitas Poskolonial, dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama. Yogyakarta: LKIS.
Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKIS.
Berlin, Isiah. 2000. Biografi Karl Marx. Surabaya: Pustaka Promethea.
Chomsky, Noam. 1986. Menguak Tabir Terorisme Internasional. Bandung: Mizan.
Dahlan, Muhidin M. 2001. Postkolonialisme: Sikap Kita Terhadap Imperelisme. Yogyakarta: Jendela.
Eco, Umberto. 1987. Tamsya dalam Hyperealitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial. Yogyakarta: Qalam.
Lomba, Anya. 2001. Kolonial dan Pasca Kolonial. Jakarta: Bentang.
Giddens, Anthony. 2001. Tumbal Modernitas. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ilyas, Abraham. 2003. Nan Empat: dialektika, logika, sistimatika alam terkembang. Padang: Lembaga Kekerabatan Datuak Soda.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. Hegemoni dan Strategi Sosialis, Poasmarxis Hingga Gerakan Sosialis Baru. Yogyakarta: Resis Book.
Maheswara, A. 2009. Rahasia kecerdasan Yahudi. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Postrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafikika. Yogyakarta: Jala Sutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamsya Melampoi Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jala Sutra.
Piliang, Yasraf Amir. 200. Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial. Solo: Tiga Serangkai.
Poole, Ross. 1993. Moralitas dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisus.
Mannheim, Prof. Karl . 1993. Ideologi dan Utopia. Yogyakarta: Kanisus.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postsmoderen. Yogyakarta: Juxtapose Research and Publication Study Club dan Kreasi Wacana Yogyakarta.
Ramly, Andi Muawiyah. 2009. Peta Pemikiran Karl Marx. Yogyakarta:
LKIS.
Sardar, Zianuddin. 2008. Membongkar Kuasa Media. Yogyakarta: Resis
Book.
Said, Edwar W. 1978. Oreantalisme. Bandung: Pustaka.
Sawirman. 2005. Simbol Lingual Teks Politik Tan Malaka Eksplorasi, Signifikasi, dan Transfigurasi Interteks. Disertasi Universitas Udayana Denpasar.
________, 2007a. Jurnal Linguistika Kultura, Vol 1 No 1, Juli 2007 hal. v—viii tahun 2007, dalam Pengantar Redaksi berjudul Wujudkan “Mazhab Linguistik/Sastra” di Indonesia.
________, 2007b. Jurnal Linguistika Kultura, Vol 1 No 1, Juli 2007, hal. 3—16 dengan judul artikel Cultural Studies: Dimensi Pengembangan Linguistik Masa Depan.
________, 2008a. Jurnal Linguistika Kultura, Vol. 1 Nomor 3 Maret 2008 dalam Artikel Editorial berjudul “Eksemplar 135” sebagai Embrio “Mazhab Linguistik” Universitas Andalas.
________, 2008b. Jurnal Linguistika Kultura, Vol. 2 Nomor 1 Juli 2008 dalam Artikel Editorial berjudul E135 Membedah “Wacana Dakwah” Usamah bin Laden (Sawirman, 2008).
________, 2008c. Menciptakan Paradigma Wacana Berdimensi Cultural Studies (disebut dengan ”Eksemplar 135”), dipresentasikan dalam Forum Dosen Berprestasi di Rektorat Universitas Andalas tanggal 11 Juni tahun 2008.
________, 2008d. Selamatkan Linguistik dengan e135. Makalah pada National Seminar on Language Literature and Language Teaching di FBSS UNP Padang tanggal 10-11 Oktober 2008
________. 2009. Kajian Linguistik Indonesia Kehilangan Esensi: Promosi Wacana Politik dan Eksemplar 135. In Zubir, et.al. In Memoriam Prof. Dr. Khaidir Anwar. Padang: Unand Press.
Sturrock, John (ed). 2004. Strukturalisme Post-Strukturalisme dari Levi-Strauss sampai Derrida. Surabaya: Jawa Pos Press.
Sunardi, ST. 2006. Nietzsche. Yogyakarta: LKIS.
Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta: Juxtapose Research Publication Study Club dan Kreasi Wacana Yogyakarta.
(Ancangan Proposal Tesis)
Oleh: M. Yunis
(Mahasiswa Magister Linguistik Universitas Andalas Padang)
Pendahuluan
Mengamati puluhan tulisan Sawirman sejak tahun 2003 hingga 2009 terutama seputar e-135, saya dapat merangkul spirit utama, yaitu “Jadikan Linguistik Menjadi Medan Terbuka”. Spirit inilah yang saya hargai untuk menjadikan lima tahapan dalam e-135 sebagai bingkai analisis media massa yang saya lakukan dalam tulisan ini. Sekelipun demikian, tulisan ini bukanlah cerminan bingkai praktis e-135 yang diuntai oleh Sawirman dengan begitu rigid. Lagi pula, tulisan ini tidak membuat lima tahapan yang diuntai oleh Sawirman secara eksplisit. Akan tetapi bagi pihak-pihak yang sudah memahami e-135 dengan seksama, lima tahapan yang diutarakan untuk mencapai makna terdalam sudah termaktub di dalamnya.
Ada sebuah stegmen yang menarik bahwa dunia film lebih kejam dari segala dunia. Ungkapan seperti ini kerap penulis dengar di saat masih bekerja pada salah satu Production House di Jakarta awal 2008 kemaren. Setiap kali pulang shuting penulis dan kawan-kawan bercerita dan bertukar pengalaman, seputar tentang dunia perfileman khususnya dunia media umumnya. Sikut-sikutan sepertinya sudah menjadi barang harian, menjatuhkan kawan baik apalagi lawan itu diperlukan untuk menunjang sebuah karir. Ya dunia media. Namun begitu, dunia media yang digambarkan tidak hanya sebatas daun kelor ataupun daun talas, tetapi sebuah dunia yang luas dan sarat dengan pengkodean, kolonialisasi bahasa, dan menyertai disana kepentingan media. Nah, mungkin kita akan berpikir apa yang patut dibicarakan dalam dunia media ini atau cukup diserahkan kajian orang akademis dengan cultural studies. Meskipun, Keith Tester (2003) mengatakan bahwa cultural studies adalah disiplin ilmu yang sangat bodoh, karena dia adalah anak haram (bastard child) media yang akan diekspos oleh cultural stuidies. Sebab kajian budaya bukan hanya pada media, tetapi seyogyanya mempunyai posisi yang sangat terhormat dan mempunyai nilai intelektual yang sangat tinggi, sementara cultural studies baru lahir di Universitas Birmingham pada tahun 1960-1970. Oleh sebab keberhasilan sebuah penelitian Centre for Contemporary Cultural Studies kemudian bisa mengklem bahwa kajian budaya adalah miliknya.
Baru Tahun 1980 kajian cultural studies semakin menyempit, lebih terfokus pada ekplorasi terhadap kesenangan-kessenangan yang diberitakan media, pakaian, belanja, sehingga terjadinya kegeraman moral yang semakin lama semakin tidak bisa berbuat apa-apa. Cobalah perhatikan ketika iklan TV menampilan perempaun atau laki-laki yang menarik, apa yang timbul di dalam pikiran pembaca? Penulis sendiri mungkin mengatakan aduhai sambil menyuap nasi atau sedang membaca buku, nyata sebuah moral yang digambarkan media sangat terang-terangan dan kumuh, sebab hanya bersifat mengekploitasi ksenangan dan birahi. Bahkan Rorty dalam Tester (2003) mengatakan bahwa televisi dan koran merupakan sarana utama bagi perkembangan dunia kontemporer, kemudian mengulas Baudrillar, bahwa media menciptakan audien yang pasif, sebuah strategi politik atau kepentingan media?
Terlepas dari perdebatan di atas, duto urang awak indak sato, kicuah urang awak indak ikuik, penulis mencoba untuk menelaah kode-kode yang dimunculkan oleh media. Kode-kode inilah yang akan demapatkan dan dilipat demi untuk kepentingan media sehingga bermuara pada Denotatum yang sama yang penulis namakan dengan ‘kolonialisasi bahasa oleh media’.
Tentang Postkolonial
Di awali dengan dengan teks proklamasi, ‘’hal-hal mengenai perpindahan, kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya’’, alhamdulilah sudah tertunaikan dengan baik. Tetapi, yang lebih sulit perpindahan dari jiwa dan mental terjajah kemental dan jiwa merdeka membutuhkan waktu yang relatif lama. Seperti yang dikemukana Leela Gandhi (2001) dampak penjajahan itu akan terasa bebrapa tahun atau mungkin puluhan tahun setelah kemerdekaan, dampak itu kian terasa setelah praktek itu dilaksanakan oleh bangsa dan saudara sendiri. Baik melalui sistem pendidikan, politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Kita bangsa indonesia yang berdaulat baik kedalam maupun keluar belum mampu menciptakan sitem sendiri, banyak hal yang selalu disadur dari dunia barat atau Eropah. Dari cara berpikir, life stile, acuan kemajuan hingga pendidikan sendiri semuanya bermuara pada denotaum yang sama yaitu Barat. Kolonialisme sudah jelas menginginkan segala hal yang berasal dari dirinya (Fanom dalam Gandhi 2001:26). Fanon menegaskan kebebasan total dalam artian merdeka sebenarnya adalah kebebasan yang memperhatikan segala aspek kepribadian.
Jadi menurut Fanom, kebebasan itu adalah bebas berpikir, bertindak, dan melakukan segala hal selama tidak merugikan orang lain secara khusus dan kesatuan bangasa secara umum. Nah, kesatuan bangsa? Perlu dilihat lagi kesatuan bangasa seperti apa? Kita lihat konsep bangsa dan negara, awalnya merupakan kesatuan dari kelompok kecil lambat laun menjadi besar setelah mempunyai persamaan misi, visi dan satu cita-cita yaitu kemakmuran bersama dan saling mencerdaskan dan bukanlah saling membunuh? Jika semua itu tidak bisa direalisasikan lagi, apakah salah GAM memberontak atau PRRI pecah yang kemudian divonis menjadi pemberontak. Jawabnya sederhana saja adalah sebuah kewajaran karena menuntut sebuah keadilan yang memihak rakyat, sebab negara ini bukanlah milik penguasa, negara ini ada karena adanya rakyat jelata sebagai tumbal kemerdekaan meskipun dimasa PRRI dianggap sebagai sampah kemerdekaan.
Alhasil dari itu, membekaslah luka-luka historis dari mereka yang dipaksa menjadi budak. Luka-luka ini lambat-laum menjalar dan mengakar dan melahirkan moral baru, proses itu akan berlangsung sangat rapi melalui sitem yang diakui dan bahkan dipuja atas nama intelektual dan sebuah keinginan menaklukan dunia dan merubahnya menjadi dunia yang dihayalkan, moral baru etika baru kiranya perlu dipergunakan untuk mencapai birahi kesempunaan tersebut. Nah, di saat para budak ini berkuasa, darah-darah baru akan disusupkan melalui sitem yang rapi, kepembuluh-pembuluh vena maupun arteri warga negara, itulah moral yang dinginkan dalam sebuah perubahan menyeluruh, namun masih dalam versi hayalan satu budak saja. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nietzche dalam Ritzer (2003) geneologi moral yang digambarkannya sangat memilukan, moral awalnya jatuh dari langit, setelah sampai dibumi moral dibunuh, kemudian moral dilahirkan kermbali dalam wujud baru sesuai dengan kepentingan duniawi, Nietczhe kemudian divonis mati dalam keadaan gila dan seluruh keluarganya ikut menjadi tumbal kegilaan Nietczhe. Jelaslah terlihat apa yang dikemukan Gandhi dalam Gandhi (2001:29) bahwa para budak mengingnkan sifat penjajah tetapi tidak mau disebut sebagai penjajah, menginginkan sifat hariamau tapi tidak mau disebut harimau, tetapi pahlawan atau penyelamat. Jalan satu-satunya untuk terus maju adalah membuat harimau itu tidak lagi menyenangkan, kapan perlu jangan sampai belangnya tertinggal dan tercecer.
Seiring dengan itu Gandhi dan Fanon dalam Gandhi telah mengingatkan akan bahaya Narasi Moderen Barat, bahwa Kolonial tidak akan berhenti sampai kemedekaan Si tejajah telah diperoleh secara De facto, Gandhi dan Fanon ingin menyatakan bahwa Barat akan kembali memasukan tokoh-tokoh dari para korbannya yang terepresi dan terpinggirkan, dalam artian menjadi objek kajian untuk mengambil hati Si terjajah. Untuk mensukseskan itu mereka menceritkan industrialisasi sebagai ekspoitasi terhadap ekonomi, demokrasi yang terpecah terhadap aksi protes dari pihak yang mempunyai hak pilih, teknologi yang selalu dikombinasikan dengan perang, sejarah pengobatan yang diidentikan dengan teknik penyiksaan. Semuanya itu bertujuan untuk menghasilan ekploitasi ekonomi baru terhadap para budak, menciptakan senjata yang lebih canggih untuk menghadapi perang, dan menciptakan teknik penyiksaan baru terhadap kaum akar rumput. Apakah ini suatu penodaan dan pendosaan terhadap Marx? yang pada kenyataannya Marxisme itu disalahtafsirkan sehingga kaum intelektual menceburkan dirinya ke dalam konsep komunis, sebagai akibat dari pendewaan terhadap salah satu segi aspek saja tanpa memikirkan aspek utama yang dibahas di dalam marxisme, akhirnya Marx didosai atas pemikiran yang dimunculkannya (Berlin 2000). Ataukah memang itulah tujuan Karl Marx yang sebenarnya? (Baca rahasia kecerdasan Yahudi).
Salah satu contoh yang jelas terlihat atas keberhasilan prinsip kolonial ini, seperti yang dikemukan Leela Gandhi adalah protesnya terhadap Rene Descartes. Gandhi juga menarangkan menjalarnya teknik kolonial ini berangkat dari kegagalan cogitonya Descartes, karena subjek yang berpikir tidak tahu batasan yang jelas tentang berpikir sehingga berakhir dengan kekerasan, debat kusir para sarjana karena ingin curhat pada kebenaran mutlak, semangat persaingan, kompetisi sehingga secara pelan akan menempa senjata-senjata akal. Alhasil, rusaklah rasionalitas kaum intelektual yang notabenenya pelanjut Aufklarung, ujung-ujungnya akan membawa kepada kepicikan hingga ke peperangan-peperangan. Lalu hukum akan menggantikan kesejahteraan dengan ‘’rule of low’’ dengan cara memasukan kekerasan ke dalam sistem dan berlanjut kedalam dominasi ke dominasi (pengaruh). Faucoult mengatakan dalam dalam Poole (1993) dengan mengatas namakan geneologi kekuasaan, dimana kekuasaan tersebut berada dimana-mana, kapan saja, momen apa saja, mengitari diri setiap orang.
Jadi, Poskolonial sejalan dengan feminisme dan Hyperrealitas yang dikemukan Eco, Baudrillar dengan simulasinya, seperti yang diakatakan tiada salahnya kita menikmati hidup dalam dunia simulasi, menikmati hidup dalam hiperealitas, pelipatgandaan ada (being), kemudian Piliang dengan Hypersemoitika yang mengatakan bahwa tanda tidak ada lagi acuannya dalam realitas, semuanya berupa penanda. Maka inilah yang dikatakan Piliang (2006) bahwa manusia terjebak dalam bujuk rayu dan ketersesatan tanpa bertujuan, citraan adalah segala-galanya bagi manusia. Tanda menciptakan mitosnya sendiri dalam nostalgia dan mengambil alih makna secara atuh, hayalan-hayalan semu tetapi terlihat sangat nyata. Meskipun padahal awalnya simulasi dianggap Baudrillard sebagai strategi intelektual, namun perkembangannya membawa dampak menuju hiperrealitas sebagai akibat dari pengalaman kebendaan itu adalah hasil dari sebuah proses.
Postkolonial adalah pemberontakan cara pandang objektiftivitas terhadap ekpsloitasi yang berlebihan oleh subjektivitas, sebab di dalam prosesnya sendiri kolonial itu ditanamkan dengan nama baru, atas nama kemanusiaan, pencerahan, keamaanan dan juga atas nama ketentraman masyarakat yang pada intinya tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menanamkan pengaruh, dominasi, namun sangat tersusun rapi, tersistim dan hal itu diakui secara tidak sadar maupun tidak. Kajian terhadap Poskolonial lebih sejalan dengan Dekonstruksi yang diancang dan dipraktekan Derrida di dalam melihat seuatu yang bermakan adalah teks.
Pembahasan
1. Ekploitasi Seksual
‘’Tetapi jelaslah bahwa nilai-nilai perempuan sangat sering berbeda
dengan dengan nilai yang telah diciptakan oleh jenis kelamin lain,
sebenarnya begitulah,sebenarnya nilai-nilai maskulinlah yang berkuasa (Viiginia dalam Poole, 1983; 67)’’
Menarik apa yang dikemukan Faucoult dalam Ritzer (2003: 109) bahwa seksualitas adalah pemindahan pemahaman yang padat terhadap seksual. Awal abat 17 victorinisme membatasi seksual hanya sebatas di dalam rumah dan perkawinan dalam lingkungan keluarga, namun setalah itu diserap oleh ilmu pengetahuan ke dalam diskursus, adanya suatu usaha agar seks dipadatakan melalui bahasa, pernyataan bahwa seks adalah topik yang sangat menyenangkan untuk dibahas, bahkan di lain kajian tentang seksual sudah diciptakan teorinya. Penanaman idiologi atas ketabuan seks harus disirnakan karena itu menyasikan. Agar diskursus tentang seks ini tidak merugikan kekuasaan, maka kekuasaan berusha mengidentifikasi, menyediakan literatur dan melakukan pencatatan yang sangat rapi, persoalan seks adalah kebijakan negara, di Indonesia sendiri lahirlah UU pornografi dan porno aksi. Artinya, kekuasaan tidak berusaha tidak menyembunyikan hasil dari peningkatan pandangan tetapi lebih tertarik kepada kenikmatan seks. Focoult juga menyatakan bahwa kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan persetubuhan, dengan mencumbunya dengan mata, mengintensifkan bagian-bagiannya, membangkitkan permukaannya dan mendramatisir kekacauan (Rizer 2003: 112).
Kemudian pasca pelacur melahirkan postfeminisme, yang mana banyak kalangan menuntut untuk melegalkan prostitusi, lesbian, homoseksual dan heteroseksual. Prostitusi, lesbi ataupun homo pernah dibicarakan tuhan pada masa Nabi Lut, yang maan para umatnya dilaknat kerena laki-laki telah menyerupai perempuan, perempuan menyerupai laki-laki, seks sesama jenis. Kemudian Dorse yang menukar kelamin mejadi perempuan, Afi yang minta dikuburkan sebagai laki-laki, Lenny yang sembahyang memakai makena dan pergi Haji sebagai laki-laki. Ini adalah sebuah fenomena yang nyata ditawarkan oleh media yang sudah dimamah oleh masyarakat komsumer kita. Memang betul isunya berangkat dari jender, persamaan jender, pembagian rata hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan. Juga, awalnya mucikari hanya seorang penampung PSK atau pencari PSK untuk diperkerjakan, tetapi lambat laun hal itu berubah menjadi sebuah profesi yang patut pula dihargai dan diakui. Perhatikan saja rimah atau Lokalisai Doly, setiap belun puasa kegiatan jual beli diliburkan karena para pekerja pulang kampung untuk menunaikan ibadah puasa, sementara itu Pak RT di lingkungan Doly bisa istirahat.
Nah apa yang terjadi di dunia media, sesuai dengan apa yang dinyatakan Focoult tersebut di atas, seks dicumbu dengan mata, televisi menyuguhkan kemolekan tubuh wanita, kelangsingan, mulus, cantik itu putih dan segala macamnya. Inilah yang yang dinginkan oleh kekuasaan, memanajemen seks untuk kenikmatan dan kepuasan birahi melalu sarana media, sebab tidak bisa ditolak bahwa semua mata masyarakat konsumen sudah tertuju pada dunia maya, antologi citraan. Sangat menggiurkan ketika iklan sampo mampu membersihkan kotoran rambut hingga keakar-akarnya, dan sangat menjanjikan ketika memakai biore, nivea mampu membuat wajah bersih dan putih. Meminum pil rapet wangi membuat perempuan terasa virgin. Sejalan juga denga apa yang dikemukan Piliang (2004: 322) bahwa kesucian telah digantikan oleh mesin, yang suci adalah yang sesuai dengan apa yang dibicarakan dalam ontologi citraan. Ini adalah suatu usaha bagaimana membuat kaum adam senang, dan matanya tertuju kepada virjinitas kaum perempuan. Moral-moral seperti ini telah mampu menciptakan mitos baru bahwa yang virjin itu adalah perempuan yang suca meminum pil rapet wangi, dan secara tidak langsung sudah menghancurkan mitos lama bahwa yang virgin itu adalah yang suci dan belum tersentuh. Di sini moral yang diajarkan agama samawi terbuang dan hancur seiring timbulnya mitos yang dibuat oleh kekuasaan.
Sejalan dengan itu, ekploitasi terhadap seksual semakin dibicarakan, budaya seksual yang menjadi pembahasan cultural studies mengkategorikannya ke dalam budaya populer yang sudah seharusnya dinimati oleh masyarakat moderen. Setidaknya itulah yang diciptakan dan yang dinginkan Hagemoni Barat dan Eropah, membangun sebuah tatanan baru, feminisme perempuan dunia ketiga ke dalam sebuah kancah yang dulu termarjinalkan, menjadikan perempuan pribumi atau perempuan Timur sebagai objek pembanding. Membuat pernyataan bahwa sudah saepatutnya kesetaraan jender menjadi kajian yang menarik. Padahal sesungguhnya pandangan feminisme baru itu adalah sebuah pendustaan untuk menghancurkan mitos perempuan suci yang dimiliki oleh orang Timur. Di pihak perempuan Timur malah tidak sadar bahwa penjajahan terhadap dirinya sudah dilakukan oleh feminisme Barat (Yahudi), mempunyai anak cukup 2 saja karena bisa lebih fokus untuk membiayainya, makanya pakai kondom dalam transaksi seksual, atau diperbolehkan berhubungan seks dengan menggunakan kondom, bergerigi agar lebih sensual. Sekarang, transaksi seksual sering dibumi hanguskan, kalau memang benar ini dilaksanakan maka kerugian yang utama terletak pada kekuasaan, jika pelcuran ditutup maka berkuranglah devisa. Salahnya kekuasaan sendiri, bagi kaum lelaki dituntut mempunyai istri 1 supaya bisa bersifat adil dan setia, kekuasan memunculkan UU tentang itu, akibatnya Si laki-laki bebas jajan di pinggiran jalan dari pada menyantap hidangan yang terjamin dan bersih di dalam rumah. Namanya jajan di luar belum tentu jajanan itu bersih dan terbebas dari kuman penyakit.
Dalam bebearapa waktu ini kekuasan lengah dalam mengomandoi seksual, sehingga seks mengganas merambah gedung suci DPR, instansi dan lembaga-lembaga terdidik, sehinngga mental para pemangku kekuasan perlu dipertanyakan. Perselingkuhan, pelecehan seksual, dan istri simpanan, telah menghanguskan apa yang dianggap aturan yang ideal bagi bangsa Timur dan memberantas habis feminisme ketimuran. Media yang sarat dengan informasi telah berubah menjadi pemangsa yang ganas, memangsa budaya, moral hingga masyarakat akar rumput, pelecehan terhadap anak di bawah umur, perkosaan yang dilakuakan oleh ayah rutiang adalah fenomena yang tidak asing lagi, beginilah feminisme yang dinginkan dunia Barat. Memang wanita karir adalah sebuah profesi yang sangat menjajikan dalam dunia moderen tetapi secara radikal keluar, suami terabaikan, anak-anak kehilangan idolanya yang pertama, sejak kecil hidup dengan bebi sister, bebi sister jadi ibu tiri. Selera suami lebih ditentukan oleh pembantu, mulai dari pakaian, masakan hingga seks.
Sekurang-kurangnya usaha hagemoni Barat sudah mulai sukses untuk menanamkan ideologinya, sorotan terhadap kaum perempuan terpinggirkan menjadi suambangan hangat bagi perempuan timur, tetapi sesunggunya perempuan Timur telah membantu mentransformasikan usaha mereka untuk kembali menjajah dengan sistem.
2. Kuasa
Hanya berawal dari nafsu, nafsu benda, seks, dan jabatan. Mari kita coba mengkaji sedikit tentang nafsu. Abraham Ilyas (2003) menggolongan nafsu menjadi 2 bagian, pertama dinamakan dengan keinginan atau syahwat, syahwat ini dibagi menjadi 2 yaitu nafsu berbuat baik (mutmainah) kaum sufi menyebutnya dengan sifat ketuhanan dan Nafsu Asmara (supiah) yang membakar kebirahian remaja, mempercantik diri. Kedua dinamakan dengan ghodob (kemurkaan) yaitu amarah dan lawammah. Nafsu amarah sifatnya mempertahankan diri, berlindung, melawan, melarian diri, dan mempengaruhi orang lain. Jika berkembang sesuai dengan sepatutnya maka baiklah sebuah negara, sifatnya suka mencela dan keras kepala. Sedangkan lawammah yaitu nafsu untuk mengembangkan diri sifatnya rakus, tamak, ibarat seekor raksasa yang ingin melahap apa saja, jika nafsu ini terkordinir dengan baik maka akan mengusung kepada pembanguna material yang bagus.
Nah sekarang, kedua nafsu seperti yang dikemukan dokter gigi di atas dihadapakan kepada kapitalisme golbal yang nyatanya telah menyediakan ruang untuk perkembangan hasrat dan birahi. Sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Piliang (2003) semuanya berwujud simulasi, kekaburan batas antara polisi dengan kriminal, spiritual dengan antologi citraan, politik dengan ekonomi. Senyatanya telah terjadi penyatuan imanem dengan transendent. Apa yang dibanggakan oleh masyarakat moderen terhadap kemapanan, apa yang dipuja budaya pop atas nama kemajuan hanyalah berwujud utopia, utopia idiologis, utopia kemaslahatan dan utopia akhlak. Yang mapan adalah sebuah pembodohan, pembodohan-pembodohan inilah yang menggelayut di benak masayarakat komunal global.
Dunia nafsu yang digambarkan Abraham membaur dan saling tumpang tindih dalam merebut masing-masing kesempatan. Nafsu mutmainah menyatu dengan nafsu supiah di dalam kancah politis, di dalam kancah moralitas dan di dalam kancah budaya. Di saat burung garuda terbanng di atas nusantara, sungguh melihatkan kemakmuran, padi menguning, sayuran subur, petani salut acungkan jempol. Ketika petani bercengkrama dengan penjaga warung, kepentingan politis di elu-elukan, BBM turun, Bulog dikendalikan sementara masih ada saja orang yang kelaparan dan putus sekolah di usia yang sangat produktif. Di lapangan sosialisasi besar-besaran, memakai baju berlambangkan partai poliik mendapatkan upah Rp. 25.000. Namun, di sela kebodohannya masyarakat akar rumput mempergunakan momen yang sangat menantang itu, uang diambil tetapi pilihan tetap pada hati nurani rakyat atau hati nurani partai? Masyarakat telah lupa kedasyatan lumpur porong yang sampai sekarang semakin banyak memakan korban harta benda, masih tidur di tenda darurat, sementara lokasi lumpur sendiri sudah menjadi objek wisata, tercipta juga lapangan kerja baru di lingkungan porong, tetapi itukan hanya segelintir orang yang menikmati, lalu korban-koraban moral yang ditimbulkan bencana buatan itu bertindak anarkis, merampok dan menjual harga diri, inilah sebuah moral yang diinginkan kekuasaan, berusaha membuat wacana bencana untuk mengaburkan isu penting di dalam perpolitikan nasional. Kemudian di antara kampanye dengan bencana situ gintung? Tiada pembatas, menari di atas yang menangis, pesta demokrasi di pundak luka moral bangsa.
Pasca tumbangnya orde baru sebagai simbol kestabilan nasional terjadilah eksodus manusia secara besar-besaran, pengusiran, pembantaian etnis, perang suku, ras hingga agama. Ini dikatakan piliang secara semiotik sebagai simbol keruntuhan persatuan dan kesatuan bangsa, dimana saudara sebangsa tidak menghargai lagi perbedaan pendapat, etnis, agama dan kebiasaan. Hilangnya ruang-ruang sosial, kesaling pengertian, dan saling memahami, hanya kerana si termarjinalkan kembali menuntut atas ruang soaialnya yang telah dikapling dan dibagi-bagi penguasa pada masa lalu. Suatu momen yang tepat bagi media untuk menyatakan bahwa telah terjadi tindakan anarkis karena kesalahpahaman di antara masyarakat, media mampu memanagemen wacana itu kedalam sebuah berita yang populer di bicarakan hingga munculnya isu baru yang menghilangkan isu lama, permasalahan isu lama seslesai seiring yang dinginkan alam. Para masyarakat dibodohi, intelektal dipermainakan, intelektual ontologi citraan dipertanyakan.
Luka-luka itu bertambah lama bertambah melebar dan merambah masyarakat tradisional ke pelosok-pelosok terpencil, masyarakat tradisional seakan mengetahui cara membunuh, maling dan memperkosa dengan baik setelah simulasi buser di wacanakan di dalam media, kronologi peristiwa mengajarkan dengan cara tersistem, apa saja yang dipersiapkan pelaku sebelum membunuh, rute yang ditempuh, dan prosesnya hingga korban meregang nyawa. Sebuah kronologis citraaan yang sangat mendidik khalayak untuk bertindak anarkis dalam mencapai sebuah keinginan. Ketika si miskin maling ayam, sepeda motor atau pencopet hukum rame-rame ditegakan, kapan perlu ada bekas tembakan di kaki si terdakwa supaya tertanda dan terbukti terdakwa berusaha kabur saat di grebek polisi. Namun, dibalik itu semua, terdapat komando pencopet yang ditenggarai oleh pihak yang berwajib, di anggap sebagai uang keamanan. Lalu bagaimana jika hukum berhadapan dengan pemegang kekuasaan? Korupsi, pelecehan seksual, hukum dibuat samar, sebuah trik untuk melepaskan diri penguasa dari segala macam tuduhan dan jeratan dosa.
Pada masa orde baru penjajahan atau halusnya perluasan pengaruh kekuasan ditanamkan melalui ekonomi, politik dan budaya. Seolah-olah terdapat slogan, ‘’kami dan engkau’’, kamu adalah pancasialis dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan oleh karena itu engkau perlu di tatar, dan disingkirkan lebih-lebih bagi nenek moyangnya terlibat. Masa itu dipertegas oleh media dengan memutar kebejatan PKI pada tahun 65, sementara kisah pilu PRRI di sumatra barat terlupakan. Di saat tentara pusat mengerayangi harga diri rakyat Minangkabau, itu dianggap sebagai penjaga persatuan dan kesatuan, pembelaan terhadap kesaktian pancasila, seekor burung garuda yang dipaku didinding sekarang sudah bisa terbang menyelusuri seluruh pelosok nusantara, menebarkan kekuasaannya di pelosok kepulauan Indonesia, alangkah lebih berbahaya lagi.
Tidak berhenti hanya sampai di situ, pengaruh-pengaruh itu kembali dilanjutkan, media sebagai perentara kekuasaan itu, puluhan partai politik telah saling merebut pengaruh dan perhatian dari orang yang termarjinalkan secara politis, ekonomi dan budaya. Maka dibuatlah sistem politik yang agak berbeda dari sebelumnya, sistem ekonomi yang lebih kapitalis dari yang kapitalis (postcapitalis) sangat tersistem tangan-tangan panjang itu melangkul masyarakat yang kebetulan sedang kedinginan, kehausan dan kelaparan terhadap loyalitas pemimpin. Layaknya persatuan dan kesatuan itu telah dipecah, dikapling-kapling berdasarkan kepentingan politis demi menabur benih dan menanamkan kekuasaan baru di indonesia baru. Ingat burung Garuda yang dipaku di dinding sudah tidak merasa puas makanya dia terbang melihat secara langsung dimana lahan strategis untuk dijadikan pusat dan titik kekuasaan.
Jelas terasa bahwa nafsu amarah yang dimiliki kaum tertindas akan berhadapan secara langsung dengan nafsu lawwammah yang dimiliki oleh kekuasaan, perang tanding, sebagai akibat dari pengkaplingan hak, teritorial, pemaksaan politis hingga pembunuhan berencana melalu sistem. Sejalan dengan apa yang dinyatakan Frederik Nietczhe bahwa di saat para budak berkuasa revolusi massal akan dilakukan, bertindak atas nama keadilan, anarkis demi membela hak yang telah terampas, teriotorial yang direbut, sehingga kaum tertindas yang mengatasnamakan dirinya budak-budak yang berdaulat akan menuntut balas atas hak-haknya yang telah direbut oleh sejarah masa lalu, Skizofrenia historis dan sebuah utopia kemajuan. Kekerasan-kekerasan gaya baru tersebut sangat mempunyai peluang untuk menempati kekuasaan, sistem hukum, dengan puluhan partai politik dan sekaligus anarkis simpatisan hingga calon penguasa sendiri sudah mulai unjuk kekuatan untuk merebut simpati kaum tertindas.
Setelah berhasil memegang tampuk kekuasaan, cara menjajah akan lebih tersistematik, sebab kekuasaan akan mengambil dan belajar pada sejarahnya sendiri yang begitu anarkis serta memihak penguasa. Jika Focoult mengaitkan pengetahuan dengan kekuasan, Piliang mengaitkan pengetahaun, kekuaasaan dengan kematian, maka di saat yang akan datang penambahan yang dilakukan Piliang bisa berubah dengan kematian tersistem, dramatisir, dikolosalkan agar lebih indah. Melalui kepintaran media massa mengkolonialisasikan bahasa, kode-kode sosial mampu menciptakan strategi baru, mitos baru untuk mencapai kemakmuran yang diinginkan kekuasaan, sentralistik penguasa. Melalui ekploitasi language dan parol kekuasaan akan akan kekal di atas pundak-pundak deritanya kaum marginal, kekuasaan akan bertengger santai setelah tampuk jaringan dipegang oleh hanya satu orang, godfather.
Namun, publik yang pada mulanya dianggap bisa dibodohi terpakasa pintar, kuda memperkuda siapa, Si bodoh yanag akan membodohi siapa, seeprti yang diungkapakan pepatah minang, ‘’iyokan nan di urang lalukan nan di awak’’. Kalau boleh meminjam istilah Giddens tumbal modernitas yang dinamakannya itu akan akan bertindak kanibal melebihi Sumanto Si pemakan mayat, kali ini hingga abu tulang belulang akan menjadi incaran para budak-budak marginal. Contoh nyatanya dapat kita lihat dari tragedi ponari mampu mengungkap semua kejelekan kekuasaan, biaya berobat yang begitu mahal, birokrasi yang berbelit-belit di rumah sakit pemerintah, yang miskin cenderung terlalaikan sehingga Si miskin terpaksa meregang nyawa karena tidak mendapat kesempatan untuk hidup lebih lama. Masyarakat kecil putus asa, mempergunakan tetumbuhan yang tumbuh di daerah kotoran, barang-barang yang diharamkan agama, tetapi untuk obat hal itu dimaafkan, yang penting sugesti untuk tetap hidup. Ponari bukanlah fenomena langka dan baru, kebiasaan seperti ini sudah terjadi sejak puluhan tahun di daerah Minangkabau, jika anggota masyarakat tasapo, tataguaran, obat yang dianggap mujarab adalah cikumpai, cikarau, sidingin, sitawa, sapitan tunggua, pudiang hitam hingga air kencing mampu menyembuhkan. Hal ini diyakini mampu menawarkan maka tumbuhan itu dinamakan si tawa, kemampuan menyelesaikan masalah dengan jin dinamakan dengan ci karau berasal dari perkara, cikarau sengaja membuat buat perkara, si dingin dan si tawa mampu mendinginkan dan menenangkan Si pesakit. Anehnya masyarakat tradisional di jika berhadapan dengan penyakit kuno masyarakat Minangkabau tidak mempercayai obat yang diberikan dokter. Aapakah ini lambang keputus asaan dari masayarakat marjinal? Bagaimana jikalau penyakit itu timbul karena tubuh manusia dirasuki jin? Mampukah dokter menyembuhkannya? lalu apa masalahnya dengan Ponari yang hanya sebagai pelanjut dari keputus asaan tersebut, toh penyakit bisa saja sembuh karena adanya sugesti dari si penderita.
3. Politik Yahudi
Sewaktu Bani Israil di usir dari oleh Roma, ketika Ynuani mengkebiri dan membantai Bani Israil, dan di saat Mesir di bawah Amnehotib ke-IX memperbudak Kaum Yaqub ini terbitlah dendam kesumat bagi kaum Yahudi yang nota benenya adalah Bani Israil. Yahudi marah sehingga menghancurkan harapan Musa yang membawa taurat, dijadikannyalah Taurat sebagai Talmut, yang mana pokok ajarannya adalah mengganggap Bangsa Yahudi lebih unggul dari bangsa lain, agama Yahudilah yang lebih sempurna, Bangsa Yahudi bangsa pilihan Tuhan. Adalah wajar Yahudi bersikap seperti itu, sebab bagaimanapun juga syirah para Nabi menyatakan bawha Ibrahim, Musa, Yusuf, Yaqub, Sulaiman adalah manusia pilihan dai kaum Yahudui.
Nah, perasaan tidak senang muncul ketika kaum yahudi dideskreditkan, di bantai oelah nazi dan pengusa setempat lainnya. Di seluruh penjuru Yahudi menjadi bulan-bulanan dan tidak punya tempat tinggal. Talmut mengajarkan bangsa Yahudi memperbolehkan melakukan segala cara demi tegaknya kembali Kuil Salomon. Di segala penjuru Dunia Yahudi ada sebagai pengendali, mereka minoritas tetap mampu memanfaatkan penguasa setempat, Amerika, Inggris, Parncis, Spanyol, Indonesia dan seluruh Negara di bumi ini mulai merasakan kuatnya pengaruh Yahudi. Indonesi yang terikat uatag luar negri yang diwadahi IMF adalah bikinan Yahudi, uang diperbungakan untuk selalin bangsa Yahudi, di ciptakan Sosialis, Komunis, Demokrasi, Pluralisme, Marxisme dan segala macam ideolog yang mengatasnamakan Humaniora. Fremansory sebuah organisasi Nirbala yang mengatas namakan kemanusia adalah buatan Yahudi, sempat pula bergabung Jalaluddin Al-Afgani sebagai anggota.
Di Amerika Serikat segala lini dipegang oleh Yahudi. Ekonomi, Sosial, Budaya, Politik, Agama, hingga Media dikendalikan oleh Yahudi. Ajaran Marxisme buatan Karl Marx adalah yahudi karena Marx sendiri adalah Yahudi, Enstein yang kabur dari Jerman di saat pembantaian orang Yahudi oleh Hitler kabur ke Eropa dan menciptakan penemuan baru.
Nah, apakah Yahudi sudah sampai di Indonesia? Jawabnya ialah sudah lama, mereka juga menanamkan pengaruhnya di dunia akademis, Politik (multy Partai), Sosial agama (kawin beda agama), homo seksual, perkosaan anak dibawah umuradalah ide dari yahudi. Sebab yahudi sengaja merusak keturunan umat agama lain dengan jalan zinah. Aneka zinah adalah sebuah makna kerusakan generasi agar Yahudi lebih gampang memanfaatkan hasil karyanya tersebut. Sementara di kalangan mereka sendiri tidak melakukan ide ciptaannya tersebut. Sesama orang Yahudi tidak boleh berzinah, orang Yahudi dilarang nikah dengan orang beragama selain Yahudi, orang yahudi tidak boleh memakan riba karena mereka tahu dampaknya sangat buruk bagi saudara-saudaranya.
Ketika orientalisme muncul, Timur dianggap terbelakang, kanibal, Baratlah yang nomor satu. Bangsa timur adalah keturunan Syetan, sama dengan orang Nasrani sama-sama dari Syetan. Setelah Barat memiliki pengaruh besar notabenenya adalah Yahudy. Hagemoni yang digambarkan sebagai strategi sosialis (Laclau,2008) dimapatkan dan diselipkan ke segala lini, media sebagai salah satu sarana terbesar di Indonesia menyalurkan pengaruh dan ide Yahudi, pergaulan bebas, KKN, dan kebejatan moral lainnnya sangat jelas digambarkan media massa. Namun, masyarakat komunal memandang hal tersebut sebagai Multicultural, padahal multicultural dapat melahirkan orang cerdar sekaligus merusak moral bangsa dan masayakar consumer, budaya popular, modernisai hingga postmodernisme itu sniei adalah trik dari Yahudi itu sendiri agar gerak geriknya susah dicium, seadainya tercium nasib Yahudi akan lebih naas lagi, pembersihan etnis Yahudi di seluruh Negara.
Lalu apa yang dinginkan Kolonial? Siapakah kolonial itu? Berkaitan dengan apa yang diwacanakan di atas bahwa kolonial adalah sebuah gerakan penjajahan, kolonial tidak hanya Belanda atupun Inggris. Kolonial adalah sebuah usaha untuk menguasai hingga keakar-akarnya, kapan perlu tiada meninggalakn bekas. Kolonial adalah sebuah sifat dan gerakan sosialis, komunis, idiologis, yang sengaja diciptakan oleh Kaum Bani Israil (Yahudi) yang notabenenya dijelaskan tidak pernah mempunyai tempat tinggal yang tetap tetapi mampu menghasilkan pengaruh besar. Kolonial memegang pucuk pimpinan Amerika Serikat, Inggris, dan semua nagera kuat yang ada di belahan dunia. Dia masuk memalui sistem pendidikan, ekonomi, budaya, agama dan sosial masyarakat. Kehadirannnya terasa tetapi tidak terlihat, dia bergerak lambat tapi pasti, ketika gelagatnya merugikan kekuasaan setempat maka terjadilah pembantaian besar-besaran terhadapnya, seperti yang dilakukan Roma, Yunani, Mesir dismasa kepemimpinan Amnehotib (Ramses) hingga menjadi kelinci percobaan oleh Nazi.
Kemudian Inggris membuka eksodus bebsar-besaran terhadapnya saat menjajah palestina, pintu itu dibuka lebar bagi Inggris untuk kaum Yahudi untuk membentuk Negara Zionis yang selama ini teranaiaya dan terpinggirkan, mereka sangat yakin bahwa mereka adalah bangsa pilihan tuhan tetapi kenapa mereka tidak mempunyai tempat tinggal sehingga pembantaian terhadap etnisnya sering terjadi. Ibrahim, Musa, Yuyuf, Yaqub, Sulaiman adalah dari keturunanya tetapi kenapa Muhammad tidak dari keturunnanya? Kuil Salomon dihancurkan Roma dan islam mendirikan Masjidil Aqsa di atas reruntuhnya, para rabi membawa kekayaan kuil Salomon ke Vatikan Roma. Sekarang mereka menuntut minta kekayaan itu minta dikembalikan dan hancurkan Vatikan demi menyambut Al Meisiah sebagai juru selamat dunia, dia akan bersinga sana di Kuil Salomon yang direncanakan didirikan kembali. Islam sebagai musuh berbuyutan dan sekaligus pelindung bagi bani Israil semasa di usir dan dibantai tidak luput dari rencana jahat kolonial itu.
Kita mungkin masih ingat ambruknya gedung WTC, itu adalah ulah Yahudi dan bukan Osama Bin Laden sendiri, namun yang didosai adalah Oasama dengan kawan-kawannya. Bagi osama Bin Laden tidak masalah karena beliau adalah bangsa Yahudi. Tetapi label dan kode teroris Internasional di hadiahakn kepada Islam, Osama Bin Laden tidak akan bisa mati ataupun tertangkap jika tidak ditangkap atau dibunuh oleh Yahudi sendiri. Lagi pula HAMAS sebagai pembela hak Palestina dikatakan penjahat atau teroris, Amrozi CS dihukum mati, memang itulah yang diinginkan Yahudi supaya jejaknya tidak tercium oleh pengusa setempat, Amrozi CS adalah didikan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam. Nah, pasca terbitnya buku Teroris Internasional, Noam Chomsky menjadi hantu yang ditakuti oleh Barat dan Yahudi.
Simpulan
Media sebagai sarana informasi telah berubah menjadi hantu yang lebih menakutkan dari pada hantu-hantu Marx, sebab dia akan memangsa siapa saja yang bisa dipengaruhinya, runtuhya tembok transenden dan imanem, melahirkan kebiadaban, kekanibalan yang diinginkan Zionis/Kolonial. Terputuslah hubungan spriritual dengan tuhan, itulah yang dinginkan kolonial. Media sebagai sumber berita, telah membawa berita kematian, menanamkan pondasi kehancuran total bagi rakyat bawah. Baik dari segi moral, agam, budaya dan terlebih lagi hubungan sosial.
Media masa telah berusaha menanamkan sifat dan pengaruh kolonial (kapitalisme), meskipun pada awalnya kolonial adalah sifat Yahudi, sebuah bangsa berbahaya bagi setiap orang yang berada di luar etnis itu. Oleh karena itu, perlu dihancurkan dan dibinasakan, sebab belum lama ini Indonesia paceklik karena proses telah terrealisasikan melalui IMF. Besar kemungkinan tujuan selanjutnya menanamkan pengaruh terhadap suku bangsa terbesar di Indonesia yaitu Minangkabau! Sebab bagimanapun juga, Yahudi menghalalkan segala cara demi tegaknya Kuil Salomon dan menjadikan bangsa dan agama lain sebagasi budak, sebuah pembalasan orang Yahudi terhadap deritanya selama di bawah pemerintahan Amnehotib (Fir’aun).
Jadi, siapa saja yang memiliki sifat Kolonial adalah Yahudi, siapa saja yang menganut sitem kapitalis akan tebih cepat berubah menjadi Yahudi. Namun begitu, mereka tidakan pernah diakui sebagai se orang Yahudi, sebab di dalam kitab Talmut telah dijelaskan, ‘’bahwa siapa saja yang ingin menjadi Yahudi boleh-boleh saja, tetapi dia tetap tidak bisa menjadi Yahudi yang sebenarnya’’. Berarti, hanya sifat Yahudilah yang bisa dimiliki oleh bangsa dan agama lain, lagi pula bangsa lain sudah divonis tidak akan mendapatkan tempat di Kuil Salomon, karena mereka berasal dari keturunan Syetan. Hanya Yahudilah yang boleh hidup di dunia ini. Barat adalah anak emas Yahudi, meskipun begitu, Aku, Engkau dan Kita mempunyai peluang besar untuk menjadi seorang Yahudi.
DAFTAR PUSTAKA
Alimi, Moh. Yasir. 2004. Dekontruksi, Seksualitas Poskolonial, dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama. Yogyakarta: LKIS.
Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKIS.
Berlin, Isiah. 2000. Biografi Karl Marx. Surabaya: Pustaka Promethea.
Chomsky, Noam. 1986. Menguak Tabir Terorisme Internasional. Bandung: Mizan.
Dahlan, Muhidin M. 2001. Postkolonialisme: Sikap Kita Terhadap Imperelisme. Yogyakarta: Jendela.
Eco, Umberto. 1987. Tamsya dalam Hyperealitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial. Yogyakarta: Qalam.
Lomba, Anya. 2001. Kolonial dan Pasca Kolonial. Jakarta: Bentang.
Giddens, Anthony. 2001. Tumbal Modernitas. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ilyas, Abraham. 2003. Nan Empat: dialektika, logika, sistimatika alam terkembang. Padang: Lembaga Kekerabatan Datuak Soda.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. Hegemoni dan Strategi Sosialis, Poasmarxis Hingga Gerakan Sosialis Baru. Yogyakarta: Resis Book.
Maheswara, A. 2009. Rahasia kecerdasan Yahudi. Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Postrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafikika. Yogyakarta: Jala Sutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamsya Melampoi Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jala Sutra.
Piliang, Yasraf Amir. 200. Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial. Solo: Tiga Serangkai.
Poole, Ross. 1993. Moralitas dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisus.
Mannheim, Prof. Karl . 1993. Ideologi dan Utopia. Yogyakarta: Kanisus.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postsmoderen. Yogyakarta: Juxtapose Research and Publication Study Club dan Kreasi Wacana Yogyakarta.
Ramly, Andi Muawiyah. 2009. Peta Pemikiran Karl Marx. Yogyakarta:
LKIS.
Sardar, Zianuddin. 2008. Membongkar Kuasa Media. Yogyakarta: Resis
Book.
Said, Edwar W. 1978. Oreantalisme. Bandung: Pustaka.
Sawirman. 2005. Simbol Lingual Teks Politik Tan Malaka Eksplorasi, Signifikasi, dan Transfigurasi Interteks. Disertasi Universitas Udayana Denpasar.
________, 2007a. Jurnal Linguistika Kultura, Vol 1 No 1, Juli 2007 hal. v—viii tahun 2007, dalam Pengantar Redaksi berjudul Wujudkan “Mazhab Linguistik/Sastra” di Indonesia.
________, 2007b. Jurnal Linguistika Kultura, Vol 1 No 1, Juli 2007, hal. 3—16 dengan judul artikel Cultural Studies: Dimensi Pengembangan Linguistik Masa Depan.
________, 2008a. Jurnal Linguistika Kultura, Vol. 1 Nomor 3 Maret 2008 dalam Artikel Editorial berjudul “Eksemplar 135” sebagai Embrio “Mazhab Linguistik” Universitas Andalas.
________, 2008b. Jurnal Linguistika Kultura, Vol. 2 Nomor 1 Juli 2008 dalam Artikel Editorial berjudul E135 Membedah “Wacana Dakwah” Usamah bin Laden (Sawirman, 2008).
________, 2008c. Menciptakan Paradigma Wacana Berdimensi Cultural Studies (disebut dengan ”Eksemplar 135”), dipresentasikan dalam Forum Dosen Berprestasi di Rektorat Universitas Andalas tanggal 11 Juni tahun 2008.
________, 2008d. Selamatkan Linguistik dengan e135. Makalah pada National Seminar on Language Literature and Language Teaching di FBSS UNP Padang tanggal 10-11 Oktober 2008
________. 2009. Kajian Linguistik Indonesia Kehilangan Esensi: Promosi Wacana Politik dan Eksemplar 135. In Zubir, et.al. In Memoriam Prof. Dr. Khaidir Anwar. Padang: Unand Press.
Sturrock, John (ed). 2004. Strukturalisme Post-Strukturalisme dari Levi-Strauss sampai Derrida. Surabaya: Jawa Pos Press.
Sunardi, ST. 2006. Nietzsche. Yogyakarta: LKIS.
Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta: Juxtapose Research Publication Study Club dan Kreasi Wacana Yogyakarta.
RENSTRA UNIVERSITAS ANDALAS TAHUN 2007-2011
RENCANA STRATEGIS
UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2007-2011
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS ANDALAS
2007
KATA PENGANTAR
Dunia moderen saat ini berkembang dengan cepat oleh suatu gerakan perobahan yang berani. Keberhasilan kita tergantung dari bagaimana kita memanfaatkan aset yang sangat bernilai yaitu ilmu pengetahuan, keahlian dan kreatifitas yang kita miliki. Aset tersebut merupakan jantung dari sebuah kemajuan untuk mewujudkan VISI Universitas Andalas 2011: Menjadi Universitas yang Terkemuka dan Bermartabat. Aset ini merupakan kunci untuk merancang produk yang akan kita hasilkan dengan menerapkan tata kelola yang baik (good governance).
Perkembangan pendidikan tinggi nasional dan global menantang kita untuk kreatif dan inovatif, meningkatkan kinerja secara terus menerus dan membangun hubungan baru dan berani mengambil resiko. Pemerintah baik pusat maupun daerah dan masyarakat luas (stakeholders) harus konsisten menanamkan investasi dalam pengembangan kemampuan perguruan tinggi karena kita tidak dapat melakukan sendiri. Kita harus melakukan lebih banyak kegiatan untuk memperkuat suatu semangat baru; melengkapi diri kita untuk jangka panjang; siap untuk dapat memanfaatkan peluang; bertekad untuk tetap melakukan inovasi, berani menghadapi tantangan, dan meningkatkan kinerja secara berkelanjutan. Ini adalah cara menuju keberhasilan Universitas Andalas di masa depan. Kita harus mempromosikan kemitraan yang kreatif yang mendukung Universitas Andalas mencapai keunggulan kompetitif dan dalam waktu bersamaan mempromosikan Visi Universitas Andalas 2011.
Rencana Strategis Universitas Andalas 2007-2011 menciptakan sebuah kerangka kebijakan untuk lima tahun mendatang. Kerangka kebijakan dalam Renstra menuntut kita untuk dapat bersaing lebih efektif dalam segala bidang jika kita ingin berhasil di masa depan. Diharapkan tujuan dan sasaran yang telah dibuat dapat dicapai dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Semoga Renstra 2007-2011 dapat menjadi pedoman untuk mencapai Universitas Terkemuka dan Bermartabat.
Padang, November 2007
Rektor,
Prof. Dr. Ir. H. Musliar Kasim, MS.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Maksud dan Tujuan 1
1.3. Landasan Hukum 2
II. PERMASALAHAN, FAKTOR PENDUKUNG DAN TUJUAN STRATEGIS 2
2.1. Permasalahan 2
2.2. Faktor Pendukung 4
2.3. Tujuan Strategis 4
III. VISI DAN MISI 5
3.1. Visi Universitas Andalas 2011 5
3.2. Misi Universitas Andalas 2007-2011 5
IV. STRATEGI PEMBANGUNAN 5
V. ARAH KEBIJAKAN UMUM 5
VI. PROGRAM DAN SASARAN PEMBANGUNAN 5
VII. PENUTUP 11
LAMPIRAN 12
RENCANA STRATEGIS
UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2007-2011
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rencana Strategis (Renstra) Universitas Andalas periode 2007-2011 merupakan acuan penting bagi pengembangan Universitas Andalas setelah berusia lebih dari setengah abad (50 tahun). Usia ini dijadikan sebagai titik tolak melakukan perubahan (moment of changes) yang lebih significant dalam pengelolaan dan pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi untuk merespons perubahan lingkungan strategis yang dihadapi demi kemajuan Universitas Andalas sesuai dengan tujuan keberadaan Universitas Andalas yang ditetapkan pada statuta.
Pada Statuta Universitas Andalas dinyatakan bahwa tujuan keberadaan Universitas Andalas adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan:
a. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni.
b. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional
c. Memajukan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu-ilmu alamiah, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu budaya dan teknologi melalui kegiatan-kegiatan penelitian, pengkajian dan mempublikasikan karya-karya ilmiah yang dapat menghasilkan sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni untuk kejayaan bangsa.
1.2. Maksud dan Tujuan
Renstra Universitas Andalas 2007-2011 sebagai salah satu dokumen perencanaan bertujuan untuk memberikan arah pembangunan Universitas Andalas dalam kurun waktu lima tahun. Diharapkan Renstra dapat digunakan untuk bahan acuan dalam:
a. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) Universitas Andalas
b. Penyusunan Rencana Kinerja (performance plan) Universitas Andalas
c. Pelaksanaan tugas, pelaporan dan pengendalian Universitas Andalas
d. Kegiatan monitoring dan evaluasi (Monev)
e. Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Institusi Pemerintahan (LAKIP) Universitas Andalas.
1.3. Landasan Hukum
Renstra Universitas Andalas 2007-2011 disusun dengan memperhatikan:
a. Undang-Undang Dasar 1945, hasil amandemen ke-4, pasal 31 tentang Sistem Pendidikan Nasional
b. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan
c. Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sisdiknas
d. Undang-Undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara
e. Undang-Undang No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
f. Rencana Strategis Pendidikan Nasional (Renstra Diknas) Tahun 2005-2009.
II. PERMASALAHAN, FAKTOR PENDUKUNG DAN TUJUAN STRA-TEGIS
2.1. Permasalahan
a. Akademik
(1) Proses belajar mengajar belum sepenuhnya dalam kondisi yang ideal.
(2) Produktivitas, mutu, dan relevansi penelitian dan pengabdian kepada masyarakat belum sepenuhnya menunjang terwujudnya universitas terkemuka.
(3) Lulusan Universitas Andalas pada tingkat nasional sudah mampu bersaing secara ilmiah, namun belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat terutama dalam penguasaan keterampilan dan komunikasi global.
(4) Pendidikan yang berorientasi pada pembelajaran oleh mahasiswa (student-based learning) belum dilaksanakan secara utuh.
b. Kemampuan dan Kinerja Kelembagaan
(1) Organisasi yang mantap dan bersinerji antar berbagai unit administratif dan akademis di lingkungan Universitas Andalas belum terlaksana secara optimal.
(2) Kemampuan kelembagaan unit-unit pelayanan seperti perpustakaan, laboratorium dan unit-unit pendukung proses belajar mengajar belum memenuhi standar internasional.
(3) Belum berfungsinya Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi
(4) Pemanfaatan ICT (Information and Communication Technology) dalam manajemen universitas masih terbatas.
c. Sumberdaya Keuangan dan Aset
(1) Sumberdaya keuangan universitas belum memadai untuk mendukung penyelenggaraan kegiatan universitas.
(2) Pendanaan pemerintah dan masyarakat untuk pembiayaan pengelolaan universitas masih belum memadai.
(3) Pendanaan yang bersumber dari kerjasama belum dapat ditingkatkan secara optimal.
(4) Unit bisnis universitas yang dapat mendatangkan pendapatan (income) yang memadai belum dikembangkan.
(5) Aset Universitas Andalas belum dimanfaatkan secara maksimal.
d. Sumberdaya Manusia
(1) Belum semua sumberdaya manusia yang dimiliki Universitas Andalas menerapkan paradigma baru untuk menjadi universitas terkemuka.
(2) Belum semua sumberdaya manusia berkontribusi dalam mewujudkan budaya akademik.
(3) Pengembangan sumberdaya manusia belum terencana dengan baik.
(4) Mutu dan produktifitas sumberdaya manusia belum memadai.
e. Kerjasama
(1) Jaringan kerjasama dengan dunia kerja dan instansi lain belum dikembangkan secara optimal.
(2) Kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri masih terbatas pada beberapa fakultas.
2.2. Faktor Pendukung
a. Dosen, karyawan dan mahasiswa yang relatif bermutu.
b. Budaya kerja tim dan pengelolaan universitas yang semakin efektif dan efisien. Manajemen universitas yang transparan dengan menerapkan standard operational procedure (SOP) semakin berkembang.
c. Pemanfaatan sumberdaya universitas yang terpadu. Pemanfaatan fasilitas/sarana dan SDM semakin optimal.
d. Keselarasan penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Keterlibatan dan keterkaitan kegiatan dari Tridharma Perguruan Tinggi terus berkembang sehingga dapat meningkatkan mutu produk yang dihasilkan
e. Sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung suasana akademik dan proses belajar mengajar.
f. Penerapan ICT secara ekstensif dan intensif terus berkembang
g. Penerapan sistem remunerasi berbasis kinerja (merit system) terus berkembang.
h. Dewan Penyantun memberi perhatian terhadap pengembangan Unand.
2.3. Tujuan Strategis
a. Meningkatkan pemerataan dan perluasan akses pendidikan tingkat daerah, nasional dan internasional.
b. Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
c. Menerapkan pelaksanaan good governance.
d. Memperluas dan meningkatkan kerjasama.
III. VISI DAN MISI
3.1. Visi Universitas Andalas 2011
Menjadi Universitas Terkemuka dan Bermartabat.
3.2. Misi Universitas Andalas 2007-2011
a. Menyelenggarakan pendidikan akademik dan profesi yang terkemuka dan berkesinambungan.
b. Menyelenggarakan penelitian dasar dan terapan yang inovatif untuk menunjang pembangunan dan pengembangan IPTEKS serta meningkatkan publikasi ilmiah dan HAKI.
c. Mendharmabaktikan IPTEKS yang dikuasai kepada masyarakat.
d. Menjalin jaringan kerjasama yang produktif dan berkelanjutan dengan kelembagaan pendidikan, pemerintahan dan dunia usaha di tingkat daerah, nasional dan internasional.
e. Mengembangkan organisasi dalam meningkatkan kualitas tata kelola yang baik (good governance), sehingga mampu mengantisipasi dan mengakomodasi perubahan lingkungan strategis.
IV. STRATEGI PEMBANGUNAN
4.1. Pengembangan mutu sumberdaya manusia dalam pengelolaan kelembagaan dan pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi
4.2. Penciptaan atmosfir yang kondusif bagi penerapan good governance dalam penyelenggaraan program dan administrasi pembangunan
4.3. Peningkatan jaringan kerjasama dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan Universitas Andalas.
V. ARAH KEBIJAKAN UMUM
5.1. Menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan mengembangkan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi (SPMPT) yang terstruktur dan berkesinambungan serta memanfaatkan kerjasama secara maksimal
5.2. Menata pengelolaan sumberdaya manusia untuk meningkatkan kompetensi dosen dan tenaga kependidikan
5.3. Memanfaatkan aset dan sumberdaya keuangan secara efektif dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pada stakeholder berbasis ICT.
VI. PROGRAM DAN SASARAN PEMBANGUNAN
6.1. Meningkatkan Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan
(1) Program Pembukaan Fakultas dan Program Studi Baru
[a] Tercapainya jumlah fakultas sebanyak 12 buah pada tahun 2011.
[b] Tercapainya jumlah program studi sebanyak 47 buah tahun 2011.
(2) Program Peningkatan Penerimaan Mahasiswa Baru
[a] Tercapainya jumlah total 23.800 mahasiswa pada tahun 2011.
[b] Tercapainya 30% mahasiswa berasal dari luar Sumatera Barat.
[c] Tercapainya ranking 10 pada SPMB untuk kualitas input mahasiswa pada tahun 2011.
(3) Program Beasiswa dan Bantuan Kesejahteraan Mahasiswa
[a] Tercapainya bantuan biaya pendidikan untuk mahasiswa kurang mampu sebanyak 40% mahasiswa pada tahun 2011.
[b] Tersedianya pusat pelayanan kesehatan mahasiswa yang representatif.
[c] Terselenggaranya sistem asuransi untuk mahasiswa.
[d] Tercapainya 8% mahasiswa yang bekerja kerja paroh waktu.
6.2. Meningkatkan Mutu dan Relevansi Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat
(4) Program Pembinaan Pengelolaan Program Studi dan UPT
[a] Terselenggaranya 75% program studi (PS) terakreditasi A dari seluruh PS yang
memenuhi persyaratan akreditasi pada tahun 2011.
[b] Terselenggaranya 25% PS terakreditasi B dari seluruh PS yang memenuhi
persyaratan akreditasi pada tahun 2011.
[c] Terselenggaranya 5 program studi yang berstandar internasional pada tahun 2011.
[d] Terselenggaranya sistem evaluasi diri secara berkala di semua Program Studi
[e] Terselenggaranya efektifitas studi S1 selama 4,5 tahun dan S2 selama 2,2
tahun pada tahun 2011.
[f] Tercapainya AEE (Angka Efisiensi Edukasi) sebesar 25% pada tahun 2011.
[g] Tercapainya rasio dosen-mahasiswa pada bidang studi sosial 1:15 dan bidang
studi eksakta 1:10 pada tahun 2011.
[h] Tercapainya 40% lulusan dengan waktu tunggu kurang 6 bulan untuk mendapat
pekerjaan pertama.
[i] Tercapai 10% jumlah mahasiswa pascasarjana dari total populasi mahasiswa
[j] Tercapainya 15% dana pendidikan berbasis block grant dan kontrak kerja dari
total anggaran Universitas Andalas.
[k] Meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar
[l] Terselenggaranya paradigma pendidikan yang berorientasi pada pembelajaran
oleh mahasiswa (student-based learning).
(5) Program Penerapan Badan Penjamin Mutu (BAPEM)
[a] Tercapainya pelaksanaan Sistem Jaminan Mutu (Quality Assurance) pada seluruh
bidang dan unit di tingkat universitas.
[b] Tercapainya pelaksanaan Sistem Jaminan Mutu di seluruh fakultas.
[c] Tercapainya pelaksanaan Sistem Jaminan Mutu di seluruh jurusan/ program
studi.
[d] Terselenggaranya 2 (dua) studi penelurusan kualitas lulusan dan perubahan
pasar kerja lulusan Universitas Andalas.
[e] Terselenggaranya 35% penerapan standar mutu penelitian berbasis good
laboratory practice, sistem manajemen mutu, dan mekanisme akreditasi
kompetensi laboratorium pada tahun 2011.
[f] Tersedianya peralatan laboratorium central minimal 80% tahun 2011.
(6) Program Pengembangan Sumberdaya Manusia
[a] Tercapainya persentase kualifikasi dosen pada tahun 2011 untuk S1 sebesar 0%
; S2 sebesar 65% dan S3 sebesar 35%.
[b] Terselenggaranya program asuransi kesehatan plus bagi seluruh dosen dan
karyawan senior sebagai apresiasi Universitas Andalas terhadap pengabdian
selama bertugas pada tahun 2011.
[c] Terselenggaranya program pendidikan teknis bagi karyawan sesuai dengan
kebutuhan bidang tugas dalam upaya peningkatan mutu akademis.
[d] Meningkatnya profesionalisme dan wawasan global di kalangan sivitas
akademika dan alumni Universitas Andalas untuk mencapai keunggulan global.
[e] Terwujudnya Universitas Andalas sebagai model masyarakat madani melalui
penciptaan hubungan yang harmonis dan demokratis dalam kehidupan masyarakat
kampus.
[f] Tersedianya dosen dan karyawan yang profesional dan bermutu, regenerasi yang
berkesinambungan, serta diterapkannya rewards and punishment system yang
memotivasi kinerja.
(7) Program Peningkatan Sarana dan Prasarana
[a] Terwujudnya ruang kuliah, laboratorium dan perkantoran sesuai dengan standar
DIKTI pada tahun 2011.
[b] Tertampungnya seluruh mahasiswa baru di Asrama Mahasiswa pada tahun 2011.
[c] Tersedianya pusat belanja dan pelayanan mahasiswa secara sempurna pada tahun
2011.
[d] Tersedianya convention hall bertaraf internasional pada tahun 2011
[e] Tersedianya jalan lingkar kampus secara keseluruhan pada tahun 2011
[f] Tersedianya seluruh kebutuhan air dan listrik sehingga tidak mengganggu
proses belajar mengajar
[g] Terciptanya kondisi kampus yang aman, nyaman, asri dan harmonis.
[h] Terselenggaranya pengembangan dan pemanfaatan sarana teknologi pendidikan
dalam proses belajar mengajar.
[i] Tersedianya sistem jaringan LAN beserta perangkat komputernya.
[j] Meningkatnya kapasitas ke sambungan jaringan internet global dan mencapai
standar akses Asia sebelum 2010.
(8) Program Peningkatan Kinerja Lembaga Penelitian dan Lembaga Pengabdian pada
Masyarakat
[a] Terselenggaranya 5 kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat per
fakultas yang berorientasi IPTEKS dan pengembangan nilai guna sumberdaya
wilayah.
[b] Tercapainya 22 publikasi hasil penelitian per tahun per fakultas pada jurnal
nasional terakreditasi dan 9 pada jurnal internasional pada tahun 2011.
[c] Tercapainya satu publikasi per dosen per tahun pada tahun 2011.
[d] Tercapainya 10 jumlah HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) dari hasil
penelitian.
[e] Berkembangnya kapasitas seluruh kelembagaan penelitian tingkat universitas
dan fakultas sebagai wahana penelitian multidisiplin, penelitian ilmu dasar
dan humaniora.
[f] Terhimpunnya pemupukan dana penelitian dari berbagai sumber.
[g] Tercapainya pengalihan IPTEKS yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
keunggulan bidang/sektor pembangunan.
[h] Terlaksananya reorientasi Kuliah Kerja Nyata atau Kegiatan Magang sebagai
wahana untuk mengalihkan dan menerapkan IPTEKS.
(9) Program Peningkatan Kemampuan Spiritual dan Keterampilan (soft skill) Mahasiswa
[a] Tercapainya 50% mahasiswa mendapat skor TOEFL di atas 450 pada akhir kuliah.
[b] Tercapainya 100% mahasiswa mengikuti pelatihan kepemimpinan, peningkatan
kualitas SDM dan kewirausahaan.
[c] Terjadinya peningkatan jumlah mahasiswa mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa
sebesar rata-rata 50% per tahun setelah penerapan program student activities
performance system (SAPS).
[d] Terselenggaranya pembinaan olah raga, kesenian dan minat khusus.
[e] Tersedianya fasilitas pelatihan kemampuan bahasa asing.
[f] Tersedianya fasilitas sertifikasi kompetensi.
6.3. Menerapkan Good Governance
(10) Program Penyempurnaan dan Pemantapan Manajemen
[a] Tersedianya seluruh perangkat peraturan universitas untuk mendukung otonomi
perguruan tinggi dan dokumen persiapan BHP pada tahun 2011.
[b] Tersedianya SOP perencanaan, pengadaan, pemeliharaan, pemutakhiran,
penghapusan dan penggunaan bersama fasilitas pendukung, pelayanan akademis,
keuangan, kepegawaian, dan kemahasiswaan.
[c] Temuan pemeriksaan kurang dari 5% pada tahun 2011.
[d] Terselenggaranya fungsi dan tugas dari seluruh unsur-unsur organisasi
universitas untuk melaksanakan good governance.
[e] Terlaksananya strukturisasi pada semua tingkat dan unit di Universitas
Andalas.
[f] Terselenggaranya sistem akuntansi dan manajemen keuangan yang transparan dan
akuntabel pada setiap unit.
(11) Program Pengembangan Sistem Informasi
[a] Terlaksananya pengelolaan administrasi akademis, keuangan dan aset,
sumberdaya manusia dan mahasiswa berbasis ICT secara menyeluruh pada tahun 2011.
[b] Terlaksananya pelayanan perpustakaan Universitas Andalas secara efektif dan
bermutu secara berkelanjutan menuju standar internasional dengan jaringan ICT
pada seluruh sistem perpustakaan.
[c] Terlaksananya proses pengambilan keputusan berbasiskan ICT.
6.4. Memperluas dan Meningkatkan Jaringan Kerjasama
(12) Program Pengembangan Kerjasama dengan Perguruan Tinggi di dalam dan luar negeri
[a] Terlaksananya program studi yang melaksanakan twinning program: sebanyak 5
program pada jenjang S1 dan 5 program pada S2.
[b] Tercapainya 72 orang mahasiswa yang mengikuti program pertukaran mahasiswa
dengan universitas lain di dalam dan luar negeri pada tahun 2011.
[c] Terlaksananya sistem transfer kredit antar perguruan tinggi di dalam dan
luar negeri.
(13) Program Pengembangan Kemitraan dengan Pemerintah dan Dunia Usaha di Dalam dan
Luar Negeri
[a] Terselenggaranya 12 kerjasama antara Universitas Andalas dengan institusi
lain dan dunia usaha yang dapat mendukung pelaksanaan proses belajar dan
mengajar di Universitas Andalas.
[b] Terbentuknya jaringan kerjasama internasional dalam meningkatkan mutu dan
relevansi kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi.
[c] Meningkatnya kerjasama dan kemantapan kerjasama dengan mitra kerja pusat dan
daerah.
(14) Program Pengembangan Income Generating Activities
[a] Tercapainya 20% sumber dana universitas berasal dari kerjasama dan income
generating activities.
[b] Berkembangnya unit-unit usaha yang sehat dan mampu menjadi sumber keuangan
Universitas Andalas.
[c] Meningkatnya pemasukan dana dari kegiatan yang berdasarkan Hibah Kompetisi
di berbagai bidang.
VII. PENUTUP
Rencana Strategis tahun 2007-2011 adalah dasar pembuatan Rencana Kegiatan dan Anggaran Tahunan Universitas dan unit-unit pelaksananya. Semua rencana universitas dan unit-unit pelaksana yang belum sesuai dengan Rencana Strategis ini akan diselaraskan.
Pendanaan Rencana Strategis ini berasal dari anggaran pemerintah, dana masyarakat, dan sumber-sumber lainnya.
Dalam keadaan terjadi perubahan lingkungan strategis di luar prediksi sehingga Rencana Strategis ini menghadapi kendala besar untuk implementasinya, maka dapat dilakukan perubahan atas inisiatif pimpinan universitas.
Rencana Strategis ini akan dijabarkan dalam Rencana Program, Kegiatan, dan Anggaran Penyelenggaraan dan Pembangunan Pendidikan Tinggi (RPKAPPPT) dan akan dilengkapi dengan indikator kinerja untuk mengevaluasi keberhasilan program-program yang tercantum di dalam Rencana Strategis ini.
PERATURAN REKTOR
UNIVERSITAS ANDALAS
Nomor: 1105/XIII/A/Unand-2007
T e n t a n g
PENETAPAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)
UNIVERSITAS ANDALAS TAHUN 2007 - 2011
REKTOR UNIVERSITAS ANDALAS
Menimbang : a. bahwa Rencana Strategis (Renstra) Instansi Pemerintah adalah merupakan dokumen perencanaan sebagai langkah awal yang harus dilakukan oleh instansi pemerintah agar mampu menjawab tuntutan lingkungan strategis lokal, nasional dan global dan tetap berada dalam tatanan Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mencakup uraian Visi, Misi, strategi dan faktor-faktor keberhasilan organisasi, serta uraian tentang tujuan, sasaran dan aktivitas organisasi;
b. bahwa Rencana Strategis Universitas Andalas Tahun 1996 – 2006 telah habis masa berlakunya, sehingga harus dirumuskan dan ditetapkan Renstra sebagai rencana program jangka menengah dibuat untuk program 5 (lima) tahun ke depan yaitu Rencana Strategis (Renstra) Universitas Andalas Tahun 2007 – 2011;
c. bahwa untuk merealisir operasional Renstra tersebut pada butir b di atas perlu ditetapkan dengan suatu Peraturan Rektor.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi;
3. Keputusan Presiden RI Nomor 164/M/2005 tentang Pengangkatan Rektor Unand Periode 2005-2009;
4. Keputusan Mendikbud RI Nomor 0196/0/1995 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Universitas Andalas;
5. Permendiknas tahun 2007 tentang Statuta Universitas Andalas
6. Keputusan Rektor Universitas Andalas Nomor 599, 600, 601 dan 602/III/A/UNAND-2006 tanggal 26 April 2006 tentang Pengangkatan Pembantu Rektor I, II, III dan IV Universitas Andalas Periode 2006-2010.
Memperhatikan : 1. Program Universitas Andalas tahun 2005 – 2009.
2. Berita Acara Rapat Senat tanggal 6 Nopember 2007.
M E M U T U S K A N
Menetapkan :
Pertama : Menetapkan Naskah Rencana Strategis (Renstra) tertuang pada Lampiran Keputusan ini, sebagai Dokumen Resmi Rencana Strategis (Renstra) Universitas Andalas Tahun 2007 - 2011.
Kedua : Renstra sebagaimana tersebut pada diktum pertama peraturan ini harus dijadikan dasar acuan operasional setiap program dan kegiatan setiap fakultas atau unit dalam lingkungan Universitas Andalas dan berlaku selama lima tahun mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011.
Ketiga : Dengan ditetapkan peraturan ini, maka setiap fakultas yang ada dalam lingkungan Universitas Andalas harus membuat Renstra sebagai Rencana Strategis Fakultas dan ditetapkan dengan Peraturan Dekan bersangkutan.
Keempat : Peraturan ini mulai berlaku sejak Januari 2007 setelah diundangkan dalam Lembaran Universitas Andalas.
DITETAPKAN DI : P A D A N G
PADA TANGGAL : 23 Nopember 2007
REKTOR UNIVERSITAS ANDALAS
Diundangkan dalam Lembaran Universitas Andalas
Prof. Dr. H. MUSLIAR KASIM, MS.
Nomor : NIP. 131 411 283
Tanggal :
Lampiran: Peraturan Rektor Universitas Andalas
Nomor : 1105/XIII/A/Unand-2007
Tanggal : 23 Nopember 2007
TENTANG
RENCANA STRATEGIS
UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2007 - 2011
UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2007-2011
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS ANDALAS
2007
KATA PENGANTAR
Dunia moderen saat ini berkembang dengan cepat oleh suatu gerakan perobahan yang berani. Keberhasilan kita tergantung dari bagaimana kita memanfaatkan aset yang sangat bernilai yaitu ilmu pengetahuan, keahlian dan kreatifitas yang kita miliki. Aset tersebut merupakan jantung dari sebuah kemajuan untuk mewujudkan VISI Universitas Andalas 2011: Menjadi Universitas yang Terkemuka dan Bermartabat. Aset ini merupakan kunci untuk merancang produk yang akan kita hasilkan dengan menerapkan tata kelola yang baik (good governance).
Perkembangan pendidikan tinggi nasional dan global menantang kita untuk kreatif dan inovatif, meningkatkan kinerja secara terus menerus dan membangun hubungan baru dan berani mengambil resiko. Pemerintah baik pusat maupun daerah dan masyarakat luas (stakeholders) harus konsisten menanamkan investasi dalam pengembangan kemampuan perguruan tinggi karena kita tidak dapat melakukan sendiri. Kita harus melakukan lebih banyak kegiatan untuk memperkuat suatu semangat baru; melengkapi diri kita untuk jangka panjang; siap untuk dapat memanfaatkan peluang; bertekad untuk tetap melakukan inovasi, berani menghadapi tantangan, dan meningkatkan kinerja secara berkelanjutan. Ini adalah cara menuju keberhasilan Universitas Andalas di masa depan. Kita harus mempromosikan kemitraan yang kreatif yang mendukung Universitas Andalas mencapai keunggulan kompetitif dan dalam waktu bersamaan mempromosikan Visi Universitas Andalas 2011.
Rencana Strategis Universitas Andalas 2007-2011 menciptakan sebuah kerangka kebijakan untuk lima tahun mendatang. Kerangka kebijakan dalam Renstra menuntut kita untuk dapat bersaing lebih efektif dalam segala bidang jika kita ingin berhasil di masa depan. Diharapkan tujuan dan sasaran yang telah dibuat dapat dicapai dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Semoga Renstra 2007-2011 dapat menjadi pedoman untuk mencapai Universitas Terkemuka dan Bermartabat.
Padang, November 2007
Rektor,
Prof. Dr. Ir. H. Musliar Kasim, MS.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Maksud dan Tujuan 1
1.3. Landasan Hukum 2
II. PERMASALAHAN, FAKTOR PENDUKUNG DAN TUJUAN STRATEGIS 2
2.1. Permasalahan 2
2.2. Faktor Pendukung 4
2.3. Tujuan Strategis 4
III. VISI DAN MISI 5
3.1. Visi Universitas Andalas 2011 5
3.2. Misi Universitas Andalas 2007-2011 5
IV. STRATEGI PEMBANGUNAN 5
V. ARAH KEBIJAKAN UMUM 5
VI. PROGRAM DAN SASARAN PEMBANGUNAN 5
VII. PENUTUP 11
LAMPIRAN 12
RENCANA STRATEGIS
UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2007-2011
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rencana Strategis (Renstra) Universitas Andalas periode 2007-2011 merupakan acuan penting bagi pengembangan Universitas Andalas setelah berusia lebih dari setengah abad (50 tahun). Usia ini dijadikan sebagai titik tolak melakukan perubahan (moment of changes) yang lebih significant dalam pengelolaan dan pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi untuk merespons perubahan lingkungan strategis yang dihadapi demi kemajuan Universitas Andalas sesuai dengan tujuan keberadaan Universitas Andalas yang ditetapkan pada statuta.
Pada Statuta Universitas Andalas dinyatakan bahwa tujuan keberadaan Universitas Andalas adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan:
a. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni.
b. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional
c. Memajukan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu-ilmu alamiah, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu budaya dan teknologi melalui kegiatan-kegiatan penelitian, pengkajian dan mempublikasikan karya-karya ilmiah yang dapat menghasilkan sumbangan pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni untuk kejayaan bangsa.
1.2. Maksud dan Tujuan
Renstra Universitas Andalas 2007-2011 sebagai salah satu dokumen perencanaan bertujuan untuk memberikan arah pembangunan Universitas Andalas dalam kurun waktu lima tahun. Diharapkan Renstra dapat digunakan untuk bahan acuan dalam:
a. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) Universitas Andalas
b. Penyusunan Rencana Kinerja (performance plan) Universitas Andalas
c. Pelaksanaan tugas, pelaporan dan pengendalian Universitas Andalas
d. Kegiatan monitoring dan evaluasi (Monev)
e. Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Institusi Pemerintahan (LAKIP) Universitas Andalas.
1.3. Landasan Hukum
Renstra Universitas Andalas 2007-2011 disusun dengan memperhatikan:
a. Undang-Undang Dasar 1945, hasil amandemen ke-4, pasal 31 tentang Sistem Pendidikan Nasional
b. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan
c. Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sisdiknas
d. Undang-Undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara
e. Undang-Undang No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
f. Rencana Strategis Pendidikan Nasional (Renstra Diknas) Tahun 2005-2009.
II. PERMASALAHAN, FAKTOR PENDUKUNG DAN TUJUAN STRA-TEGIS
2.1. Permasalahan
a. Akademik
(1) Proses belajar mengajar belum sepenuhnya dalam kondisi yang ideal.
(2) Produktivitas, mutu, dan relevansi penelitian dan pengabdian kepada masyarakat belum sepenuhnya menunjang terwujudnya universitas terkemuka.
(3) Lulusan Universitas Andalas pada tingkat nasional sudah mampu bersaing secara ilmiah, namun belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan masyarakat terutama dalam penguasaan keterampilan dan komunikasi global.
(4) Pendidikan yang berorientasi pada pembelajaran oleh mahasiswa (student-based learning) belum dilaksanakan secara utuh.
b. Kemampuan dan Kinerja Kelembagaan
(1) Organisasi yang mantap dan bersinerji antar berbagai unit administratif dan akademis di lingkungan Universitas Andalas belum terlaksana secara optimal.
(2) Kemampuan kelembagaan unit-unit pelayanan seperti perpustakaan, laboratorium dan unit-unit pendukung proses belajar mengajar belum memenuhi standar internasional.
(3) Belum berfungsinya Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi
(4) Pemanfaatan ICT (Information and Communication Technology) dalam manajemen universitas masih terbatas.
c. Sumberdaya Keuangan dan Aset
(1) Sumberdaya keuangan universitas belum memadai untuk mendukung penyelenggaraan kegiatan universitas.
(2) Pendanaan pemerintah dan masyarakat untuk pembiayaan pengelolaan universitas masih belum memadai.
(3) Pendanaan yang bersumber dari kerjasama belum dapat ditingkatkan secara optimal.
(4) Unit bisnis universitas yang dapat mendatangkan pendapatan (income) yang memadai belum dikembangkan.
(5) Aset Universitas Andalas belum dimanfaatkan secara maksimal.
d. Sumberdaya Manusia
(1) Belum semua sumberdaya manusia yang dimiliki Universitas Andalas menerapkan paradigma baru untuk menjadi universitas terkemuka.
(2) Belum semua sumberdaya manusia berkontribusi dalam mewujudkan budaya akademik.
(3) Pengembangan sumberdaya manusia belum terencana dengan baik.
(4) Mutu dan produktifitas sumberdaya manusia belum memadai.
e. Kerjasama
(1) Jaringan kerjasama dengan dunia kerja dan instansi lain belum dikembangkan secara optimal.
(2) Kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri masih terbatas pada beberapa fakultas.
2.2. Faktor Pendukung
a. Dosen, karyawan dan mahasiswa yang relatif bermutu.
b. Budaya kerja tim dan pengelolaan universitas yang semakin efektif dan efisien. Manajemen universitas yang transparan dengan menerapkan standard operational procedure (SOP) semakin berkembang.
c. Pemanfaatan sumberdaya universitas yang terpadu. Pemanfaatan fasilitas/sarana dan SDM semakin optimal.
d. Keselarasan penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Keterlibatan dan keterkaitan kegiatan dari Tridharma Perguruan Tinggi terus berkembang sehingga dapat meningkatkan mutu produk yang dihasilkan
e. Sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung suasana akademik dan proses belajar mengajar.
f. Penerapan ICT secara ekstensif dan intensif terus berkembang
g. Penerapan sistem remunerasi berbasis kinerja (merit system) terus berkembang.
h. Dewan Penyantun memberi perhatian terhadap pengembangan Unand.
2.3. Tujuan Strategis
a. Meningkatkan pemerataan dan perluasan akses pendidikan tingkat daerah, nasional dan internasional.
b. Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
c. Menerapkan pelaksanaan good governance.
d. Memperluas dan meningkatkan kerjasama.
III. VISI DAN MISI
3.1. Visi Universitas Andalas 2011
Menjadi Universitas Terkemuka dan Bermartabat.
3.2. Misi Universitas Andalas 2007-2011
a. Menyelenggarakan pendidikan akademik dan profesi yang terkemuka dan berkesinambungan.
b. Menyelenggarakan penelitian dasar dan terapan yang inovatif untuk menunjang pembangunan dan pengembangan IPTEKS serta meningkatkan publikasi ilmiah dan HAKI.
c. Mendharmabaktikan IPTEKS yang dikuasai kepada masyarakat.
d. Menjalin jaringan kerjasama yang produktif dan berkelanjutan dengan kelembagaan pendidikan, pemerintahan dan dunia usaha di tingkat daerah, nasional dan internasional.
e. Mengembangkan organisasi dalam meningkatkan kualitas tata kelola yang baik (good governance), sehingga mampu mengantisipasi dan mengakomodasi perubahan lingkungan strategis.
IV. STRATEGI PEMBANGUNAN
4.1. Pengembangan mutu sumberdaya manusia dalam pengelolaan kelembagaan dan pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi
4.2. Penciptaan atmosfir yang kondusif bagi penerapan good governance dalam penyelenggaraan program dan administrasi pembangunan
4.3. Peningkatan jaringan kerjasama dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan Universitas Andalas.
V. ARAH KEBIJAKAN UMUM
5.1. Menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan mengembangkan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi (SPMPT) yang terstruktur dan berkesinambungan serta memanfaatkan kerjasama secara maksimal
5.2. Menata pengelolaan sumberdaya manusia untuk meningkatkan kompetensi dosen dan tenaga kependidikan
5.3. Memanfaatkan aset dan sumberdaya keuangan secara efektif dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pada stakeholder berbasis ICT.
VI. PROGRAM DAN SASARAN PEMBANGUNAN
6.1. Meningkatkan Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan
(1) Program Pembukaan Fakultas dan Program Studi Baru
[a] Tercapainya jumlah fakultas sebanyak 12 buah pada tahun 2011.
[b] Tercapainya jumlah program studi sebanyak 47 buah tahun 2011.
(2) Program Peningkatan Penerimaan Mahasiswa Baru
[a] Tercapainya jumlah total 23.800 mahasiswa pada tahun 2011.
[b] Tercapainya 30% mahasiswa berasal dari luar Sumatera Barat.
[c] Tercapainya ranking 10 pada SPMB untuk kualitas input mahasiswa pada tahun 2011.
(3) Program Beasiswa dan Bantuan Kesejahteraan Mahasiswa
[a] Tercapainya bantuan biaya pendidikan untuk mahasiswa kurang mampu sebanyak 40% mahasiswa pada tahun 2011.
[b] Tersedianya pusat pelayanan kesehatan mahasiswa yang representatif.
[c] Terselenggaranya sistem asuransi untuk mahasiswa.
[d] Tercapainya 8% mahasiswa yang bekerja kerja paroh waktu.
6.2. Meningkatkan Mutu dan Relevansi Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat
(4) Program Pembinaan Pengelolaan Program Studi dan UPT
[a] Terselenggaranya 75% program studi (PS) terakreditasi A dari seluruh PS yang
memenuhi persyaratan akreditasi pada tahun 2011.
[b] Terselenggaranya 25% PS terakreditasi B dari seluruh PS yang memenuhi
persyaratan akreditasi pada tahun 2011.
[c] Terselenggaranya 5 program studi yang berstandar internasional pada tahun 2011.
[d] Terselenggaranya sistem evaluasi diri secara berkala di semua Program Studi
[e] Terselenggaranya efektifitas studi S1 selama 4,5 tahun dan S2 selama 2,2
tahun pada tahun 2011.
[f] Tercapainya AEE (Angka Efisiensi Edukasi) sebesar 25% pada tahun 2011.
[g] Tercapainya rasio dosen-mahasiswa pada bidang studi sosial 1:15 dan bidang
studi eksakta 1:10 pada tahun 2011.
[h] Tercapainya 40% lulusan dengan waktu tunggu kurang 6 bulan untuk mendapat
pekerjaan pertama.
[i] Tercapai 10% jumlah mahasiswa pascasarjana dari total populasi mahasiswa
[j] Tercapainya 15% dana pendidikan berbasis block grant dan kontrak kerja dari
total anggaran Universitas Andalas.
[k] Meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar
[l] Terselenggaranya paradigma pendidikan yang berorientasi pada pembelajaran
oleh mahasiswa (student-based learning).
(5) Program Penerapan Badan Penjamin Mutu (BAPEM)
[a] Tercapainya pelaksanaan Sistem Jaminan Mutu (Quality Assurance) pada seluruh
bidang dan unit di tingkat universitas.
[b] Tercapainya pelaksanaan Sistem Jaminan Mutu di seluruh fakultas.
[c] Tercapainya pelaksanaan Sistem Jaminan Mutu di seluruh jurusan/ program
studi.
[d] Terselenggaranya 2 (dua) studi penelurusan kualitas lulusan dan perubahan
pasar kerja lulusan Universitas Andalas.
[e] Terselenggaranya 35% penerapan standar mutu penelitian berbasis good
laboratory practice, sistem manajemen mutu, dan mekanisme akreditasi
kompetensi laboratorium pada tahun 2011.
[f] Tersedianya peralatan laboratorium central minimal 80% tahun 2011.
(6) Program Pengembangan Sumberdaya Manusia
[a] Tercapainya persentase kualifikasi dosen pada tahun 2011 untuk S1 sebesar 0%
; S2 sebesar 65% dan S3 sebesar 35%.
[b] Terselenggaranya program asuransi kesehatan plus bagi seluruh dosen dan
karyawan senior sebagai apresiasi Universitas Andalas terhadap pengabdian
selama bertugas pada tahun 2011.
[c] Terselenggaranya program pendidikan teknis bagi karyawan sesuai dengan
kebutuhan bidang tugas dalam upaya peningkatan mutu akademis.
[d] Meningkatnya profesionalisme dan wawasan global di kalangan sivitas
akademika dan alumni Universitas Andalas untuk mencapai keunggulan global.
[e] Terwujudnya Universitas Andalas sebagai model masyarakat madani melalui
penciptaan hubungan yang harmonis dan demokratis dalam kehidupan masyarakat
kampus.
[f] Tersedianya dosen dan karyawan yang profesional dan bermutu, regenerasi yang
berkesinambungan, serta diterapkannya rewards and punishment system yang
memotivasi kinerja.
(7) Program Peningkatan Sarana dan Prasarana
[a] Terwujudnya ruang kuliah, laboratorium dan perkantoran sesuai dengan standar
DIKTI pada tahun 2011.
[b] Tertampungnya seluruh mahasiswa baru di Asrama Mahasiswa pada tahun 2011.
[c] Tersedianya pusat belanja dan pelayanan mahasiswa secara sempurna pada tahun
2011.
[d] Tersedianya convention hall bertaraf internasional pada tahun 2011
[e] Tersedianya jalan lingkar kampus secara keseluruhan pada tahun 2011
[f] Tersedianya seluruh kebutuhan air dan listrik sehingga tidak mengganggu
proses belajar mengajar
[g] Terciptanya kondisi kampus yang aman, nyaman, asri dan harmonis.
[h] Terselenggaranya pengembangan dan pemanfaatan sarana teknologi pendidikan
dalam proses belajar mengajar.
[i] Tersedianya sistem jaringan LAN beserta perangkat komputernya.
[j] Meningkatnya kapasitas ke sambungan jaringan internet global dan mencapai
standar akses Asia sebelum 2010.
(8) Program Peningkatan Kinerja Lembaga Penelitian dan Lembaga Pengabdian pada
Masyarakat
[a] Terselenggaranya 5 kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat per
fakultas yang berorientasi IPTEKS dan pengembangan nilai guna sumberdaya
wilayah.
[b] Tercapainya 22 publikasi hasil penelitian per tahun per fakultas pada jurnal
nasional terakreditasi dan 9 pada jurnal internasional pada tahun 2011.
[c] Tercapainya satu publikasi per dosen per tahun pada tahun 2011.
[d] Tercapainya 10 jumlah HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) dari hasil
penelitian.
[e] Berkembangnya kapasitas seluruh kelembagaan penelitian tingkat universitas
dan fakultas sebagai wahana penelitian multidisiplin, penelitian ilmu dasar
dan humaniora.
[f] Terhimpunnya pemupukan dana penelitian dari berbagai sumber.
[g] Tercapainya pengalihan IPTEKS yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
keunggulan bidang/sektor pembangunan.
[h] Terlaksananya reorientasi Kuliah Kerja Nyata atau Kegiatan Magang sebagai
wahana untuk mengalihkan dan menerapkan IPTEKS.
(9) Program Peningkatan Kemampuan Spiritual dan Keterampilan (soft skill) Mahasiswa
[a] Tercapainya 50% mahasiswa mendapat skor TOEFL di atas 450 pada akhir kuliah.
[b] Tercapainya 100% mahasiswa mengikuti pelatihan kepemimpinan, peningkatan
kualitas SDM dan kewirausahaan.
[c] Terjadinya peningkatan jumlah mahasiswa mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa
sebesar rata-rata 50% per tahun setelah penerapan program student activities
performance system (SAPS).
[d] Terselenggaranya pembinaan olah raga, kesenian dan minat khusus.
[e] Tersedianya fasilitas pelatihan kemampuan bahasa asing.
[f] Tersedianya fasilitas sertifikasi kompetensi.
6.3. Menerapkan Good Governance
(10) Program Penyempurnaan dan Pemantapan Manajemen
[a] Tersedianya seluruh perangkat peraturan universitas untuk mendukung otonomi
perguruan tinggi dan dokumen persiapan BHP pada tahun 2011.
[b] Tersedianya SOP perencanaan, pengadaan, pemeliharaan, pemutakhiran,
penghapusan dan penggunaan bersama fasilitas pendukung, pelayanan akademis,
keuangan, kepegawaian, dan kemahasiswaan.
[c] Temuan pemeriksaan kurang dari 5% pada tahun 2011.
[d] Terselenggaranya fungsi dan tugas dari seluruh unsur-unsur organisasi
universitas untuk melaksanakan good governance.
[e] Terlaksananya strukturisasi pada semua tingkat dan unit di Universitas
Andalas.
[f] Terselenggaranya sistem akuntansi dan manajemen keuangan yang transparan dan
akuntabel pada setiap unit.
(11) Program Pengembangan Sistem Informasi
[a] Terlaksananya pengelolaan administrasi akademis, keuangan dan aset,
sumberdaya manusia dan mahasiswa berbasis ICT secara menyeluruh pada tahun 2011.
[b] Terlaksananya pelayanan perpustakaan Universitas Andalas secara efektif dan
bermutu secara berkelanjutan menuju standar internasional dengan jaringan ICT
pada seluruh sistem perpustakaan.
[c] Terlaksananya proses pengambilan keputusan berbasiskan ICT.
6.4. Memperluas dan Meningkatkan Jaringan Kerjasama
(12) Program Pengembangan Kerjasama dengan Perguruan Tinggi di dalam dan luar negeri
[a] Terlaksananya program studi yang melaksanakan twinning program: sebanyak 5
program pada jenjang S1 dan 5 program pada S2.
[b] Tercapainya 72 orang mahasiswa yang mengikuti program pertukaran mahasiswa
dengan universitas lain di dalam dan luar negeri pada tahun 2011.
[c] Terlaksananya sistem transfer kredit antar perguruan tinggi di dalam dan
luar negeri.
(13) Program Pengembangan Kemitraan dengan Pemerintah dan Dunia Usaha di Dalam dan
Luar Negeri
[a] Terselenggaranya 12 kerjasama antara Universitas Andalas dengan institusi
lain dan dunia usaha yang dapat mendukung pelaksanaan proses belajar dan
mengajar di Universitas Andalas.
[b] Terbentuknya jaringan kerjasama internasional dalam meningkatkan mutu dan
relevansi kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi.
[c] Meningkatnya kerjasama dan kemantapan kerjasama dengan mitra kerja pusat dan
daerah.
(14) Program Pengembangan Income Generating Activities
[a] Tercapainya 20% sumber dana universitas berasal dari kerjasama dan income
generating activities.
[b] Berkembangnya unit-unit usaha yang sehat dan mampu menjadi sumber keuangan
Universitas Andalas.
[c] Meningkatnya pemasukan dana dari kegiatan yang berdasarkan Hibah Kompetisi
di berbagai bidang.
VII. PENUTUP
Rencana Strategis tahun 2007-2011 adalah dasar pembuatan Rencana Kegiatan dan Anggaran Tahunan Universitas dan unit-unit pelaksananya. Semua rencana universitas dan unit-unit pelaksana yang belum sesuai dengan Rencana Strategis ini akan diselaraskan.
Pendanaan Rencana Strategis ini berasal dari anggaran pemerintah, dana masyarakat, dan sumber-sumber lainnya.
Dalam keadaan terjadi perubahan lingkungan strategis di luar prediksi sehingga Rencana Strategis ini menghadapi kendala besar untuk implementasinya, maka dapat dilakukan perubahan atas inisiatif pimpinan universitas.
Rencana Strategis ini akan dijabarkan dalam Rencana Program, Kegiatan, dan Anggaran Penyelenggaraan dan Pembangunan Pendidikan Tinggi (RPKAPPPT) dan akan dilengkapi dengan indikator kinerja untuk mengevaluasi keberhasilan program-program yang tercantum di dalam Rencana Strategis ini.
PERATURAN REKTOR
UNIVERSITAS ANDALAS
Nomor: 1105/XIII/A/Unand-2007
T e n t a n g
PENETAPAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)
UNIVERSITAS ANDALAS TAHUN 2007 - 2011
REKTOR UNIVERSITAS ANDALAS
Menimbang : a. bahwa Rencana Strategis (Renstra) Instansi Pemerintah adalah merupakan dokumen perencanaan sebagai langkah awal yang harus dilakukan oleh instansi pemerintah agar mampu menjawab tuntutan lingkungan strategis lokal, nasional dan global dan tetap berada dalam tatanan Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mencakup uraian Visi, Misi, strategi dan faktor-faktor keberhasilan organisasi, serta uraian tentang tujuan, sasaran dan aktivitas organisasi;
b. bahwa Rencana Strategis Universitas Andalas Tahun 1996 – 2006 telah habis masa berlakunya, sehingga harus dirumuskan dan ditetapkan Renstra sebagai rencana program jangka menengah dibuat untuk program 5 (lima) tahun ke depan yaitu Rencana Strategis (Renstra) Universitas Andalas Tahun 2007 – 2011;
c. bahwa untuk merealisir operasional Renstra tersebut pada butir b di atas perlu ditetapkan dengan suatu Peraturan Rektor.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi;
3. Keputusan Presiden RI Nomor 164/M/2005 tentang Pengangkatan Rektor Unand Periode 2005-2009;
4. Keputusan Mendikbud RI Nomor 0196/0/1995 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Universitas Andalas;
5. Permendiknas tahun 2007 tentang Statuta Universitas Andalas
6. Keputusan Rektor Universitas Andalas Nomor 599, 600, 601 dan 602/III/A/UNAND-2006 tanggal 26 April 2006 tentang Pengangkatan Pembantu Rektor I, II, III dan IV Universitas Andalas Periode 2006-2010.
Memperhatikan : 1. Program Universitas Andalas tahun 2005 – 2009.
2. Berita Acara Rapat Senat tanggal 6 Nopember 2007.
M E M U T U S K A N
Menetapkan :
Pertama : Menetapkan Naskah Rencana Strategis (Renstra) tertuang pada Lampiran Keputusan ini, sebagai Dokumen Resmi Rencana Strategis (Renstra) Universitas Andalas Tahun 2007 - 2011.
Kedua : Renstra sebagaimana tersebut pada diktum pertama peraturan ini harus dijadikan dasar acuan operasional setiap program dan kegiatan setiap fakultas atau unit dalam lingkungan Universitas Andalas dan berlaku selama lima tahun mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011.
Ketiga : Dengan ditetapkan peraturan ini, maka setiap fakultas yang ada dalam lingkungan Universitas Andalas harus membuat Renstra sebagai Rencana Strategis Fakultas dan ditetapkan dengan Peraturan Dekan bersangkutan.
Keempat : Peraturan ini mulai berlaku sejak Januari 2007 setelah diundangkan dalam Lembaran Universitas Andalas.
DITETAPKAN DI : P A D A N G
PADA TANGGAL : 23 Nopember 2007
REKTOR UNIVERSITAS ANDALAS
Diundangkan dalam Lembaran Universitas Andalas
Prof. Dr. H. MUSLIAR KASIM, MS.
Nomor : NIP. 131 411 283
Tanggal :
Lampiran: Peraturan Rektor Universitas Andalas
Nomor : 1105/XIII/A/Unand-2007
Tanggal : 23 Nopember 2007
TENTANG
RENCANA STRATEGIS
UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2007 - 2011
Promosi Wacana Politik dan Eksemplar 135 (Sawirman)
Promosi Wacana Politik dan Eksemplar 135 (Sawirman)[i]
Dr. Sawirman1
I. Kontribusi Linguistik pada APBN
Tanggal 25 April sore, di tengah kesibukan penyambutan tim akreditasi, Bu Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas masih sempat melontarkan sebuah loncatan pikiran. Masukan Bu Yet kira-kira begini, mengapakah telaah linguistik kita secara kuantitas lebih banyak berurusan dengan pusat ke bawah. Mendengar kata dari pusat ke bawah, saya mau ketawa, tetapi ditahan. Karena kata bawah, apalagi dimulai dari pusat dalam bahasa Minang, kadangkala bermakna peyoratif yang dapat membangkitkan spirit pikiran miring seseorang. Kritikan tersebut terasa pantas, karena secara kuantitas, kajian linguistik kita memang lebih banyak berurusan dengan perut atau dengan sesuatu hal yang bersifat empiris daripada berurusan dengan logika, intelegensia, paradigma, teori, konseptualisasi, dan sejenisnya. Saya langsung berpikir, mengapa mazhab Stoic, mampu menyumbangkan kata stoic ke dalam kamus bahasa Inggris. Apakah sumbangan kita linguis Indonesia untuk membangun KBBI atau kamus linguistik dunia?
Keterjebakan telaah kita dengan hal-hal yang bersifat empiris, nomotetis, fondasionalis, dan positivis memang masih terasa. Perkembangan majalah linguistik memang pantas dihargakan tinggi. Akan tetapi, sebuah pertanyaan yang perlu dijawab, mengapakah majalah linguistik kita tidak banyak dijamah, apalagi dibeli oleh para scientis ilmu lain. Mohon maaf kalau ada yang tersinggung. Kalau untuk disiplin ilmu lain saja linguistik tidak terasa manfaatnya, apalagi untuk APBN ha...ha...ha. Habis kita juga kurang memperhatikan kontribusi ilmu lain pada linguistik. Kita tidak pernah pernah sadar bahwa disiplin ilmu lain sangat bermanfaat untuk memperkaya khasanah linguistik demi untuk memaknai linguistik pada tahapan makna terdalam (deep meaning, meminjam istilah Baudrillard). Kita belum menyadari bahwa wacana politik terorisme yang terkait dengan bom bunuh diri (suicide bombing) misalnya, dapat dipertajam dengan teori bunuh diri (suicide) ala Durkheim dalam sosiologi. Kita kadang menyebut diri kita sebagai sosiolinguis, tetapi teori-teori sosiologi tidak pernah kita kuasai. Jangankan teori-teori sosiologi mutakhir, teori-teori para pencetus sosiologi seperti August Comte, Durkheim, dan Max Weber saja lupa kita jamah. Kita menyebut diri sebagai psikolinguis, tetapi kadang kita lupa dengan pencetus teori Psikoanalisis Sigmund Freud. Dalam telaah psikoliguistik dan applied linguistic, ada dikenal istilah overgeneralisasi, tetapi kita tidak menyadari bahwa dalam teori psikoanalisis Freud juga dikenal istilah overdeterminasi. Apakah tidak sebaiknya genealogis seperti kata Foucault juga perlu dipertimbangkan dalam telaah linguistik. Kita sibuk mengejar teori generatif Chomsky (saya menyebut strukturalisme ala lain) sekalipun anda menyebutnya sudah melepaskan diri dari strukturalisme. Kita kadang lupa membaca bahwa Chomsky sendiri sudah lari jauh dari teori yang dibuatnya. Chomsky saat ini adalah salah satu tokoh yang ditakuti Amerika dengan telaah wacana politiknya tentang terorisme Timur Tengah, WTC, dan Anarkisme. Dalam hatinya Chomsky pasti berkata “Tertipu lho”?
Kita menutup diri dengan ilmu lain, tetapi kita belum menyadari ilmu lain banyak memanfaatkan ilmu kita. Kajian Orientalisme Edward Said bukan kajian linguistik, tetapi telaah linguistiknya sangat baik, begitu pula Popper dalam buku Open Society and Its Enemies-nya dan Freud dalam buku Tafsir mimpinya. Kita pantas malu dengan para tokoh Frankfurt seperti Adorno, Habermas, Marcuse serta sejumlah tokoh posmodernis dan postrukturalis seperti Foucault, Derrida, Lyotard, Baudrillard, Barthes yang jitu menelaah linguistik, sekalipun bukan menyebut dirinya pakar linguistik. Kita belum juga sadar bahwa linguistik dalam konteks kekinian, terutama kajian para posmodernis menjadi titik sentral. Kita sebenarnya memiliki cincin emas, tetapi disimpan di lemari. Kita punya cincin brilian, tetapi tidak kita pasang di jari manis. Cincin emas dan berlian yang kita punya tidak kita perlihatkan gemilaunya. Mana tahu, gemilaunya dapat menerangi seisi alam. Mari kita maknai linguistik sedalam lautan Atlantik. Maknailah linguistik setajam silet (sastra ni yee). Ndak salah kok kita kadang berguru sama burung. Burung selalu keluar sarang demi memperbaiki sarang. Kita jangan lagi seperti mikroskop, hanya mampu melihat yang kecil, tetapi lupa dengan yang besar. Indonesia sekarang diributkan dengan kenaikan BBM, terorisme, Undang Porno Aksi dan Pornografi, mengapakah kita tidak ikut menyumbang secara keilmuan, misalnya mencermati undang-undang tersebut secara linguistis. Apa yang diperbuat para linguis Indonesia pada saat demontrasi besar-besaran para buruh atas protes pada Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang selalu dianggap berpihak pada kaum borjuis (penguasa). Tugas memperbaiki nasib buruh tidak hanya tugas ahli hukum misalnya, tetapi tugas semua keilmuan, tugas kita semua.
Apakah yang dilakukan para linguis untuk memperjuangkan pengangguran bersertifikat, PSK, krisis mental, anak-anak cacat, orang gila, pengemis, pengamen, anak jalanan, kasus Ambalat, tindakan separatis di Papua, Maluku, GAM, Tsunami, dan lain-lain. Mana aksiologismu linguistik selama ini secara keilmuan untuk memberi sumbangsih kepada masyarakat kita dan masyarakat dunia. Anda hanya sibuk dengan pengotak-ngotakan ilmu anda, ini kajian linguistik, ini bukan; ini kajian semantik, bukan semiotik; ini kajian wacana, bukan sintaksis, ini kajian sastra, bukan linguistik, sementara anda lupa orang-orang di sekitar anda membutuhkan sumbangan normatif etis anda untuk menyelesaikan kasus-kasus kemanusiaan. Apakah kita tidak pernah berpikir untuk menelaah linguistik secara terpadu (integrated). Kajian semantis dapat lahir dari konstruksi sintaksis, morfologis, fonologis, dan ketidaksadaran (uncounciousness). Apakah anda tidak sadar bahwa pengkotakan-kotakan ilmu itu akibat virus sakti yang diluncurkan Rene Descartes. Zaman baholak, ilmu alam dengan ilmu sosial berpadu dalam sebuah kajian. Mengapakah anda mau dijebak nomotetis dan fondasionalis. Bukankah tautan ilmu seperti kata Popper seperti permukaan laut dengan dasarnya. Apakah salah kajian makro berpadu dengan kajian mikro. Kapan perlu telaah linguistik perlu dipertajam dengan ilmu eksakta misalnya. Saat anda menelaah bahasa terorisme, anda pasti akan berhubungan misalnya dengan jenis bom yang digunakan (ilmu kimia) atau DNA-finger (medis). Saat itu anda juga pasti sadar bahwa terjemahan DNA-finger menjadi sidik jari DNA dalam bahasa Indonesia sebenarnya tidak tepat. Sekalipun linguistik tidak berkontribusi pada APBN (eh salah lagi), sumbangan linguistik sekurang-kurangnya dapat menjadi ubek jariah palarai damam bagi masyarakat kita.
....
2.1 “Eksemplar 135”, Wacana Politik, dan Paradigma Cultural Studies
“Eksemplar 135” yang akan diterapkan pada telaah wacana ini mencoba keluar dari jebakan nomotetik. Nomotetik dan fondasionalisme menjadikan analis teks tersubordinasi (didominasi oleh sistem/konvensi). “Eksemplar 135” berdimensi interteks dan cultural studies yang diaplikasikan pada wacana terorisme dapat dilihat pada skema berikut....
1 Dosen Sastra Inggris Fakultas Sastra Unand. Disampaikan pada Seminar Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang tanggal 4 Mei 2006.
[i] Cuplikan makalah yang disampaikan pada Seminar Duo Angku Dotor di Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang pada tanggal 4 Mei 2006.
Dr. Sawirman1
I. Kontribusi Linguistik pada APBN
Tanggal 25 April sore, di tengah kesibukan penyambutan tim akreditasi, Bu Dekan Fakultas Sastra Universitas Andalas masih sempat melontarkan sebuah loncatan pikiran. Masukan Bu Yet kira-kira begini, mengapakah telaah linguistik kita secara kuantitas lebih banyak berurusan dengan pusat ke bawah. Mendengar kata dari pusat ke bawah, saya mau ketawa, tetapi ditahan. Karena kata bawah, apalagi dimulai dari pusat dalam bahasa Minang, kadangkala bermakna peyoratif yang dapat membangkitkan spirit pikiran miring seseorang. Kritikan tersebut terasa pantas, karena secara kuantitas, kajian linguistik kita memang lebih banyak berurusan dengan perut atau dengan sesuatu hal yang bersifat empiris daripada berurusan dengan logika, intelegensia, paradigma, teori, konseptualisasi, dan sejenisnya. Saya langsung berpikir, mengapa mazhab Stoic, mampu menyumbangkan kata stoic ke dalam kamus bahasa Inggris. Apakah sumbangan kita linguis Indonesia untuk membangun KBBI atau kamus linguistik dunia?
Keterjebakan telaah kita dengan hal-hal yang bersifat empiris, nomotetis, fondasionalis, dan positivis memang masih terasa. Perkembangan majalah linguistik memang pantas dihargakan tinggi. Akan tetapi, sebuah pertanyaan yang perlu dijawab, mengapakah majalah linguistik kita tidak banyak dijamah, apalagi dibeli oleh para scientis ilmu lain. Mohon maaf kalau ada yang tersinggung. Kalau untuk disiplin ilmu lain saja linguistik tidak terasa manfaatnya, apalagi untuk APBN ha...ha...ha. Habis kita juga kurang memperhatikan kontribusi ilmu lain pada linguistik. Kita tidak pernah pernah sadar bahwa disiplin ilmu lain sangat bermanfaat untuk memperkaya khasanah linguistik demi untuk memaknai linguistik pada tahapan makna terdalam (deep meaning, meminjam istilah Baudrillard). Kita belum menyadari bahwa wacana politik terorisme yang terkait dengan bom bunuh diri (suicide bombing) misalnya, dapat dipertajam dengan teori bunuh diri (suicide) ala Durkheim dalam sosiologi. Kita kadang menyebut diri kita sebagai sosiolinguis, tetapi teori-teori sosiologi tidak pernah kita kuasai. Jangankan teori-teori sosiologi mutakhir, teori-teori para pencetus sosiologi seperti August Comte, Durkheim, dan Max Weber saja lupa kita jamah. Kita menyebut diri sebagai psikolinguis, tetapi kadang kita lupa dengan pencetus teori Psikoanalisis Sigmund Freud. Dalam telaah psikoliguistik dan applied linguistic, ada dikenal istilah overgeneralisasi, tetapi kita tidak menyadari bahwa dalam teori psikoanalisis Freud juga dikenal istilah overdeterminasi. Apakah tidak sebaiknya genealogis seperti kata Foucault juga perlu dipertimbangkan dalam telaah linguistik. Kita sibuk mengejar teori generatif Chomsky (saya menyebut strukturalisme ala lain) sekalipun anda menyebutnya sudah melepaskan diri dari strukturalisme. Kita kadang lupa membaca bahwa Chomsky sendiri sudah lari jauh dari teori yang dibuatnya. Chomsky saat ini adalah salah satu tokoh yang ditakuti Amerika dengan telaah wacana politiknya tentang terorisme Timur Tengah, WTC, dan Anarkisme. Dalam hatinya Chomsky pasti berkata “Tertipu lho”?
Kita menutup diri dengan ilmu lain, tetapi kita belum menyadari ilmu lain banyak memanfaatkan ilmu kita. Kajian Orientalisme Edward Said bukan kajian linguistik, tetapi telaah linguistiknya sangat baik, begitu pula Popper dalam buku Open Society and Its Enemies-nya dan Freud dalam buku Tafsir mimpinya. Kita pantas malu dengan para tokoh Frankfurt seperti Adorno, Habermas, Marcuse serta sejumlah tokoh posmodernis dan postrukturalis seperti Foucault, Derrida, Lyotard, Baudrillard, Barthes yang jitu menelaah linguistik, sekalipun bukan menyebut dirinya pakar linguistik. Kita belum juga sadar bahwa linguistik dalam konteks kekinian, terutama kajian para posmodernis menjadi titik sentral. Kita sebenarnya memiliki cincin emas, tetapi disimpan di lemari. Kita punya cincin brilian, tetapi tidak kita pasang di jari manis. Cincin emas dan berlian yang kita punya tidak kita perlihatkan gemilaunya. Mana tahu, gemilaunya dapat menerangi seisi alam. Mari kita maknai linguistik sedalam lautan Atlantik. Maknailah linguistik setajam silet (sastra ni yee). Ndak salah kok kita kadang berguru sama burung. Burung selalu keluar sarang demi memperbaiki sarang. Kita jangan lagi seperti mikroskop, hanya mampu melihat yang kecil, tetapi lupa dengan yang besar. Indonesia sekarang diributkan dengan kenaikan BBM, terorisme, Undang Porno Aksi dan Pornografi, mengapakah kita tidak ikut menyumbang secara keilmuan, misalnya mencermati undang-undang tersebut secara linguistis. Apa yang diperbuat para linguis Indonesia pada saat demontrasi besar-besaran para buruh atas protes pada Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang selalu dianggap berpihak pada kaum borjuis (penguasa). Tugas memperbaiki nasib buruh tidak hanya tugas ahli hukum misalnya, tetapi tugas semua keilmuan, tugas kita semua.
Apakah yang dilakukan para linguis untuk memperjuangkan pengangguran bersertifikat, PSK, krisis mental, anak-anak cacat, orang gila, pengemis, pengamen, anak jalanan, kasus Ambalat, tindakan separatis di Papua, Maluku, GAM, Tsunami, dan lain-lain. Mana aksiologismu linguistik selama ini secara keilmuan untuk memberi sumbangsih kepada masyarakat kita dan masyarakat dunia. Anda hanya sibuk dengan pengotak-ngotakan ilmu anda, ini kajian linguistik, ini bukan; ini kajian semantik, bukan semiotik; ini kajian wacana, bukan sintaksis, ini kajian sastra, bukan linguistik, sementara anda lupa orang-orang di sekitar anda membutuhkan sumbangan normatif etis anda untuk menyelesaikan kasus-kasus kemanusiaan. Apakah kita tidak pernah berpikir untuk menelaah linguistik secara terpadu (integrated). Kajian semantis dapat lahir dari konstruksi sintaksis, morfologis, fonologis, dan ketidaksadaran (uncounciousness). Apakah anda tidak sadar bahwa pengkotakan-kotakan ilmu itu akibat virus sakti yang diluncurkan Rene Descartes. Zaman baholak, ilmu alam dengan ilmu sosial berpadu dalam sebuah kajian. Mengapakah anda mau dijebak nomotetis dan fondasionalis. Bukankah tautan ilmu seperti kata Popper seperti permukaan laut dengan dasarnya. Apakah salah kajian makro berpadu dengan kajian mikro. Kapan perlu telaah linguistik perlu dipertajam dengan ilmu eksakta misalnya. Saat anda menelaah bahasa terorisme, anda pasti akan berhubungan misalnya dengan jenis bom yang digunakan (ilmu kimia) atau DNA-finger (medis). Saat itu anda juga pasti sadar bahwa terjemahan DNA-finger menjadi sidik jari DNA dalam bahasa Indonesia sebenarnya tidak tepat. Sekalipun linguistik tidak berkontribusi pada APBN (eh salah lagi), sumbangan linguistik sekurang-kurangnya dapat menjadi ubek jariah palarai damam bagi masyarakat kita.
....
2.1 “Eksemplar 135”, Wacana Politik, dan Paradigma Cultural Studies
“Eksemplar 135” yang akan diterapkan pada telaah wacana ini mencoba keluar dari jebakan nomotetik. Nomotetik dan fondasionalisme menjadikan analis teks tersubordinasi (didominasi oleh sistem/konvensi). “Eksemplar 135” berdimensi interteks dan cultural studies yang diaplikasikan pada wacana terorisme dapat dilihat pada skema berikut....
1 Dosen Sastra Inggris Fakultas Sastra Unand. Disampaikan pada Seminar Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang tanggal 4 Mei 2006.
[i] Cuplikan makalah yang disampaikan pada Seminar Duo Angku Dotor di Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang pada tanggal 4 Mei 2006.
E-135 (Sawirman) Membedah Bahasa Kampanye
E-135 Membedah
Simbolisme Bahasa Kampanye (Abstrak)[1]
Dr. Sawirman, M.Hum[2].
(Dosen Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang)
ABSTRAK
Campaign is one thing, governing is the other things adalah ungkapan yang tepat untuk menyebut bahasa kampanye saat ini. Demokrasi Indonesia beberapa tahun ke depan akan banyak tergantung dengan “bahasa kampanye” (Saiwrman, 2009).
Tulisan ini merupakan pedalaman tulisan penulis yang dimuat dalam Padang Ekspres berjudul “Presiden Iklan RI”. Pada tulisan dimaksud antara lain diuntai bahwa nama-nama partai (termasuk partai baru) dibungkus dengan mosaic-mosaic nan indah. Suara-suara rakyat seakan-akan diakomodasi. Tema-tema kemiskinan, pengangguran, dan kasus-kasus nasional dijadikan basis pijakan sekalipun tanpa disertai ide-ide atau action plans cara–cara untuk mengantisipasinya. Kenyataan-kenyataan masa kini dan masa lalu seakan-akan dipresentasikan dengan seperangkat leksikon argumentatif tanpa didukung oleh riset yang handal. Political lexicon seputar pemerintahanan peduli dan pemerintahan bersih ditawarkan tanpa disertai program-program nyata cara-cara mewujudkannya. “Pemulihan bangsa” menjadi mistifikasi semua partai sehingga kata itu ditempelkan dimana-mana, di lorong-lorong jalan, di kolong-kolong jembatan hingga di tempat-tempat ibadah. Label ”amanat rakyat” dijadikan sebagai merk dagang (brand market). Gerindra menggunakan simbol-simbol hiperealitas. Seekor burung garuda yang seakan-akan menyimbol seorang sosok Indonesia masa depan ditayangkan di semua stasiun tv lokal dan nasional. Triliunan dana dihabiskan untuk “serangan udara” (iklan) tersebut. Golkar mengusung tema pendidikan. Perjuangan pemerintah untuk menaikan anggaran pendidikan menjadi 20% seakan-akan hanya perjuangan sebuah partai (sebuah kebenaran parsial/semu).
Pada tulisan dimaksud juga diutarakan bahwa Partai Demokrat sempat ditertawakan para pengamat karena menjadikan BBM (penurunan harga sebanyak tiga kali) sebagai simbol simpati keberpihakan pada rakyat. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memunculkan sejumlah akronim baru, dari partai kasih sayang hingga peduli kesejahteraan sesama. Partai ini tidak menggunakan istilah “Ketua Partai”, tetapi “Presiden Partai”. Kontestasi program, kontestasi ide, kontestasi komitmen, visi dan misi, serta kontestasi track record seakan-akan terlupakan dalam bahasa kampanye. Iklan-iklan bernuansa narsis (penonjolan suatu figur) ditampilkan setiap hari. PDIP mengidolakan Mega, Gerindra menampilkan Prabowo, Wiranto bersama Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrat mengusung SBY, Golkar mengunggulkan Jusuf Kalla, dan Soeharto sebagai Bapak Bangsa dideklarasikan PKS, dan lain-lain.
Sejumlah pertanyaan yang juga pernah pula diutarakan antara lain, apakah penonjolan figur-figur “narsis” tanpa disertai alasan dan track record sang figur dapat diterima secara akademis? Apakah yang dilakukan sang figur saat pernah menjabat di negara ini? Kemanakah sang figur selama ini saat para petani digusur, rumah pedagang kecil dibakar demi kebersihan kota, puluhan ribu anak-anak jalanan berkeliaran, dan jutaan pengemis bergelimpangan di malam hari? Mengapa tiba-tiba menjadi “pahlawan petani”. Apakah yang dilakukan sang figur pada negara ini di masa silam untuk pengentasan tragedi-tragedi kemanusiaan? Apakah penanaman narsisme di kalangan rakyat dapat dibenarkan? Bisakah kasus-kasus nasional bisa terselesaikan hanya dengan penonjolan seorang figur? Apakah demokrasi kita nanti akan ditentukan oleh “bahasa kampanye”? Apakah nasib bangsa dipertaruhkan lima tahun ke depan karena “bahasa iklan”? Apakah Indonesia akan mencetak sejarah “Pencetus Presiden Iklan Pertama”?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diungkap melalui konstruksi berpikir E-135. Huruf e pada e-135 menyimbolkan eksemplar (bukan simbol elektronik seperti e-mail, e-journal, e-learning, e-book, e-library, e-commerce, dan lain-lain), sekalipun e-135 memang menjadikan data elektronik sebagai data “hiperteks” pada salah satu tahapan (tahapan eksplorasi). Angka 1 pada e-135 menyimbolkan landasan ontologis/filosofis (hermeneutika), angka 3 menyimbolkan revisi pendekatan wacana terkini (kritis, dekonstruksionis, cultural studies), serta angka 5 menyimbolkan tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi) sekaligus landasan objek material dan formal yang masing-masingnya diberi penjelasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.E-135 semula penulis ciptakan untuk membedah simbol lingual wacana politik Tan Malaka (salah seorang tokoh perenial asal Minangkabau) untuk keperluan disertasi doktoral di Universitas Udayana tahun 2005. Diseminasi dan sosialisasi e-135 ini sudah dilakukan dalam berbagai forum dan jurnal ilmiah. Baik masukan, kritikan, dan input berharga maupun respon positif dan apresiasi lisan dari sejumlah pihak membuat penulis secara berkelanjutan merevisi e-135 agar semakin teruji secara akademis. Tulisan ini memuat “revisi e-135” dan model analisis terkini setelah disosialisasikan dalam penelitian Hibah Bersaing tahun 2007 tentang wacana terorisme, draf buku Analisis Wacana Berdimensi Cultural Studies, beberapa jurnal (Kajian Budaya Program Doktor Unud dan Linguistika Kultura Unand), dan sejumlah forum (Dosen Berprestasi Unand, Applied Approach Unand), dan terakhir kali disampaikan pada National Seminar on Language Literature and Language Teaching di FBSS UNP Padang, tanggal 10-11 Oktober 2008 dengan judul Selamatkan Linguistik dengan E-135.
[1] Disampaikan pada SEMINAR BAHASA IBU II pada tanggal 27-28 Februari 2009.
[2] Dr. Sawirman adalah Dosen Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang.
Simbolisme Bahasa Kampanye (Abstrak)[1]
Dr. Sawirman, M.Hum[2].
(Dosen Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang)
ABSTRAK
Campaign is one thing, governing is the other things adalah ungkapan yang tepat untuk menyebut bahasa kampanye saat ini. Demokrasi Indonesia beberapa tahun ke depan akan banyak tergantung dengan “bahasa kampanye” (Saiwrman, 2009).
Tulisan ini merupakan pedalaman tulisan penulis yang dimuat dalam Padang Ekspres berjudul “Presiden Iklan RI”. Pada tulisan dimaksud antara lain diuntai bahwa nama-nama partai (termasuk partai baru) dibungkus dengan mosaic-mosaic nan indah. Suara-suara rakyat seakan-akan diakomodasi. Tema-tema kemiskinan, pengangguran, dan kasus-kasus nasional dijadikan basis pijakan sekalipun tanpa disertai ide-ide atau action plans cara–cara untuk mengantisipasinya. Kenyataan-kenyataan masa kini dan masa lalu seakan-akan dipresentasikan dengan seperangkat leksikon argumentatif tanpa didukung oleh riset yang handal. Political lexicon seputar pemerintahanan peduli dan pemerintahan bersih ditawarkan tanpa disertai program-program nyata cara-cara mewujudkannya. “Pemulihan bangsa” menjadi mistifikasi semua partai sehingga kata itu ditempelkan dimana-mana, di lorong-lorong jalan, di kolong-kolong jembatan hingga di tempat-tempat ibadah. Label ”amanat rakyat” dijadikan sebagai merk dagang (brand market). Gerindra menggunakan simbol-simbol hiperealitas. Seekor burung garuda yang seakan-akan menyimbol seorang sosok Indonesia masa depan ditayangkan di semua stasiun tv lokal dan nasional. Triliunan dana dihabiskan untuk “serangan udara” (iklan) tersebut. Golkar mengusung tema pendidikan. Perjuangan pemerintah untuk menaikan anggaran pendidikan menjadi 20% seakan-akan hanya perjuangan sebuah partai (sebuah kebenaran parsial/semu).
Pada tulisan dimaksud juga diutarakan bahwa Partai Demokrat sempat ditertawakan para pengamat karena menjadikan BBM (penurunan harga sebanyak tiga kali) sebagai simbol simpati keberpihakan pada rakyat. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memunculkan sejumlah akronim baru, dari partai kasih sayang hingga peduli kesejahteraan sesama. Partai ini tidak menggunakan istilah “Ketua Partai”, tetapi “Presiden Partai”. Kontestasi program, kontestasi ide, kontestasi komitmen, visi dan misi, serta kontestasi track record seakan-akan terlupakan dalam bahasa kampanye. Iklan-iklan bernuansa narsis (penonjolan suatu figur) ditampilkan setiap hari. PDIP mengidolakan Mega, Gerindra menampilkan Prabowo, Wiranto bersama Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrat mengusung SBY, Golkar mengunggulkan Jusuf Kalla, dan Soeharto sebagai Bapak Bangsa dideklarasikan PKS, dan lain-lain.
Sejumlah pertanyaan yang juga pernah pula diutarakan antara lain, apakah penonjolan figur-figur “narsis” tanpa disertai alasan dan track record sang figur dapat diterima secara akademis? Apakah yang dilakukan sang figur saat pernah menjabat di negara ini? Kemanakah sang figur selama ini saat para petani digusur, rumah pedagang kecil dibakar demi kebersihan kota, puluhan ribu anak-anak jalanan berkeliaran, dan jutaan pengemis bergelimpangan di malam hari? Mengapa tiba-tiba menjadi “pahlawan petani”. Apakah yang dilakukan sang figur pada negara ini di masa silam untuk pengentasan tragedi-tragedi kemanusiaan? Apakah penanaman narsisme di kalangan rakyat dapat dibenarkan? Bisakah kasus-kasus nasional bisa terselesaikan hanya dengan penonjolan seorang figur? Apakah demokrasi kita nanti akan ditentukan oleh “bahasa kampanye”? Apakah nasib bangsa dipertaruhkan lima tahun ke depan karena “bahasa iklan”? Apakah Indonesia akan mencetak sejarah “Pencetus Presiden Iklan Pertama”?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diungkap melalui konstruksi berpikir E-135. Huruf e pada e-135 menyimbolkan eksemplar (bukan simbol elektronik seperti e-mail, e-journal, e-learning, e-book, e-library, e-commerce, dan lain-lain), sekalipun e-135 memang menjadikan data elektronik sebagai data “hiperteks” pada salah satu tahapan (tahapan eksplorasi). Angka 1 pada e-135 menyimbolkan landasan ontologis/filosofis (hermeneutika), angka 3 menyimbolkan revisi pendekatan wacana terkini (kritis, dekonstruksionis, cultural studies), serta angka 5 menyimbolkan tahapan analisis (elaborasi, representasi, signifikasi, eksplorasi, dan transfigurasi) sekaligus landasan objek material dan formal yang masing-masingnya diberi penjelasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis.E-135 semula penulis ciptakan untuk membedah simbol lingual wacana politik Tan Malaka (salah seorang tokoh perenial asal Minangkabau) untuk keperluan disertasi doktoral di Universitas Udayana tahun 2005. Diseminasi dan sosialisasi e-135 ini sudah dilakukan dalam berbagai forum dan jurnal ilmiah. Baik masukan, kritikan, dan input berharga maupun respon positif dan apresiasi lisan dari sejumlah pihak membuat penulis secara berkelanjutan merevisi e-135 agar semakin teruji secara akademis. Tulisan ini memuat “revisi e-135” dan model analisis terkini setelah disosialisasikan dalam penelitian Hibah Bersaing tahun 2007 tentang wacana terorisme, draf buku Analisis Wacana Berdimensi Cultural Studies, beberapa jurnal (Kajian Budaya Program Doktor Unud dan Linguistika Kultura Unand), dan sejumlah forum (Dosen Berprestasi Unand, Applied Approach Unand), dan terakhir kali disampaikan pada National Seminar on Language Literature and Language Teaching di FBSS UNP Padang, tanggal 10-11 Oktober 2008 dengan judul Selamatkan Linguistik dengan E-135.
[1] Disampaikan pada SEMINAR BAHASA IBU II pada tanggal 27-28 Februari 2009.
[2] Dr. Sawirman adalah Dosen Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang.
Analisis Alih Kode dan Inteferensi dalam Majalah Sister dengan Menggunakan Teori E-135 Sawirman
Analisis Alih Kode dan Inteferensi dalam Majalah Sister dengan Menggunakan Teori E-135 Sawirman
Oleh
Dini Maulia
(Dosen Sastra Jepang Universitas Andalas)
I. PENDAHULUAN
Pengukuhan kedudukan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional menimbulkan dampak positif sekaligus ancaman bagi perkembangan bahasa nasional suatu Negara, salah satunya Indonesia. Bahasa Inggris memfasilitasi kita sarana untuk menggali ilmu dan menjangkau penelitian mutakhir dari berbagai Negara di dunia, tetapi di lain sisi sarana tersebut juga dapat menenggelamkan bahasa kesatuan kita. Seperti yang diungkapkan oleh Ismail Kusmayadi dalam Pikiran Rakyat bahwa sebagai bukti telah terkikisnya bahasa Indonesia akibat arus globalisasi yang cenderung menuntut penguasaan bahasa asing adalah berkembangnya pengguanaan bahasa asing dalam pergaulan sehari-hari. Parahnya penggunaan bahasa tersebut cenderung dicampuradukkan dengan bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.
Inteferensi dan alih kode merupakan fenomena pencampuradukkan dua bahasa atau lebih yang terjadi dalam penggunaan sebuah bahasa. Masyarakat yang melakukan inteferensi maupun alih kode tersebut dapat diidentikan dengan masyarakat multi bahasa, seperti yang diungkapkan Romaine dalam Foley (1999: 333) perhaps the most prototypical case of code switching is alternating between distinct languages, a phenomenon associated with bilingualism. Adapun pengertian masyarakat multi bahasa adalah masyarakat yang menggunakan dua bahasa atu lebih dalam berkomunikasi, dimana ketika mereka berkomunikasi bahasa yang mereka gunakan tersebut memberi efek antara satu yang lainnya (Chaika, 1982:225). Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa asing yang cenderung sering diinteferensikan ke dalam bahasa Indonesia. Pengaruh kuat dari bahasa Inggris tersebut dikarenakan statusnya sebagai bahasa dunia. Seperti yang diungkapkan oleh Holborow (1999:1) the use of English around the world brings into sharp linguistics focus the effects of globalization. Artinya penyebaran bahasa Inggris tersebut erat kaitannya dengan globalisasi dunia. Adapun masyarakat yang cenderung mendapat pengaruh banyak untuk menggunakan bahasa asing tersebut digambarkan oleh Mesthrie (2001;168) sebagai berikut: ….english also has some appeal: it associated with upward mobility, it is the language of the of the international community and it is used in the international mass media, which may make it particularly appealing to these young people.
Melalui teori yang diungkapkan oleh Mesthrie tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa masyarkat yang cenderung melakukan inteferensi dan campur kode tersebut adalah masyarakat perkotaan, dimana wilayahnya memiliki mobilitas tinggi untuk menjangkau semua informasi dari luar, sehingga pengaruh asing begitu cepat membaur termasuk dalam aspek kebahasaannya. Adapun kalangan yang cenderung mendapat arus mobilitas tersebut adalah remaja. Dimana disebutkan bahwa kaum muda kemungkinan lebih dominan dalam menggunakan bahasa Inggris dalam pergaulannya.
Hal lain yang tak lekang dari perhatian seputar alih kode dan inteferensi dalam ke dalam bahasa asing khususnya Inggris adalah media. Karena salah satu hal yang membawa dan mempengaruhi masyarakat kita ke dalam fenomena kemultilingualan tersebut adalah media massa. Ada sebuah pernyataan yang dikutip Holborow dalam bukunya menyatakan bahwa by the year 2000 it is estimated that over one billion people will learning English. English is the main language of books, newspaper, airports and air traffic control, diplomacy, sport, international competition, pop music and advertising. Artinya sejak tahun 1999 buku tersebut dicetak telah dapat diprediksikan bagaimana pesatnya perkembangan bahasa Inggris yang wabahnya meliputi media massa seperti koran dan majalah. Saat ini prediksi tersebut menjadi teori yang teraplikasi karena selain media massa yang mencakup konsumen internasional, media massa berkelas nasional pun telah membuktikan terealisasinya fenomena tersebut. Tidak secara langsung untuk menjadi bahasa dunia tetapi penggunaan bahasa Inggris tersebut berwujud penggabungan dengan bahasa nasional. Pengaruh bahas asing tersebut secara tidak langsung juga mempengaruhi masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh Scannnel (2007:10) bahwa pada dasarnya, kondisi dunia nyata mempengaruhi media massa, dan sebaliknya keberadaan media massa juga mempengaruhi kondisi dunia nyata. Jadi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara fenomena kemultibahasaan dengan media massa.
Beranjak dari pernyataan sebelumnya, adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana inteferensi dan alih kode antara bahasa Indonesia dan Inggris yang dominan terjadi pada beberapa rubrik majalah remaja di Indonesia, sehingga melalui pembahasan makalah ini dapat dilihat sebuah gambaran fenomena seperti apa yang terjadi dalam kemultibahasaan kaum muda saat ini melalui salah satu majalah yang dianggap penulis dapat mewakili kondisi media yang berkembang dalam kalangan remaja, yaitu majalah sister. Majalah sister merupakan majalah khusus remaja perempuan yang terbit terbit pertama kali pada bulan Juni tahun 2008. Majalah ini merupakan majalah bulanan yang isinya menguak semua info terbaru mengenai remaja wanita. Yang menarik pada bagian majalah ini adalah nama yang dilekatkan untuk majalah ini sendiri yang menggunakan bahasa Inggris, yaitu ‘Sister’. Dari segi nama yang cenderung memilih bahasa asing, sedangkan penyajian isi nya sendiri dalam bahasa Indonesia menjadi bentuk pengacauan apabila kita memandangnya dari keselarasan isi dan judul. Oleh karena itu, penulis memilih data bahasa yang digunakan dalam majalah Sister untuk pembahsan dalam makalah ini.
KERANGKA TEORI
Bahasa merupakan alat komunikasi yang dinamis dan dapat berubah seiring dengan interaksi penggunanya. Seperti yang diungkapkan oleh Coulmas (2005:122) communicative interaction should not be seen as unfolding in a space of pre-exiting social meaning but rather as dynamic process whose participants create social meaning as the go along, accommodating each other in a continous give and take. Fenomena kenonbakuan bahasa, serta percamuran yang secara preskriptif dipandang menentang sistem yang telah dibuat merupakan hal yang alamiah terjadi dan tidak dapat dicegah. Bagaimana kita memandang pelanggaran sistem tersebut bukanlah hanya sebagai pihak yang memutuskan tindakan tersebut sebagai bentuk negative melainkan sebuah titik pengamatan yang harus ditemukan sumbernya dan dilakukan langkah yang dirasa perlu untuk menjaga bahasa kesatuan kita.
1.1. Alih Kode dan Inteferensi
Sebelum memasuki pembahasan mengenai alih kode dan inteferensi berikut dipaparkan beberapa teori yang mejelaskan bentuk dari alih kode dan interferensi. Romaine menjelaskan (1994:58) code switches will tend to occur at points where the juxtaposition of elements from the two languages does not violate a syntactic rule of either language. Artinya, terjadinya percampuran kedua bahasa tidak saling mengacaukan kaidah salah satu bahasa yang dipadukan. Berbeda halnnya dengan inteferensi, sepert yang dikemukakan oleh Weinreich dalam Chaer (2004:120) bahwa inteferensi merupakan perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Proses dari inteferensi tersebut dijelaskan juga oleh Coulmas (2005:111) interference, on the other hand, result from the default use of the first language of a person as reference system for other languages. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketika alih kode menggabunkan dua bahsa sesuai dengan sistem bahasa tersebut, maka yang terjadi pada inteferensi justru sebaliknya karena menimbulkan sebuah kekacauan sistem dimana satu bahasa digunakan dengan mengacu bahasa yang lain (diungkapkan juga oleh Chaer). Adapun kondisi social tempat dimana fenomena alih kode tersebut dapat terjadi digambarkan Coulmas (2005:121) sebagai berikut:
The social environments in which code-switching occurs are varied and, accordingly, many social variables… these variables include community norms and values, ethnicity, speakers’ level of education and fluency, immigrant status, social relations, relative prestige of the languages involved and setting, among others.
Dapat diketahui bahwa variable social seperti kesepakatan suatu komunitas, nilai budaa, pendidikan, status social merupakan komponen yang sangat mempengaruhi masyarakat untuk beralih kode.
1.2. Media Massa
Media massa merupakan sumber informasi yang disajikan kepada masyarakat dalam bentuk teks. Menurut Tholson (2006:9), terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan dalam membuat teks tersebut, di antaranya: interactivity, performativity dan liveliness. Interactivity berarti penulis teks ditntut untuk memilih kata yang sesuai sehingga terjalin hubungan antara penulis dan pembaca dalam rangka penyampaian makna. Performativity berarti penulisan teks harus memperhatikan penampilan bahasa yang disampaikan, sehingga menarik orang yang membacanya. Liveliness berarti pilihan kata harus dapat menghidupkan suasana yang ditandai adanya respon dari pembaca.
Tentunya menyajikan berita dalam bentuk teks memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi daripada melalui media elektronik. Penulis harus benar-benar lihai dalam memilih kata yang ekspresif, sehingga apa yang disampaikan benar-beenar dapat diterima sepenuhnya. Berbeda dengan Koran, majalah (khususnya majalah remaja)lebih minim dalam menyampaikan berita yang berupa fakta kejadian penting dunia. Kalau koran atau majalah konsumsi kalangan dewasa lebih cenderung kepada masalah politik, hukum, criminal dan lainnya, sedangkan majalah remaja lenbih kepada sebuah hiburan, mengedepankan fashion, kegiatan di luar pendidikan, hobi, fashion, dunia hiburan, walaupun terdapat beberapa informasi dunia yang penting kecendrungan merupakan seputar kehidupan selebritis atau kecanggihan tekhnologi yang berkembang di kalangan remaja (hasil pengamatan terhadap bahan data yang digunakan penulis dalam makalah ini). Sehingga pada akhirnya melalui satu media, kalangan remaja memperoleh banyak pengetahuan yang cenderung mereka imitasi dan mencoba mengikuti pola kehidupan yang mereka dapat melalui majalah tersebut.
1.3. Teori E-135
Teori e-135 merupakan teori analisis wacana yang dikembangkan dengan memadukan tahap-tahapan wacana fungsional dan kritis. Metode analisis dalam teori e-135 ini dibagi menjadi 5 tahapan, yaitu:
1. Elaborasi
Tahap ini merupakan tahapan linguistik mikro pada bagian data yang akan di analisis. Tahap ini memandang teks sebagai wujud material yang merupakan produk dari wacana itu sendiri.
2. Representasi
Merupakan tahapan yang menganalisis hubungan bahasa sebagai tanda yang menggambarkan realitas yang ada tentang manusia, fakta, peristiwa dan lainnya. Tahapan ini mengkaji hubungan interteks dalam wacana.
3. Tahap Signifikasi
Tahap ini merupakan tahap interpretasi teks secara kritis. Tahapan ini merupakan gabungan antara tahapan semiotik dan analisis kritis.
4. Tahap Eksplorasi
Tahapah ini merupakan analisis tanda secara mendalam, dimana tanda dieksplorasi secara mendalam. Pendekatan hipersemiotika digunakan pada tahapan ini.
5. Tahap Transfigurasi
Tahap ini merupakan tahap pemetaan makna. Dimana tahap ini merupakan penggabungan antar interpretasi pemroduksi kode, interterpretasi kode itu sendiri dan interpretasi yang pengonsumsi kode tersebut.
(keseluruhan keterangan mengenai teori e-135 dikuti melalui Draf teori wacana e-135 oleh Sawirman).
2. PEMBAHASAN
2.1. Data
Penulis mengambil majalah Sister edisi bulan Oktober sebagai media mengambil data. Adapun beberapa populasi yang ditemukan, penulis memilih 2 buah sample sebagai perwakilan analisis. Adapun data tersebut, sebagai berikut:
Gambar 1. Data I Gambar 2. Data II
2.2.Analisis Data dengan Menggunakan Teori E-135
(1) Gotta have fashion
My Lovely canvas shoes
Kini Crocs hadir dengan gaya berbeda. Tidak lagi identik dengan sandal, kelom atau sepatu terbuka. Crocs justru menghadirkan Santa Cruz sepatu berbahan canvas dengan alasnya dijamin nyaman di kaki. Kamu juga bisa memilih corak dan warnanya sesuai selera. Model yang casual dan tetap sopan dipakai dimana pun, membuat sister menjadikan Santa Cruz must have fashion item this month!.
Rubrik ini dalam majalah Sister dinamai rubrik ‘gotta have fashion’, dimana dalam rubrik ini biasanya disajikan untuk memberi informasi mengenai gaya terbaru yang akan menjadi populer di kalangan remaja.
(2) Grand Female Photo Festival
Topshop, fashion store favorit kamu ternyata sudah ada dari tahun 1964 lho! Ide awalnya adalah membuat sebuah toko dengan konsep up-to-the-minute affordable style. Padahal, tadinya Topshop bermula dari basement milik Peter Robinson, sebuah department store di Inggris Utara, tahun 1964. Setahun kemudian, Topshop dipindahkan ke cabang Peter Robinson di Oxford Circus, yang ramai banget dengan oran lalu lalang. Karena itulah, Topshop jadi dikenal banyak orang dan nggak sampai sepuluh tahun, Topshop sudah dapat berdiri sendiri. Sejak tahun 1994, Topshop sudah menjadi fashion store terbesar yang menarik 200.000 shoppers setiap minggunya. Pada tahun 2005, Topshop makin menunjukkan jati dirinya dengan ikutan dalam jadwal London Fashion Week. Para pelanggan Topshop bisa berasal dari berbagai range usia, mulai dari early teens hinggga usia 50-an. Karakter dari pelanggan Topshop adalah loyal,memperhatikan dan sadarfashion tapi tidak terdikte oleh fashion. Topshopper selalu mencari gaya unik dan outstanding dibanding yang lain. Topshop gives you new experiance in shopping!
Tahap e-135:
2.2.1. Tahap Elaborasi
Dalam data pertama dapat ditandai inteferensi dan alih kode pada kalimat berikut:
model casual dan tetap sopan dipakai dimanapun, membuat membuat sister menjadikan Santa Cruz must have fashion item this month!.
‘casual’ merupakan bentuk inteferensi dalam kalimat, dan ‘must have fashion item this month’ merupakan bentuk alih kode.
Secara baku, satu kesatuan kalimat tidak boleh menempatkan dua bahasa yang berbeda. Kata casual yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘sederhana’. Kata ini bukan merupakan serapan. Tetapi redaksi menggunakannya secara sengaja untuk menggambarkan bentuk model sepatu yang sederhana, dan dipakai dalam situasi non formal. Kemudian pada data alih kode. Kalimat must have fashion item this month dalam bahasa Indonesia berarti ‘benda mode terkini yang harus dimiliki bulan ini’
must have sebagai pembentuk frase nomina untuk objek item dalam kalimat mengalami alih kode bersamaan dengan this month yang berkedudukan sebagai keterangan waktu. Apabila ditelaah kembali keseluruhan teks juga terdapat bentuk percampuran bahasa, yaitu terdapat dalam judul, sebagai berikut:
‘gotta have fashion’ yang terdapat disudut kiri atas yang meberitahukan bahwa rubrik yang disampaikan pada halaman ini adalah rubrik ‘mode yang harus dimiliki’ sebagai penerjemahan dari gotta have fashion. Kemudian kita lihat kembali judul my lovely ‘canvas’ shoes, apabila diterjemahkan menjadi ‘sepatu canvas kesayangan saya’. Dari bagian analisis yang pada data ini ditemukan bahwa majalah ini tidak hanya melekatkan bahasa Inggris untuk penamaan dirinya, tetapi jenis rubrik dan judul dari setia informasi bahkan isi itu sendiri juga tidak dapat meninggalkan bahasa Inggris dalam merangkai setiap kalimat.
Dalam data kedua, ditemukan inteferensi dan alih kode sebagai berikut:
· Topshop, fashion store favorit kamu ternyata sudah ada dari tahun 1964 lho! Ide awalnya adalah membuat sebuah toko dengan konsep up-to-the-minute affordable style.
· Padahal, tadinya Topshop bermula dari basement milik Peter Robinson, sebuah departement store di Inggris Utara, tahun 1964.
· Sejak tahun 1994, Topshop sudah menjadi fashion store terbesar yang menarik 200.000 shoppers setiap minggunya.
· Para pelanggan Topshop bisa berasal dari berbagai range usia, mulai dari early teens hinggga usia 50-an.
· Topshopper selaluu mencari gaya unik dan outstanding dibanding yang lain. Topshop gives you new experiance in shopping!
Fashion store yang dapat diartikan ‘toko mode’ sama sekali tidak pernah diungkapkan dalam bahasa Indonesia dalam rubrik ini. Fashion store yang jelas memiliki padanan dalam bahasa Indonesia seolah-olah digunakan dalam bentuk serapan ataupun dianggap sebagai sebuah penabalan terhadap sesuatu hal yang di Indonesia tidak dapat ditemui bentuknya. Padahal kalau dilihat dari gambar, redaksi ingin mengungkapkan representasi dari sebuah ‘toko baju’ yang menyediakan baju-baju yang paling populer pada setiap zaman dengan kata fashion store. Apabila di analisis secara semantik, tentunya tidak ada bagian komponen makna yang hilang kalau saja redaksi menyebutkan kata ‘toko baju’ untuk ungkapan fashion store, karena di Indonesia pun bentuk tempat penjualan baju seperti itu juga banyak ditemui di Indonesia. Sama halnya dengan kata departement store, kata ini juga berarti toko. Kalau fashion store lebih mengacu kepada toko atau perangkat lain sepertti tas dan sepatu, sedangkan departement store lebih luas dan tidak spesifik. Berbeda dengan fashion store, kata departement store lebih cenderung umum digunakan di Indonesia seolah-olah menjadi bahasa serapan.
Kata basement yang berarti ‘ruang bawah tanah’ diinteferensi dengan alasan perbedaan fungsi dalam penggunaan ‘ruang bawah tanah’ tersebut. Di Indonesia cenderung langka ditemukan toko yang didirikan di bawah tanah. Perbedaan fungsi ruangan tersebut menjadi pemicu redaksi untuk memilih kata basement daripada ruang bawah tanah.
Kemudian untuk kata shoppers yang diartikan ‘pengunjung’ atau ‘pembelanja’ dalam bahasa Indonesia. Terdapat sebuah ketidakseimbangan dalam struktur inteferensi, karena pada bagian berikutnya redaksi menyebutkan kata ‘pelanggan’. Kalau ingin keselarasan bentuk panggunaan bahsa, redaksi bisa saja menyebutkan Topshopper untuk kata pelanggan.
Pada bagian berikutnya terdapat kata range yang berarti ‘rata-rata’. Kata ini digunakan untuk menunjukkan ‘rata-rata usia’ pengunjung yang datang ke toko Topshop. Terdapat juga earlyteens yang menunjukkan makna ‘para remaja ABG’. Disini juga terdapat ketidakkonsistenan inteferensi, karena pengungkapan kalangan umur berikutnya digunakan bahasa Indonesia, yaitu ’50-an’. Begitu juga dengan kata outstanding yang ddigunakan untuk mengungkapkan kata ‘terkemuka’. Kata outstanding sendiri yang dihubungkan dengan kata penghubung ‘dan’ dengan kata ‘gaya unik’ yang merupakan bahsa Indonesia. Perpaduan yang mengacaukan struktur kalimat, karena bahsa Indonesia masih cukup porsi untuk dikemukakan dengan kata ‘terkemuka’.
Untuk alih kode ditemukan ungkapan up-to-minute affordable style dapat diartikan ‘dapat menghasilkan gaya yang tidak ketinggalan dalam setiap menit pun’. Mungkin alih kode ini diungkapkkan untuk menyingkat gagasan yang ingin disampaikan oleh redaksi. Karena kata up-to-minute juga susah diterjemahkan ungkapan maknanya secara singkat dalam bahasa Indonesia. Kemudian kalimat Topshop gives you new experience in shopping yang berarti ‘Topshop memberikanmu pengalaman baru dalam berbelanja’. Kalimat yang merrupakan penutup dari isi keseluruhan rubrik ini. Ungkapan ini semakin membuat kita ragu, sebenarnya bentuk bahsa yang seperti apa yang diciptakan redaksi sebagai media menyampaikan gagasan mereka. Seperti yang telah disebutkan pada analisis data pertama, data kedua ini juga dikutip dari rubrik yang dinamai dengan bahasa Inggris, yaitu: female photo festival yang berarti ‘festival foto wanita’, artinya rubrik ini merupakan sponsor yang mendukung acara garapan Sister yaitu ‘female photo festival’.
2.2.2. Tahap Representasi
Pada data pertama kata casual diinteferensikan ke dalamm kalimat untuk menggambarkan bentuk sepatu yang desainnya sederhana. Sedangkan alih kode untuk kalimat must have fashion item this month apabila kita hubungkan dengan gottta have fashion dan my lovely canvas shoes maka dapat diambil satu kesimpulan, bahwa sepatu yang dipromosikan merupakan sepatu yang sedang populer pada saat ini. Tiga bentuk kalimat yang digolongkan penulis menjadi data alih kode tersebut sebagai wakil dari gagasan redaksi yang menyatakan bahwa sepatu yang ditawarkannya dalam rubrik tersebut merupakan sepatu dengan mode terbaru yang akan populer di kalangan remaja wanita. Kata item yang merujuk pada ‘sepatu’ yang ditawarkan disempaikan melalui gagasan bahasa Inggris. Apabila kita telaah secara interteks maka dapat dihubungkan bahwa sepatu bermerek Cros yang diiklankan dalam majalah tersebut merupakan sepatu impor dari Amerika yang hanya dijual pada segelintir toko di Indonesia. Penggunaan bahasa asing sendiri dimaksudkan redaksi untuk lebih menekankan kesan impor barang tersebut, sehingga untuk menjelaskannya redaksi juga harus mengimpor bahasa Inggris.
Kemudian pada data kedua, inteferensi ditemukan pada kata fashion, store shoppers, early teens dan range. Kata yang diinteferensi merujuk pada pengunjung toko, mode baju yang ditawarkan, dan rata-rata kalangan yang mengunjungi dipandang dari segi usia mereka. Apabila kita lihat data yang mengalami alih kode, terdapat kalimat up-to-the-minute affordable style dan Topshop gives you new experience in shopping. Kalimat pertama merupakan slogan dari toko sendiri yang menyatakan bahwa bagaiman toko tersebut menyediakan model baju yang paling baru hingga toko tersebut dijamin tidak pernah ketinngalan zaman semenit pun. Apabila kemudian dikorelasikan pada kalimat kedua yang menyatakan makna bahwa ‘Topshop dapat memberikan pengalaman baru dalam berbelanja’ dapat dibayangkan bagaimana representasi makna kedua ungkapan tersebut yang mewakili kemegahan sebuah toko baju dapat mengakomodasi seluruh mode baju dalam satuan menit, yang dikunjungi lebih dari 200.000 pengunjung setiap minggunya serta merupakan toko yang mennjadi ikon dari acara London Fashion Week. Toko Topshop yang menjadi topik pembahasan dalam rubrik merupakan toko yang berada di luar negri, yaitu Oxford. Terkemuka di London, tidak tersedia di Indonesia merupakan salah satu alasan mengapa redaksi penting untuk beralih kode dalam menyampaikan gagasan dalam rubrik ini. Slogan up-to-the-minute affordable style dimungkinkan merupakan ekspresi yang menggambarkan bagaimana sebuah toko dapat menjadi ikon di London yang di dunia dikenal sebagai kota serba fashion. Slogan itu sendiri diungkapkkan dalam bahasa Inggris agar nuansa ‘London’ yang melekat pada toko tersebut tidak hilang dan dapat mewakili nilai ‘barat’ yang ada pada produk yang dijual.
2.2.3. Tahap signifikasi
Apabila kedua data kita telaah, maka dapat digambarkan sebagai berikut:
Data I
Sepatu : Merek crocs, buatan Amerika.
Data II
Toko baju : Topshop, berada di Oxford, menjadi ikon pada acara London Fashion Week
Amerika dan London merupakan negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional. Kedua produk dari kedua negara tersebut kemudian diiklankan dalam sebuah majalah yang diperuntukkan bagi kalangan remaja wanita di Indonesia. Tentunya terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi redaksi dalam menyampaikan gagasan produk tersebut. Bahasa Inggris yang dicampurkan ke dalam bahasa pengantar majalah yang merupakan bahasa Indonesia. Kesan internasional dari produk tersebut ingin disimbolkan redaksi majalah melalui intefensi dan alih kode yang mereka lakukan. Apabila kita telaah kembali, bagaimana majalah ini dinamai ‘Sister’ yang juga merupakan bahasa asing, padahal isinya dutujukan untuk konsumer remaja di Indonesia. Kemudian apabila kita telusuri mendalam mengenai majalah ini, maka didapat keterangan bahwa majalah ini selalu menggunakan model luar negri sebagai model sampul depan malajalah. Uniknya semua judul rubrik juga dinamai dengan bahasa Iggris. Bahkan motto dari majalah Sister juga dirangkai dalam bahasa Inggris, yaitu teens’ way magazine. Berarti dari majalah Sister dapat digambarkan hal berikut:
Majalah : Sister (penamaan dalam bahasa Inggris), jenis rubrik dinamai dengan bahasa Inggris, teens’ way magazine (motto dalam bahasa Inggris), model sampul berasal dar i luar negeri.
Keterangan lengkap dari majalah sudah dapat menggambarkan bagaimana majalah disimbolkan melalui ineteferensi dan alih kode.
2.2.4. Tahap Eksplorasi
Pada tahap ini , data akan dikaji melalui pisau hipersemiotika. Pilliang (2003:52) hipersemiotika adalah sebuah ilmu tentang produksi tanda, yang melampaui realitas, yang berperan membentuk dunia hiperealitas. Kedua data pada analisis ini dianggap sebagai tanda. Tanda yang mewakili produk luar negri yang dijadikan oleh majalah Sister sebagai sumber untuk dimuat dalam rubriknya. Apabia kita telaah dari segi harga majalah Sister, yang mematok harga Rp 23.700 untuk penjualan di luar Jawa, dan Rp.22.700 untuk di pulau Jawa. Dibandingkan dengan jenis tabloid remaja yang mematok harga berkisar Rp. 7000 sampai dengan Rp. 10.000, Sister sebagai media massa khusus remaja ini dapat digolongkan media ang hanya mampu dikonsumsi oleh remaja kalangan atas.
Selain dari segi harga, bahasa yang digunakan 70:30 antara Indonesia dan Inggris membuat para pelanggannya harus mampu menguasai bahasa Inggris. Kemudian isi yang disajikan juga merupakan info mengenai gaya kalangan remaja di wilayah perkotaan yang rata-rata barang yang ditawarkan oleh redaksi berkisar harga Rp. 200.000-Rp. 10.000.000. Artinya majalah ini tidak memuat barang-barang berkelas rendah. Data yang digunakan dalam analisis merupakan beberapa sampel yang diiklankan dalam majalah Sister. Sepatu ( data I) dan baju (data II) merupakan perangkat yang menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan kita. Sepatu yang diciptakan untuk melindungi kaki ketika berjalan dan baju yang digunakan untuk melindungi keseluruhan tubuh dalam setiap geraka manusia tetap berfungsi sama walaupun diciptakan dalam mode dan oleh perusahaan pakaian yang berbeda. Di Indonesia, Amerika dan Inggris bahkan keseluruhan manusia di dunia memiliki pandangan yang sama dalam memaknai fungsi sepatu dan baju. Ketika Inggris dan Amerika menjadi Negara yang dilirik oleh seluruh penjuru dunia, maka setiapproduk yang dihasilkannya juga bernilai lebih dibandingkan dengan produk yang diproduksi oleh Negara sendiri, khususnya Indonesia. Ketika benda tersebut pada akhirnya masuk dan diimpor oleh Negara kita, maka terdapat bea tambahan dari hasil pemasukkan barang ke dalam negri. Tidak dapat dipungkiri, tidak hanya sekedar memandang keberhasilan negarana memegang dunia, produk-produk yang diimpor tersebut menawarkan kualitas serta bentuk yang jauh lebih menarik daripada yang pernah kita temui di negeri kita sendiri. Bahan baku produksi yang mahal serta biaya bea masuk oleh impor menjadikan barang-barang tersebut hanya dapat dinikmati oleh golongan atas.
Kemudian muncul sebuah media untuk mempromosikan barang-barang tersebut. Bagaimana sebuah barang yang bernilai tinggi dapat diiklankan, tentunya tidak sembarang media yang dapat mempublikasikannya. Muncullah Sister dengan motto teens’ way magazine sepertinya telah menyelimuti para remaja di Indonesia. Budaya konsumerisme yang memang tidak dapat dicegah menyeruak hingga pada akhirnya dunia remaja dijejali dengan merek produk luar negri. Ketika mereka membuka majalah dan melihat segala informasi di dalamna, muncullah ideology baru bahwa majalah Sister merupakan ajalah kalangan atas yang tenunya barang yang ditawarkan akan dapat menjadi referensi untuk dapat tampil lebih mewah dan elit. Sepatu dan baju sebagai bagian data yang dianalisis sebagai tanda sudah lari dari makna asal sebagai pelindung kaki dan tubuh. Dilain sisi, majalah Sister sendiri yang harus mampu menjelaskan produk yang ditawarkanna harus dapat melekatkan symbol Amerika dan Inggris dalam informasi tersebut, yaitu salah satuna dengan jalan inteferensi dan alih kode dalam untaian informasi yang disampaikan. Tidak ingin ada komponen makna yang terlewatkan dan ingin lebih memperkokohkan status barang tersebut sebagai barang impor merupakan alasan yang dapat kita tarik mengapa pencampuran bahasa dilakukan dalam isi majalah tersebut. Sehingga pada akhirnya kesatuan dari alasan serta pandangan konsumerisme terhadap produk impor menghasilkan budaya remaja yang branded. Artinya sepatu dan baju yang ditawarkan sudah beralih fungsi sebagai symbol kaum berkelas atas. Ketika sepatu dan baju disajikan sebagai informasi dalam majalah Sistr, remaja tidak memandangnya sebagai fungsi sepatu dan baju secara utuh, melainkan sebagai media untuk mereka agar dapat dipandang popular dan tidak ketinggalan zaman, dan juga mengelompokkan diri mereka sebagai bagian kaum kelas atas.
2.2.5. Tahap Transfigurasi
Tahap ini merupakan gabunganinterpretasi pemroduksi kode, kode, dan pengonsumsi kode. Apabila kita telaah sepatu dan baju sebagai symbol yang menghasilkan interfensi dan alih kode, maka dapat digambarkan bagan sebagai berikut:
DATA INTEFERENSI&ALIH KODE
Pemroduksi tanda
(Redaksi Majalah Sister)
tanda
(sepatu&baju)
Pengonsumsi Tanda
(Remaja)
· Sepatu dan baju sebagai tanda yang diproduksi merupakan produk impor dari Amerika dan Inggris. Untuk mendapatkan kesan impor, redaksi melakukan pencampuran dua bahasa antara Inggris (bahasa nasional di Amerika dan Inggris) dan Indonesia ketika menyampaikan informasi guna makna yang disampaikan tertangkap secara keseluruhan. Karena sebagian ungkapan bahasa Inggris tersebut tidak ditemui atau tidak dapat berfungsi sama dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dihubungkan dengan tuntutan interactivity media massa, agar yang disampaikan dapat lebih hidup dan berhubungan dengan media penyampaian (produk Amerika&Inggris dipromosikan dengan bahasa Inggris)
· Majalah Sister merupakan majalah remaja. Terkait dengan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, para redaksi memiliki konsep agar mencitakan sebuah majalah yang dapat menjadi media untuk penguasaan bahasa Inggris tingkat remaja. Sehinggga konsep bahasa asing yang sudah dimulai dari penamaan, judul rubric dan beberapa bagian isi sengaja diciptakan redaksi sebagai bentuk peningkatan penguasaan bahasa asing. Ini merupakan bagian performativity, yaitu menyajukan sesuatu bentuk yang lebih menarik pembaca untuk mengkonsumsi media.
· Sepatu, sebagai benda yang berfungsi untuk melindungi kaki.
· Amerika menciptakan produk Crocs sebagai konsep agar lebih menarik digunakan serta menambah kesan tampilan yang lebih bergaya pada pemakainya.
· Baju sebagai benda pelindung tubuh.
· Topshop toko baju di Oxford yang banyak dikunjungi pelanggan karena letaknya strategis.
· Model baju yang diciptakan Topshop mengikuti kurun waktu yang tidak pernah ketinggalan zaman.
· Toko baju yang menjadi ikon pada acara London Fashion Week
· Majalah hanya dapat dikonsumsi kalangan atas, sehingga pastinya apa yang diiklankan juga merupakan barang mewah yang dapat menunjukkan keeleganan pemakainya.
· Ingin selalu tampil terbaru mengikuti gaya yang ada dimajalah agar tidak dipandang ketinggalan zaman.
· Sehingga sepatu dan baju tidak lagi digunakan menurut fungsinya, tetapi symbol yang mengelompokkan diri kita berbeda dengan kelompok yang lain.
· Produk luar negeri yang terkesan mahal dan menggambarkan pemakainya adalah orang yang berselera tingi.
· Kaum elit yang peduli akan penampilan.
· Terbiasa dengan pengaruh bahasa Inggris, menimbulkan dampak yang buruk terhadap penguasaan bahasa sendiri.
Melalui analisis data dengan lima tahap e-135, dapat dimunculkan beberapa kriterian kesalahan redaksi dalam menyajikan informasi sebagai pembelajaran bahasa bagi remaja. Tapi dari media sendiri, tindakan ang mereka lakukan terkait dengan keterbatasan bahasa serta arus globalisasi bahasa Inggris yang ikut menyerang lingkungan social sekitar kita. Mungkin sebagai satu keharusan untuk dapat memahami bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di tengah kemajuan tekhnologi yang menyediakan fasilitas internet untuk menjangkau informasi dunia dalam bahasa Inggris. Menjadi suatu hal yang wajar, kalau majalah Sister yang beredar di Indonesia pada saat ini mulai mengenalkan beberapa ungkapan yang ditulis dalam bahasa Inggris dalam memparkan beberapa kalimat. Mereka mempunyai satu tujuan yang positif yaitu agar remaja di Indonesia dapat mengenal beberapa ungkapan sederhana yang dapat mereka ketahui dari membaca majalah tersebut. Selain itu, media massa sendiri seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, menuntut unsur performativity, yang harus dapat menyajikan sebuah teks yang menarik para pembacanya. Kenonbakuan dalam penggunaan bahasa terkadang lebih mudah dimengerti dan lebih menjalin sebuah hubungan yang akrab antara pembaca dan penulis berita (merupakan salah satu tuntutan unsur iteractivity dalam media massa). Kemudian hal lain yang mendukung kenonbakuan tersebut adalah karena majalah tersebut dikosumsi oleh kalangan remaja dan tujuan dari majalah itu sendiri adalah menyampaikan segala informasi dunia remaja yang lebih informal, sehingga cenderung tidak cocok dan lebih susah untuk ditangkap oleh kalangan remaja apabila bahasa yang digunakan adalah bahasa baku yang biasanya dipakai dalam situasi formal.
Walaupun memiliki alasan kuat terhadap hal tersebut, tetap saja fenomena kebahasaan yang mereka ciptakan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena telah banyak kasus yang terjadi membuktikan bahwa telah terjadi penurunan penguasaan bahasa Indonesia di tingkat SMA (yang dapat digolongkan remaja). Pada seminar Linguistik Internasional di Medan yang pernah penulis ikuti, terdapat sebuah pernyataan dari seorang Professor (namanya tidak tercatat oleh penulis) dari bidang linguistic yang mengatakan kegagalan siswa SMA dalam menyelesaikan tugas matematika dominan pada soal cerita, dan ketika dibuat angket berupa pertanyaan hasilnya menyatakan bahwa mereka terlalu susah memahami alur cerita dari soal tersebut, artinya mereka kurang memahami bahasa yang digunakan pada soal tersebut, sehingga walaupun mereka mengetahui rumus serta jalan kerja soal tersebut tetapi susah bagi mereka menyimpulkannya pada akhirnya mereka salah mencari jalan keluar dari soal.
Salah satu pengaruh besar yang menyebabkan merebaknya masalah tersebut tentunya dapat kita hubungkan dengan peran media massa. Seperti yang telah diungkapkan pada bagian pendahuluan bahwa media massa dan keadaan dunia merupakan dua hal yang sangat mempengaruhi. Melalui media massa remaja mengenal istilah baru yang serba bahasa Inggris, sehingga pada akhirnya mereka mengaplikasikannnya pada komunikasi sehari-hari dan kemudian menenggelamkan bhasa Indonesia. Jelasnya dapat kita lihat bagaimana kata-kata seperti e-mail, handphone, download, upload chatting, browsing dan lainnya yang telah dibuat terjemaham bahasa Indonesia, tetap saja di acuhkan dan terdengar asing bahkan tidak diketahui keberadaannya oleh remaja. Semua tidak dapat ditumpahkan kepada mereka karena dari pemerintah sendiri tidak pernah mengadakan sosialisasi yang sungguh-sungguh terhadap kemunculan kosa kata baru tersebut.
PENUTUP
Globalisasi dunia merambah ke dalam aspek kehidupan seluruh Negara termasuk Indonesia. Adapun bagian menonjol yang sangat terlihat dampaknya adalah dari segi bahasa. Bagaimana bahasa Inggris merebak dan melahirkan fenomena baru terhadap bahasa Indonesia dapat kita lihat melalui kasus alih kode dan inteferensi yang dikenal dengan kasus kemultibahasaan. Media massa merupakan wadah yang dapat merekam dengan jelas bagaimana kemultibahasaan tersebut juga telah melanda penggunaan bahasa Indonesia. Salah satunya majalah remaja.
Berbeda dengan alih kode yang tidak merusak sistem dua bahasa yang dicampur, inteferensi justru sebaliknya terdapat pengacauan sistem bahasa akibat percampuran tersebut, dan dalam pembahasan ini cenderung penyimpangan terjadi pada penggunaan bahasa Inggris yang diungkapkan dengan sistem bahasa Indonesia. Kasus yang ditimbulkan oleh media massa tersebut tentu dapat kita jadikan salah satu penyebab menurunnnya kemapuan bahasa Indonesia pada tingkat remaja. Tidak dapat disalahakan juga, media menggunakan bahasa tersebut guna tuntutan dari media massa sendiri agar dapat tampil menarik pembaca dan menciptakan hubungan yang dekat antara pembaca dan penulis media massa.
Salah satu dampak yang begitu nyata adalah bahwa bahasa Inggris yang telah dilahirkan padanannya dalam bahasa Indonesia tetap saja digunakan, malahan bagi kalangan remaja istilah dari bahasa ibu mereka sendiri kedengaran asing dan bahkan beberpa di antaranya mengaku belum pernah mendengarnya. Tentunya kesalahan tidak sepenuhnya dapat ditumpahkan kepada remaja, karena pemerintah sendiri cenderung tidak berniat untuk melakukan sosialisasi dengan sungguh-sungguh, di lain sisi media terus-terusan dikonsumsi dan menjadi isinya cenderung menjadi pedoman bagi remaja sebagai sumber informasi dunia mereka.
Daftar Bacaan
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik; Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaika, Elaine. 1982. Language The Social Mirror. Rowley: Newbury House Publisher.
Coulmas, Florian.2005. Sosiolinguistics; The Study of Speaker’s Choices. New York: Cambridge University Press.
Duranti. 2002. Linguistic Anthropology. New York: Cambridge University Press.
Foley, William A. 1999. Anthropological Linguistics: An Introduction. USA: Blackwell Publisher.
Holborow, Marnie. 1999. The Politics of English: A Marxist View of Language. Sage Publications: London.
Kramsch, Claire. Language and Culture. London: Oxford University Press.
Mesthrie, Rajend, et. al. 2001. Introducing Sociolinguistics. Edinburgh University Press.
Oktavianus. 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang: Andalas University Press.
Pilliang, Yasraf. 2003. Hiper Semiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jala Sutra.
Sawirman, 2009. E-135: sebagai Draf Model Pengembangan Pembelajaran Linguistik di Universitas Andalas. Bahan Kuliah S2 Linguistik Pascasarjana Unand.
Scannel, Paddy. 2007. Media and Communication. London: Sage Publication Ltd.
Shadily, Hasan dan John M.Echols. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Tolson, Andrew. 2006. Media Talk. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd.
Thomas, Linda et al.2004. Language, Society and Power. London: Routledge.
Tim Penyusun. “Seminar Internasional Pertemuan Linguistik Utara-6”. Prosiding. Medan
Wareing, Shan, et.al. 2004. Language, Society and Power. London: Routledge.
Oleh
Dini Maulia
(Dosen Sastra Jepang Universitas Andalas)
I. PENDAHULUAN
Pengukuhan kedudukan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional menimbulkan dampak positif sekaligus ancaman bagi perkembangan bahasa nasional suatu Negara, salah satunya Indonesia. Bahasa Inggris memfasilitasi kita sarana untuk menggali ilmu dan menjangkau penelitian mutakhir dari berbagai Negara di dunia, tetapi di lain sisi sarana tersebut juga dapat menenggelamkan bahasa kesatuan kita. Seperti yang diungkapkan oleh Ismail Kusmayadi dalam Pikiran Rakyat bahwa sebagai bukti telah terkikisnya bahasa Indonesia akibat arus globalisasi yang cenderung menuntut penguasaan bahasa asing adalah berkembangnya pengguanaan bahasa asing dalam pergaulan sehari-hari. Parahnya penggunaan bahasa tersebut cenderung dicampuradukkan dengan bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.
Inteferensi dan alih kode merupakan fenomena pencampuradukkan dua bahasa atau lebih yang terjadi dalam penggunaan sebuah bahasa. Masyarakat yang melakukan inteferensi maupun alih kode tersebut dapat diidentikan dengan masyarakat multi bahasa, seperti yang diungkapkan Romaine dalam Foley (1999: 333) perhaps the most prototypical case of code switching is alternating between distinct languages, a phenomenon associated with bilingualism. Adapun pengertian masyarakat multi bahasa adalah masyarakat yang menggunakan dua bahasa atu lebih dalam berkomunikasi, dimana ketika mereka berkomunikasi bahasa yang mereka gunakan tersebut memberi efek antara satu yang lainnya (Chaika, 1982:225). Bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa asing yang cenderung sering diinteferensikan ke dalam bahasa Indonesia. Pengaruh kuat dari bahasa Inggris tersebut dikarenakan statusnya sebagai bahasa dunia. Seperti yang diungkapkan oleh Holborow (1999:1) the use of English around the world brings into sharp linguistics focus the effects of globalization. Artinya penyebaran bahasa Inggris tersebut erat kaitannya dengan globalisasi dunia. Adapun masyarakat yang cenderung mendapat pengaruh banyak untuk menggunakan bahasa asing tersebut digambarkan oleh Mesthrie (2001;168) sebagai berikut: ….english also has some appeal: it associated with upward mobility, it is the language of the of the international community and it is used in the international mass media, which may make it particularly appealing to these young people.
Melalui teori yang diungkapkan oleh Mesthrie tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa masyarkat yang cenderung melakukan inteferensi dan campur kode tersebut adalah masyarakat perkotaan, dimana wilayahnya memiliki mobilitas tinggi untuk menjangkau semua informasi dari luar, sehingga pengaruh asing begitu cepat membaur termasuk dalam aspek kebahasaannya. Adapun kalangan yang cenderung mendapat arus mobilitas tersebut adalah remaja. Dimana disebutkan bahwa kaum muda kemungkinan lebih dominan dalam menggunakan bahasa Inggris dalam pergaulannya.
Hal lain yang tak lekang dari perhatian seputar alih kode dan inteferensi dalam ke dalam bahasa asing khususnya Inggris adalah media. Karena salah satu hal yang membawa dan mempengaruhi masyarakat kita ke dalam fenomena kemultilingualan tersebut adalah media massa. Ada sebuah pernyataan yang dikutip Holborow dalam bukunya menyatakan bahwa by the year 2000 it is estimated that over one billion people will learning English. English is the main language of books, newspaper, airports and air traffic control, diplomacy, sport, international competition, pop music and advertising. Artinya sejak tahun 1999 buku tersebut dicetak telah dapat diprediksikan bagaimana pesatnya perkembangan bahasa Inggris yang wabahnya meliputi media massa seperti koran dan majalah. Saat ini prediksi tersebut menjadi teori yang teraplikasi karena selain media massa yang mencakup konsumen internasional, media massa berkelas nasional pun telah membuktikan terealisasinya fenomena tersebut. Tidak secara langsung untuk menjadi bahasa dunia tetapi penggunaan bahasa Inggris tersebut berwujud penggabungan dengan bahasa nasional. Pengaruh bahas asing tersebut secara tidak langsung juga mempengaruhi masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh Scannnel (2007:10) bahwa pada dasarnya, kondisi dunia nyata mempengaruhi media massa, dan sebaliknya keberadaan media massa juga mempengaruhi kondisi dunia nyata. Jadi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara fenomena kemultibahasaan dengan media massa.
Beranjak dari pernyataan sebelumnya, adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana inteferensi dan alih kode antara bahasa Indonesia dan Inggris yang dominan terjadi pada beberapa rubrik majalah remaja di Indonesia, sehingga melalui pembahasan makalah ini dapat dilihat sebuah gambaran fenomena seperti apa yang terjadi dalam kemultibahasaan kaum muda saat ini melalui salah satu majalah yang dianggap penulis dapat mewakili kondisi media yang berkembang dalam kalangan remaja, yaitu majalah sister. Majalah sister merupakan majalah khusus remaja perempuan yang terbit terbit pertama kali pada bulan Juni tahun 2008. Majalah ini merupakan majalah bulanan yang isinya menguak semua info terbaru mengenai remaja wanita. Yang menarik pada bagian majalah ini adalah nama yang dilekatkan untuk majalah ini sendiri yang menggunakan bahasa Inggris, yaitu ‘Sister’. Dari segi nama yang cenderung memilih bahasa asing, sedangkan penyajian isi nya sendiri dalam bahasa Indonesia menjadi bentuk pengacauan apabila kita memandangnya dari keselarasan isi dan judul. Oleh karena itu, penulis memilih data bahasa yang digunakan dalam majalah Sister untuk pembahsan dalam makalah ini.
KERANGKA TEORI
Bahasa merupakan alat komunikasi yang dinamis dan dapat berubah seiring dengan interaksi penggunanya. Seperti yang diungkapkan oleh Coulmas (2005:122) communicative interaction should not be seen as unfolding in a space of pre-exiting social meaning but rather as dynamic process whose participants create social meaning as the go along, accommodating each other in a continous give and take. Fenomena kenonbakuan bahasa, serta percamuran yang secara preskriptif dipandang menentang sistem yang telah dibuat merupakan hal yang alamiah terjadi dan tidak dapat dicegah. Bagaimana kita memandang pelanggaran sistem tersebut bukanlah hanya sebagai pihak yang memutuskan tindakan tersebut sebagai bentuk negative melainkan sebuah titik pengamatan yang harus ditemukan sumbernya dan dilakukan langkah yang dirasa perlu untuk menjaga bahasa kesatuan kita.
1.1. Alih Kode dan Inteferensi
Sebelum memasuki pembahasan mengenai alih kode dan inteferensi berikut dipaparkan beberapa teori yang mejelaskan bentuk dari alih kode dan interferensi. Romaine menjelaskan (1994:58) code switches will tend to occur at points where the juxtaposition of elements from the two languages does not violate a syntactic rule of either language. Artinya, terjadinya percampuran kedua bahasa tidak saling mengacaukan kaidah salah satu bahasa yang dipadukan. Berbeda halnnya dengan inteferensi, sepert yang dikemukakan oleh Weinreich dalam Chaer (2004:120) bahwa inteferensi merupakan perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Proses dari inteferensi tersebut dijelaskan juga oleh Coulmas (2005:111) interference, on the other hand, result from the default use of the first language of a person as reference system for other languages. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketika alih kode menggabunkan dua bahsa sesuai dengan sistem bahasa tersebut, maka yang terjadi pada inteferensi justru sebaliknya karena menimbulkan sebuah kekacauan sistem dimana satu bahasa digunakan dengan mengacu bahasa yang lain (diungkapkan juga oleh Chaer). Adapun kondisi social tempat dimana fenomena alih kode tersebut dapat terjadi digambarkan Coulmas (2005:121) sebagai berikut:
The social environments in which code-switching occurs are varied and, accordingly, many social variables… these variables include community norms and values, ethnicity, speakers’ level of education and fluency, immigrant status, social relations, relative prestige of the languages involved and setting, among others.
Dapat diketahui bahwa variable social seperti kesepakatan suatu komunitas, nilai budaa, pendidikan, status social merupakan komponen yang sangat mempengaruhi masyarakat untuk beralih kode.
1.2. Media Massa
Media massa merupakan sumber informasi yang disajikan kepada masyarakat dalam bentuk teks. Menurut Tholson (2006:9), terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan dalam membuat teks tersebut, di antaranya: interactivity, performativity dan liveliness. Interactivity berarti penulis teks ditntut untuk memilih kata yang sesuai sehingga terjalin hubungan antara penulis dan pembaca dalam rangka penyampaian makna. Performativity berarti penulisan teks harus memperhatikan penampilan bahasa yang disampaikan, sehingga menarik orang yang membacanya. Liveliness berarti pilihan kata harus dapat menghidupkan suasana yang ditandai adanya respon dari pembaca.
Tentunya menyajikan berita dalam bentuk teks memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi daripada melalui media elektronik. Penulis harus benar-benar lihai dalam memilih kata yang ekspresif, sehingga apa yang disampaikan benar-beenar dapat diterima sepenuhnya. Berbeda dengan Koran, majalah (khususnya majalah remaja)lebih minim dalam menyampaikan berita yang berupa fakta kejadian penting dunia. Kalau koran atau majalah konsumsi kalangan dewasa lebih cenderung kepada masalah politik, hukum, criminal dan lainnya, sedangkan majalah remaja lenbih kepada sebuah hiburan, mengedepankan fashion, kegiatan di luar pendidikan, hobi, fashion, dunia hiburan, walaupun terdapat beberapa informasi dunia yang penting kecendrungan merupakan seputar kehidupan selebritis atau kecanggihan tekhnologi yang berkembang di kalangan remaja (hasil pengamatan terhadap bahan data yang digunakan penulis dalam makalah ini). Sehingga pada akhirnya melalui satu media, kalangan remaja memperoleh banyak pengetahuan yang cenderung mereka imitasi dan mencoba mengikuti pola kehidupan yang mereka dapat melalui majalah tersebut.
1.3. Teori E-135
Teori e-135 merupakan teori analisis wacana yang dikembangkan dengan memadukan tahap-tahapan wacana fungsional dan kritis. Metode analisis dalam teori e-135 ini dibagi menjadi 5 tahapan, yaitu:
1. Elaborasi
Tahap ini merupakan tahapan linguistik mikro pada bagian data yang akan di analisis. Tahap ini memandang teks sebagai wujud material yang merupakan produk dari wacana itu sendiri.
2. Representasi
Merupakan tahapan yang menganalisis hubungan bahasa sebagai tanda yang menggambarkan realitas yang ada tentang manusia, fakta, peristiwa dan lainnya. Tahapan ini mengkaji hubungan interteks dalam wacana.
3. Tahap Signifikasi
Tahap ini merupakan tahap interpretasi teks secara kritis. Tahapan ini merupakan gabungan antara tahapan semiotik dan analisis kritis.
4. Tahap Eksplorasi
Tahapah ini merupakan analisis tanda secara mendalam, dimana tanda dieksplorasi secara mendalam. Pendekatan hipersemiotika digunakan pada tahapan ini.
5. Tahap Transfigurasi
Tahap ini merupakan tahap pemetaan makna. Dimana tahap ini merupakan penggabungan antar interpretasi pemroduksi kode, interterpretasi kode itu sendiri dan interpretasi yang pengonsumsi kode tersebut.
(keseluruhan keterangan mengenai teori e-135 dikuti melalui Draf teori wacana e-135 oleh Sawirman).
2. PEMBAHASAN
2.1. Data
Penulis mengambil majalah Sister edisi bulan Oktober sebagai media mengambil data. Adapun beberapa populasi yang ditemukan, penulis memilih 2 buah sample sebagai perwakilan analisis. Adapun data tersebut, sebagai berikut:
Gambar 1. Data I Gambar 2. Data II
2.2.Analisis Data dengan Menggunakan Teori E-135
(1) Gotta have fashion
My Lovely canvas shoes
Kini Crocs hadir dengan gaya berbeda. Tidak lagi identik dengan sandal, kelom atau sepatu terbuka. Crocs justru menghadirkan Santa Cruz sepatu berbahan canvas dengan alasnya dijamin nyaman di kaki. Kamu juga bisa memilih corak dan warnanya sesuai selera. Model yang casual dan tetap sopan dipakai dimana pun, membuat sister menjadikan Santa Cruz must have fashion item this month!.
Rubrik ini dalam majalah Sister dinamai rubrik ‘gotta have fashion’, dimana dalam rubrik ini biasanya disajikan untuk memberi informasi mengenai gaya terbaru yang akan menjadi populer di kalangan remaja.
(2) Grand Female Photo Festival
Topshop, fashion store favorit kamu ternyata sudah ada dari tahun 1964 lho! Ide awalnya adalah membuat sebuah toko dengan konsep up-to-the-minute affordable style. Padahal, tadinya Topshop bermula dari basement milik Peter Robinson, sebuah department store di Inggris Utara, tahun 1964. Setahun kemudian, Topshop dipindahkan ke cabang Peter Robinson di Oxford Circus, yang ramai banget dengan oran lalu lalang. Karena itulah, Topshop jadi dikenal banyak orang dan nggak sampai sepuluh tahun, Topshop sudah dapat berdiri sendiri. Sejak tahun 1994, Topshop sudah menjadi fashion store terbesar yang menarik 200.000 shoppers setiap minggunya. Pada tahun 2005, Topshop makin menunjukkan jati dirinya dengan ikutan dalam jadwal London Fashion Week. Para pelanggan Topshop bisa berasal dari berbagai range usia, mulai dari early teens hinggga usia 50-an. Karakter dari pelanggan Topshop adalah loyal,memperhatikan dan sadarfashion tapi tidak terdikte oleh fashion. Topshopper selalu mencari gaya unik dan outstanding dibanding yang lain. Topshop gives you new experiance in shopping!
Tahap e-135:
2.2.1. Tahap Elaborasi
Dalam data pertama dapat ditandai inteferensi dan alih kode pada kalimat berikut:
model casual dan tetap sopan dipakai dimanapun, membuat membuat sister menjadikan Santa Cruz must have fashion item this month!.
‘casual’ merupakan bentuk inteferensi dalam kalimat, dan ‘must have fashion item this month’ merupakan bentuk alih kode.
Secara baku, satu kesatuan kalimat tidak boleh menempatkan dua bahasa yang berbeda. Kata casual yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘sederhana’. Kata ini bukan merupakan serapan. Tetapi redaksi menggunakannya secara sengaja untuk menggambarkan bentuk model sepatu yang sederhana, dan dipakai dalam situasi non formal. Kemudian pada data alih kode. Kalimat must have fashion item this month dalam bahasa Indonesia berarti ‘benda mode terkini yang harus dimiliki bulan ini’
must have sebagai pembentuk frase nomina untuk objek item dalam kalimat mengalami alih kode bersamaan dengan this month yang berkedudukan sebagai keterangan waktu. Apabila ditelaah kembali keseluruhan teks juga terdapat bentuk percampuran bahasa, yaitu terdapat dalam judul, sebagai berikut:
‘gotta have fashion’ yang terdapat disudut kiri atas yang meberitahukan bahwa rubrik yang disampaikan pada halaman ini adalah rubrik ‘mode yang harus dimiliki’ sebagai penerjemahan dari gotta have fashion. Kemudian kita lihat kembali judul my lovely ‘canvas’ shoes, apabila diterjemahkan menjadi ‘sepatu canvas kesayangan saya’. Dari bagian analisis yang pada data ini ditemukan bahwa majalah ini tidak hanya melekatkan bahasa Inggris untuk penamaan dirinya, tetapi jenis rubrik dan judul dari setia informasi bahkan isi itu sendiri juga tidak dapat meninggalkan bahasa Inggris dalam merangkai setiap kalimat.
Dalam data kedua, ditemukan inteferensi dan alih kode sebagai berikut:
· Topshop, fashion store favorit kamu ternyata sudah ada dari tahun 1964 lho! Ide awalnya adalah membuat sebuah toko dengan konsep up-to-the-minute affordable style.
· Padahal, tadinya Topshop bermula dari basement milik Peter Robinson, sebuah departement store di Inggris Utara, tahun 1964.
· Sejak tahun 1994, Topshop sudah menjadi fashion store terbesar yang menarik 200.000 shoppers setiap minggunya.
· Para pelanggan Topshop bisa berasal dari berbagai range usia, mulai dari early teens hinggga usia 50-an.
· Topshopper selaluu mencari gaya unik dan outstanding dibanding yang lain. Topshop gives you new experiance in shopping!
Fashion store yang dapat diartikan ‘toko mode’ sama sekali tidak pernah diungkapkan dalam bahasa Indonesia dalam rubrik ini. Fashion store yang jelas memiliki padanan dalam bahasa Indonesia seolah-olah digunakan dalam bentuk serapan ataupun dianggap sebagai sebuah penabalan terhadap sesuatu hal yang di Indonesia tidak dapat ditemui bentuknya. Padahal kalau dilihat dari gambar, redaksi ingin mengungkapkan representasi dari sebuah ‘toko baju’ yang menyediakan baju-baju yang paling populer pada setiap zaman dengan kata fashion store. Apabila di analisis secara semantik, tentunya tidak ada bagian komponen makna yang hilang kalau saja redaksi menyebutkan kata ‘toko baju’ untuk ungkapan fashion store, karena di Indonesia pun bentuk tempat penjualan baju seperti itu juga banyak ditemui di Indonesia. Sama halnya dengan kata departement store, kata ini juga berarti toko. Kalau fashion store lebih mengacu kepada toko atau perangkat lain sepertti tas dan sepatu, sedangkan departement store lebih luas dan tidak spesifik. Berbeda dengan fashion store, kata departement store lebih cenderung umum digunakan di Indonesia seolah-olah menjadi bahasa serapan.
Kata basement yang berarti ‘ruang bawah tanah’ diinteferensi dengan alasan perbedaan fungsi dalam penggunaan ‘ruang bawah tanah’ tersebut. Di Indonesia cenderung langka ditemukan toko yang didirikan di bawah tanah. Perbedaan fungsi ruangan tersebut menjadi pemicu redaksi untuk memilih kata basement daripada ruang bawah tanah.
Kemudian untuk kata shoppers yang diartikan ‘pengunjung’ atau ‘pembelanja’ dalam bahasa Indonesia. Terdapat sebuah ketidakseimbangan dalam struktur inteferensi, karena pada bagian berikutnya redaksi menyebutkan kata ‘pelanggan’. Kalau ingin keselarasan bentuk panggunaan bahsa, redaksi bisa saja menyebutkan Topshopper untuk kata pelanggan.
Pada bagian berikutnya terdapat kata range yang berarti ‘rata-rata’. Kata ini digunakan untuk menunjukkan ‘rata-rata usia’ pengunjung yang datang ke toko Topshop. Terdapat juga earlyteens yang menunjukkan makna ‘para remaja ABG’. Disini juga terdapat ketidakkonsistenan inteferensi, karena pengungkapan kalangan umur berikutnya digunakan bahasa Indonesia, yaitu ’50-an’. Begitu juga dengan kata outstanding yang ddigunakan untuk mengungkapkan kata ‘terkemuka’. Kata outstanding sendiri yang dihubungkan dengan kata penghubung ‘dan’ dengan kata ‘gaya unik’ yang merupakan bahsa Indonesia. Perpaduan yang mengacaukan struktur kalimat, karena bahsa Indonesia masih cukup porsi untuk dikemukakan dengan kata ‘terkemuka’.
Untuk alih kode ditemukan ungkapan up-to-minute affordable style dapat diartikan ‘dapat menghasilkan gaya yang tidak ketinggalan dalam setiap menit pun’. Mungkin alih kode ini diungkapkkan untuk menyingkat gagasan yang ingin disampaikan oleh redaksi. Karena kata up-to-minute juga susah diterjemahkan ungkapan maknanya secara singkat dalam bahasa Indonesia. Kemudian kalimat Topshop gives you new experience in shopping yang berarti ‘Topshop memberikanmu pengalaman baru dalam berbelanja’. Kalimat yang merrupakan penutup dari isi keseluruhan rubrik ini. Ungkapan ini semakin membuat kita ragu, sebenarnya bentuk bahsa yang seperti apa yang diciptakan redaksi sebagai media menyampaikan gagasan mereka. Seperti yang telah disebutkan pada analisis data pertama, data kedua ini juga dikutip dari rubrik yang dinamai dengan bahasa Inggris, yaitu: female photo festival yang berarti ‘festival foto wanita’, artinya rubrik ini merupakan sponsor yang mendukung acara garapan Sister yaitu ‘female photo festival’.
2.2.2. Tahap Representasi
Pada data pertama kata casual diinteferensikan ke dalamm kalimat untuk menggambarkan bentuk sepatu yang desainnya sederhana. Sedangkan alih kode untuk kalimat must have fashion item this month apabila kita hubungkan dengan gottta have fashion dan my lovely canvas shoes maka dapat diambil satu kesimpulan, bahwa sepatu yang dipromosikan merupakan sepatu yang sedang populer pada saat ini. Tiga bentuk kalimat yang digolongkan penulis menjadi data alih kode tersebut sebagai wakil dari gagasan redaksi yang menyatakan bahwa sepatu yang ditawarkannya dalam rubrik tersebut merupakan sepatu dengan mode terbaru yang akan populer di kalangan remaja wanita. Kata item yang merujuk pada ‘sepatu’ yang ditawarkan disempaikan melalui gagasan bahasa Inggris. Apabila kita telaah secara interteks maka dapat dihubungkan bahwa sepatu bermerek Cros yang diiklankan dalam majalah tersebut merupakan sepatu impor dari Amerika yang hanya dijual pada segelintir toko di Indonesia. Penggunaan bahasa asing sendiri dimaksudkan redaksi untuk lebih menekankan kesan impor barang tersebut, sehingga untuk menjelaskannya redaksi juga harus mengimpor bahasa Inggris.
Kemudian pada data kedua, inteferensi ditemukan pada kata fashion, store shoppers, early teens dan range. Kata yang diinteferensi merujuk pada pengunjung toko, mode baju yang ditawarkan, dan rata-rata kalangan yang mengunjungi dipandang dari segi usia mereka. Apabila kita lihat data yang mengalami alih kode, terdapat kalimat up-to-the-minute affordable style dan Topshop gives you new experience in shopping. Kalimat pertama merupakan slogan dari toko sendiri yang menyatakan bahwa bagaiman toko tersebut menyediakan model baju yang paling baru hingga toko tersebut dijamin tidak pernah ketinngalan zaman semenit pun. Apabila kemudian dikorelasikan pada kalimat kedua yang menyatakan makna bahwa ‘Topshop dapat memberikan pengalaman baru dalam berbelanja’ dapat dibayangkan bagaimana representasi makna kedua ungkapan tersebut yang mewakili kemegahan sebuah toko baju dapat mengakomodasi seluruh mode baju dalam satuan menit, yang dikunjungi lebih dari 200.000 pengunjung setiap minggunya serta merupakan toko yang mennjadi ikon dari acara London Fashion Week. Toko Topshop yang menjadi topik pembahasan dalam rubrik merupakan toko yang berada di luar negri, yaitu Oxford. Terkemuka di London, tidak tersedia di Indonesia merupakan salah satu alasan mengapa redaksi penting untuk beralih kode dalam menyampaikan gagasan dalam rubrik ini. Slogan up-to-the-minute affordable style dimungkinkan merupakan ekspresi yang menggambarkan bagaimana sebuah toko dapat menjadi ikon di London yang di dunia dikenal sebagai kota serba fashion. Slogan itu sendiri diungkapkkan dalam bahasa Inggris agar nuansa ‘London’ yang melekat pada toko tersebut tidak hilang dan dapat mewakili nilai ‘barat’ yang ada pada produk yang dijual.
2.2.3. Tahap signifikasi
Apabila kedua data kita telaah, maka dapat digambarkan sebagai berikut:
Data I
Sepatu : Merek crocs, buatan Amerika.
Data II
Toko baju : Topshop, berada di Oxford, menjadi ikon pada acara London Fashion Week
Amerika dan London merupakan negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional. Kedua produk dari kedua negara tersebut kemudian diiklankan dalam sebuah majalah yang diperuntukkan bagi kalangan remaja wanita di Indonesia. Tentunya terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi redaksi dalam menyampaikan gagasan produk tersebut. Bahasa Inggris yang dicampurkan ke dalam bahasa pengantar majalah yang merupakan bahasa Indonesia. Kesan internasional dari produk tersebut ingin disimbolkan redaksi majalah melalui intefensi dan alih kode yang mereka lakukan. Apabila kita telaah kembali, bagaimana majalah ini dinamai ‘Sister’ yang juga merupakan bahasa asing, padahal isinya dutujukan untuk konsumer remaja di Indonesia. Kemudian apabila kita telusuri mendalam mengenai majalah ini, maka didapat keterangan bahwa majalah ini selalu menggunakan model luar negri sebagai model sampul depan malajalah. Uniknya semua judul rubrik juga dinamai dengan bahasa Iggris. Bahkan motto dari majalah Sister juga dirangkai dalam bahasa Inggris, yaitu teens’ way magazine. Berarti dari majalah Sister dapat digambarkan hal berikut:
Majalah : Sister (penamaan dalam bahasa Inggris), jenis rubrik dinamai dengan bahasa Inggris, teens’ way magazine (motto dalam bahasa Inggris), model sampul berasal dar i luar negeri.
Keterangan lengkap dari majalah sudah dapat menggambarkan bagaimana majalah disimbolkan melalui ineteferensi dan alih kode.
2.2.4. Tahap Eksplorasi
Pada tahap ini , data akan dikaji melalui pisau hipersemiotika. Pilliang (2003:52) hipersemiotika adalah sebuah ilmu tentang produksi tanda, yang melampaui realitas, yang berperan membentuk dunia hiperealitas. Kedua data pada analisis ini dianggap sebagai tanda. Tanda yang mewakili produk luar negri yang dijadikan oleh majalah Sister sebagai sumber untuk dimuat dalam rubriknya. Apabia kita telaah dari segi harga majalah Sister, yang mematok harga Rp 23.700 untuk penjualan di luar Jawa, dan Rp.22.700 untuk di pulau Jawa. Dibandingkan dengan jenis tabloid remaja yang mematok harga berkisar Rp. 7000 sampai dengan Rp. 10.000, Sister sebagai media massa khusus remaja ini dapat digolongkan media ang hanya mampu dikonsumsi oleh remaja kalangan atas.
Selain dari segi harga, bahasa yang digunakan 70:30 antara Indonesia dan Inggris membuat para pelanggannya harus mampu menguasai bahasa Inggris. Kemudian isi yang disajikan juga merupakan info mengenai gaya kalangan remaja di wilayah perkotaan yang rata-rata barang yang ditawarkan oleh redaksi berkisar harga Rp. 200.000-Rp. 10.000.000. Artinya majalah ini tidak memuat barang-barang berkelas rendah. Data yang digunakan dalam analisis merupakan beberapa sampel yang diiklankan dalam majalah Sister. Sepatu ( data I) dan baju (data II) merupakan perangkat yang menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan kita. Sepatu yang diciptakan untuk melindungi kaki ketika berjalan dan baju yang digunakan untuk melindungi keseluruhan tubuh dalam setiap geraka manusia tetap berfungsi sama walaupun diciptakan dalam mode dan oleh perusahaan pakaian yang berbeda. Di Indonesia, Amerika dan Inggris bahkan keseluruhan manusia di dunia memiliki pandangan yang sama dalam memaknai fungsi sepatu dan baju. Ketika Inggris dan Amerika menjadi Negara yang dilirik oleh seluruh penjuru dunia, maka setiapproduk yang dihasilkannya juga bernilai lebih dibandingkan dengan produk yang diproduksi oleh Negara sendiri, khususnya Indonesia. Ketika benda tersebut pada akhirnya masuk dan diimpor oleh Negara kita, maka terdapat bea tambahan dari hasil pemasukkan barang ke dalam negri. Tidak dapat dipungkiri, tidak hanya sekedar memandang keberhasilan negarana memegang dunia, produk-produk yang diimpor tersebut menawarkan kualitas serta bentuk yang jauh lebih menarik daripada yang pernah kita temui di negeri kita sendiri. Bahan baku produksi yang mahal serta biaya bea masuk oleh impor menjadikan barang-barang tersebut hanya dapat dinikmati oleh golongan atas.
Kemudian muncul sebuah media untuk mempromosikan barang-barang tersebut. Bagaimana sebuah barang yang bernilai tinggi dapat diiklankan, tentunya tidak sembarang media yang dapat mempublikasikannya. Muncullah Sister dengan motto teens’ way magazine sepertinya telah menyelimuti para remaja di Indonesia. Budaya konsumerisme yang memang tidak dapat dicegah menyeruak hingga pada akhirnya dunia remaja dijejali dengan merek produk luar negri. Ketika mereka membuka majalah dan melihat segala informasi di dalamna, muncullah ideology baru bahwa majalah Sister merupakan ajalah kalangan atas yang tenunya barang yang ditawarkan akan dapat menjadi referensi untuk dapat tampil lebih mewah dan elit. Sepatu dan baju sebagai bagian data yang dianalisis sebagai tanda sudah lari dari makna asal sebagai pelindung kaki dan tubuh. Dilain sisi, majalah Sister sendiri yang harus mampu menjelaskan produk yang ditawarkanna harus dapat melekatkan symbol Amerika dan Inggris dalam informasi tersebut, yaitu salah satuna dengan jalan inteferensi dan alih kode dalam untaian informasi yang disampaikan. Tidak ingin ada komponen makna yang terlewatkan dan ingin lebih memperkokohkan status barang tersebut sebagai barang impor merupakan alasan yang dapat kita tarik mengapa pencampuran bahasa dilakukan dalam isi majalah tersebut. Sehingga pada akhirnya kesatuan dari alasan serta pandangan konsumerisme terhadap produk impor menghasilkan budaya remaja yang branded. Artinya sepatu dan baju yang ditawarkan sudah beralih fungsi sebagai symbol kaum berkelas atas. Ketika sepatu dan baju disajikan sebagai informasi dalam majalah Sistr, remaja tidak memandangnya sebagai fungsi sepatu dan baju secara utuh, melainkan sebagai media untuk mereka agar dapat dipandang popular dan tidak ketinggalan zaman, dan juga mengelompokkan diri mereka sebagai bagian kaum kelas atas.
2.2.5. Tahap Transfigurasi
Tahap ini merupakan gabunganinterpretasi pemroduksi kode, kode, dan pengonsumsi kode. Apabila kita telaah sepatu dan baju sebagai symbol yang menghasilkan interfensi dan alih kode, maka dapat digambarkan bagan sebagai berikut:
DATA INTEFERENSI&ALIH KODE
Pemroduksi tanda
(Redaksi Majalah Sister)
tanda
(sepatu&baju)
Pengonsumsi Tanda
(Remaja)
· Sepatu dan baju sebagai tanda yang diproduksi merupakan produk impor dari Amerika dan Inggris. Untuk mendapatkan kesan impor, redaksi melakukan pencampuran dua bahasa antara Inggris (bahasa nasional di Amerika dan Inggris) dan Indonesia ketika menyampaikan informasi guna makna yang disampaikan tertangkap secara keseluruhan. Karena sebagian ungkapan bahasa Inggris tersebut tidak ditemui atau tidak dapat berfungsi sama dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dihubungkan dengan tuntutan interactivity media massa, agar yang disampaikan dapat lebih hidup dan berhubungan dengan media penyampaian (produk Amerika&Inggris dipromosikan dengan bahasa Inggris)
· Majalah Sister merupakan majalah remaja. Terkait dengan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, para redaksi memiliki konsep agar mencitakan sebuah majalah yang dapat menjadi media untuk penguasaan bahasa Inggris tingkat remaja. Sehinggga konsep bahasa asing yang sudah dimulai dari penamaan, judul rubric dan beberapa bagian isi sengaja diciptakan redaksi sebagai bentuk peningkatan penguasaan bahasa asing. Ini merupakan bagian performativity, yaitu menyajukan sesuatu bentuk yang lebih menarik pembaca untuk mengkonsumsi media.
· Sepatu, sebagai benda yang berfungsi untuk melindungi kaki.
· Amerika menciptakan produk Crocs sebagai konsep agar lebih menarik digunakan serta menambah kesan tampilan yang lebih bergaya pada pemakainya.
· Baju sebagai benda pelindung tubuh.
· Topshop toko baju di Oxford yang banyak dikunjungi pelanggan karena letaknya strategis.
· Model baju yang diciptakan Topshop mengikuti kurun waktu yang tidak pernah ketinggalan zaman.
· Toko baju yang menjadi ikon pada acara London Fashion Week
· Majalah hanya dapat dikonsumsi kalangan atas, sehingga pastinya apa yang diiklankan juga merupakan barang mewah yang dapat menunjukkan keeleganan pemakainya.
· Ingin selalu tampil terbaru mengikuti gaya yang ada dimajalah agar tidak dipandang ketinggalan zaman.
· Sehingga sepatu dan baju tidak lagi digunakan menurut fungsinya, tetapi symbol yang mengelompokkan diri kita berbeda dengan kelompok yang lain.
· Produk luar negeri yang terkesan mahal dan menggambarkan pemakainya adalah orang yang berselera tingi.
· Kaum elit yang peduli akan penampilan.
· Terbiasa dengan pengaruh bahasa Inggris, menimbulkan dampak yang buruk terhadap penguasaan bahasa sendiri.
Melalui analisis data dengan lima tahap e-135, dapat dimunculkan beberapa kriterian kesalahan redaksi dalam menyajikan informasi sebagai pembelajaran bahasa bagi remaja. Tapi dari media sendiri, tindakan ang mereka lakukan terkait dengan keterbatasan bahasa serta arus globalisasi bahasa Inggris yang ikut menyerang lingkungan social sekitar kita. Mungkin sebagai satu keharusan untuk dapat memahami bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di tengah kemajuan tekhnologi yang menyediakan fasilitas internet untuk menjangkau informasi dunia dalam bahasa Inggris. Menjadi suatu hal yang wajar, kalau majalah Sister yang beredar di Indonesia pada saat ini mulai mengenalkan beberapa ungkapan yang ditulis dalam bahasa Inggris dalam memparkan beberapa kalimat. Mereka mempunyai satu tujuan yang positif yaitu agar remaja di Indonesia dapat mengenal beberapa ungkapan sederhana yang dapat mereka ketahui dari membaca majalah tersebut. Selain itu, media massa sendiri seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, menuntut unsur performativity, yang harus dapat menyajikan sebuah teks yang menarik para pembacanya. Kenonbakuan dalam penggunaan bahasa terkadang lebih mudah dimengerti dan lebih menjalin sebuah hubungan yang akrab antara pembaca dan penulis berita (merupakan salah satu tuntutan unsur iteractivity dalam media massa). Kemudian hal lain yang mendukung kenonbakuan tersebut adalah karena majalah tersebut dikosumsi oleh kalangan remaja dan tujuan dari majalah itu sendiri adalah menyampaikan segala informasi dunia remaja yang lebih informal, sehingga cenderung tidak cocok dan lebih susah untuk ditangkap oleh kalangan remaja apabila bahasa yang digunakan adalah bahasa baku yang biasanya dipakai dalam situasi formal.
Walaupun memiliki alasan kuat terhadap hal tersebut, tetap saja fenomena kebahasaan yang mereka ciptakan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena telah banyak kasus yang terjadi membuktikan bahwa telah terjadi penurunan penguasaan bahasa Indonesia di tingkat SMA (yang dapat digolongkan remaja). Pada seminar Linguistik Internasional di Medan yang pernah penulis ikuti, terdapat sebuah pernyataan dari seorang Professor (namanya tidak tercatat oleh penulis) dari bidang linguistic yang mengatakan kegagalan siswa SMA dalam menyelesaikan tugas matematika dominan pada soal cerita, dan ketika dibuat angket berupa pertanyaan hasilnya menyatakan bahwa mereka terlalu susah memahami alur cerita dari soal tersebut, artinya mereka kurang memahami bahasa yang digunakan pada soal tersebut, sehingga walaupun mereka mengetahui rumus serta jalan kerja soal tersebut tetapi susah bagi mereka menyimpulkannya pada akhirnya mereka salah mencari jalan keluar dari soal.
Salah satu pengaruh besar yang menyebabkan merebaknya masalah tersebut tentunya dapat kita hubungkan dengan peran media massa. Seperti yang telah diungkapkan pada bagian pendahuluan bahwa media massa dan keadaan dunia merupakan dua hal yang sangat mempengaruhi. Melalui media massa remaja mengenal istilah baru yang serba bahasa Inggris, sehingga pada akhirnya mereka mengaplikasikannnya pada komunikasi sehari-hari dan kemudian menenggelamkan bhasa Indonesia. Jelasnya dapat kita lihat bagaimana kata-kata seperti e-mail, handphone, download, upload chatting, browsing dan lainnya yang telah dibuat terjemaham bahasa Indonesia, tetap saja di acuhkan dan terdengar asing bahkan tidak diketahui keberadaannya oleh remaja. Semua tidak dapat ditumpahkan kepada mereka karena dari pemerintah sendiri tidak pernah mengadakan sosialisasi yang sungguh-sungguh terhadap kemunculan kosa kata baru tersebut.
PENUTUP
Globalisasi dunia merambah ke dalam aspek kehidupan seluruh Negara termasuk Indonesia. Adapun bagian menonjol yang sangat terlihat dampaknya adalah dari segi bahasa. Bagaimana bahasa Inggris merebak dan melahirkan fenomena baru terhadap bahasa Indonesia dapat kita lihat melalui kasus alih kode dan inteferensi yang dikenal dengan kasus kemultibahasaan. Media massa merupakan wadah yang dapat merekam dengan jelas bagaimana kemultibahasaan tersebut juga telah melanda penggunaan bahasa Indonesia. Salah satunya majalah remaja.
Berbeda dengan alih kode yang tidak merusak sistem dua bahasa yang dicampur, inteferensi justru sebaliknya terdapat pengacauan sistem bahasa akibat percampuran tersebut, dan dalam pembahasan ini cenderung penyimpangan terjadi pada penggunaan bahasa Inggris yang diungkapkan dengan sistem bahasa Indonesia. Kasus yang ditimbulkan oleh media massa tersebut tentu dapat kita jadikan salah satu penyebab menurunnnya kemapuan bahasa Indonesia pada tingkat remaja. Tidak dapat disalahakan juga, media menggunakan bahasa tersebut guna tuntutan dari media massa sendiri agar dapat tampil menarik pembaca dan menciptakan hubungan yang dekat antara pembaca dan penulis media massa.
Salah satu dampak yang begitu nyata adalah bahwa bahasa Inggris yang telah dilahirkan padanannya dalam bahasa Indonesia tetap saja digunakan, malahan bagi kalangan remaja istilah dari bahasa ibu mereka sendiri kedengaran asing dan bahkan beberpa di antaranya mengaku belum pernah mendengarnya. Tentunya kesalahan tidak sepenuhnya dapat ditumpahkan kepada remaja, karena pemerintah sendiri cenderung tidak berniat untuk melakukan sosialisasi dengan sungguh-sungguh, di lain sisi media terus-terusan dikonsumsi dan menjadi isinya cenderung menjadi pedoman bagi remaja sebagai sumber informasi dunia mereka.
Daftar Bacaan
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik; Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaika, Elaine. 1982. Language The Social Mirror. Rowley: Newbury House Publisher.
Coulmas, Florian.2005. Sosiolinguistics; The Study of Speaker’s Choices. New York: Cambridge University Press.
Duranti. 2002. Linguistic Anthropology. New York: Cambridge University Press.
Foley, William A. 1999. Anthropological Linguistics: An Introduction. USA: Blackwell Publisher.
Holborow, Marnie. 1999. The Politics of English: A Marxist View of Language. Sage Publications: London.
Kramsch, Claire. Language and Culture. London: Oxford University Press.
Mesthrie, Rajend, et. al. 2001. Introducing Sociolinguistics. Edinburgh University Press.
Oktavianus. 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang: Andalas University Press.
Pilliang, Yasraf. 2003. Hiper Semiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jala Sutra.
Sawirman, 2009. E-135: sebagai Draf Model Pengembangan Pembelajaran Linguistik di Universitas Andalas. Bahan Kuliah S2 Linguistik Pascasarjana Unand.
Scannel, Paddy. 2007. Media and Communication. London: Sage Publication Ltd.
Shadily, Hasan dan John M.Echols. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Tolson, Andrew. 2006. Media Talk. Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd.
Thomas, Linda et al.2004. Language, Society and Power. London: Routledge.
Tim Penyusun. “Seminar Internasional Pertemuan Linguistik Utara-6”. Prosiding. Medan
Wareing, Shan, et.al. 2004. Language, Society and Power. London: Routledge.
Langganan:
Postingan (Atom)